Thursday, April 22, 2021

Hantu Pengiring Orang Meninggal

Sumber Gambar : https://s.kaskus.id/r540x540


Aku tinggal di sebuah kampung, tepatnya di daerah Cimahi. Letak desaku yang masih jarang rumah, boleh dibilang membuat orang kadang merasa takut bila keluar malam.

Kejadian yang aku alami ini terjadi sekitar satu tahun yang lalu. Suatu hari ada berita yang cukup menggemparkan. Salah satu warga dari desaku meninggal dunia karena kecelakaan kendaraan di Jakarta dan langsung di bawa pulang ke kampung halaman yaitu di desaku ini.

Sejak ada kabar itu rasanya suasana di desaku berubah menjadi mencekam dan pada sore harinya jenazah tersebut datang di rumah kediaman dan jenazah diinapkan karena suatu alasan.

Banyak warga yang datang melayat dan menunggu jenazah itu sambil mengirim doa, dan sampailah pada siang harinya yaitu setelah selesai persiapan sebelum jenazah dikuburkan.

Jenazah digotong oleh empat orang, dua di depan dan dua di belakang. Mereka saling bergantian dengan yang lainnya dan banyak yang mengiringi jenazah tersebut sampai ke pemakaman.

Usai upacara pemakaman selesai, aku pun segera pulang ke rumah karena sudah janji dengan pakdhe mau ke rumah saudara yang sedang punya hajat. Sampai di rumah ternyata pakdhe sudah menungguku.

“Lho, Pakhde sudah siap... tadi tidak ikut upacara pemakaman ya?” tanyaku.

“Tadi pakdhe tidak ikut sampai pemakaman, pakdhe sudah sejak dari pagi bantu-bantu di rumah duka, jadi begitu usai upacara di kediaman rumah duka, pakdhe langsung pulang.” jawab pakdhe.

“Sudah segera mandi dan siap-siap terus berangkat, nanti keburu sore.” lanjut pakdhe menyuruhku segera mandi bersiap-siap.

“Siap, Pakdhe...” jawabku sambil bergegas ke kamar mandi.

Siang itu aku dan pakdhe segera berangkat ke rumah saudara yang sedang punya hajat, agar pulangnya nanti tidak kemalaman. 

Pada malam harinya suasana terasa sepi, tidak seperti malam-malam sebelumnya, sekitar jam dua malam aku dan pakdhe baru pulang dari rumah saudara kami yang punya hajat pernikahan, dan kebetulan tapi lebih tepatnya bukan kebetulan karena memang jalannya harus lewat depan rumah tempat orang meninggal yang tadi siang dikuburkan. Ketika itu, aku dan pakdhe hanya berjalan kaki.

Setelah melintasi rumah almarhum itu, pakdhe seperti mendengar suara orang di belakangnya dan jumlahnya banyak serta mengucapkan lafal laillahaillallah.

“Ssst. kau dengar suara itu?” tanya pakdhe sambil menoleh ke belakang

“Tidak Pakdhe... suara apa?” jawabku kebingungan dan spontan aku juga ikut menoleh ke belakang. Tapi tidak ada apa-apa sama sekali.

“Suara lafal laillahaillallah... sudah... sudah... ikuti pakdhe saja, nanti aku ceritakan.” jawab pakdhe sambil menggandengku agar mengikuti langkahnya.

Begitu sampai di depan rumah kami (rumahku dan rumah pakdhe saling berdampingan), aku mau berbelok menuju rumah. Tapi aneh, pakdhe tetap menggandengku untuk terus berjalan ke arah penghujung perbatasan desa.

“Pakdhe... kita mau...” tanyaku belum selesai dan sudah dipotong pakdhe

“Ssst... sudah... sudah ikuti pakdhe saja, nanti pakde cerita.” jawab pakdhe

Aku pun mengikuti kemana pakdhe melangkahkan kaki. Setelah sampai di penghujung perbatasan desa, Pakdhe pun membelokkan langkahnya dan berjalan menuju arah rumah kami.

Di dalam perjalanan menuju rumah kami, pakdhe pun menceritakan kenapa kami harus berjalan dulu hingga sampai perbatasan desa. Ternyata ketika pakdhe mendengar lafal laillahaillallah dalam perjalanan tadi, dan setelah pakdhe menengok ke belakang terlihat sejumlah orang sedang menggotong keranda jenazah dan yang mengiringinya.

Namun kata pakdhe, beliau teruskan perjalanan pulang dengan jantung yang terus berdebar kencang. Rasa takut yang mengiringi beliau mungkin sangat memberatkan langkah kakinya. Hal ini dikarenakan pakdhe melihat hantu pengiring jenazah. Dan konon kabarnya bahwa jika ada kejadian melihat hantu pengiring jenazah harus diantar ke penghujung atau perbatasan desa. Alasannya adalah biar tidak ada yang meninggal di desa itu.

Dan ternyata benar dengan langkah yang berat pakdhe terus berjalan menghantarkan rombongan jenazah itu sampai ke batas desa. Padahal rumah kami sudah terlewati. Setelah sampai di batas desa tepatnya di perempatan, kami pun membelokkan langkah menuju rumah kami dengan melewati jalan lain. Sedangkan, rombongan hantu pengiring jenazah itu pun terus berjalan menuju desa tetanggaku

Dan yang membuat misteri ini terbukti kebenarannya yaitu keesokan harinya ada orang meninggal di desa tetanggaku yang di tuju rombongan hantu pengiring jenazah itu.


Wednesday, April 21, 2021

Hantu Tanpa Kepala Penghuni Villa

Sumber Gambar : data:image/jpeg;base64 (Gambar Hanya Ilustrasi)


Aku adalah anak tunggal dari keluarga Joyokusumo. Sejak kecil aku tinggal di Bogor. Ayahku sendiri seorang pengusaha sukses yang lumayan cukup dikenal dan disegani didaerahku. Ayahku juga mengelola perkebunan teh dan kopi. Dua minggu sebelum ayah meninggal, ia sempat membeli sebuah villa di puncak. Sehingga ayah belum sempat mengajak aku dan ibuku mengunjungi villa tersebut. Baru kali ini lah aku dan ibuku bisa mengunjungi villa tersebut dengan diantar pak Anwar, seorang notaris yang juga karyawan ayahku. 

Sebuah villa megah yang dibangun pada abad 19 dan digambarkan sebagai warisan pemerintahan kolonial Belanda. Sebuah villa yang pernah ditinggali oleh seorang direktur perkebunan milik kolonial yang sangat berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada di atas ketinggian 1900 meter dari permukaan laut.

Luas tanah villa itu sekitar dua hektar dengan tanaman lengkeng di sekelilingnya. Lengkeng itu secara rutin berbuah dan dimanfaatkan oleh kang Cecep, perawat villa sebagai mata pencarian sampingan.

Kang Cecep sudah berkerja di villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Hingga villa dibeli ayahku, kang Cecep tetap bekerja mengurusi villa itu. Kini kang Cecep sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga villa itu. Berdasarkan cerita dari pak Anwar, kang Cecep itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.

Ayah dan kakeknya sangat dikenal di daerah itu sebagai ahli pengobatan tradisional dan punya daya linuwih. Begitupun dia. Oleh karena itu, pak Anwar menyarankan agar aku tetap mempekerjakan kang Cecep di villa peninggalan ayahku itu.

“Selain merawat Villa, kang Cecep juga merawat seluruh tanaman yang ada dan akan memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik villa!” kata pak Anwar.

Sesuai saran pak Anwar, sebagai ahli waris sah pemilik villa itu, aku menyutujuinya. Kang Cecep kami panggil ke ruang tamu dan membicarakan tentang niat kami itu. Kang Cecep nampaknya sangat senang mendengar keputusan itu dan dia berjanji akan merawat villa dan kebun kami dengan baik.

Bahkan aku meminta kang Cecep membuka lahan baru untuk tanaman jeruk siam yang bibitnya sudah kami miliki. Kang Cecep berjanji akan merawat jeruk hingga berbuah lebat.

“Saya punya pengalaman cukup bertanam jeruk!” kata kang Cecep, sambil menggambarkan bahwa dia sempat belajar pertanian jeruk di Tebinggerinting Ogan Ilir, Sumatera Selatan selama tiga bulan.

Kang Cecep ternyata tidak sendirian bekerja di villa itu. Lelaki tua tapi tetap kelihatan segar itu dibantu oleh tiga anak dan dua orang menantunya. Setiap hari secara bergiliran mereka membersihkan villa dan menyiangi rumput di perkebunan villa itu.

Suatu hari, mang Udin, 41 tahun, menantu kang Cecep mengantarkan saya keluar villa menuju mobil. Mang Udin membawakan mesin Jet pump yang rusak dan akan kami betulkan di kota. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, mang Udin memberanikan diri bicara kepadaku.

“Pak, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya mang Udin sangat santun. 

Setelah terkesima sedikit, aku pun memperbolehkan mang Udin bicara. Dengan agak gugup sedikit menantu kang Cecep itu menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak mengenai villa ini. 

“Tahu tentang apa, Mang?” tanyaku penasaran. 

“Maaf Pak, Bapak bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?” tanya mang Udin lagi.

Setelah kujawab tidak takut, mang Udin pun menceritakan bahwa villa itu terkenal sangat angker dan mengerikan bagi warga di daerah itu. Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sukiman itu, kata mang Udin, memang bukan karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu. Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman villa. 

“Hantu tanpa kepala keluar dari halaman villa?” desakku, makin penasaran. 

“Iya Pak, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni villa milik Bapak ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu di saat bulan sangat terang dan besar!” katanya.

Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Mang Udin itu. Jujur saja, batinku sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita mang Udin itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu berwujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup.

Sebagai pemeluk agama yang kuat, aku percaya bahwa ada makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak yakin bahwa hal itu bisa terjadi.

Maka itu, ketika aku mendengar cerita mang Udin aku tidak bisa menahan tawaku. Mang Udin jadi terlihat malu dan menundukkan kepalanya. 

“Mang Udin, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala buntung. He... he... he! Ada-ada saja kamu ini Udin!” candaku.

Mendengar ucapanku itu, Mang Udin terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya. 

“Maaf Pak, saya barangkali telah melakukan sesuatu kesalahan terhadap Bapak. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti Bapak, tapi ingin agar Bapak tidak kaget bila selama tinggal di villa ini ada hal yang aneh-aneh!” tukas mang Udin, lirih.

Kukatakan pada Mang Udin bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada mang Udin, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan sering menampakkan diri. 

“Bahwa ada orang yang melihat sesuatu yang aneh, orang yang melihat itu pastilah halusinasi. Melihat daun pisang bergoyang, eh... dikira hantu! Begitulah kira-kira!” ucapku pada mang Udin, yang akhirnya aku menstarter mobil dan melesat ke turunan 80 derajat di depan villa. 

Satu bulan kemudian, aku mengajak ibuku, istri, dan kedua anakku pergi ke villa itu. Erica dan Erico, kedua anak kembarku kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa peninggalan kakeknya. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Erica dan Erico mengajak teman-temannya.

Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan menuju Puncak, Bogor. Erica dan Erico memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian membawa mobil Nissan Terrano. 

Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua sudah sampai di villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk. Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Erica dan Erico termasuk mereka untuk bahu membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di Terrano yang aku bawa.

Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 14:00 kami makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua teman Erica dan Erico sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. Kang Cecep dan anak mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bersama dengan kami walau tidak semeja.

Habis makan, Monica, teman kuliah Erica bermain piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke villa setelah aku beli di Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku memang senang bermain piano, walau aku tidak piawai memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksiku sejak masih muda.

Karena suara piano dan semua bernyanyi, villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang dan bercanda gila-gilaan di kolam.

Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai pemanas udara yang sangat dingin. Sementara anak mantu kang Cecep, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua masuk ke kamar tidur.

Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur bersama istriku. Namun entah mengapa aku tak dapat memejamkan mata. Entah karena malam Jum’at Pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak dapat terpejam. 

Tidak terasa, jam di meja sofa menunjukkan angka 01:20 dini hari. Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening dan sepi menyelimuti malam di villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. Pemandangan luar malam itu begitu indah.

Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke tulang belulangku dan mencubit-cubit. 

“Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin hari ini,” kataku.

Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku memanggil.

“Kang Cecep? Kang Cecep kah itu?” tanyaku. 

Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku.

“Kang Cecep?” desakku. 

Dalam hitungan beberapa detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api. 

“Ah, kemana orang itu?” batinku.

Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis menyayat relung batinku. Betulkah cerita mang Udin itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku. Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip.

Pada saat aku berpikir tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Erica dari kamar bawah. 

“Tolong, tolong, tolong!!!” teriak Erica itu sangat keras. 

Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Erica pucat pasi ketakutan. Erica langsung memelukku dengan tubuh bergetar.

“Hantu, hantu ayah, ada hantu di kamar saya!” pekiknya. 

“Apa? Kamu mimpi Rica, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu menampakkan diri?” kataku. 

“Lihat, lihatlah Ayah, hantu itu masih dalam kamar!” ujarnya. 

“Mari ikut ayah mana ada hantu di kamar ini. Ayo, ikut ayah!” ajakku, sambil menarik tangannya. 

Tapi Erica ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi. Lalu aku sendiri yang masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu. Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan manusia biasa.

Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya.

“Oh Tuhan!” pekikku. 

Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar, bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku. Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak kupercayai dari cerita mang Udin itu. Mang Udin benar, mang Udin betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup.

Semua penghuni villa pun terbangun. Pagi dini hari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala dan muka tercabik-cabik itu. Ibu dan istriku, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.

Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana. Aku berteriak keras memanggil kang Cecep di sebelah pagar Villa, tapi kang Cecep dan anak mantunya tidak mendengarkan suara kami.

Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai di sini saja, tak lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu. Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis.

Suara piano itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang terpotong. Aku kembali menutup mataku dan ibu, istri, dan kedua anakku.

Jujur saja, baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu tanpa kepala itu.

Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut. Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat.

Matilah kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding villa, aku mendengar suara kang Cecep mengeluarkan kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Cecep dan kang Cecep masuk dari pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Cecep kami peluk dan kami ceritakan apa yang kami temukan.

Kang Cecep langsung pucat pasi dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku. Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14 dan seharusnya, kata kang Cecep, menghindari villa di malam terang benderang itu.

“Karena Bapak baru memiliki villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut Bapak salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali Bapak barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa berwujud. Bukankah mantu saya mang Udin sudah menggambarkan hal itu?” lirih kang Cecep.

Sejak itu, aku percaya adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila Tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian, kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.

Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah direktur perkebunan milik kolonial, pemilik villa asal belanda yang mati dipotong lehernya oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah pak direktur menempati rumah perkebunan teh itu. Pak direktur yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.

Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwahnya selalu muncul dengan khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Hantu pak direktur terus-terusan menampakkan diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa tersebut.

“Hanya di malam itu dia muncul, malam lain tidak!” kata kang Cecep.

Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah itu muncul, dikatakan oleh kang Cecep, bahwa pembunuhan terhadap warga bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14, saat desa-desa di daerahku begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena pembunuhan mengerikan itu terjadi.

Jawara itu memotong kepala pak direktur hingga terlepas dari lehernya. Hingga sekarang, aku, ibu, istriku, dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke villa untuk menginap. Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak berani bersantai di villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan perkebunan dan tempat singgah di siang hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.


Bertemu Sinden Ayu

Sumber Gambar : https://encrypted-tbn0.gstatic.com (Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi)



Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.45. Saat itu aku berada didalam mobil dengan teman dekatku, Dewi. Seharian tadi aku menghabiskan waktuku bersama Dewi putar-putar ke Semarang, hingga tak terasa malam telah tiba. Kini saatnya aku mengantarnya pulang ke rumahnya di daerah Ungaran. 

Jarak antara Semarang ke Ungaran lumayan jauh. Malam itu jalanan ke Ungaran mulai agak sepi, hanya beberapa motor dan mobil yang berseliweran. Untuk mengurangi rasa sepi, aku nyalakan tape mobil dengan volume yang kencang. Setengah jam kemudian, aku melewati jalanan persawahan yang sepi. Sayup-sayup aku mendengar suara gamelan dan orang yang lagi nyinden. Semakin lama suara gamelan tersebut semakin keras aku dengar, padahal volume tape sengaja aku puter kencang hampir maksimal. 

“Dewi... kayaknya ada yang lagi punya hajatan ya,” tanyaku pada Dewi. 

Aneh, Dewi yang sedari tadi duduk disampingku sambil bernyanyi ngikutin suara tape mobil kok tiba-tiba diam, tidak merespon pertanyaanku. Aku mencoba mengulangi pertanyaanku pada Dewi.

“Dewi... dengar suara gamelan itu nggak??” tanyaku lagi. 

Tak ada jawaban dari Dewi. Karena penasaran Aku mencoba menengok ke arah Dewi.

“Ya ampuuun... ternyata Dewi dah tidur pulas, kecapekan kali seharian jalan,” gumamku dalam hati. Tiba-tiba... saat aku membalikkan mukaku ke arah depan... spontan langsung aku injak rem.

Cccciiiiiitttt... 

Hampir saja aku menabrak seorang perempuan yang tiba-tiba melintas. Perempuan dengan baju sinden lengkap dengan selendang merah... sekilas sinden perempuan itu menengok ke arahku dengan wajah ayunya. Namun, wajah ayu itu terlihat pucat pasi meskipun make upnya terlihat tebal.

Pada saat bersamaan, Dewi kaget dan terbangun.

“Ada apa, Mas... kok berhenti mendadak.” tanyanya padaku.

“Duh... hampir saja... hampir saja aku menabraknya...” jawabku.

“Siapa Mas? Nggak ada siapa-siapa gitu loh!!” kata Dewi

“Itu sinden... hhaa... kok hilang???” kataku.

Kemudian aku menceritakan suara gamelan dan sinden yang tadi aku dengar kepada Dewi.

“Ah masak sih Mas... di sini nggak ada kampung, mana ada orang ngadain hajatan di sini. Tuh di depan sana, baru perkampungan...” kata Dewi sambil mengajakku melanjutkan perjalanan.

“Aneh...” gumamku dalam hati sambil melanjutkan perjalanan...


Thursday, April 8, 2021

Perempuan Kesepian

Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi, Buan gambar kejadian sebenarnya.


Akhir-akhir ini aku merasa sangat kesepian, tidak ada teman bicara yang bisa aku ajak cerita dan bertukar pikiran, padahal aku ini termasuk perempuan yang pandai berbicara dan tidak membosankan. Sampai akhirnya malam ini ada wanita muda yang dapat aku ajak bicara.

“Malam,” sapaku pada wanita muda berambut pendek, berbadan cukup besar yang terbaring lemah di atas ranjang tidurnya.

“Malam,” jawabnya pelan. Suaranya mengingatkanku pada masa-masa lemahku dulu.

“Baru pindah ya?” tanyaku dengan penuh kelembutan sambil berjalan menuju tempat tidurnya.

“Iya tadi sore. Dua hari yang lalu baru beres melahirkan anak kedua,” katanya dengan nada menjelaskan. 

“Oooh begitu, pantas baru lihat. Bagaimana kondisi anaknya? Sehat?” lanjutku.

“Alhamdulillah perempuan, sehat, saat lahir 3 kg. Ibu habis melahirkan juga?” tanyanya dengan antusias sambil mengangkat badannya dari posisi tidur menjadi setengah duduk dialasi oleh bantal di punggungnya.

“Iya, anak saya juga perempuan…” Dan akhirnya perbincangan kami berlanjut sampai larut malam, tak terasa 20 menit berlalu sejak perbincangan awal kami.

“Ibu kamarnya dimana ya siapa tau nanti saya bisa lihat anaknya,” wanita muda itu memandangku dengan penuh semangat, seakan menemukan teman seperjuangan.

“Lah, saya kan sekamar sama ibu,” jawabku tersenyum.

“Oh, ya… di sebelah mana?” wanita itu bertanya seakan kebingungan mencari tempat tidur yang kosong di ruangannya. 

“Itu, di sana,” aku menunjuk kasur kapuk yang dilipat rapi di atas lemari tua sebelah ranjang kosong yang letaknya hanya beberapa petak dari tempat kami berada.

“Oooh…” terdengar suara kecil dari wanita muda yang raut wajahnya mulai pucat pasi seakan tidak ingin banyak bertanya lagi. Karena perasaanku tak enak, aku sudahi pembicaraan malam ini.

“Ya sudah Bu, izin pamit mau tengok anak dulu ya, sampai jumpa besok malam. Nanti mampir ya,” aku membalikkan badan sambil tersenyum singgung dan segera keluar dari ruangan itu. Aku tak berani membalikkan badan karena perasaanku benar-benar tak enak.

Malam berikutnya, wanita muda itupun hilang. Benarkan perasaanku tak enak? Aku kesepian lagi. Tak lama setelah aku meratapi nasib, ada beberapa suster yang melewati kamarku ini. Mereka berbincang dan berbisik. Aku sungguh tak suka itu. 

Suster 1: “Tadi pagi ada ibu melahirkan pindah lagi dari ruang ini, katanya semalam ibu itu berbincang bersama wanita yang katanya mirip sundel bolong, awalnya sih manis, eh pas balik badan punggungnya busuk.”

Suster 2: “Hiii… serem, jangan-jangan itu arwah penasaran perempuan yang meninggal karena melahirkan beberapa bulan yang lalu lagi? Dulu dia kan kamarnya disini.”

Suster 1: “Eeeeh udah ah, jadi merinding, yuk ah jangan lama-lama disini.”

Hm benar kan, perasaanku tak enak. Padahal aku tak pernah berniat jahat kepada mereka semua, aku hanya ingin ada teman bicara. Sejak beberapa bulan yang lalu setelah kematianku karena pendarahan ketika melahirkan, aku benar-benar kesepian. Suamiku pergi, anakku ikut dengan suamiku. Aku disini, sendiri. Tidak bisa keluar. Tolong siapapun, temani aku.


Wednesday, April 7, 2021

Misteri Angka 13


Seorang perempuan muda melihat jam di pergelangan tangannya, ketika dia menyadari ada seseorang tengah menggumamkan sesuatu di belakangnya. Perempuan muda itu berbalik. Dan menemukan seorang perempuan paruh baya duduk di bangku dia berdiri. Perempuan muda itu melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 12:45. Tak siapapun lagi di sana selain mereka berdua.

Wanita itu sangat aneh, pikir gadis itu. Wanita itu berumur 40-an dan duduk dengan tidak tenang. Dia menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan ke belakang sambil bergumam, “13...13...13...”.

Gadis itu bisa melihat kalau wanita itu terlihat agak “stress,” bahkan mungkin gila. Dia berniat untuk mengacuhkan saja wanita itu. Namun wanita itu terus saja bergumam, “...13...13...13...”

Lama-kelamaan gadis itu menjadi penasaran. Dia bangkit dari kursinya dan menghampiri wanita itu.

 “Ibu, apa yang sedang ibu hitung?”

Wanita itu tak menjawab, bahkan tak menatap gadis itu. Ia hanya terus bergumam, “....13...13..13....” 

Gadis itu melihat di sekitarnya, mencoba mencari tahu apa yang sedang wanita itu hitung. Di saat yang sama, gadis itu heran. Jika ia memang menghitung sesuatu, mengapa angkanya selalu sama.

Kemudian terdengar suara kereta datang. Tiba-tiba saja wanita itu menerjang gadis muda dan mendorongnya ke arah rel.

“Aaaaaa!!!” teriak gadis itu, namun terlambat. 

Kereta yang melaju kencang itu terlanjur menyambar tubuhnya. Warna merah dari darah gadis itu bercipratan hingga ke dinding dan kursi-kursi di stasiun itu. Wanita itu kembali duduk seolah tak terjadi apa-apa dan mulai bergumam. 

“...14....14...14...”


Wanita Bersandal Mawar Merah


Sumber Gambar : http://3.bp.blogspot.com

(Gambar hanya sebagai ilustrasi, bukan orang atau tempat yang sebenarnya)


Di akhir masa kerajaan Mesir Kuno, hanya beberapa dekade sebelum kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Persia, kerajaan Mesir diperintah oleh seorang Fir’aun bernama Amasis.

Amasis menyadari bahwa kerajaannya dalam bahaya menghadapi invasi Persia dibawah pimpinan Cyrus yang saat itu mendominasi dunia, oleh sebab itu untuk memperkuat negaranya ia menjalin aliansi dengan Yunani dengan menyambut sebanyak mungkin warga Yunani yang hendak menetap maupun berdagang di Mesir. Amasis bahkan memberikan sebuah wilayah yang bernama Naucratis buat para pemukim Yunani untuk menjadi wilayah mereka sendiri.

Di Naucratis yang tak jauh letaknya dari muara sungai Nil yang mengalir ke laut di Canopus hiduplah seorang pedagang kaya dari Yunani yang bernama Charaxos, dan ia berasal dari Pulau Lesbos di Yunani. Penyair wanita terkenal Sappho adalah saudarinya, namun ia lebih banyak menghabiskan usianya dengan berdagang di Mesir dan di masa tuanya ia bermukim di Naucratis.

Pada satu hari Charaxos tengah berjalan di sebuah pasar dan melihat ada keramaian dimana orang-orang berkumpul di tempat jual beli para budak. Karena rasa keingintahuannya yang cukup besar membuat ia melangkahkan kakinya menuju keramaian tersebut dan ia melihat bahwa orang-orang di sana tengah memperhatikan seorang wanita yang sangat cantik yang dikurung dalam sebuah kerangkeng dari batu untuk dijual.

Wanita tersebut tampaknya seorang wanita dari Yunani karena kulitnya yang putih dan pipinya yang merona seperti bunga mawar yang merekah, Charaxos hanya bisa menahan nafas karena ia tidak pernah melihat wanita secantik itu sebelumnya. Akibatnya ketika proses lelang dimulai, Charaxos bertekad bahwa ia harus memenangkan lelang tersebut untuk dapat membeli sang wanita tersebut. Karena ia adalah pedagang terkaya di antara semua pedagang di Naucratis, ia berhasil memenangkan proses lelang tersebut tanpa banyak kesulitan.

Setelah berhasil membawa wanita tersebut pulang, Charaxos mengetahui bahwa sang wanita bernama Rhodopis yang mengaku bahwa ia telah diculik oleh segerombolan bajak laut dari rumahnya di daerah utara Yunani saat ia masih kecil. Lalu gerombolan penyamun laut tersebut menjualnya pada seorang pria kaya di pulau Samos yang memiliki banyak budak.

Rhodopis tumbuh besar di pulau tersebut, ia mempunyai seorang sahabat yang juga budak, seorang pria bertubuh kecil dan wajahnya jelek bernama Aesop. Aesop sangat baik hati dimana ia sering menceritakan kisah-kisah memikat seperti dongeng tentang burung-burung, binatang dan manusia kepada Rhodopis.

Namun ketika Rhodopis telah menginjak usia dewasa sang tuan ingin memperoleh uang dengan jalan menjual sang gadis ke Naucritus untuk dibeli oleh pria-pria kaya di sana.

Charaxos mendengarkan kisah sang gadis dengan seksama dan merasa sangat kasihan dengan nasib sang gadis. Charaxos menjadi tergila-gila pada Rhodopis, ia memberikan rumah yang sangat indah pada sang gadis dengan sebuah taman di tengah-tengah rumah tersebut, ia juga memberikan Rhodopis budak-budak wanita untuk dijadikan dayang-dayang yang siap untuk melayani sang gadis serta selalu memberikan hadiah baik itu perhiasan maupun pakaian yang mewah dan memanjakan Rhodopis seolah-olah ia adalah putrinya sendiri.

Pada suatu hari terjadi kejadian yang aneh dimana Rhodopis tengah mandi di kolam marmer di taman rahasia yang terdapat di tengah-tengah rumahnya. Para budak wanita memegangi pakaian sekaligus menjaga perhiasan Rhodopis termasuk sandal mawar merah kesayangannya. Rhodopis bermalas-malasan di kolam yang diisi oleh air dingin di panas hari yang sangat terik di Mesir, apalagi dibagian Utara Mesir yang sangat panas.

Tiba-tiba ketika semuanya tampak menjadi tenang dan damai, seekor elang datang menukik turun dari langit biru yang jernih menyerang kumpulan budak-budak yang tengah berada di tepi kolam, para budak wanita tersebut menjerit ketakutan dan menjatuhkan semua yang mereka pegang, mereka melarikan diri untuk bersembunyi di antara pepohonan dan bunga-bunga yang ada di taman tersebut.

Rhodopis pun bangkit dari kolam dan berdiri dengan punggung membelakangi pancuran kolam marmer tersebut, ia menatap dengan mata yang melebar karena kaget. Sang elang tidak memperdulikan seorangpun, namun ia hanya menukik dan mengambil sebelah pasang dari sandal mawar merah milik Rhodopis kemudian melambung tinggi ke udara dengan sayapnya yang besar dan dengan mencengkram sandal tersebut ia terbang ke selatan ke lembah di atas sungai Nil.

Rhodopis pun sedih dan menangis karena kehilangan sebelah pasang sandalnya karena ia yakin bahwa ia mungkin tidak akan mendapatkan lagi pasangan sandalnya tersebut, dan juga menyesal karena ia telah kehilangan barang berharga yang telah diberikan oleh Charaxos kepadanya.

Namun sang elang tampaknya seperti telah dikirim oleh para dewa, mungkin oleh Horus yang mana ia juga dilambangkan sebagai seekor burung. Burung tersebut terbang lurus mengikuti sungai Nil menuju Memphis, lalu burung tersebut menukik turun menuju ke istana.

Pada saat itu sang Fir’aun tengah berada di ruang pengadilan untuk mengadili rakyatnya maupun mendengarkan keluhan-keluhan yang diajukan oleh rakyatnya. Sang elang turun dan menukik serta tiba-tiba menjatuhkan sandal milik Rhodopis di pangkuan sang Fir’aun.

Rakyat yang tengah berkumpul memekik dan ketakutan menyaksikan hal tersebut karena seekor elang tiba-tiba menukik turun ke arah mereka, Amasis sendiri sebenarnya juga terperanjat kaget akan hal tersebut. Namun ketika ia mengangkat sandal mawar merah itu ia sangat mengagumi pengerjaan yang sangat halus untuk sebuah barang yang berukuran kecil. Sang Fir’aun Amasis merasa bahwa sepasang kaki yang memakai sandal tersebut mestilah seorang wanita yang memiliki sepasang kaki yang indah dan merupakan wanita tercantik di dunia.

Tak lama kemudian, terpesona oleh sebelah pasang dari sandal tersebut, Amasis mengeluarkan dekrit yang berbunyi:

“Para utusan saya akan memasuki seluruh kota-kota baik itu yang di Delta maupun jika perlu hingga ke Mesir Hulu sampai ke perbatasan kerajaanku. Bersama mereka akan dibawa sebelah pasang sandal mawar merah ini yang oleh burung dewa Horus telah berikan kepada saya dan mereka akan menguji bahwa siapa pemilik kaki dari sandal ini akan menjadi istri dari Fir’aun!”

Lalu para utusan Fir’aun tersebut bersujud dan kemudian berujar,

“Hidup Fir’aun, semoga sehat selalu, dan kekuatan bagi Fir’aun! Fir’aun telah berbicara dan perintahnya akan ditaati”

Lalu para pembawa pesan dari Fir’aun tersebut meninggalkan Memphis menuju Heliopolis, Tanis dan Canopus hingga akhirnya mereka sampai di Naucratis. Di sana mereka mendengar tentang keberadaan seorang saudara kaya bernama Charaxos yang mana ia telah membeli seorang wanita sangat cantik dari Yunani di pasar budak, mereka mendengar juga bagaimana Charaxos telah memanjakan sang wanita dengan seluruh harta kekayaannya seolah-olah sang wanita adalah seorang putri yang dijaga oleh para dewa.

Para utusan tersebut kemudian menuju kerumah Charaxos yang terletak di tepi sungai Nil. Di sana mereka menjumpai Rhodopis yang tengah berada di tamannya di tepi kolam.

Singkat cerita saat para utusan menunjukkan sebelah pasang dari sandalnya yang hilang dicuri oleh burung Elang, Rhodopis menjerit kesenangan karena ia tahu bahwa sebelah pasang sandal itu adalah miliknya yang telah ditemukan. Lalu Rhodopis memberikan kakinya untuk dipakaikan sandal tersebut apakah sandal tersebut memang pas di kakinya. Kemudian Rhodopis memanggil seorang budak wanita untuk mengambilkan sebelah pasang lagi dari sandal tersebut yang ia simpan dengan hati-hati dalam sebuah kotak seusai kejadian pengalamannya yang aneh dengan elang yang tiba-tiba mengambil sebelah pasang sandalnya.

Kemudian para utusan menyadari bahwa gadis inilah yang harus mereka cari seperti titah Fir’aun kepada mereka, lalu mereka semua bersujud dan berujar,

“Tuhan yang baik Fir’aun Amasis, hidup, kesehatan dan kekuatan bagi Fir’aun! Diharap Anda segera datang ke istananya di Memphis. Di sana Anda akan diperlakukan dengan sangat hormat dan diberi posisi yang tertinggi di haremnya. Karena ia percaya Horus, putra Isis dan Osiris telah mengirimkan elang untuk membawa sandal mawar merah, yang menyebabkan ia mencari Anda.”

Perintah tersebut tidak bisa dibantah, karena merupakan titah dari Fir’aun sang penguasa Mesir, Rhodopis mengucapkan selamat tinggal pada Chraxos, yang mana sang pria perasaannya terpecah antara suka cita akan nasib baik Rhodopis yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri namun ia juga sedih karena harus berpisah dengan Rhodopis, yang berangkat ke Memphis.

Di saat Rhodopis tiba di Memphis, Amasis terpesona oleh kecantikannya. Ia yakin bahwa Dewa telah mengirimkan wanita ini untuknya, ia tidak jadi membawa wanita ini ke lokasi haremnya namun ia mengambil Rhodopis sebagai ratunya, permaisuri kerajaan Mesir.

Seperti kisah klasik romantis lainnya, keduanya hidup berbahagia sepanjang sisa hidup mereka dan mereka meninggal hanya setahun sebelum invasi yang dilakukan oleh bangsa Persia ke Mesir.


La Planchada