Aku baru saja pindah kost, karena aku diterima kerja disalah satu department store terkemuka di kota ini. Aku mencari tempat kost disekitar tempat aku kerja agar bisa berhemat, meski sebenarnya agak mahalan dibanding tempat kost yang terletak di pinggiran tapi biaya transportasinya termasuk mahal, bila dihitung hitung kost di pinggiran ditambah ongkos bus pergi pulang malahan lebih tinggi, apalagi bila nanti aku mendapat shift malam, wah bisa tekor karena jenis angkutan menjadi lebih terbatas. Kost di tengah kota juga kurasa lebih aman apalagi bila mesti pulang malam, bukan takut hantu atau sejenisnya tapi lebih khawatir pada kejahatan saja. Kalau soal hantu mah dilawan pakai doa-doa juga bakalan kalah, kalau orang? Tentu sebagai perempuan tenagaku kalah jauh.
“Wah, baru jam segini kok sudah mandi?” Tanya Sari teman satu kamarku. Yah kami memang berbagi kamar agar lebih berhemat uang kost.
“Iya nih, kan mau kerja, aku mendapat jadwal shift kedua untuk seminggu ini!” Jelasku sambil mengeringkan ujung-ujung rambut yang basah terkena air dengan handuk.
“Oh iya.... Aku lupa, minggu kemarin kan kamu dapat shift pagi.“ Seru Sari sambil menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sari masih kuliah di sebuah universitas di kota ini, dia sudah melebihi jatah semesterannya, tapi karena ada yang mesti dia ulang untuk memperbaiki nilai, dia terpaksa menambahnya. Jadi tidak banyak jadwal kuliah yang mesti diikuti, hanya saja dia banyak tugas dan mesti mempersiapkan skripsi.
“Nggak ada kuliah hari ini?” Tanyaku sambil duduk disudut ranjang. Kulihat Sari tiduran di tempat tidurnya.
“Nggak ada, cuma ada tugas yang harus dikerjakan... Tapi rasanya kok malas banget, ntar malam aja deh!” Jawab dia tampak ogah ogahan.
Aku tersenyum, “Ya, terserah kamu aja.” Ucapku pendek sambil beringsut ke meja rias untuk mempersiapkan diri.
Wah enak dia itu, tidak perlu memikirkan bagaimana mencari uang, setiap bulan orang tuanya sudah mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Tidak seperti aku, selepas lulus sekolah menengah atas aku harus berjibaku mencari peluang kerja. Orang tuaku bukan termasuk orang yang berpunya, dengan anak yang banyak sejumlah lima orang, terpaksa kami semua hanya berhenti di SMU saja. Untuk bisa kuliah harus bisa mencari dana sendiri. Aku mengikuti jejak kak Eka, kakakku yang pertama. Dia kuliah sambil bekerja.
Memang berat untuk membagi waktu, tapi karena tergolong anak yang cerdas kakakku itu berhasil juga. Dia bisa lulus diploma tiga sekertaris tepat waktu, sekarang dia menikmati hasil jerih payahnya. Dia sekarang bekerja di sebuah perusahaan asing yang cukup besar di kota. Kak Eka juga sanggup untuk kost sendiri tidak mesti berbagi dengan orang lain. Bahkan dia bisa membantu ibu di kampung dengan mengirim sejumlah uang secara rutin tiap bulannya.
Rencanaku dalam setahun ini aku bekerja dulu dan uangnya ditabung buat persediaan biaya kuliah yang katanya besar, selanjutnya aku akan mencari sekolah yang bisa selaras dengan jadwal pekerjaanku. Pokoknya kerja dan kuliah harus berjalan seiring, aku juga akan mengambil jurusan yang cepat dan mudah untuk bekal mencari kerja kelak. Mungkin aku akan ambil program diploma seperti kak Eka.
Setelah selesai merias diri, aku pamitan kepada Sari sambil melambaikan tangan. “Aku berangkat dulu ya!”
“Pulang jam berapa nanti?” seru Sari dari tempat tidurnya.
“Paling sekitar jam sepuluh.” Jawabku pendek sambil menutup pintu kamar kost.
Untung kost ku ini agak longgar, kami masing-masing mempunyai kunci pagar dan pintu utama. Aku memang memilih yang demikian. Sebagian besar penghuni kost ini karyawati swasta dan mahasiswi tingkat akhir yang sering kali harus pulang malam karena mencari bahan untuk menyelesaikan tugas, lembur atau bahkan shift malam kayak aku ini.
Kubuka gerbang besi depan, lalu aku berjalan menyusuri trotoar. Aku cukup berjalan kaki beberapa ratus meter untuk sampai ke department store tempat aku bekerja.
“Hai, Wulan... Tunggu!” Teriak seseorang dari belakang menyebut namaku. Aku menengok ke arah suara itu, ternyata Ani teman kerjaku baru saja turun dari bus kota dan berjalan cepat untuk menyusulku.
“Hai...” Jawabku sambil melambaikan tangan. Aku diam berdiri menunggu dia datang kepadaku.
“Tumben naik bus kota?” Tanyaku membuka pembicaraan. Biasanya Ani diantar suaminya bila berangkat kerja dan pulangnya pun dijemput.
“Iya nih..... Motor mas Ari lagi rusak, sekarang masih ada di bengkel!” Jawab Ani sambil terengah engah mengatur napas. Memang sore ini masih terasa sangat panas. Maklum musim kemarau jadi meski sudah sore, sinar matahari masih terpancar dengan garangnya.
“Tapi katanya nanti malam mau jemput kok.” Lanjutnya.” Sekarang dia lagi di bengkel buat mengecek motornya, kata yang servis sih sudah bagus dan bisa diambil.”
“Ya... Syukurlah!” Jawabku pendek.
Kami melanjutkan jalan sambil berbincang bincang mengenai hal-hal yang ringan di seputar keseharian kita saja. Tak terasa sampai juga di pintu masuk tempat kami bekerja. Seperti rutinitas biasanya, aku langsung menuju ke divisiku di bagian busana, sedang Ani ke bagian sepatu. Lalu kami larut dengan pekerjaan kami. Saat jam pulang kerja aku bergabung dengan kerumunan karyawati lainnya di pintu keluar khusus karyawan, kami bersiap meninggalkan gedung ini. Ada yang berjalan kaki seperti aku, ada juga yang menunggu jemputan, sebagian lagi membawa motor sendiri. Baru berjalan beberapa jengkal, tangan seseorang menepuk bahuku. Ternyata Ani.
“Loh, belum dijemput?” Tanyaku melihatnya sendirian saja tidak ada suaminya.
“Wah payah.... Suamiku barusan telpon dia agak terlambat menjemputku, karena motornya dipinjam Yoga adiknya dan baru saja dikembalikan.“ Ujar Ani bersungut sungut.
“Temenin aku dong....” Pintanya sambil menahan tanganku.
“Tapi.....” Baru aku mulai akan bicara keenggananku dia sudah memotongnya.
“Sebentar saja kok, lagian kostmu kan lumayan dekat ditengah kota.... Aman deh. Kamu juga pernah cerita kan kalau kamu ada kunci gerbang plus kunci pintunya sendiri. So... Nggak apa-apa kan?” Bujuk nya seperti memaksa, lanjutnya, “Kita tidak menunggu disini kok, kita menunggu disana tuh!”
Kuikuti arah tangannya, ternyata tangannya menunjuk ke sebuah cafe yang baru saja dibuka. Cafe itu buka sampai tengah malam begitu yang aku dengar.
“Tenang saja, aku yang traktir!” Rayunya lagi sambil merangkulku dan setengah memaksaku mengikuti langkahnya.
“Nggak sayang tuh uangnya?” Tanyaku dengan tujuan agar dia tidak jadi mampir ke cafe. Sudah malam dan capek rasanya.
“Sesekali menyenangkan diri apa salahnya sih?” Ucapnya mempertahankan pendapatnya dengan bercanda.
Aku tersenyum lalu mengangguk, kupikir nggak ada salahnya aku sesekali menyenangkan diri, selama ini aku sangat ketat menabung untuk bekal meraih cita-cita, jadinya aku jarang bahkan tidak pernah membelanjakan uang untuk hal-hal yang sekiranya kuanggap hanya memenghambur hamburkan semacam makan minum di cafe. Mending makan di warung... Jauh lebih murah... heheheh.
Tapi kali ini kan aku akan ditraktir Ani, jadi tidak ada salahnya mengiyakan ajakannya. Lumayan bisa makan minum gratis, Toh aku tidak perlu cemas, seperti kata Ani tadi aku kost ditengah kota, kunci pun aku bawa sendiri. Di kota ini malam hari pun masih terlihat banyak aktivitas, jalanan tetap ramai meski nggak seramai siangnya. Kostku juga tidak jauh dari jalan utama, banyak kost kostan di sekitarnya. Sering aku mendapati beberapa teman kostku pulang larut malam bahkan dini hari, mereka ok ok saja tidak masalah. Aman katanya.
Sesampai di cafe, kami sengaja mencari kursi yang berada di teras sehingga kami bisa melihat suasana jalan di depan kami duduk.
“Kita duduk disini saja, biar nanti kalau mas Ari datang menjemputku dia langsung tahu.” Kata Ani. Dia lalu mendorong kursi keluar dari kolong meja. Aku pun juga demikian. Tak lama kemudian pelayan cafe datang menghampiri meja kami, ia menyodorkan dua buku menu kepada kami.
“Tidak duduk di dalam mbak? Ada acara life music lho!” Sapa si pelayan ramah.
“Disini saja mas, mau cari angin nih... Gerah!” Tolak Ani halus, padahal sebenarnya dia duduk disini karena menunggu jemputan.
“Baiklah mbak, mau langsung pesan atau mau dibaca baca dulu?” Tanya pelayan itu lagi.
“Kami baca-baca dulu ya!” Jawab Ani.
Pelayan itu mengangguk lalu meninggalkan kami. Kuambil buku menu yang ada di hadapanku, ani juga mengambilnya. Aku membacanya dari halaman pertama sampai terakhir sekalian mengamati harga-harga yang tertera... Heheheh.... Buat pengetahuan standard harga cafe berapa.
“Kamu mau makan minum apa?” Tanya Ani sambil menutup buku menu.
“Terserah saja, aku ikut kamu!” Jawabku diplomatis, aku memang selalu mengikuti orang yang mentraktir aku, bukannya tidak mau memilih tapi aku mesti tahu diri.
“Kita pesan menu yang sama saja yach?” Ucap Ani sambil tangannya melambai ke arah pelayan.
“Pesan chocholate milkshake dua, bruchetta dua dan satu french fries.“
Pelayan itu segera mencatat pesanan Ani, kemudian ia membaca nya untuk memastikan pesanan kami itu.
“Cafe ini baru beberapa hari buka lho.” Kata Ani setelah pelayan itu meninggalkan kami berdua.
“Tapi sudah lumayan ramai tuh!” Ucapku sambil mataku melihat-lihat sekeliling, ada beberapa pasangan duduk di teras seperti kami, terus juga ada beberapa orang di dalam tapi aku kurang tahu pasti jumlahnya.
“Ya iyalah... Kan ini malam minggu!” Seru Ani.
Melihat keterkejutanku Ani mulai meledek, “Makanya punya pacar biar tahu arti malam minggu.... Hahaha.”
“Yaach... Belum ada yang nembak nih..... Cariin dong!” Balasku dengan bercanda, sebenarnya aku belum begitu tertarik untuk memiliki pacar, prioritasku saat ini adalah melanjutkan kuliah dan merenda masa depan.
“Santai sajalah.... Kalau jodoh tak kan kemana. Ntar kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri!” Ucap Ani bijak.
Tidak begitu lama pesanan datang di meja, kamipun lalu makan minum sambil bercerita hal-hal ringan. Disela sela kami makan, handphone Ani berbunyi.
“Hallo mas.... Iya ini aku menunggu di cafe cendawan.... Iya... Iya...!” Lalu ia menutup HPnya.
“Sebentar lagi mas Ari datang, tapi nggak usah terburu buru... Santai saja!” Kata dia kepadaku.
Benar saja, sesaat setelah kami selesai makan dan membayar di kasir, mas Ari -suami Ani- datang menghampiri. Kamipun lalu keluar bersama. Sebenarnya aku ingin berjalan sendiri saja toh jalan juga masih ramai, tapi Ani bersikeras mengantarku sampai kost. Akhirnya Aku dan Ani berjalan kaki menuju rumahku sedang mas Ari naik motor pelan-pelan mengikuti langkah kami.
“Akhirnya sampai juga!” Seruku begitu sampai pintu gerbang.
“Makasih ya sudah mau menemaniku!” Ucap Ani sambil menyodorkan tangan, aku langsung menyambut tangannya. Setelah aku berjabat tangan dengan suaminya juga, Ani kemudian naik boncengan. Lalu mereka menjalankaan motornya, kulihat Ani melambaikan tangan ke arahku, akupun membalasnya.
Kuambil set kunci dari dalam tas, gembok yang melingkari handle gerbang pagar besi itu aku buka, setelah aku masuk aku segera menggemboknya kembali. Aku cukup menjulurkan kedua tanganku dari balik jerujinya. Aku bermaksud berbalik menuju pintu utama, tapi mendadak hidungku menangkap bau anyir yang teramat menusuk. Kulihat sekeliling, dari gerbang besi menuju pintu utama memang ada halaman yang cukup luas, dari luar orang tidak akan mengira ada kost-kostan disini karena sama pemiliknya memang dirancang demikian.
Setelah pagar jeruji besi, dibiarkannya halaman luas ini membentang, katanya sih kalau ada dana mau dibuat ruko dan akan disewakan pula. Selanjutnya ada tembok pembatas yang dipasangi pintu utama untuk memasuki ruang-ruang kost kami. Jadi tempat kami tinggal kami ini dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi. Kembali ke bau anyir itu aku mencoba mencari tahu dengan cara mengelilingi halaman ini, tapi rupanya bau itu asalnya dari balik pagar besi, tepatnya di sisi sebelah pojok kiri pagar yang berbatasan dengan gang masuk menuju pemukiman penduduk. Aku tidak berani keluar pagar, maklum jalanan mulai sepi. Dari dalam pagar aku mencoba mengamatinya, tapi aku tidak menemukan apa-apa. Cahaya yang temaram karena lampu jalan terletak di sebelah ujung kanan sisi pagar, membuatku kesulitan untuk melihat suasana disitu. Namun sesaat kemudian mataku dikejutkan dengan bayangan seseorang yang duduk terpuruk di sudut gang. Kudengar dia merintih kesakitan. Sepertinya dia mau meminta pertolongan. Aku tidak berani keluar siapa tahu orang itu berpura pura saja? Aku khawatir saja, sesaat aku terdiam memikirkan apa yang harus kuperbuat, bagaimana kalau orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan?
“Sebentar ya, aku cari pertolongan Pak Sastro!” Seruku kepada sosok itu. Kupikir lebih baik aku melapor ke Pak Sastro penjaga kost ini, itu akan lebih aman.
Aku bermaksud berlari menuju pintu utama untuk selanjutnya meminta pertolongan Pak Sastro, tapi suara rintihan itu mendadak menghilang tergantikan suara mobil yang tepat berhenti di depan pagar. Ternyata Anita penghuni kost yang lain datang, dia menumpang mobil travel. Ini kesempatanku keluar melihat apa yang tadi barusan aku lihat. Aku segera membuka gembok dan membukanya.
“Anita, tunggu aku sebentar ya....!” Seruku sambil berlari kecil menuju ujung pagar besi dekat gang itu. Anita seperti bingung dengan tindakanku itu, tapi kemudian ia disibukkan dengan mengambil barang dari bagasi mobil di belakang dengan dibantu sopir travel.
Namun aku tidak menemukan apa-apa. Di ujung gang ini aku hanya melihat jalanan yang tertutupi tanah, sepertinya ada yang menabur tanah di sekelilingnya. Akupun kembali, kupikir tadi mungkin cuma halusinasiku saja karena sudah malam dan sendirian pula.
“Ada apa sih?” Tanya Anita kebingungan campur ingin tahu.
“Oh... Kupikir tadi ada kelebat apa gitu... Ternyata cuma kucing.” Jawabku berbohong. Malu ah... Ntar dikirain aku mengada-ada.
“Huuu... Kirain apa... Bikin jantungan aja!” Ujar Anita sambil tertawa kecil.
Setelah membantu Anita memasukkan barang-barang bawaannya dan mengunci kembali pagar besi itu, kami berdua berjalan memasuki kamar kami masing-masing.
Esoknya aku bangun agak kesiangan, maklum semalaman aku masih kepikiran dengan yang aku alami, aku merasa yakin kalau aku mendengar dan melihat orang yang merintih kesakitan. Meski tidak bisa melihat dengan jelas tapi aku bisa menangkap sosok bayangan orang itu.
Seusai mandi, aku bergegas mau masuk kembali ke kamar untuk merapikan diri, selanjutnya aku bermaksud keluar untuk mencari sarapan. Tapi langkahku terhenti begitu kulihat beberapa penghuni kost asyik di ruang tamu dekat pintu utama. Kuhampiri mereka.
“Ada apa sih... Serius amat? Ada gosip baru ya?” Tanyaku sambil ikut bergabung sebentar. Siapa tahu ada yang belum beli sarapan kan bisa berangkat sama-sama.
“Ini mah bukan gosip... Tapi realita non... Realita!” Ucap Yuli salah satu dari mereka.
“Wowww.... Apaan tuh?” Aku penasaran, mereka pasti ngerumpi membicarakan salah satu anak kost, tapi ternyata perkiraanku salah.
“Kemarin petang ada orang mampus di depan kost kita. Dihajar masa karena kedapatan mencopet . “ kata Lila berapi rapi.
“Benar, katanya saat polisi datang orang itu sudah jadi bulan bulanan massa.” Tambah Yuli tak kalah sengit.
“Mampus tuh orang... Dasar pencopet!” Teriak teman yang lain.
“Aku cuma melihat ceceran darah di dekat pagar, tapi kemudian orang-orang menaburkan tanah di atasnya.” Sela Fifi sambil mendekap badannya sendiri, raut mukanya memancarkan kengerian.
Aku terdiam mendengar penjelasan teman temanku, jantungku pun seakan berhenti berdetak. Aku bergidik mengingat kejadian tadi malam. Jadi yang aku lihat semalam : hantu korban amuk massa. Hiiii... Tiba-tiba aku merasa dingin dan gemetaran.