Pengalamanku melihat hantu pertama kali, aku alami ketika aku masih balita. Ketika masih kecil aku sering menginap di rumah kakekku di desa. Rumah kakekku terbuat dari gedhek (ayaman bambu) dan papan. Belum ada listrik di desa, penerangan menggunakan lampu teplok (lampu tempel) minyak tanah. Jika akan bepergian keluar rumah, kakek menggunakan obor untuk menerangi jalan. Obor ini dibuat dari bambu yang diisi minyak tanah, kemudian disumbat dan diberi sumbu dari kain. Suasana di desa sangat sepi, masih banyak pohon-pohon besar, dan rumpun-rumpun bambu di sekeliling desa.
Waktu kecil aku agak bandel dan sering rewel. Kalau sedang rewel aku susah sekali dikendalikan. Suatu malam aku rewel, lalu kakek membawaku ke luar rumah menuju halaman yang luas dan gelap. Suasana desa sepi, di kejauhan terdengan banyak suara binatang, entah suara binatang apa aku juga tidak tahu.
Kakek menakut-nakuti aku dengan mengatakan,
“Tuh... dengar ada suara rijal!!!” kata kakek.
“Apa itu rijal?” tanyaku dengan takut dan penasaran.
Kemudian kami diam, Kakek menunjuk pada suara binatang yang terdengar nyaring: “Ngreekkk… ngreekkkk…ngreekkk…” suaranya riuh sekali.
“Rijal itu setan yang suka sama anak yang rewel terus,” jelas kakek. Aku merasa takut dan lama-lama menjadi tenang. Setelah aku tenang aku dibawa kembali masuk rumah. Sejak itu kalau aku rewel, kakek selalu menakuti aku dengan rijal.
Waktu aku kecil aku bukan anak yang penakut, tapi juga bukan anak yang sangat pemberani. Wajar-wajar saja. Aku berani berangkat mengaji ke rumah bu Nyai lewat gang sempit dan gelap. Gang itu lebarnya cuma 1,5 m, di salah satu sisanya tembok setinggi 3 meter dan di sisi lainnya tanaman teh-tehan (tanaman yang biasa digunakan untuk pagar) dengan tinggi 2 meter. Hanya ada satu lampu kecil 5 watt di ujung gang sempit itu. Aku juga sering main petak umpet atau patangan (semacam permainan perang-perangan dengan sasaran kaki atau kepala lawan untuk dipegang dengan tangan). Ketika bermain dengan teman-teman selepas mengaji aku sering sembunyi di tempat-tempat gelap dan sepi. Sejauh ini aku belum pernah ketemu hantu. Memang kadang-kadang ada yang menakut-nakuti kami, terutama ketika lewat di tempat-tempat gelap dan katanya angker, lalu ada yang teriak,
“Seeeetaaaaaan…!!!!!!!” Dan kami pun lari tunggang langgang. Meskipun begitu tak pernah sekalipun kami benar-benar bertemu dan melihat setan.
Ketika menjelang SMP aku berjualan rokok di warung gerobak kecil di pinggir jalan. Waktu itu jalanan masih sepi dan hanya ada warungku saja. Aku berjualan sendirian. Karena masih sekolah aku biasa menjaga warung selepas Maghrib sampai jam 9 malam. Menjelang jam 9 malam aku sudah dijemput untuk pulang. Ada dua jalan pulang menuju rumah yang jaraknya tidak lebih dari 150 meter. Alternatif pertama lewat jalan raya, jalannya lebih terang dan ramai. Alternatif ke dua, lewat jalan setapak menurun di pinggir kali. Kemudian lewat dam (semacam bendungan kecil) Kali Bening yang letaknya tepat di belakang rumahku, lalu naik lewat tangga menuju rumah. Jalan ini gelap dan banyak pohon-pohon dan tanaman perdu lainnya. Jalan setapak ini lebih dekat daripada jalan alternatif pertama. Ada pohon waru cukup besar di dekat dam dan di bawahnya ada bilik kecil tempat orang buang hajat.Sebenarnya aku takut lewat jalan itu, karena gelap dan takut bertemu setan. Kata penduduk kampung, dam Kali Bening itu angker sekali.
Suatu ketika aku capek sekali dan ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Jalan paling cepat untuk sampai rumah adalah lewat jalan setapak itu. Aku nekat ingin lewat jalan itu. Penjemputku mengatakan, “Nggak takut??? Coba kalau berani akan aku beri hadiah,” katanya menantangku.
Aku merasa tertantang dan nekat lewat jalan itu. Aku berjalan pelan-pelan, ketika akan lewat dam aku mulai gelisah. Dari kejauhan aku lihat ada orang yang sedang jongkok di pinggir dam sambil merokok. Biasanya kalau sudah malam orang akan buang hajat langsung ke kali dan tidak di dalam bilik.
“Asyik… ada teman,” pikirku.
Ketika aku semakin dekat, bulu kudukku mulai merinding. Orang itu agak aneh, kok besar sekali. Rasanya tidak ada orang yang sebesar itu di kampungku. Rokoknya besar juga, terlihat dari bara dan bayangan asapnya yang mengepul tebal. Aku tetap memberanikan diri untuk terus berjalan. Ketika jarakku semakin dekat aku tetap tidak bisa mengenali orang itu, padahal aku hampir kenal semua orang di kampung ini. Orang itu berjongkok di bawah bayangan pohon waru. Suasananya gelap, jadi hanya terlihat siluetnya saja. Aku agak ragu-ragu apakah itu orang atau bayangan tumbuhan yang memang banyak tumbuh di sekitar dam. Rasa takutku menjadi memuncak, tanpa pikir panjang aku berbalik arah dan lari kembali ke warung menuju jalan besar. Penjemputku heran dan geli melihat aku lari ketakutan. Dia tertawa terbahak-bahak.
Tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi pengalaman dengan hantu sampai aku dewasa. Sampai ketika aku KKN di Pagentan, Banjarnegara, Jawa Tengah. Waktu itu aku menginap di rumah pak Camat. Pak Camat menyukai hal-hal yang berbau klenik dan mistis. Pak Camat dengan bersemangat menceritakan hal-hal mistis, pengalaman-pengalaman gaibnya, termasuk pusaka-pusaka yang dia miliki. Dia menunjukkan padaku salah satu pusakanya yang berbentuk keris. Kata pak Camat, keris itu ada isinya.
Pak Camat membuka keris itu dengan cara ritual khusus. Pertama dia tempelkan gagang keris ke keningnya sambil membaca mantera. Lalu dengan perlahan dan hati-hati keris mulai ditarik dari sarungnya dengan penuh hormat dan khidmat. Sekali lagi ujung keris diletakkan ke kening. Lalu sarung keris itu diletakkan di atas meja kaca. Selanjutnya dia menaruh ujung keris di sisi sarungnya. Tegak lurus ke atas. Setelah membenarkan posisi dan menstabilkannya, keris itu mulai dilepas perlahan-lahan. Aneh bin ajaib, keris itu bisa berdiri tegak dengan ujung runcing menempel di atas meja kaca. Aku takjub sekali. Dengan rasa penasaran aku lihat, kalau-kalau ada rekayasa. Dan ternyata memang nyata, tidak ada rekayasa sama sekali. “Ini salah satu tanda kalau keris ada ‘isinya’,” kata pak Camat menjelaskan. Isinya adalah jin yang bisa memberi kesaktian pada keris itu. Dengan wajah yang masih keheranan aku manggut-manggut saja. Sampai di sini aku belum pernah ketemu dengan hantu-hantu menakutkan seperti yang ditampilkan di layar kaca.
Pengalaman lainnya adalah ketika di awal-awal pernikahanku. Aku tinggal di Bogor dan mengontrak sebuah rumah kecil dengan satu kamar tidur. Aku tinggal di rumah paling ujung, paling belakang dan paling kecil. Dulu tanah tempat rumah ini adalah kolam ikan, yang kemudian ditutup dan dibangun rumah di atasnya. Di sebelah kanan rumah masih disisakan sepetak kecil kolam berukuran 1,5 x 2 m yang masih ada ikannya. Persis di emperan rumah kami masih disisakan sebuah sumur yang ditutup atasnya. Kota Bogor hampir setiap hari hujan, dan kalau sedang hujan biasanya listrik di daerah kami mati. Waktu itu hujan sangat deras menjelang Maghrib. Seperti yang diduga listrik mati. Istriku sedang hamil muda, hamilnya Angga, anak pertama kami. Karena hujan dan gelap aku shalat di rumah, apalagi istriku takut ditinggal sendirian dalam kondisi gelap dan hujan. Seperti biasa selesai shalat aku dzikir rutin pagi dan sore. Aku membaca al ma’surat dengan suara agak keras.
Ada yang aneh setelah aku selesai membaca berdzikir. Tiba-tiba tercium bau menyengat seperti ada yang kebakar. Istriku teriak, “Ada yang terbakar, Mas.”
Aku pikir ada listrik konsleting. Aku segera mengambil senter dan mencari sumber bau itu. Aku cek seluruh ruangan tetapi tidak ada yang kebakar. Sama sekali tidak ada yang terbakar.
Kami mulai agak curiga. Bau itu seperti rambut atau tanduk yang dibakar. Menyengat sekali baunya dan sumbernya dekat sekali. “Ini bukan bau biasa,” pikirku. Segera aku ke kamar dan mendatangi istriku. Aku segera membaca beberapa surat yang aku hafal dengan suara keras. Lama-kelamaan bau itu menghilang.
Kadang-kadang aku mengisi pengajian di salah satu sekolah tinggi pertanian di kotaku. Pengajiannya seminggu sekali dan bertempat di mushola kecil di sekolah itu. Gedung sekolah ini sudah cukup kuno, sepertinya dibangun sejak jaman Belanda atau di awal-awal kemerdekaan negeri ini. Ini terlihat dari kontruksi bangunan dan bentuk kusen jendela dan pintu. Mushola itu letakknya di bagian belakang dan tempatnya agak tinggi. Entah tidak diberi lampu atau memang lampunya mati, jalan menuju mushola itu gelap sekali. Demikian pula di bagian luar mushola, suasana remang-remang karena cuma ada satu lampu 15 watt di luar.
Suatu hari aku mengisi kajian dengan tema surga dan neraka. Seperti biasa peserta yang hadir mendengarkan dengan tenang. Saya perhatikan ada satu anak yang memperhatikan dengan penuh seksama, terlihat dari caranya memadangku dan posisi duduknya. Tiba-tiba anak itu seperti mengantuk dan terjatuh. Teman-temannya segera menolongnya. Aku bertanya, “Kenapa Dia?”
“Dia agak sakit, Ustad,” jawab salah satu temannya.
Kemudian aku mencoba memeriksanya. Anak itu seperti pingsan atau tertidur. Menurut keterangan temannya, memang dia sering mengalami hal ini. Kadang-kadang tiba-tiba jatuh dan tidak sadarkan diri seperti kesurupan.
“Hah… kesurupan, masa?” sahutku tidak percaya.
Aku belum pernah berhadapan langsung dengan orang kesurupan atau dengan jin seperti ini. Tetapi aku tetap mencoba mengatasi ‘gangguan jin’ ini berdasarkan keterangan dari ustad-ustad yang pernah aku ikuti. Aku duduk di sisi atas kepalanya, kemudian aku mencoba membaca beberapa ayat. Tiba-tiba anak itu mulai meronta, tetapi tidak bisa bergerak karena teman-temannya memegangi tangan dan kakinya. Dia meronta semakin keras. Lalu tiba-tiba dia berbicara dengan logat dan suara aneh. Suaranya seperti suara perempuan dan berbicara dengan bahasa Jawa. Saya tinggal di tanah Sunda, jadi aneh sekali kalau ada jin yang berbicara dengan bahasa Jawa. Untungnya saya orang Jawa, jadi mengerti dan bisa berkomunikasi dengan jin itu.
Sedikit aku berbicara dengan dia, bertanya siapa dia, dan memintanya untuk keluar dari tubuh anak itu. Jin itu mau keluar tetapi dengan minta syarat, yaitu minta minum. Aku tidak mau memenuhi persyaratannya. Lalu dia minta dibacakan surat tertentu karena dia suka aku membacanya. Aku tetap tidak mau dan aku meneruskan dengan membaca ayat dan surat yang lain. Dia terus meronta-rota. Setelah beberapa lama dia mulai lemah dan dia mengancam akan memanggil kakaknya.
Tiba-tiba anak itu mengejang, sampai badannya melengkung. Lalu dia terjatuh dengan keras. Anehnya setelah terjatuh suaranya berubah menjadi seperti suara laki-laki. Suaranya berat dan bargumam tidak jelas. Aku tetap membaca ayat-ayat yang aku hafal. Anak itu terus meronta-ronta dan akhirnya tersadar setelah berlangsung kira-kira satu sampai dua jam.
Rupanya kasus ini tidak sekali terjadi. Paling tidak setelah peristiwa itu sudah tiga kali dia mengalami kesurupan ketika mengikuti pengajian yang aku lakukan. Kata teman-temannya, kalau dengan ustad-ustad lain dia biasa-biasa saja. Aku mencoba mendekati anak itu dan mencoba mengorek keterangan tentang awal mulanya dia bisa kesurupan.
Pengalaman berikutnya ketika aku pindah rumah. Aku pindah ke rumah yang agak besar, tidak jauh dari rumah kontrakanku yang lama. Aku pindah kontrakan karena istriku sedang hamil anak kedua, Imran, dan kami perlu kamar satu lagi. Imran lahir ketika kami tinggal di rumah itu. Suatu hari aku pulang larut malam selesai acara pengajian rutin. Kira-kira jam 1 malam aku sampai rumah. Ketika aku masuk rumah, tiba-tiba Imran yang waktu itu masih berumur beberapa bulan menangis. Istriku berusaha menenangkannya dengan memberinya ASI. Biasanya setelah diberi ASI, Imran menjadi tenang dan tidur kembali. Anehnya, kali ini tidak. Justru menangisnya semakin menjadi-jadi. Segala cara aku coba untuk menenangkannya, tetapi tidak bisa juga. Ada yang sedikit janggal waktu itu. Aku dengar banyak sekali anjing menggonggong di belakang rumah. Kebetulan di belakang rumah kami ada kebun kosong yang dipisahkan dengan tembok batas. Suara anjing itu keras dan dekat sekali.
Aku merasa ada sesuatu yang menganggu Imran. Sesuatu yang tidak biasa. Lalu aku gendong Imran, tapi kali ini aku tidak bernyanyi untuk menenangkannya. Aku membaca beberapa surat Al Qur’an yang aku hafal. Imran pun berangsur-angsur tenang dan kembali tertidur. Dan suara anjing itu menghilang.
Berikutnya ketika aku pindah ke rumah kontrakan berikutnya. Rumah ini jauh lebih besar dari rumah sebelumnya. Luas rumahnya saja 125 m2 dan lahanya 535 m2. Di bagian depan dan belakang masih ada sisa halaman yang cukup luas. Ada beberapa pohon jambu yang cukup besar di sisi kanan rumah. Di halaman belakang ada pohon jambu air dan pohon kelor yang besar. Rumah itu dikelilingi dengan tanaman pagar yang cukup lebat dan sudah lama tidak pernah dipotong. Di belakang rumah itu ada kebun kosong dengan alang-alang setinggi 2 m. Tidak pernah dirawat. Hari pertama kami pindah tidak terjadi apa-apa.
Waktu itu aku sedang asik-asiknya menulis buku komputer. Aku biasa tidur sampai larut malam. Suatu malam istriku terbangun dan mengatakan kalau dia mendengar ada suara perempuan menangis di sisi kanan rumah. Aku coba dengarkan. Memang sayup-sayup terdengar suara perempuan menangis. Aku coba perhatikan dengan lebih seksama dari mana asal suara itu. Malam berikutnya terdengar lagi suara itu. Kadang-kadang tidak terdengar, tetapi kadang-kadang terdengar jelas sekali. Kami jadi khawatir kalau terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), karena penasaran aku coba keluar rumah dan mencari sumber suara itu. Suara itu seperti bersumber di salah satu pojok halaman rumah kami sebelah kanan. Ada sisa tonggak pohon jambu biji yang sudah ditebang. Cukup besar ukuran tonggak pohon jambu itu. Di sebelahnya lagi rumah tetangga kami. Aku ragu-ragu, apakah suara itu berasal dari rumah sebelah atau dari sekitar tonggak pohon itu.
Sama sekali tidak ada perasaan apa-apa padaku. Tidak pernah terbesit sama sekali di pikiranku bahwa itu suara hantu atau setan. Waktu aku keluar rumah pun aku keluar dengan tenang. Dan tidak ada sesuatu pun yang berbentuk menyeramkan, seperti hantu atau setan. Aku mencoba mencari informasi ke tetangga, kira-kira suara siapa itu. Tetapi tetangga-tetanggaku tidak ada yang menanggapinya, bahkan jawabannya pun tidak jelas. Suara tangisan itu kadang-kadang terdengar sampai beberapa lama, sampai akhirnya menghilang sendiri. Entah berapa lama, saya juga lupa.
Beberapa bulan atau setahun kemudian ada seorang tetangga yang bercerita kalau tempat itu dulu seram sekali. Terutama di bekas batang pohon jambu di sudut kanan rumah yang ukuranya cukup besar. Dulu sering terdengar ada orang yang menangis, katanya. Nah.. lho… berarti apa dong suara tangisan yang aku dengar setahun yang lalu?
Beberapa tahun kemudian aku pindah rumah lagi. Kali ini di rumah sendiri yang aku kredit. Uang mukanya berasal dari royalty buku-bukuku. Rumahnya memang tidak sebesar rumah sebelumnya. Aku tinggal di sebuah perumahan kecil di pingiran kota bogor. Kecil tetapi nyaman. Beberapa minggu setelah pindah aku mendengar suara perempuan minta tolong. Kali ini bukan malam-malam, tetapi menjelang subuh. Saya biasanya sudah bangun sebelum shalat Subuh di masjid. Suaranya sayup-sayup seperti perempuan yang sedang kesakitan dan minta tolong ke ibunya. Aku coba cari dari mana suara itu. Sepertinya dari rumah belakang. Karena penasaran aku mencoba naik tangga dan melihat ke belakang rumah. Nihil, tidak ada apa-apa.