Siang itu truk baru saja tiba di depan gudang, segera kutelpon suamiku –mas Rudi– untuk segera datang. Di seberang telpon mas Rudi berpesan agar barang-barang jangan diturunkan dulu, mesti menunggu dia. Biasanya memang demikian, dia selalu mendata barang yang datang dengan nota pembelian apakah sudah sesuai atau belum. Meski tidak selalu, tapi kadang kita menerima barang yang tidak cocok, bisa jadi kesalahan administrasi atau apalah, tapi yang jelas kami mesti teliti dalam menerima barang.
Setelah memarkir truk di halaman depan gudang, sopir itu turun dan menghampiriku.
“Ini Bu, suratnya!” kata sopir itu seraya menyerahkan sebuah amplop coklat.
Kuterima surat itu dan berkata, “Bapak bisa menunggu di balai-balai itu, sebentar lagi mas Rudi juga datang kok.”
Pak sopir itu mengangguk dan berjalan ke arah balai-balai yang terletak di samping kiri gudang diikuti kernetnya. Sebenarnya balai-balai itu modelnya seperti tempat tidur dengan tiga sisi yang berpagar, mungkin itu dulu buat tempat tidur anak-anak agar tidak jatuh. Oleh suamiku tempat itu difungsikan sebagai ruang tunggu para sopir yang mengantar barang. Sambil menunggu, mereka bisa tiduran sejenak melepas lelah, apalagi di atasnya kami beri bantalan dengan busa tipis, jadilah pas buat tiduran. Aku masuk ke dalam sejenak untuk mengambil beberapa botol minuman dingin dan makanan kecil, lalu kuantarkan ke balai-balai tempat sopir dan kernetnya yang sedang istirahat.
“Silakan diminum Pak,” ucapku seraya meletakkan baki di meja kecil di samping balai-balai. Mereka menganggukkan kepala sambil tersenyum, lalu beranjak mengambil minuman.
Beberapa saat kemudian kulihat mas Rudi dan beberapa orang tenaga angkut datang. Dengan mobil pick-up, kulihat ada enam orang di bak belakang.
“Ini surat dari penjualnya Mas,” sambutku sambil menyerahkan surat itu.
“Yup, terima kasih,” jawab mas Rudi setelah menerimanya dan langsung membukanya.
“Ayo... ayo... diturunkan!” seru mas Rudi kepada para tukang angkut, mereka segera menuju truk dan membuka tali yang mengikat barang-barang di dalamnya. Dengan cekatan karena sudah terlatih dan terbiasa, mereka menurunkan barang-barang itu satu demi satu. Barang-barang itu berupa mebel bekas. Bisnis mas Rudi memang merenovasi mebel bekas dan memolesnya agar tampak bagus dan siap pakai. Meski harga jualnya tentu jauh dari yang baru tapi bisnis ini cukup menjanjikan. Lumayan banyaklah orang yang membeli barang-barang kami, mungkin karena harganya terjangkau.
Mas Rudi meneliti tiap barang yang turun dengan memberi tanda silang di nota pengantar barangnya. Dia memang selalu hapal dengan barang-barang yang dia beli.
“Barang-barang itu diletakkan berjajar di dalam gudang ya,” seru dia lagi kepada para tukang.
“Ya Pak,” jawab mereka serempak, tampaknya mereka sudah mengerti betul keinginan mas Rudi. Saat mereka sibuk menurunkan barang, aku mengambil botol minuman dingin dan makanan kecil yang lain untuk para tukang itu. Setelah urusan menurunkan barang selesai, mas Rudi menghampiriku untuk mencocokkan nota pengantar dan nota pembelian yang aku pegang.
“Semua barang sudah sesuai, Dik Yuni sudah menyiapkan uangnya?” tanya dia kepadaku. Aku mengangguk dan menyerahkan sejumlah uang ke mas Rudi untuk pembayaran jasa para tukang dan jasa truknya.
Setelah urusan pembayaran selesai, aku dan mas Rudi masuk ke gudang untuk melihat barang-barang yang sudah berjajar rapi. Dilihat dari daftar yang tadi sempat kubaca ada sekitar limabelas jenis barang. Di paling ujung dekat pintu, ada lemari brangkas besi. Tidak terlalu besar sih... tapi jelaslah kalau berat banget, tadi para tukang sampai meringis menurunkan dan memasukkanya. Sayangnya kunci kombinasinya sudah rusak, jadi mirip lemari biasa saja. Selanjutnya aku melihat sebuah meja rias oval yang cukup besar.
“Wah... meja rias ini lumayan bagus tuh,” ucapku seraya memalingkan muka ke arah suamiku.
Dia tersenyum, katanya “Memang sih, peninggalan jaman Belanda katanya. Tapi jangan dipakai... nggak cukup buat ruang tidur kita,”
Aku tertawa kecil mendengarnya, ya aku memang kadang mengambil beberapa barang untuk dipakai sendiri. Setelah diperbaiki dan divernis ulang barang-barang itu menjadi kelihatan cantik. Meja rias yang ada di kamar kami juga aku ambil dari gudang ini. Sebenarnya meja rias oval yang ada di depanku ini lebih bagus kwalitasnya dan tampak mewah bila nanti sudah diperbaiki... aku bisa membayangkan. Mejanya berbentuk oval, ada laci-laci kecil di sebelah kiri dan kanan. Di kakinya ada ukiran sulur-sulur daun dan bunga yang senada dengan kaki pigura cermin yang menempel di sisi depan meja. Pigura itu juga berbentul oval dan bisa digerakkan maju mundur. Sayang beberapa ukiran sudah rusak dan terlepas. Cermin bevelnya pun tampak kusam dan bernoda. Juga handel di laci-lacinya sebagian juga sudah hilang. Tapi itu semua tergolong kerusakan kecil dan bisa diperbaiki. Yang pasti tidak perlu merombak terlalu banyak.
“Hayooo... mau ngambil ya?” gurau mas Rudi sambil menepuk bahuku.
“Ah, nggak lah, meja ini terlalu besar bila ditaruh di kamar kita. Aku cuma membayangkan saja, bila sudah diperbaiki pasti tampak bagus... mmhm... bisalah aku tawarkan ke teman-teman arisanku.”
“Kalau itu aku setuju!” jawabnya
“Komisinya loh...” candaku.
“Hahaha... iyalah. Komisinya nanti gedhe... jadi bisa buat bayar tagihan listrik, pam, telp...”
“Huuuu... sama aja dong!” potongku cepat.
Kami tertawa bersama. Lalu kami melanjutkan melihat barang-barang yang lain. Ada almari pakaian yang lumayan usang, ada kursi-kursi rotan yang rotannya sudah pada rusak... juga ada sebuah piano? Aku tertegun melihatnya, beneran nih mas Rudi membeli piano bekas? Buat apa? Kayaknya selama ini mas Rudi selalu membeli barang yang fungsional alias bisa digunakan untuk rumah tangga. Kok ini piano rusak?
“Ini...” aku menunjuk piano itu dengan wajah penuh tanda tanya.
“Ooh... ya, itu piano tua yang bisa dibilang antik.”
“Tumben Mas beli?” tanyaku setengah menyelidik.
“Aku beli karena sudah ada yang mau,” lanjutnya “Pak Warjo yang pedagang barang antik itu sudah mau membelinya. Aku kan telpon dia dulu menggambarkan bagaimana barangnya. Dan dia setuju tuh untuk mengambilnya.”
Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasannya, ya syukurlah kalau sudah ada yang mau membeli piano ini. Karena biasanya barang yang laku adalah barang yang bisa dipakai. Kalau mau stock barang kayak piano ini... wah repot. Kata orang uang berhenti!
Kulihat lagi piano tua itu. Sepertinya tidak ada istimewanya... atau aku kali yang tidak mengerti kriteria barang antik. Bahkan tuts-tuts nya sebagian sudah rusak dan sebagian lagi nggak ada. Memang sih secara keseluruhan piano ini tampak kokoh dan tampaknya dikerjakan dengan halus dan teliti. Kesan mewah masih bisa dirasakan meski piano itu rusak disana sini.
“Bingung ya lihat piano rusak ini?” ledek suamiku.
“Aku juga bingung kok awalnya, bagaimana bisa pak Warjo berani menerima hanya dengan mendengar penjelasanku via telpon. Dia nggak lihat sendiri loh. Makanya piano itu aku foto melalui handphone dan kukirim ke dia... buat meyakinkan aja. Rugi lah kalau terlanjur beli tapi nggak bisa melemparnya,” panjang lebar mas Rudi menjelaskan kepadaku.
“Mmhmm..” aku bergumam.
“Terus, perbaikannya bagaimana?” tanyaku.
“Tidak perlu perbaikan. Pak Warjo maunya mentah begini aja. Takut kesan antiknya hilang. Malah kebetulan kan?” jawabnya setengah bertanya.
Aku mengangguk-angguk, seraya berkata, “Iya lah yang penting bisa jadi duit.”
“Ini pak Warjo lagi di luar kota, mungkin seminggu lagi bisa kesini buat ambil piano ini,” kata suamiku lagi, tapi aku tidak begitu hiraukan karena selain tidak tertarik dengan piano itu, mataku juga melihat sebuah box bayi cantik yang ada di sebelah piano.
“Eh lihat nih... ada box bayi... lucu ya!”
“Sayang anak kita sudah gede...” timpal suamiku setengah menyindir.
“Iya... iya... aku kan nggak bermaksud mengambilnya. Feri, anak kita kan sudah besar... Aku cuma bilang box bayi dari kayu ini lucuuuuu,” sungutku sambil memajukan bibir.
Anak kami satu-satunya memang sudah besar dan sekarang sudah kuliah semester tiga serta kost di kota lain. Mungkin kalau anak kami masih bayi... heheheh... box itu pasti kuambil.
Sambil berjalan berkeliling gudang, kami ngobrol membicarakan barang-barang tersebut. Tak terasa hari sudah menjelang petang. Hari itu hari Minggu jadi gudang sepi tanpa pekerja. Setelah mengunci pintu depan dan belakang gudang, kami berdua berjalan menuju rumah kami yang terletak di sebelahnya.
Memang lebih enak punya bengkel kerja dekat rumah, selain mudah memantaunya juga bisa ditinggal mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain. Terlebih suamiku, kalau pas tidak banyak pekerjaan dan tidak ada janjian sama pembeli kadang dia menyelinap pulang untuk tidur sebentar di rumah.
Kalau aku sih cuma mengurusi administrasi ringan, keuangan dan konsumsi para pekerja. Dibantu seorang staff perempuan dan dua orang juru masak, membuatku tidak terlalu sibuk mengurusnya, masih adalah waktu luang buat diri sendiri. Hanya saja rumah dan tempat kerja yang satu lokasi membuat suasana seperti tidak sedang bekerja, apalagi usaha itu juga kami jalankan berdua.
Malam itu aku menonton sinetron kesukaanku, sedang suamiku sudah keluar untuk tugas ronda dan seperti yang sudah-sudah dilanjutkan ngobrol di pos, biasanya nanti jam dua dini hari dia pulang kembali. Malam pun merambat, aku mulai merasa mengantuk. Kumatikan televisi. Setelah mengontrol pintu dan jendela apakah sudah dikunci, aku ke kamar tidur. Kurebahkan badanku dan tak seberapa lama akupun tertidur.
Setengah mengantuk tiba-tiba aku mendengar suara denting piano, meski pelan tapi cukup terdengar. Kucoba membuka mata meski terasa berat, lalu kutajamkan telingaku, memang ada suara piano. Ah... tetangga punya piano baru kali, begitu pikirku. Gila malam-malam begini kok ya berlatih main piano. Nggak terlalu keras sih tapi suasana malam yang sepi membuat suara-suara begitu jelas.
Kulihat jam dinding, sudah menunjuk pukul satu lebih beberapa menit. Akupun mencoba untuk tidur kembali, tapi aku terjaga lagi setelah mendengar suara pintu yang dibuka. Kuambil jaket lalu keluar kamar menuju ruang depan, benar saja... suamiku sudah masuk dan mengunci kembali pintunya.
“Loh belum tidur?” kata suamiku begitu melihatku ada di ruang depan.
“Nggak bisa tidur Mas, apalagi ada tetangga yang memainkan piano malam-malam. Emang siapa sih yang punya piano baru?” kataku.
“Piano?” seru suamiku kaget, “Kayaknya aku tidak mendengar suara piano tuh? Ah mungkin suara dari televisi yang lupa dimatikan ya?”
Aku menggeleng. Aku tahu pasti aku sudah mematikan televisi.
“Ah... ya... mungkin saja!” jawabku pendek. Aku tidak mau memperpanjang, sudah malam. Apalagi kulihat suamiku juga sudah kelihatan lelah ingin tidur. Aku sendiri juga masih mengantuk. Kami berdua lalu berjalan menuju ruang tidur. Sebelumnya mas Rudi mencuci muka dan menggosok gigi lalu menyusulku ke ruang tidur. Entah mengapa mataku sulit sekali dipejamkan, padahal rasa kantuk mulai menyerangku. Kulihat mas Rudi di sebelahku sudah tidur nyenyak. Aku merasa yakin bahwa tadi aku mendengar suara denting piano.
Tapi... ah entahlah.
Aku bangun, dan kulihat mas Rudi sudah tidak ada. Kudengar suara-suara yang cukup ramai dari arah gudang. Kutengok jam dinding, gilaa... aku benar-benar bangun siang. Setelah merapikan peraduan kami, aku bergegas mandi dan setelah itu mengecek dapur. Kulihat mbok Darmi dan mbok Enok sedang sibuk memasak buat tukang-tukang nanti siang.
“Masak apa Mbok?” tanyaku basa-basi karena sebenarnya aku sudah tahu menunya. Kan aku sendiri yang bikin daftar menu untuk seminggu ke depan.
“Sayur asam Bu,” jawab mbok Darmi pendek sambil terus meneruskan memotong-motong sayuran. Sedang mbok Enok sibuk mencuci potongan ayam yang akan dibuat ayam goreng.
“Ya sudahlah, aku mau menengok gudang sebentar ya!” kataku pada mereka berdua.
Aku kembali ke kamar buat berganti pakaian yang pantas untuk urusan pekerjaan, tapi ternyata mas Rudi sudah ada di dalam kamar.
“Kirain masih tidur!” ledek suamiku sambil tersenyum.
“Semalam aku pusing Mas, jadinya nggak bisa tidur,” jawabku sedikit berbohong.
“Oh... kalau masih sakit ya tidur saja dulu dan minum obat,” lanjut mas Rudi
“Ah nggak juga... sudah mendingan kok. Tidur terus malah tambah pusing!” jawabku kembali
“Ini loh, Fitri –staff administrasi kita– sedang tidak masuk karena anaknya sakit. Aku perlu melihat daftar pembelian dari pak Suratman. Bisa bantu?”
“Tentu dong, sebentar aku ganti baju dulu nanti aku ke gudang.”
“Oke. Aku tunggu di gudang ya?”
Setelah berganti pakaian aku bergegas menuju gudang. Kulihat para pegawai sedang memperbaiki barang-barang. Aku langsung menuju ruang kantor yang terletak agak di tengah, kubuka pintunya dan kututup kembali agar debu-debu tidak masuk ruang kerja. Kutarik laci almari file dan kucari filenya pak Suratman. Kok tidak ada ya? Apa Fitri lupa mengembalikan? Kucoba mencarinya di tumpukan file di meja. Ternyata memang ada, pantesan mas Rudi memintaku mencarikan file itu... lha tidak di tempatnya sih. Suamiku itu memang paling malas mencari file administrasi. Dengan membawa file aku bergegas keluar menemuinya. Kulihat dia sedang sibuk memberi pengarahan kepada seorang tukang. Kutunggu dia sampai selesai lalu menghampirinya.
“Ini filenya Mas, memangnya ada apa sih?” tanyaku sambil menyerahkan file itu.
“Itu loh... ada barang yang mau minta tukar.”
“Lah... kan tidak boleh ada tukar barang,” protesku.
“Iya sih, tapi aku sudah terlanjur janji, untuk kursi taman ini,” jari suamiku menunjuk tulisan di nota pembelian, “Bisa ganti asal harganya sama atau lebih. Yaah pelanggan lama...”
“Ya sudah kalau memang ada persetujuan dari awal,” lanjutku, “Jadi nanti pak Suratman mau datang ya?”
“Mungkin minggu ini, kepastiannya nanti dia mau telpon dulu, sudah ini saja dulu mungkin kamu ada pekerjaan lain.”
“Yup... Aku mau ke rumah sebentar untuk lihat urusan dapur!”
Akupun lalu ke arah depan untuk kembali ke rumah, tapi tiba-tiba mataku tertuju ke arah piano tua itu. Ada perasaan aneh menyergapku. Kuhampiri sejenak piano itu dan kuamati sekilas, aku tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar. Lalu aku mencoba memainkannya, kutekan tuts tuts dengan jari-jari kedua tanganku. Tidak ada suara apapun bahkan ada tuts-tuts yang seperti macet tidak mau ditekan. Namun tiba-tiba tanganku seperti kaku, kurasakan seperti ada sepasang tangan yang memaksaku tidak melepas tuts-tuts itu. Semakin keras aku mencobanya semakin aku merasa kaku untuk melepasnya. Keringat dingin pun membasahi tubuhku.
“Hai... kenapa kamu?” tanya suamiku sambil melepaskan tanganku dari tuts-tuts itu.
“Eh... ah... aku... aku!” aku tidak bisa berkata apa-apa.
“Piano ini tidak bisa dimainkan, kan sudah rusak,” kata suamiku.
“Ah cuma buat candaan aja kok!” jawabku menutupi kegugupanku. Sebenarnya aku ingin menceritakaan kejadian yang baru saja kualami kepadanya, tapi aku sendiri tidak yakin... itu benar ataukah cuma ilusiku semata, apalagi di gudang ini banyak orang dan di siang hari pula. Takutnya mereka tidak percaya dan malah menertawakanku.
“Tapi nggak lucu ah. Malu kan dilihat tukang-tukang!”
Aku terdiam, tapi juga merasa lega karena tanganku sudah terlepas dari piano itu.
“Masih seminggu lagi ya pak Warjo mengambil piano ini?” tanyaku berbasa-basi. Untuk mencairkan suasana.
“Nggak sih, katanya besok dia sudah pulang. Rencana keluar kotanya dibatalkan. Malah bagus kan? Lebih cepat dapat uang!”
Kami berdua tertawa. Syukurlah piano itu segera diambil. Ketika aku keluar kutengok sebentar ke arah piano itu, ada perasaan takut menyergapku.