Friday, March 26, 2021

Segenggam Tanah Kuburan


Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi, Bukan Gmbar Kejadian Sebenarnya.


Sudah hampir tiga tahun ini, aku menempati rumah yang aku beli dari hasil jerih payahku selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama aku mengontrak, akhirnya aku bisa membeli rumah sendiri meskipun tidak mewah. Aku sengaja membeli rumah di daerah Bekasi ini agar tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku.

Aku tinggal di rumah ini bersama istri dan kedua anakku yang masih kecil-kecil. Kami sangat bahagia dan merasa nyaman tinggal di rumah ini. Masyarakatnya pun menerimaku dengan baik, hingga mereka mengangkatku sebagai ketua RT dimana aku tinggal. Namun sudah hampir 1 minggu ini, kami merasa ada yang aneh dengan rumah ini. Panas, bringsang dan sangat tidak nyaman. Tiga kalimat itulah yang bisa dipakai untuk mendiskripsikan secara ringkas suasana rumahku saat ini, rumah yang sangat teduh dan sangat adem alias home sweet home hampir tidak ada bekasnya sama sekali. Rasanya selalu ingin keluar dari rumah, tidak kerasan. Persoalan yang remeh-remeh bisa menjadi awal pertengkaran yang hebat diantara kami. Kami sendiri merasa heran dengan kondisi ini, rasanya semua pintu jadi tertutup, termasuk rezeki yang biasanya melimpah dari Allah SWT. Uang jadi mudah keluar, masuk sedikit keluarnya lebih banyak. Begitu seterusnya. Bahkan, tetangga yang biasanya ramah jadi kelihatan aneh. Mereka seperti ketakutan ketika melintas di depan rumah kami itu.

Ketika rapat warga beberapa hari yang lalu, masuk informasi yang membuat tambah ruwet pikiranku. Dengan sangat serius pak Heru tetangga depan rumah berbisik padaku, 

“Pak RT, mohon maaf ya… beberapa hari yang lalu, bapak-bapak yang sedang giliran ronda kampung melihat jelas tiga sosok pocong masuk dan hilang di rumah bapak.” katanya dengan mimik serius. 

“Masuknya lewat atap, Pak.” timpal pak Dhoni yakin.

Rapat RT yang seharusnya membahas masalah parkir mobil warga, jadi bergeser. Beberapa bapak yang lain juga menyampaikan info yang sama, malah pak Amir yang rumahnya mepet denganku dengan terbata-bata memberikan info tambahan,

“Pocong itu muncul dari arah gang besar dan terbang masuk ke rumah Bapak kira-kira pukul 11 malam, belum terlalu malam lho, Pak.” katanya dengan bergidik sambil tangannya meraih potongan pisang goreng.

Aku cuma bisa diam, kepalaku mendadak pusing. “Apa yang sesungguhnya terjadi dengan rumahku. Terus apa yang diinginkan dengan diriku,” pikirku dalam hati. 

Sebagai ketua RT, aku sudah menjalankan amanah warga dengan baik, anak dan isteriku pun termasuk cekatan, dan sangat familiar dengan seluruh tetangga. Jadi menurutku semua baik-baik saja, tapi kenapa jadi begini.

Belum sempat aku menemukan jawabannya, pak Arif koordinator ketenteraman lingkungan sudah memberikan pernyataan yang membuat pertemuan jadi heboh,

“Mungkin… ada yang tidak suka dengan Pak RT, dan menginginkan Pak RT pindah rumah, atau menjual rumahnya segera. Kalau Pak RT mau, mbok segera sowan ke ustad Sidiq untuk minta penerang.” katanya.

“Penerang? Baik Pak, nanti saya segera sowan ustad Sidiq, mumpung kamis depan, beliau memberi tauziah di masjid kita.” kataku mendinginkan suasana.

Pertemuan warga kemudian bubar kurang lebih sekitar pukul 10 malam. Dengan wajah tegang dan takut-takut bapak-bapak itu meninggalkan balai pertemuan warga yang letaknya hanya lima rumah dari tempat tinggalku. Pos kamling yang biasanya ramai jadi sepi. Penjual tahu campur dan mie dok-dok lebih memilih jalan melingkar, menghindari gang rumahku.

Aku sendiri kemudian memilih cangkrukan di depan rumah ditemani pak Heru yang pensiunan marinir dan pak Amir. “Biar saya dan pak Amir melekan di sini Pak RT.” katanya ramah. 

Kami bertiga lalu ngobrol sana sini dan menghindari pembicaraan yang menjurus ke arah munculnya pocong itu. Hawa dingin di akhir bulan Desember membuat suasana malam itu agak lain. Angin yang bertiup agak kencang menerobos daun-daun yang cukup rindang di kompleks perumahan kami itu. Menjatuhkan daun-daun yang sudah tua.

Pelan tapi pasti angin kemudian bertiup makin kencang, suaranya cukup gaduh. Kami bertiga terdiam, hanya pak Amir yang terdengar berdzikir sambil memutar-mutarkan butiran-butiran tasbihnya. Sementara aku dan pak Heru siaga menyikapi gejala alam yang lain dari biasanya itu.

“Hati-hati Pak RT.” bisik pak Amir sambil tangannya meraih tasbih yang ada di saku bajunya. Akupun mulai membaca tasbih dalam hati. Dibarengi dengan tiupan angin yang luar biasa kencang, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang cukup keras dari pohon serut pojok rumah, disusul munculnya asap yang cukup tebal turun dari atas pohon itu.

Meskipun kami sudah sama-sama menduga, namun tak urung kaget juga. Dengan beringsut kami bertiga agak bergeser menjauh. Kelihatannya asap tebal itu turun dengan energi yang cukup besar, turunnya seperti gulungan asap dengan bulatan yang besar menggoncang seluruh pepohonan yang ada di depan rumahku. Bersamaan dengan hilangnya asap itu muncul sosok yang membuat hati kami berdebar cukup kencang. 

“Untung anak isteriku sudah tidur nyenyak sejak sore tadi,” pikirku. Kalau tidak dijamin mereka bisa pingsan berdiri. Pak Heru yang pensiunan marinir saja, terlihat agak goyah melihat wujud pocong yang mirip guling besar itu.

Mungkin kalau yang muncul itu adalah pocong dalam bentuk yang wajar, kami masih sanggup menatapnya dengan hati yang tegar. Namun pocong itu muncul dengan sosok yang begitu menakutkan, kain kafannya tercabik-cabik dengan lelehan darah busuk di sana-sini, wajahnya penuh luka sayat yang menebarkan aroma yang memuakkan. warna kain kafannya tidak lagi putih melainkan sudah berubah menjadi merah kecoklat-coklatan.

Pak Amir yang memang lulusan pesantren kemudian maju, dengan dialog bathin langsung mengajukan pertanyaan yang tegas terhadap sosok pocong itu, “Kisanak, siapakah Anda ini… dari mana dan kesini mau apa?” 

“Aku Ramelan… dari daerah Subang. Aku kesini mau meminta kembali barangku yang disimpan dirumah ini…” jawabnya dengan nada yang tidak ramah sama sekali.

“Apa wujud barangmu dan siapa pula yang membawanya ke rumah ini?” tanya pak Heru untuk mencari informasi lebih lanjut.

“Barangku itu berwujud tanah, meskipun hanya tanah namun bagiku itu sangat penting, karena tanah itu rumahku yang sudah bagus jadi rusak. Yang membawa tanah itu orangnya tidak ada di sini…!” jawabnya dengan suara yang berat tanpa mau menyebutkan orang yang telah membawa tanah itu masuk dalam rumahku.

Mendengar itu, aku jadi paham kenapa rumahku suasananya jadi berubah, panas dan penuh dengan hawa amarah yang membuat tidak kerasan. 

“Kurang ajar… ada yang mau main-main denganku,” kataku dalam hati. 

Pak Amir langsung tanggap dan mencoba menahan diriku yang mulai agak emosi. “Maaf Mas Ramelan, kalau memang barang itu ada di sini, saya tetap tidak akan memberikan sebelum kamu menyebutkan siapa yang menaruh barang itu di sini.” katanya tegas.

Aku dan pak Heru kemudian sama-sama berdzikir dan bermunajat ke hadirat Allah SWT memohon perlindungan dari semua godaan setan yang ada di depan kami itu. Cukup lama dialog itu terjadi, sementara bau busuk dari pocong itu semakin membuat kami mual.

Dengan gencar kami terus berdzikir, sementara dalam bathin aku terus mengamalkan Qulhu Geni dari Guru beladiriku. Pocong itu nampak goyah, tubuhnya pelan-pelan menguap dan kemudian hilang ke arah timur gang rumah kami. Pelan-pelan suasana mencekam itu mencair, tinggal bau bunga kuburan dan bau bangkai yang masih menguar di sekitar kami. 

“Sudah Pak RT, semua sudah kembali normal,” kata pak Amir yang disusul oleh pak Heru dengan nada yang sama, namun mereka memintaku segera menemui ustad Sidiq tanpa harus menunggu pengajian di malam Jum’at. Aku menyanggupi, dan setelah mengucapkan terima kasih, aku kemudian mempersilakan mereka berdua untuk beristirahat. Kami lalu masuk ke rumah masing-masing.

Akupun segera mengambil air wudhu untuk mendirikan shalat hajat khusus dan shalat malam memohon perlindungan Allah SWT. Setelah itu baru tidur. Belum lama aku terlelap, aku sudah bermimpi didatangi pocong itu kembali, dengan ngotot mereka meminta kembali tanah kuburannya itu. Aku kembali mengelak dan bersikukuh tidak menyimpan barang itu dan tidak tahu barang itu ada dimana.

Pocong itu dengan beringas mendorongku, matanya yang hitam legam dengan nanar memandangi seluruh penjuru rumahku, hidungnya yang growong dan penuh belatung seperti mengendus-endus sesuatu, setelah itu terbang menuju tumpukan dos-dos yang ada di bawah tangga lantai atas. Tanpa menggerakkan tangannya sama sekali, dos-dos yang sangat berat itu seperti terhempas bergerak ke samping kanan dan kiri, akhirnya persis di pojokan gudang nampak bungkusan putih sebesar pisang ambon. Dengan gaya kinetis bungkusan itu terbang menuju kearah pocong itu.

Setelah mendapat bungkusan yang dicarinya itu, pocong itu hilang. Bersamaan dengan hilangnya pocong itu aku terbangun. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin. 

“Mana… mana pocong itu? Kurang ajar,” kataku dengan nafas terengah-engah. 

“Pocong apa Mas…? Mana...? dimana?” kata isteriku dengan panik. 

Aku kemudian menghela nafas panjang, “Aku cuma mimpi kok Ma…” kataku menghibur dirinya. 

Takut suasana yang panas ini menjadi bertambah mencekam.

Setelah shalat Subuh, seperti biasanya aku lalu ikut bersih-bersih rumah. Cuma kali ini sasarannya di gudang dekat tangga. Mumpung anak isteriku masih belum bangun, aku mulai membongkar satu demi satu dos-dos yang ada di gudang itu. Semua kutata ulang, dan kubersihkan satu demi satu. Benar, persis di pojokan gudang kutemukan bungkusan yang sangat kecil, sebesar pisang emas yang terbungkus kain putih. 

“Ini… bungkusan ini yang membuat suasana rumahku jadi tidak betul,” kataku sambil memasukkan dalam katong celana. 

Pelan-pelan, dos-dos itu aku susun ulang, dan lantainya kubersihkan dari timbunan debu dan kotoran cicak maupun tikus. Setelah rapi, aku memutuskan segera mandi. Niatku pagi-pagi nanti sebelum berangkat ke kantor, aku mau ke rumah ustad Sidiq untuk menanyakan masalah bungkusan kain mori yang kutemukan di gudang, serta menceritakan kejadian malam tadi dan mimpi yang menuntunku menemukan bungkusan kain mori putih itu.

Tepat pukul 08.00 aku sudah berada di rumah ustad Sidiq. Nampaknya kyai kharismatik itu baru selesai shalat Dhuha, wajahnya yang teduh dengan senyumnya yang khas langsung menyapaku 

“Ada apa Mas Kaji Maktab?” katanya bercanda. Memang ustad Sidiq selalu menjulukiku Kaji Maktab, karena waktu musim haji lima tahun yang lalu, aku termasuk salah satu jemaahnya yang paling malas berkunjung ke Masjidil Haram, dan lebih suka shalat lima waktu di Maktab. Setelah basa-basi sebentar, aku kemudian menerangkan maksud dan tujuannya menemui beliau.

Mendengar ceritaku, ustad Sidiq cukup lama termenung. Matanya dengan seksama melihat bungkusan mori putih itu, setelah menghela nafas panjang, ustad Sidiq masuk ke ruang ibadahnya. Setelah keluar beliau membawa botol isi minyak wisik. 

“Begini Mas Kaji, ini cuma sarana saja, yang penting mulai nanti malam Mas Kaji harus mendirikan shalat hajat khusus, empat rakaat, dua rakaat salam. Masing-masing setelah fatihah baca surat ikhlas 7x, semua dijalani selama tujuh hari jangan sampai bolong, dan ini setiap bakda maghrib dipercikkan di tiap-tiap pojokan rumah.” katanya sambil menyerahkan botol itu, dan mengembalikan bungkusan kain mori putih itu kepadaku.

“Maaf Ustad, sebetulnya ada kejadian apa dengan rumah saya?” tanyaku ingin tahu. 

Ustad Sidiq menghela nafas panjang lagi, dengan nada dalam beliau berkata.

“Rumah sampean itu, dipasangi tanah kuburan yang terbungkus kain mori putih itu, kuburannya orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon atau Jum’at Wage yang kebetulan meninggalnya karena dibunuh orang. Jadi bersamaan dengan khodamnya yang ingin membalas dendam, jadi siapa sih yang tidak jengkel bila rumahnya dirusak, didodos untuk diambil tanahnya. Khodam jenazah itu juga punya rasa jengkel dan sakit hati. Jadi tidak aneh bila suasana rumah Mas Kaji ini jadi gerah, penuh rasa tidak nyaman, iya... atau... ya” katanya melucu. 

“Lha terus tujuannya apa Pak Ustad?” tanyaku kembali

“Ya jelas to Mas Kaji, kalau Anda tidak kerasan… tentu Anda segera inngin pindah rumah, syukur-syukur rumah Anda nanti dijual dengan harga yang murah.” katanya dengan nada arif.

Aku jadi maklum. Setelah diwejang banyak-banyak, aku kemudian pamit. Ustad Sidiq mengantarkanku sampai di depan rumah. Malamnya aku mulai menjalankan semua amanahnya, ditambah dengan wiridan semampuku. Pelan tapi pasti kondisi rumahku mulai membaik. Suasana panas berangsur dingin. Penampakan pocong yang tiap hari muncul sudah tidak terdengar lagi gosipnya. Genap lima hari aku menjalani shalat malam seperti yang diwejangkan oleh ustad Sidiq, kejadian persis tempo hari terulang lagi, cuma kali ini pocong tersebut hanya bisa berada di luar pagar halaman, sepertinya setiap mau masuk dia terpental jauh, dan pada hari ke tujuh terdengar ledakan yang cukup keras, dan pocong tersebut seperti terbakar habis. Paginya aku mendengar kabar, bahwa bu Ida tetangga jauh yang tinggal di gang sebelah masuk rumah sakit karena tiba-tiba sakit keras.

Menurut keluarga besarnya, bu Ida sakit mendadak persis ketika terjadi ledakan dan pocong itu terbakar hebat. isteriku yang membezuknya bersama ibu-ibu PKK juga mengatakan kalau penyakit bu Ida belum bisa didiagnose oleh dokter. Belum sempat bu Ida diobati dengan baik, menyusul berita lain bahwa suami bu Ida, seorang makelar tanah dan rumah yang kekayaannya luar biasa di kompleks rumahku menyusul masuk rumah sakit. Kali ini menurut dokter karena serangan jantung. Keluarga bu Ida memang terkenal kaya raya, bahkan rumahnya hampir merata di setiap gang, di gangku saja ada tiga rumah yang statusnya menjadi hak milik putra-putrinya.

Tepat pukul 15.30 bakda shalat Ashar, pak Samsi seksi sosial mengetuk pagar rumahku,

“Inalillahi wa ina ilaihi rojiun…” seru pak Samsi.

“Siapa yang meninggal Pak?” seruku sambil memintanya masuk. 

“Mas pudji, putranya bu Ida yang kuliah di Jogja.” katanya.

“Jenazahnya akan tiba di kampung ini pukul 1 malam pak RT.” sambil menyodorkan blanko untuk mengurus surat kematian di kelurahan.

Malam itu kampungku jadi heboh, aku selaku ketua RT mewakili keluarga bu Ida untuk menerima tamu dan mengurusi semuanya, maklum ibu Ida dan suaminya masih dirawat di rumah sakit, sementara mbak Sari dan mbak Susi, putrinya, masih menunggu penerbangan terakhir dari Surabaya. Dari informasi yang saya peroleh, kematian anak bu Ida cukup mendadak.

Sore itu mereka masih guyonan dengan teman-temannya, malam tepat ketika aku mengakhiri shalat malamku yang terakhir dari yang diwejangkan ustad Sidiq, tiba-tiba dari kamarnya terdengar jeritan kesakitan yang luar biasa keras. Teman-temannya masih mengira Pudji guyonan dan menggoda teman-temannya. Jadi dibiarkan saja, baru setelah habis Dhuhur kamar Pudji tetap tertutup rapat, teman-temannya mulai merasakan ada hal yang tidak beres. Benar, ketika pintu didobrak ramai-ramai mereka semua terkejut dan menjerit setelah melihat mas Pudji sudah jadi mayat dengan kondisi yang mengerikan, matanya melotot, lidahnya terjulur sementara tubuhnya penuh dengan bekas cakaran.

Siangnya selepas jenazah dikuburkan, aku dihampiri ustad Sidiq dengan berbisik beliau berkata, “Gimana Mas Kaji, buntelan kain morinya mau diapakan.” 

“Terserah Ustad Sidiq saja,” jawabku takzim. 

Ustad Sidiq lalu memintaku datang ke masjid sehabis shalat Isya, dan meminta buntelan itu untuk dijaga dengan baik. Malamnya sehabis shalat Isya, ustad Sidiq mengumpulkan beberapa bapak-bapak yang merupakan jamaah tetap masjid di lingkunganku. Dengan mengucap basmallah ustad Sidiq lalu membuka bungkusan kain mori itu. Ternyata isinya memang tanah, lalu ustad Sidiq membawanya ke serambi masjid.

Dengan alas koran tanah tersebut beserta kain morinya lalu dibakar. Pelan tapi pasti api itu mulai membakar kertas koran tersebut, selanjutnya kain morinya ikut terbakar dan akhirnya tanah kuburan itupun tidak luput dari jamahan api. Kami semua kaget, karena ketika api itu menyentuh tanah kuburan itu, terdengar suara berdesis persis bubuk mercon yang terbakar, ngobros seperti bubuk mesiu, Makin lama makin besar apinya. Semua mundur sambil terus menyebut nama Allah SWT. Bersamaan dengan suara ngobros itu terdengar ledakan yang cukup keras dari rumah bu Ida yang jaraknya hanya 10 rumah dari masjid kami itu. 

“Astaghfirullahaladzim… Allahhu Akbar…!” teriak kami hampir berbarengan. 

Pagi-pagi buta, kembali rumahku diketuk pak Samsi, kali ini membawa berita yang cukup mengejutkan, suami bu Ida meninggal dunia 

“Inalillahi wa ina lillahi rojiun…”

Hanya itu yang terucap di bibirku. Aku tidak bisa menghubungkan rangkaian kejadian yang ada, karena semua menjadi rahasia Allah SWT.


La Planchada