Sumber Gambar : data:image/jpeg;base64 (Gambar Hanya Ilustrasi)
Aku adalah anak tunggal dari keluarga Joyokusumo. Sejak kecil aku tinggal di Bogor. Ayahku sendiri seorang pengusaha sukses yang lumayan cukup dikenal dan disegani didaerahku. Ayahku juga mengelola perkebunan teh dan kopi. Dua minggu sebelum ayah meninggal, ia sempat membeli sebuah villa di puncak. Sehingga ayah belum sempat mengajak aku dan ibuku mengunjungi villa tersebut. Baru kali ini lah aku dan ibuku bisa mengunjungi villa tersebut dengan diantar pak Anwar, seorang notaris yang juga karyawan ayahku.
Sebuah villa megah yang dibangun pada abad 19 dan digambarkan sebagai warisan pemerintahan kolonial Belanda. Sebuah villa yang pernah ditinggali oleh seorang direktur perkebunan milik kolonial yang sangat berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada di atas ketinggian 1900 meter dari permukaan laut.
Luas tanah villa itu sekitar dua hektar dengan tanaman lengkeng di sekelilingnya. Lengkeng itu secara rutin berbuah dan dimanfaatkan oleh kang Cecep, perawat villa sebagai mata pencarian sampingan.
Kang Cecep sudah berkerja di villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Hingga villa dibeli ayahku, kang Cecep tetap bekerja mengurusi villa itu. Kini kang Cecep sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga villa itu. Berdasarkan cerita dari pak Anwar, kang Cecep itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.
Ayah dan kakeknya sangat dikenal di daerah itu sebagai ahli pengobatan tradisional dan punya daya linuwih. Begitupun dia. Oleh karena itu, pak Anwar menyarankan agar aku tetap mempekerjakan kang Cecep di villa peninggalan ayahku itu.
“Selain merawat Villa, kang Cecep juga merawat seluruh tanaman yang ada dan akan memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik villa!” kata pak Anwar.
Sesuai saran pak Anwar, sebagai ahli waris sah pemilik villa itu, aku menyutujuinya. Kang Cecep kami panggil ke ruang tamu dan membicarakan tentang niat kami itu. Kang Cecep nampaknya sangat senang mendengar keputusan itu dan dia berjanji akan merawat villa dan kebun kami dengan baik.
Bahkan aku meminta kang Cecep membuka lahan baru untuk tanaman jeruk siam yang bibitnya sudah kami miliki. Kang Cecep berjanji akan merawat jeruk hingga berbuah lebat.
“Saya punya pengalaman cukup bertanam jeruk!” kata kang Cecep, sambil menggambarkan bahwa dia sempat belajar pertanian jeruk di Tebinggerinting Ogan Ilir, Sumatera Selatan selama tiga bulan.
Kang Cecep ternyata tidak sendirian bekerja di villa itu. Lelaki tua tapi tetap kelihatan segar itu dibantu oleh tiga anak dan dua orang menantunya. Setiap hari secara bergiliran mereka membersihkan villa dan menyiangi rumput di perkebunan villa itu.
Suatu hari, mang Udin, 41 tahun, menantu kang Cecep mengantarkan saya keluar villa menuju mobil. Mang Udin membawakan mesin Jet pump yang rusak dan akan kami betulkan di kota. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, mang Udin memberanikan diri bicara kepadaku.
“Pak, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya mang Udin sangat santun.
Setelah terkesima sedikit, aku pun memperbolehkan mang Udin bicara. Dengan agak gugup sedikit menantu kang Cecep itu menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak mengenai villa ini.
“Tahu tentang apa, Mang?” tanyaku penasaran.
“Maaf Pak, Bapak bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?” tanya mang Udin lagi.
Setelah kujawab tidak takut, mang Udin pun menceritakan bahwa villa itu terkenal sangat angker dan mengerikan bagi warga di daerah itu. Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sukiman itu, kata mang Udin, memang bukan karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu. Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman villa.
“Hantu tanpa kepala keluar dari halaman villa?” desakku, makin penasaran.
“Iya Pak, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni villa milik Bapak ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu di saat bulan sangat terang dan besar!” katanya.
Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Mang Udin itu. Jujur saja, batinku sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita mang Udin itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu berwujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup.
Sebagai pemeluk agama yang kuat, aku percaya bahwa ada makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak yakin bahwa hal itu bisa terjadi.
Maka itu, ketika aku mendengar cerita mang Udin aku tidak bisa menahan tawaku. Mang Udin jadi terlihat malu dan menundukkan kepalanya.
“Mang Udin, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala buntung. He... he... he! Ada-ada saja kamu ini Udin!” candaku.
Mendengar ucapanku itu, Mang Udin terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya.
“Maaf Pak, saya barangkali telah melakukan sesuatu kesalahan terhadap Bapak. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti Bapak, tapi ingin agar Bapak tidak kaget bila selama tinggal di villa ini ada hal yang aneh-aneh!” tukas mang Udin, lirih.
Kukatakan pada Mang Udin bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada mang Udin, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan sering menampakkan diri.
“Bahwa ada orang yang melihat sesuatu yang aneh, orang yang melihat itu pastilah halusinasi. Melihat daun pisang bergoyang, eh... dikira hantu! Begitulah kira-kira!” ucapku pada mang Udin, yang akhirnya aku menstarter mobil dan melesat ke turunan 80 derajat di depan villa.
Satu bulan kemudian, aku mengajak ibuku, istri, dan kedua anakku pergi ke villa itu. Erica dan Erico, kedua anak kembarku kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa peninggalan kakeknya. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Erica dan Erico mengajak teman-temannya.
Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan menuju Puncak, Bogor. Erica dan Erico memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian membawa mobil Nissan Terrano.
Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua sudah sampai di villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk. Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Erica dan Erico termasuk mereka untuk bahu membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di Terrano yang aku bawa.
Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 14:00 kami makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua teman Erica dan Erico sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. Kang Cecep dan anak mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bersama dengan kami walau tidak semeja.
Habis makan, Monica, teman kuliah Erica bermain piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke villa setelah aku beli di Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku memang senang bermain piano, walau aku tidak piawai memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksiku sejak masih muda.
Karena suara piano dan semua bernyanyi, villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang dan bercanda gila-gilaan di kolam.
Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai pemanas udara yang sangat dingin. Sementara anak mantu kang Cecep, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua masuk ke kamar tidur.
Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur bersama istriku. Namun entah mengapa aku tak dapat memejamkan mata. Entah karena malam Jum’at Pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak dapat terpejam.
Tidak terasa, jam di meja sofa menunjukkan angka 01:20 dini hari. Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening dan sepi menyelimuti malam di villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. Pemandangan luar malam itu begitu indah.
Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke tulang belulangku dan mencubit-cubit.
“Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin hari ini,” kataku.
Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku memanggil.
“Kang Cecep? Kang Cecep kah itu?” tanyaku.
Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku.
“Kang Cecep?” desakku.
Dalam hitungan beberapa detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api.
“Ah, kemana orang itu?” batinku.
Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis menyayat relung batinku. Betulkah cerita mang Udin itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku. Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip.
Pada saat aku berpikir tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Erica dari kamar bawah.
“Tolong, tolong, tolong!!!” teriak Erica itu sangat keras.
Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Erica pucat pasi ketakutan. Erica langsung memelukku dengan tubuh bergetar.
“Hantu, hantu ayah, ada hantu di kamar saya!” pekiknya.
“Apa? Kamu mimpi Rica, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu menampakkan diri?” kataku.
“Lihat, lihatlah Ayah, hantu itu masih dalam kamar!” ujarnya.
“Mari ikut ayah mana ada hantu di kamar ini. Ayo, ikut ayah!” ajakku, sambil menarik tangannya.
Tapi Erica ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi. Lalu aku sendiri yang masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu. Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan manusia biasa.
Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya.
“Oh Tuhan!” pekikku.
Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar, bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku. Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak kupercayai dari cerita mang Udin itu. Mang Udin benar, mang Udin betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup.
Semua penghuni villa pun terbangun. Pagi dini hari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala dan muka tercabik-cabik itu. Ibu dan istriku, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.
Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana. Aku berteriak keras memanggil kang Cecep di sebelah pagar Villa, tapi kang Cecep dan anak mantunya tidak mendengarkan suara kami.
Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai di sini saja, tak lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu. Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis.
Suara piano itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang terpotong. Aku kembali menutup mataku dan ibu, istri, dan kedua anakku.
Jujur saja, baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu tanpa kepala itu.
Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut. Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat.
Matilah kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding villa, aku mendengar suara kang Cecep mengeluarkan kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Cecep dan kang Cecep masuk dari pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Cecep kami peluk dan kami ceritakan apa yang kami temukan.
Kang Cecep langsung pucat pasi dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku. Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14 dan seharusnya, kata kang Cecep, menghindari villa di malam terang benderang itu.
“Karena Bapak baru memiliki villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut Bapak salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali Bapak barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa berwujud. Bukankah mantu saya mang Udin sudah menggambarkan hal itu?” lirih kang Cecep.
Sejak itu, aku percaya adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila Tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian, kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.
Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah direktur perkebunan milik kolonial, pemilik villa asal belanda yang mati dipotong lehernya oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah pak direktur menempati rumah perkebunan teh itu. Pak direktur yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.
Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwahnya selalu muncul dengan khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Hantu pak direktur terus-terusan menampakkan diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa tersebut.
“Hanya di malam itu dia muncul, malam lain tidak!” kata kang Cecep.
Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah itu muncul, dikatakan oleh kang Cecep, bahwa pembunuhan terhadap warga bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14, saat desa-desa di daerahku begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena pembunuhan mengerikan itu terjadi.
Jawara itu memotong kepala pak direktur hingga terlepas dari lehernya. Hingga sekarang, aku, ibu, istriku, dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke villa untuk menginap. Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak berani bersantai di villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan perkebunan dan tempat singgah di siang hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.