Monday, January 10, 2022

Penampakan Pocong di Sungai Pelus

(Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi)


Tentu kita sudah hapal dengan film-film produksi lokal yang bergenre horror alias hantu, biasanya sih berwujud pocong. Ada banyak model, dari pocong mengerikan dan dibuat menakutkan sampai pocong gaul yang bikin kita para penonton malah tersenyum simpul bahkan tertawa. 

Aku sendiri yang belum pernah melihat hal begituan secara langsung tentu berpendapat itu cuma akal-akalan para pembuat film saja agar bisa menarik penonton, tapi ternyata ada sebuah kejadian yang tidak bisa kami (aku dan teman-temanku) lupakan mengenai pocong itu.

Saat itu di hari Kamis siang aku dan beberapa temanku sedang duduk-duduk di taman kampus. Di bawah pohon rindang dan di atas bangku beton panjang kami bercengkerama bercerita kesana kemari.

“Wah nyantai dulu ah... kan ada jeda untuk jam kuliah selanjutnya!” ucap Andi.

“Iya... ngapain juga mesti pulang dulu ke kost, mendingan ngobrol-ngobrol dulu!” tambah Bella mengamini ucapan Andi.

“Enakan ngobrol apa ya? Ada topik seru nggak nih?” tanyaku menawarkan kepada teman-teman untuk membuat topik yang asyik buat bahan obrolan.

“Kalau topik bola, kalian para cewek tentu nggak ada yang tertarik!” sungut Andi sambil mencibirkan bibir.

“Kalau bola sih nggak tertarik, tapi kalau para pemainnya... baru tertarik, kan pemain bola ganteng-ganteng dan atletis!” sahut Bella kalem.

“Yaaahh... kalian tuh, bola mah yang penting gimana bisa bikin gol! Mau ganteng atau nggak yang penting prestasinya!” sergah Andi menanggapi pernyataan Bella.

“Kan asyik tuh membahas pemain bola dan pacar-pacarnya yang cantik itu, mereka...” belum selesai Bella bicara sudah dipotong Budi teman kami yang lain.

“Gossip lagi... gossip lagi!” Budi angkat bicara.

“Iya nih… cewek-cewek sukanya ngegossip aja!” Andi mendukung Budi.

“Mendingan kita cerita yang umum saja tidak bikin gossip! Kan dosa tuh kalau membicarakan orang lain!” Budi berkata dengan bijak laksana seorang uztad saja.

“Mmhmm... betul!” gumam Andi sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.

“Kita membahas kejadian mutakhir aja... yaitu k-o-r-u-p-s-i!” aku menawarkan topik dengan mengejanya.

“Wah kalau bicara angka-angka yang dikorupsi bikin kita jadi ngiler tuh! Gila... uang segitu gedenya dibagi-bagi kayak bagi-bagi permen aja!” sahut Budi cepat.

Dia memang terkenal kritis, bahkan dia itu juga paling suka kalau diajak demo. Kalau aku sih malas, panas-panas mesti jalan kaki, mendingan nyantai di rumah kan... hehehhe... tapi karakter orang memang macam-macam, bagaimanapun aku tetap menghargai karakter Budi.

“Namanya juga korupsi berjamaah!” timpal Andi bersemangat.

“Melakukan kejahatan kok berjamaah ya?” balas Ana dengan nada bertanya.

“Ya iyalah... agar ada teman nanti kalau di penjara atau di neraka... hahahah!” sahut Bella seenaknya, kami semua tertawa mendengarnya.

“Begini teman-teman!” tanpa diminta Budi mulai menganalisa, “Kalau mereka melakukannya secara berjamaah itu juga bermanfaat sebagai perlindungan bagi mereka sendiri. Bayangkan kalau kita mendapat cipratan uang masak mau melaporkan? Bunuh diri dong namanya, makanya kejahatan yang terstruktur begitu susah banget diuraikan, maklum mereka saling melindungi!”

“Wah tepuk tangan buat calon dosen kita nih...” gurauku sambil bertepuk tangan, teman-teman yang ikut-ikutan bertepuk tangan.

“Kalian tuh... diajak berdiskusi malah meledek, huuu...!” tukas Budi sambil memonyongkan bibir.

“Kita nonton film aja yuk!” tiba-tiba Ana berkata seraya menunjukkan sebuah halaman koran yang memuat jadwal film di bioskop.

“Ganti topik nih ceritanya?” seruku, mataku juga langsung tertuju ke lembar koran itu. Diikuti teman-teman yang lain, akhirnya kami berkerumun membentuk lingkaran tidak beraturan untuk melihat jadwal film tersebut.

“Wah kalau film barat ini aku sudah nonton, lumayanlah!” teriak Andi keras, jarinya menunjuk ke sebuah iklan gambar film tersebut.

“Ini aku juga sudah nonton!” Bella turut menunjuk ke koran itu tapi dengan jenis film yang berbeda.

“Kita nonton film pocong aja… tuh lihat... kayaknya serem!” seru Ana memperlihatkan sebuah film pocong yang terpampang disitu.

“Nggak takut kamu nonton film horror gituan, nanti nggak bisa tidur?’ tukas Andi meledek Ana.

“Iiih sorry ya... aku kan bukan cewek penakut, emangnya Bella dan Eni!” sahut Ana membela diri. Merasa dianggap kecil, aku dan Bella berontak.

“Enak aja... aku nggak sepenakut itu!” elakku cemberut.

“Iya nih… siapa pula yang penakut!” sungut Bella berada di pihakku.

“Oke… oke, kalau gitu, kita nonton film pocong aja...!” ucap Andi menengahi.

“Kapan?” tanyaku.

 Biasanya tuh rencana tinggal rencana, kadang semua setuju untuk melakukan sesuatu tapi dengan bergesernya sang waktu semua jadi mengendur dan tidak kejadian... ada yang malas, ada yang tiba-tiba ada acara, ada juga yang malahan lupa. 

“Nanti sepulang kuliah!” jawab Andi lugas.

“Hah... habis kuliah langsung nonton?” seruku tidak percaya.

“Iya... kan jadwal kuliah hari ini tidak padat, hanya sampai setengah hari saja!” balas Andi.

“Daripada bengong di rumah atau kost mendingan nonton film ramai-ramai... seru kan? Apalagi film tentang pocong...!” timpal Ana

“Benar juga ucapan Ana... ayolah kalau gitu!” seruku, “Gimana dengan Bella dan Budi? Ikutan nggak?”

“Ya iyalah...!” jawab Bella.

“Aku ikutan juga, biar tambah meriah!” gurau Budi.” Oh iya aku bawa mobil nih, jadi kita bisa pergi barengan.!”

“Asyik... enaknya punya teman kaya... hahahah!” gurauku.

Akhirnya selesai kuliah hari itu kami sepakat berangkat bersama ke gedung bioskop, sebelumnya kami sempatkan dulu makan siang di kantin kampus, kalau nonton film dalam kondisi lapar tentu tidak nyaman. Setelah membeli tiket, kami menunggu di ruang tunggu sambil ngobrol-ngobrol mengisi waktu.

“Habis nonton film kita mau ngapain nih?” tanya Bella membuka pembicaraan.

“Pulang lah...!” cetus Andi pendek.

“Yah... nanggung tuh... masih sore!” balas Budi santai.

“Terus mau kemana dong?” tanyaku.

“Window shopping aja... jalan-jalan di pusat perbelanjaan!” balas Bella.

“Setuju setuju...!” sambarku sumringah. Aku mengacungkan jempol ke arah Bella.

“Huuuuuu...!” berbarengan Andi dan Budi memonyongkan mulut.

“Ogah ah ke mall... males!” tambah Budi.

“Iya nih cewek... suka belanja melulu!” Andi menimpali.

“Bukan belanja! Nggak punya duit, jalan-jalan aja...!” terang Bella.

“Ngapain ke mall kalau nggak belanja, buang-buang waktu aja!” potong Andi.

“Mendingan futsal... olahraga bikin sehat!” imbuh Budi.

“Huuuuuuu...!” gentian Bella dan Ana yang mencibirkan mulut.

“Bagaimana kalau kita main ke sungai Pelus. Sungai itu dekat rumahku kok!” Ana berusaha menengahi, lanjutnya, “Sore hari menjelang petang kan asyik main-main di sungai... adem gitu!”

“Kayak anak kecil aja main air!” ternyata Bella kurang suka.

“Tapi kayaknya asyik juga tuh mengulang masa kecil... hehehehe!” balasku menyetujui usulannya.

“Benar juga tuh... buat mengisi waktu oke juga kayaknya!” Budi menyatakan bersedia.

“Mmhmm... iyalah, sesekali main air!” tambah Andi mengiyakan.

Bella pun tak berkutik karena mayoritas bersedia menghabiskan waktu buat bermain di sungai Pelus.

“Iya deh... aku nyerah... aku ikutan aja!” akhirnya Bella menyerah.

Dan acara yang ditunggu tunggu tiba juga, akhirnya kami berlima memasuki gedung bioskop, kami sengaja memilih tempat duduk di baris paling belakang agar lebih asyik dan leluasa, terlalu dekat dengan layar juga tidak enak, bikin mata gampang capek.

Film dibuka dengan tiga orang lelaki yang di jagad hiburan sudah sering malang melintang, disitu diceritakan mereka baru ada kegiatan ronda, naasnya saat harus melewati kuburan ada pocong yang nongol dan menganggu mereka. Kisah serem bercampur konyol teramu dengan manis, kami tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memikirkan jalan cerita, karena memang tidak ada inti cerita yang bisa dipetik kecuali kesan mencekam bercampur komedi. Film yang kami tonton ringan saja.

“Yaah... filmnya kurang seru, lucu malah! Masak pocong kayak gitu!” seru Budi begitu ruangan teater kembali terang menandakan film sudah selesai diputar.

“Namanya juga horror komedi!” ucap Andi menimpali. “Pocongnya emang dibikin buat lucu-lucuan aja!”

“Pocong kok lucu... serem tahu!” sergah Bella.

“Iya, benar yang Bella bilang. Lihat make up si pocong, lumayan serem tuh!” aku membelanya karena aku juga agak takut melihat film tadi, meski sesekali aku tertawa saat ada adegan yang lucu karena si pocong ternyata gaul juga… heheheh.

“Make up-nya sih ok... tapi ceritanya kurang ada gereget!” Budi mencoba menganalisa.

“Sudahlah, ayo kita pulang, tuh kursi kursi juga mulai kosong,” pinta Ana melihat ruangan yang mulai longgar, sudah banyak penonton yang meninggalkan kursi. Kami memang sengaja duduk dulu menunggu sepi, malas rasanya mesti berdesak-desakan keluar ruangan. Toh pulang paling akhir juga tidak masalah.

Sesampai di parkiran, cuma ada beberapa motor dan mobil yang tersisa.

“Kalau longgar gini kan enak!” ucap Budi sambil menyalakan mesin mobil. 

Budi duduk di depan kemudi ditemani Andi di sebelahnya, sedang Ana, Bella dan aku duduk di kursi belakangnya.

“Eh tapi kok aku kelaparan ya?” seru Andi sambil kepalanya memutar ke belakang, ke arah kami para cewek.

“Jam nanggung begini, jam makan siang sudah kelewat... eh jam makan malam belum masuk!” sergah Bella.

“Makan melulu...! Bikin gendut tahu!” sewot Ana, diamini aku dan Bella

“Tapi kalau lapar mau gimana lagi... ini perut sudah protes nih!” Andi membela diri.

“Sudahlah... emang mau makan apa?” Budi menengahi, tampaknya dia juga ingin makan.

 “Makan bakso di warung pak Kumis aja. Gimana?” Andi tidak menyerah, sejenak dia mengalihkan pandangan ke arah Budi seperti minta persetujuan.

“Setuju... setuju!” timpal Budi membela Anton, mungkin karena sesama lelaki ya... heheheh.

“Ya sudahlah, kita ikuti kata ketua rombongan!” kata Ana mengalah.

Akhirnya kami mampir dulu ke warung bakso pak Kumis untuk sekedar melepaskan lelah sekalian menyantap bakso dan minum es teh. Sore mulai datang tapi geliat kota malah semakin ramai, banyak orang yang duduk-duduk bersantai sambil menikmati bakso atau mie ayam. 

Agaknya Budi dan Andi tahu diri, kalau terlalu lama tentu mereka tidak enak dengan kami semua. Bukankah kami berencana mau main ke sungai Pelus dan akan mengantar kami para cewek ke rumah atau kost masing-masing? Akhirnya selesai makan bakso kami langsung tancap gas menuju sungai Pelus.

Karena sudah mulai petang dan hampir Maghrib jalanan menuju sungai Pelus tidak terlalu ramai. Kebanyakan orang pulang ke rumah masing masing setelah seharian bekerja, beda dengan kami yang hanya bertujuan main-main saja.

“Tuh lihat, di samping baliho itu ada jalan masuk, kita lewat situ!” seru Ana sambil menunjuk sebuah baliho besar yang terpampang di pinggir jalan utama, disitu memang ada ruas jalan masuk. 

Budi mengikuti arahannya, “Masih jauhkan dari belokan itu?” tanyanya kemudian.

“Ah mungkin sekitar dua kilometer kok!” jawab Ana santai.

“Dua kilometer? Wow… jauh juga ya,” seru Budi lagi.

Ternyata dari belokan jalan utama tadi kami mesti melewati lahan persawahan yang membelah jalan yang kami lalui. Suasana sepi terasa sekali, meski tidak turun hujan tapi langit gelap tertutup awan mendung, membuat sore menjelang petang itu semakin mencekam. Angin bertiup sepoi sepoi dengan leluasa menggoyang goyangkan dedauanan di sekitarnya. Pohon-pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan ini juga seperti hidup menunjukan keperkasaanya. 

“Jalan kok sepi sekali sih? Nggak ada yang lewat kecuali kita nih!” seruku sedikit gusar.

“Iya nih, kamu nggak takut ya Ana kalau mesti pulang malam sendirian?” tambah Andi sambil memalingkan muka ke arahnya.

“Yaahhh… kalau pagi, siang dan sore jalan ini lumayan ramai, tapi kalau sudah petang begini ya siapa juga yang mau... apalagi mendung begini, mendingan di rumah kan. Aku juga belum pernah pulang malam sendirian. Orang tuaku sudah wanti-wanti kalau ada kegiatan malam harus diantar jemput kakak, kecuali sudah ada pengantar seperti saat ini nih!” urai Ana panjang lebar.

“Tentu saja namanya orang tua, pasti protektif sekali sama anaknya, apalagi anak perempuan!” Budi angkat bicara dari belakang kemudi.

“Eh, di depan ada pertigaan tuh! Ambil yang mana? Kiri apa kanan?” tanya Budi. Kami sudah melewati persawahan yang panjang, sekarang kami menemui pertigaan menuju sungai Pelus yang tadi diusulkan sama Ana.

“Ambil yang kiri, Bud!” jawab Ana cepat.

Budi pun lalu membelokkan kemudi mobil mengikuti arah jalan. Dari sini sungai Pelus sudah mulai kelihatan. Akhirnya kami sampai juga. Setelah memarkir mobil di tempat yang lapang, kami keluar dengan bertelanjang kaki dan berlarian menuju sungai.

“Wah asyik tuh... bisa main air!” celetuk Andi. Dia sudah menyingsingkan celana panjangnya sebatas lutut.

“Heheheh... adem rasanya!” tambah Budi

“Yuk kita foto bersama!” usul Ana seraya mengeluarkan handphone-nya dan bersiap memotret.

Kamipun ambil posisi untuk bergaya. Tapi mendadak Ana berteriak.

“Aaaahhh... ada... ada...!” teriaknya kencang dan keras. Kami sampai terlonjak saking kagetnya.

“Ada apa sih Ana? Bikin kaget aja!” seru Budi tidak kalah keras, dia mungkin kesal karena sudah bergaya tiba-tiba dia harus menghentikan karena teriakan tadi.

“Aku... aku... tadi... seperti lihat… lihat...!” Ana tidak mampu mengutarakannya karena dia sendiri tampaknya tidak percaya dengan apa yang dilihat.

“Lihat apa Non...?” tanya Andi penasaran.

“Anu… ehmm... po... po... pocong!” jawabnya terbata-bata.

Kamipun tertawa terbahak bahak.

“Woiii... bangun non! Filmnya sudah berakhir sedari tadi!” tukas Andi tidak percaya dengan apa yang Ana katakan.

“Sumpah… swear!!! seru Ana dengan nada tinggi, meski dia juga kurang begitu jelas dengan apa yang dilihat sebab cuma melihat sekilas.

“Ya udah kita berpencar berburu pocong, siapa tahu Ana benar-benar melihat pocong yang tadi nongol di film!” celetuk Budi santai seakan ingin menelannya dengan ledekannya itu.

 Teman-teman yang lain cekikikan, tapi mereka tidak berkeberatan dengan ide Budi. Kami lalu melihat sekeliling, mengikuti cerita Ana bahwa dia sudah melihat pocong.

 “Mana pocongnya? Sembunyi kali ya? Malu ketemu cewek!” gurau Andi sambil melirik Ana.

“Bukan malu... tapi mau ngajak pocong yang lain buat kenalan... hahahahah!” Budi tertawa ngakak.

“Apalagi ini kan mau masuk ke malam Jum’at Kliwon. Para hantu ngapel cewek pas hari itu!” imbuhku bercanda.

Kembali kami tertawa cekikikan, sedangkan Ana cemberut saja. Anehnya... angin di saat petang itu terasa dingin, segera menyergap kami, apalagi angin yang bertiup sedikit kencang, membuat hawa dingin semakin melingkupi kami semua.

“Tadi aku lihat disitu!” Ana menujukkan jari di pinggiran sungai.

“Halah, paling kamu kebawa film yang tadi kita lihat!” sergah Bella sambil tersenyum dikulum.

Ana benar-benar keki dengan ledekan teman-temannya, apakah mungkin tadi cuma pikirannya sendiri karena terbawa film yang barusan dia tonton? Dia mulai goyah dengan keyakinannya. Tapi sesaat kemudian terdengar teriakan Bella.

“Eh... apa itu?” teriak Bella terdengar bergetar seperti orang yang ketakutan. 

Kami mengikuti arah jari Bella yang menunjuk di sisi sungai. Saat itulah kami terkejut bukan kepalang. Kami melihat sosok putih dengan wujud pocong, pocong itu seperti membelakangi kami. 

Namun kami kembali dibikin terkejut saat dengan tiba-tiba pocong itu berbalik dan menatap ke arah kami, kami bisa melihat rupa pocong itu. Wajahnya pucat pasi, matanya seperti bulatan hitam tiada sinar kehidupan yang terpancar, kain putih membungkus sekujur tubuhnya dengan tali tali yang mengikatnya. 

Tiba-tiba pocong itu melompat-lompat kedepan seakan mau mendekati kami. Langsung saja kami berhamburan berlari berebut kembali menuju ke mobil, setelah semua masuk mobil, selanjutnya Budi tergesa menyalakan mesin dan langsung tancap gas.

Akhirnya kami sampai di rumah Ana. Kami juga bercerita tentang penampakan hantu pocong kepada orang tuanya, hanya saja mereka tidak percaya dengan cerita kami berlima. Meski tidak menyangkal dengan keras tapi mereka mengatakan mungkin kami terbawa film pocong yang barusan dilihat. 

Tapi menurut cerita banyak orang, juga berdasarkan informasi yang beredar, lokasi di sekitar kami mau berfoto itu merupakan daerah “wingit” (angker) dan kerap terlihat makhluk halus, katanya sih banyak makhluk halus yang menghuni daerah ini yang terbentuk dari endapan lumpur sungai itu, mereka juga mengatakan, kejadian-kejadian aneh sering dijumpai warga setempat. 

Menurut kabar, konon pernah ada seseorang yang sedang berdiri di sekitar tempat itu, tiba-tiba ada sesuatu yang meniup dari belakang. Bahkan, ada orang yang sedang tiduran, tiba-tiba kakinya diangkat dan diputar, nah kalau sudah begini cerita yang beredar bisa jadi hantu pocong itu memang benar ada di sungai Pelus itu.


Monday, January 3, 2022

Misteri Patung Loro Blonyo Antik

(Gambar Hanya Sekedar Ilustrasi)


Awalnya aku juga tidak tahu apa itu Loro Blonyo, tapi setelah aku mengalami kejadian aneh beberapa tahun silam, aku jadi tertarik untuk mencari informasi tentang itu, jadi sebelum aku menceritakan peristiwa itu alangkah baiknya kalau aku berbagi informasi kepada kalian apa itu patung Loro Blonyo.

Loro Blonyo merupakan patung yang berujud sepasang pengantin Jawa yang menggunakan pakaian adat Jawa dengan atribut lengkap, menggunakan beskap untuk pengantin pria dan basahan untuk pengantin putri. Pada awalnya patung Loro Blonyo berbentuk pengantin Jawa dengan posisi duduk, namun seiring perkembangan jaman dan perkembangan seni-rupa kontemporer, patung Loro Blonyo mengalami proses perubahan bentuk. Ada yang berdiri dan ditambah aplikasi lain-lainnya, namun dalam perubahan bentuk tersebut patung Loro Blonyo tetap memperhatikan pakemnya yaitu sepasang pengantin Jawa dan bentuk pasangan pengantin Jawa tersebut adalah pakem dari patung tersebut, mengenai busananya menyesuaikan daerah setempat, yaitu gaya pakaian adat Jawa gaya Surakarta ataupun gaya keraton Yogyakarta. 

Dalam menggambarkan suatu fenomena budaya, orang Jawa senantiasa terlingkupi oleh pengaruh alam semesta yang bersifat material maupun yang tidak kasad mata. Demikianlah visualisasi Loro Blonyo terbuat dari sepasang patung dibuat dari bahan kayu, atau tanah liat, yang terdiri dari patung seorang perempuan –rara– yang didampingi seorang laki-laki dengan mengenakan busana perkawinan adat Jawa, gaya basahan dalam posisi duduk yang penempatannya pada rumah joglo, yaitu tepatnya di senthong tengah, atau di sebelah kanan, dan kiri krobongan yang berfungsi simbolis bagi pemiliknya.

Nah kisah yang terjadi adalah seperti ini. Siang itu, aku dan dua orang temanku, Yuli dan Nani, sudah siap di teras rumahku. Tas punggung mereka yang kelihatan sangat tebal diletakkan begitu saja di ujung sofa. Aku tiduran santai di atas sofa, kakiku kusilangkan di atas tumpukan tas mereka, Yuli duduk di kursi di sisi kiri, dia asyik membaca koran, sesekali dia memandang ke arah jalan. Sedang Nani, sedari tadi celingak-celinguk mengawasi jalan, menunggu dua teman kami lainnya yang belum datang.

“Ratna dan Dewi mana sih... kok belum datang juga...!” keluh Nani dengan berkacak pinggang.

“Santai kenapa? Sebentar juga nanti datang, kan tadi sudah sms kalau masih dalam perjalanan.” jawab Yuli santai.

“Huuh... tahu begini aku kan ikutan lambat!” sungut Nani lagi. Dia memang tIpe orang yang tidak sabaran. Tapi bagusnya dia memang tepat waktu, setiap kali ada janji dengan dia dijamin dia pasti sudah datang duluan.

“Yaa... sabar ajalah!” jawab Yuli pendek.

Aku menengok ke arah mereka lalu kataku, “Namanya juga numpang... hehehe!” kulihat Nani menyorongkan mulutnya sedang Yuli menendang kakiku pelan. 

Kami berlima memang berencana mau wisata ke Yogyakarta dengan menumpang mobil Ratna. Sebelumnya kami kalkulasi perkiraan jumlah pengeluaran, lalu kami bagi rata berapa iuran per orangnya, tentu saja itu khusus biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan bersama, sedang kebutuhan pribadi masing-masing ya ditanggung sendiri sendiri..

“Hei tuh... mereka datang!” teriak Nani senang, jarinya menunjuk nunjuk ke arah jalan. 

Yuli menutup koran dan meletakkannya kembali ke atas meja lalu ikut bergabung dengan Nani. Aku juga bangun dari tiduranku lantas ikut bergabung. Kulihat mobil Ratna dan Dewi beberapa meter di depan kami, setelah berhenti di depan teras, mereka keluar mobil dengan tertawa-tawa.

“Maaf... maaf...!” teriak Ratna sambil nyengir.

“Iya nih tadi mamanya Ratna menumpang sampai swalayan, jadilah kita menunggu mamanya siap dulu!” terang Dewi kepada kami.

“Kalau nggak mau ngantar mama... bisa repot aku, bisa nggak jadi wisata!” sambung Ratna setengah bercanda.

Kami menyadari itu mobil orang tua Ratna, jadi ya harus tahu dirilah.

“Tapi kita beruntung... nih!” Ratna mengangkat bungkusan plastik besar berisi aneka makanan dan minuman ringan, “Ini bekal dari mama untuk kita.”

Kami berlima tertawa, asyik juga dibekalin sama orang tuanya Ratna jadi kita bisa menghemat biaya.

“Ayo, kita berangkat sekarang!” ajak Nani.

“Bentar aku numpang ke kamar kecil dulu.” potong Dewi sambil menggandeng tanganku minta diantar ke kamar kecil.

“Iya, aku juga mesti ambil tasku... masih di dalam tuh!” kataku pada mereka sambil berjalan masuk ke dalam bersama Dewi.

Sesaat kemudian, kami sibuk memasukkan tas-tas bawaan kami ke dalam mobil, setelah selesai aku berpamitan dulu kepada kakakku.

“Kak berangkat dulu ya, pamitkan ke ayah bunda ya?”

“Yoi... hati hati ya!” jawab kak Leli. Ia keluar rumah dan menyalami kami satu persatu, lalu ia melambaikan tangan ke arah kami.

Selama perjalanan kami bersenda gurau, bergembira bersama. Ratna dan Dewi duduk di depan, Ratna yang pegang kemudi. Sedang Nani, Yuli dan aku duduk di belakang. Tiga dari kami, Ratna, Dewi dan aku bisa menyetir jadi kami bisa bergantian. Kami juga sudah reservasi penginapan di kota gudeg itu jadi kita tidak perlu repot-repot mencari hotel. Rencananya kami akan menghabiskan tiga hari berwisata di kota itu.

“Sampai Jogja kira kira jam berapa ya?” tanya Nani.

“Sabar sayang...!” canda Ratna.

“Iya nih Nani... nggak sabaran amat!” kata Dewi menimpali.

Nani cengar-cengir dikerubut tiga orang. Jawabnya, “Iya deh... aku tinggal tidur aja dulu!”

Kami perkirakan kita akan sampai di Yogyakarta menjelang malam, mungkin sekitar jam tujuh atau jam delapan malam, tergantung situasi jalan, maklum liburan begini jalan pasti ramai.

Benar juga, sampai hotel yang terletak di belakang kawasan Malioboro, jam menunjuk pukul delapan kurang beberapa menit. Setelah Ratna memarkir mobilnya, kami berjalan menuju lobby dengan membawa tas masing-masing. Di sisi kanan depan lobby kami melihat banyak penjual cinderamata menggelar barang dagangan mereka, kebanyakan produk fashion semacam kaos, baju baju batik dan sebangsanya, tapi juga ada cinderamata kecil-kecil seperti gantungan kunci, tas,dompet kecil, kipas dan banyak lagi.

Sampai meja resepsionis Dewi si ketua kelompok yang mengurus. Setelah mendapat dua kunci untuk dua kamar, dia memberikan satu ke Nani. Kami memang menyewa dua kamar untuk dua dan tiga orang. Ratna dengan Dewi di satu kamar, sedang Nani, Yuli dan aku di kamar yang lainnya. Nomor kamar kami berurutan.

“Eh teman-teman, nanti aku keluar sebentar ya, mau lihat-lihat cinderamata di depan. Bagus-bagus tuh kayaknya.” Ucapku sambil menunjuk depan lobby.

“Yaaahhhh kamu tuh, baru nyampai sudah mau belanja!” protes Yuli.

“Mestinya acara belanja tuh nanti kalau mau pulang.” sambung Nani

“Iya nih... ntar kehabisan uang baru tahu rasa tuh!” timpal Ratna sambil mencibirkan bibirnya ke arahku.

“Loh... yang mau belanja juga siapa? Aku kan bilang cuma mau lihat-lihat! Lagian daripada bengong ngantri mandi mendingan waktu dimanfaatkan buat cuci mata.” aku mencoba membela diri

“Iya... tidak apa-apa... tapi jangan lama-lama loh, nanti segera kembali ke kamar... terus mandi dan gabung dengan kita. Rencana kan mau makan malam bersama-sama!” Dewi membelaku. Dia memang pantas dijadikan ketua kelompok, bijaksana gitu loh... heheheh.

“Huuuu.” sungut teman-teman yang lain, tapi mereka tidak memaksakan kehendak. Setelah menaruh tas bawaan di dalam kamar, aku keluar seorang diri menuju depan lobby. Di situ sudah banyak pengunjung hotel yang berbaur dengan para penjual. Sebagian cuma melihat-lihat, sebagian lagi ada yang sudah tawar menawar dan melakukan transaksi. 

Aku sendiri sebenarnya cuma melihat-lihat, aku memang tidak bermaksud membeli, cuma ingin tahu harga-harganya saja. Tapi saat mataku tertuju pada pada sekumpulan patung kayu, aku jadi tergoda untuk melihat lebih lanjut. Di antara patung patung kayu itu ada yang berujud patung sepasang pengantin -lelaki dan perempuan dengan ukiran pakaian model Jawa. Patung patung itu tampak manis dengan hiasan manik-manik di bagian kepalanya laksana hiasan sanggul pengantin. Ada juga sepasang patung kayu yang kelihatan antik dengan warna memudar. Kuakui aku memang suka aneka macam boneka dari kayu. Mungkin terdengar konyol, hari gini suka boneka kayu... tapi namanya juga suka mau gimana lagi!!! Sebenarnya aku tidak bermaksud membeli, cuma sekedar melihat-lihat, setelah dirasa cukup akupun bermaksud kembali ke dalam untuk giliran mandi. Namun sebuah tangan menarik jaketku pelan, aku menengok ke belakang. Kulihat seorang perempuan muda yang tampak cemas memandangku nanar.

“Saya punya patung Loro Blonyo, milik sendiri, Mbak bisa lihat dulu!” kata dia dengan logat Jawa kental dan bibir sedikit bergetar. Sebenarnya aku malas menanggapinya. Tapi melihat dia seperti sungguh-sungguh akupun jadi tertarik, siapa tahu patung yang dia tawarkan memang istimewa?

“Patung Loro Blonyo... apa itu?” tanyaku pendek.

“Patung Loro Blonyo itu patung pengantin ala Jawa!” jelasnya pendek pula.

“Ini Mbak.” jawab dia sambil mengeluarkan sepasang patung pengantin ukuran kecil dari dalam tasnya yang lusuh.

Kuamati sebentar patung yang terbuat dari kayu itu, berukuran kecil saja. Polos tanpa manik-manik di bagian sanggulnya, mungkin tampak tidak menarik karena wujudnya patung kecil diukir laksana pengantin sederhana saja, tapi aku terkesima dengan kondisi patung itu, tampak tua dan antik. Sepertinya patung itu sudah cukup tua. Warna kayunya mulai menghitam di beberapa bagian karena faktor usia.

“Murah Mbak, limaratus ribu saja. Buat makan Mbak!” rengeknya memelas.

“Beneran patung pengantin ini punyamu?” tanyaku setengah tidak percaya, masak orang seperti dia bisa punya patung antik yang sehalus dan sebagus ini? 

“Punya nenek saya Mbak, tapi sudah meninggal dan patung ini diberikan kepada saya. Sudah saya coba jual di toko barang antik... tapi ditawar murah Mbak, padahal mereka kalau jual dengan harga sangat tinggi, apalagi kalau dijual ke pelancong, jadi mending dijual langsung ke pemakai.”

“Tiga ratus ribu ya?” tawarku sekenanya alias tidak sungguh sungguh.

Dia diam sebentar, kupikir dia tidak akan melepasnya eh ternyata dugaanku meleset.

“Iyalah Mbak...!” dia menyerahkan patung itu kepadaku, terpaksa deh aku membayarnya.

Setelah menerima uang, perempuan itu tampak tersenyum lega lalu dia beringsut dari hadapanku berjalan meninggalkan hotel. Tinggal aku sendiri yang sebenarnya agak kecewa dengan keputusanku membeli patung itu. Apakah aku membeli terlalu mahal karena aku menawar langsung diberikan? Tapi sudah terlanjur mau bagaimana lagi? Akupun kembali ke kamar.

“Yuli baru mandi ya?” tanyaku pada Nani, dia duduk kursi sedang menyisir rambut. Bunyi gemericik dari kamar mandi terdengar, pasti Yuli baru mandi..

“Iya... nanti giliran kamu.” jawabnya pendek sambil terus menyisisr rambut.

“Eh beli apaan tuh?” teriaknya mengagetkanku. Rupanya dia melihatku meletakkan patung pengantin itu di atas meja.

“Patung Loro Blonyo.” jawabku pendek sambil membaringkan tubuh di atas tempat tidur.

Nani bangkit dari duduknya dan mengambilnya, ia melihat-lihat sebentar lalu katanya, “Patung pengantin ini kayaknya sudah tua tuh?” Seperti tidak percaya ia mengamati dengan lebih teliti, “Iya nih... antik kayaknya. Mahal pasti, berapa kamu beli?” tanyanya lagi.

“Murah kok cuma dua ratus ribu!” aku berbohong, kan malu nanti diolok-olok kalau aku menyebut harga yang sebenarnya.

“Kubeli tiga ratus ribu boleh nggak?” tawar dia seperti tertarik

“Yee... antik gitu loh!” jawabku semaunya.

Nani bersungut-sungut mendengarnya, dia lalu meletakkan kembali patung Loro Blonyo itu di atas meja. Sebentar kemudian Yuli selesai mandi, dia keluar dengan handuk di atas kepalanya.

“Wah sudah datang nih... cepetan mandi sana.” ujarnya begitu melihatku. Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi. Kunyalakan air panas dan air dingin berbarengan untuk mencari suhu yang pas untuk badanku yang capek ini, hangat-hangat kuku begitu kata orang.

Selesai mandi dan berdandan tipis, kami berlima berkumpul di lobby sebentar untuk membahas acara malam ini. Kami sepakat untuk keluar dengan berjalan kaki saja, makan di sepanjang jalan Maliobroro, lalu dilanjutkan jalan-jalan menikmati malam. Kami kembali ke hotel sekitar pukul sebelas malam, kaki kami pegal-pegal dan ingin segera tidur.

“Met tidur semua, besok jam tujuh pagi harus sudah siap loh!” Dewi, si ketua kelompok mengingatkan kami.

“Yaaaaa... bos!” jawab kami berbarengan sambil saling melambaikan tangan, lalu kami masuk kamar masing-masing.

“Wah capeknya...!” ujar Yuli sambil memijit kakinya. Dia langsung rebahan di tempat tidur. Nani juga ikut rebahan di samping Yuli, lalu berujar, “Tidur... tidur...”

“Iya... mari kita segera tidur, agar besok tidak kesiangan.” sambungku juga ikutan merebahkan diri.

Karena kami semua kelelahan setelah seharian menghabiskan waktu di perjalanan, kami langsung terlelap dalam tidur, namun entah jam berapa aku tiba tiba terbangun, seperti setengah sadar, kudengar bunyi bunyi aneh yang berasal di atas meja, hidungku juga mencium bau melati yang begitu wangi. Dalam keadaan masih mengantuk aku menengok ke arah suara itu, kulihat sepasang manusia lelaki dan perempuan dalam balutan pakaian tradisional Jawa berdiri di samping meja dan bermain-main dengan patung itu, anehnya lagi mereka itu terlihat transparan, namun begitu mereka tahu aku menatap mereka, dalam hitungan detik mereka menghilang. Aku sangat kaget dan secara reflek menjerit.

Nani dan Yuli terbangun mendengar teriakanku.

“Ada apa nih... ada apa?” tanya mereka bersahutan.

“Eee... aaaa...” aku seperti sulit berkata-kata.

“Iya ada apa?” tanya mereka sedikit jengkel bercampur penasaran.

“Patung itu...” kataku tercekat sambil menunjuk ke arah kedua patung yang jatuh ke karpet.

“Lhah... cuma patung jatuh aja!” ucap Yuli sambil kembali tidur.

“Iya nih... bikin kaget aja...” timpal Nani manyun, dia juga kembali tidur.

Sedang aku duduk termangu di atas tempat tidur, aku tidak berani mengambil patung itu. Keringat dingin membasahi tubuhku. Mungkin aku akan terjaga semalamam. Kejadian tadi membuatku bergidik. 


Akhir Hayat Si Dukun Teluh



Hampir semua orang pasti sudah tahu siapa pemilik rumah besar di Jl. Kartini itu. Orang-orang menyebut pemilik rumah besar dan mewah itu sebagai mbah Gembrong. Entah itu sekadar julukan ataukah memang nama asli sejak kecil, tak seorangpun tahu. Yang jelas, semua orang tahu tahu bahwa mbah Gembrong adalah dukun kondang, yang pasiennya datang silih berganti, kebanyakan dari luar kota. Ada yang dari Solo, Malang, Boyolali, Probolinggo, Purwokerto, bahkan yang dari Jakarta dan luar Jawa pun ada juga yang datang untuk minta bantuan kepada mbah Gembrong.

Beberapa waktu yang lalu ada orang bertamu ke rumah mbah Gembrong. Tiga orang, dua pria dan satunya lagi wanita. Mengendarai mobil merk terkenal dan keluaran tahun paling anyar. Kepada salah seorang tetangga mbah Gembrong, ketiga orang tersebut mengaku berasal dari Ungaran, Jawa Tengah.

“Benar ini kediaman mbah Gembrong?” tanya tamu tadi kepada Basiran, tetangga dekat mbah Gembrong.

“Mbah Gembrong dukun serba bisa itu kan?” Basiran balik bertanya, menginginkan kepastian. 

“Ya, betul.” jawab mereka serempak

“Kalau memang itu yang Anda cari, rumah mbah Gembrong memang benar yang ini.” jawab Basiran menandaskan. 

Basiran, lelaki paruh baya dengan dua orang anak yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang buah di pasar Giwangan itu lantas mempersilahkan tamunya masuk, karena Basiran telah membantu mengetukkan pintu rumah mbah Gembrong.

“Terima kasih, Pak.” ujar si tamu sambil memarkirkan mobilnya di halaman timur rumah mewah bercat serba ungu itu.

Seperti terhadap tamu-tamu lainnya, mbah Gembrong pun tak terlalu lama melayani tamunya yang jauh-jauh datang dari Ungaran tersebut. Karena ada banyak orang yang antri untuk ditangani oleh mbah Gembrong. Otomatis masing-masing tamu jadi merasa sungkan dan tak terpuji bila terlalu lama berada dalam kamar praktik mbah Gembrong yang konon sangat menyeramkan itu.

Menurut desas-desus yang merebak beberapa hari sesudahnya, tamu dari kota Ungaran, Jawa Tengah tempo hari itu minta jasa baik mbah Gembrong untuk melenyapkan saingan bisnisnya. Tangan mbah Gembrong yang terlalu gampang untuk membunuh dengan bantuan ilmu ghaib-nya tersebut memang tempat sangat ideal untuk keperluan itu. Buktinya, lawan bisnis Mardjono, orang Ungaran tadi, beberapa waktu kemudian meninggal dunia dengan cara mengenaskan. 

Darminto, yang merupakan pesaing bisnis Mardjono, tertimpa batu sebesar kerbau manakala Darminto sedang mengawasi anak buahnya yang sedang bekerja di sebuah pabrik pemecahan batu tak jauh dari rumahnya.

Sudah puluhan tahun mbah Gembrong memang terkenal sebagai dukun tenung atau dukun teluh. Sebuah profesi yang digelutinya secara turun temurun, paling tidak, almarhum mbah Deglong, orang tuanya dulu juga kondang sebagai dukun teluh.

Nasib baik masih selalu berada di belakang keluarganya, sebab setiap ada pihak yang mau menghabisi mbah Gembrong, dengan berbagai cara, tak ada yang pernah berhasil. Termasuk ketika sedang ramai-ramainya kasus penculikan terhadap para dukun teluh beberapa tahun silam, mbah Gembrong bisa selamat. Ilmu yang dimilikinya memang cukup ampuh dalam membentengi dirinya dari serangan orang yang tidak menyukai sepak terjangnya. Tak aneh bila lelaki berambut gondrong mirip penyanyi reggae terkenal itu semakin merasa tak tertandingi. Entah sudah berapa orang yang mati secara ghaib lewat tangannya, hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui jumlah pastinya.

Sebagai seorang dukun senior, materi yang dikumpulkan dari uang kasih para pasiennya lumayan banyak. Bahkan dengan uang yang didapatkannya itu, ia mampu membeli rumah yang bagus, sawah, serta ladang ada di berbagai tempat. Tersebar di wilayah tempat tinggalnya mau pun di luar daerah. Jumlahnya bisa puluhan hektar plus tabungan di bank yang cukup menggiurkan jika ditunjukkan kepada orang lain.

Pekerjaan mbah Gembrong yang lain adalah tukang servis dan pendongkrak daya tarik bagi wanita-wanita nakal. Bila seorang wanita yang terjun di dunia kelam telah kurang diminati tamu langganan dan dia datang ke tempat praktek mbah Gembrong, dijamin beberapa hari kemudian wanita tadi pasti kebanjiran order. Tubuh wanita itu yang sebelumnya kusam dan tak mendatangkan selera, tiba-tiba saja bisa berubah menjadi kelihatan bahenol, sintal, cantik dan sangat mengundang birahi. Langganannya pun kembali berdatangan, dan uang pun mengalir lagi. Aliran uang tersebut sebagian tentu mengarah ke rumah mbah Gembrong sebagai balas budi. Balas budi yang klimaksnya membuat kekayaan lelaki dengan sembilan orang isteri dan sembilan orang anak tadi semakin menggunung.

Untuk membuat makin tajam dan cespleng ilmunya, mbah Gembrong harus mengadakan ritual dan persembahan kepada pembantu ghaib-nya. Di antara ritual tadi adalah meminum darah binatang, utamanya ayam berbulu hitam, berkulit legam. Orang sering menyebutnya dengan ayam cemani. Darah ayam model inilah yang pada saat-saat tertentu harus diminum olehnya. Semakin sering melakukan ritual seperti ini, semakin ampuh dan berjaya pula ilmunya. Ini diyakini betul oleh mbah Gembrong selama ini.

Manusia, bagaimanapun juga, ada kalanya di atas, ada saatnya di bawah. Keinginan dan harapan bisa melaju terus tanpa batas, namun umur tidak akan pernah bisa abadi. Dari muda menjadi tua, tidak bisa dihindari, dan setelah tua pasti akan mati. Demikian juga yang dialami oleh mbah Gembrong. Tanpa disadari, usianya pun semakin bertambah, gerak tangannya sudah semakin tak lincah lagi, hentakan kaki dan desah nafasnya pun sudah tak berirama sempurna lagi.

“Bila aku berjalan agak jauh, rasanya seperti mau berhenti nafas ini.” keluh mbah Gembrong suatu ketika pada seorang isterinya.

“Wajar, usia Bapak kan sudah lebih dari sembilan puluh tahun.” sahut si isteri yang bernama Mardiyah itu.

“Aku berencana untuk tidak memaksakan diri lagi dalam bekerja.” ujarnya dengan wajah pucat dan kusut.

“Lalu, ilmu Bapak mau dikemanakan?” tanya Mardiyah sambil duduk berjajar dengan suaminya, di bawah rindangnya pohon trembesi tak jauh dari rumahnya.

“Aku telah berusaha untuk sedikit demi sedikit membuang pengaruh ilmu itu dengan mantera-mantera yang telah kuhafal.”

“Hasilnya bagaimana, Pak?”

“Karena aku mempunyai banyak ilmu, perlu waktu lama untuk membuangnya satu per satu.”

“Tidak ada yang diwariskan Pak?”

“Anak-anak kita tak ada yang berminat.” kata mbah Gembrong setengah mengeluh.

“Kepada orang lain, bagaimana Pak?”

“Hingga saat ini belum pernah kulihat orang datang kemari untuk keperluan itu.”

“Lalu?”

“Ya sudah, memang itu risiko yang harus kutanggung, Mardiyah.” jawab mbah Gembrong sambil memandang ke alam lepas. 

Dan di atas sana, awan kelabu bergulung-gulung, bahkan berubah menjadi hitam kelam, pertanda hujan akan segera mengguyur bumi.

Beberapa hari kemudian, mbah Gembrong jatuh sakit. Awalnya hanya pusing-pusing biasa. Namun kemudian rasa pusing ini semakin parah dan berganti dengan munculnya bintik-bintik merah hampir di sekujur tubuhnya. Berbagai macam cara ditempuh untuk menghalau penyakit aneh ini. Obat modern, jamu-jamu herbal dan sudah banyak upaya lain yang ditempuh, belum juga mampu mendatangkan hasil memuaskan. Bahkan kondisi kesehatannya malah berubah semakin memburuk saja dengan tekanan darahnya yang terus melonjak-lonjak, naik-turun, tidak stabil.

Orang-orang yang sebelumnya berusaha membantu dengan caranya masing-masing, kini mulai menjauh. Mereka sudah angkat tangan. Tanpa ingin mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, dalam hati kecil mereka sudah tertanam keyakinan bahwa akhir hayat mbah Gembrong tinggal menghitung hari saja.

“Kasihan dia.” bisik seseorang yang sempat berkunjung ke rumah mbah Gembrong.

“Sejak beberapa bulan sebelumnya, kabarnya mbah Gembrong lupa mengadakan ritual minum darah ayam. Benar demikian, Mas?”

“Aku kurang tahu masalah itu, Dik. Itu urusan mbah Gembrong dan keluarganya. Kita sebaiknya hanya ikut berdoa saja, kalau pun penyakitnya tidak bisa disembuhkan, mudah-mudahan saja Allah SWT berkenan memberikan jalan yang lapang bagi perjalanan hidup mbah Gembrong selanjutnya.”

“Ya, Anda benar Mas. Sungguh tidak baik terlalu jauh menggunjingkan keburukan dan kekurangan orang lain.”

“Ya, saya juga sependapat.”

Beberapa saat kemudian, kedua orang ini hendak beranjak pulang, karena sudah cukup lama keduanya berada di dalam ruangan tempat mbah Gembrong berbaring.

Tetapi... 

Tiba-tiba terdengar suara rintihan yang sangat memelas keluar dari mulut dukun teluh yang sudah renta itu.

“Uhhhh...!!!” hanya itu, tapi cukup membuat trenyuh hati mereka yang mendengarnya. 

Kemudian kembali terdengar suara mbah Gembrong, 

“Potongkan aku ayam dan ambil darahnya.” pinta Mbah Gembrong dengan memelas dan napas yang terdengar terengah-engah.

Salah seorang anaknya yang sedang menunggu di situ segera menuruti kehendak bapaknya. Seekor ayam cemani yang mungkin sudah lama dipersiapkan langsung disembelih dan darah segarnya diberikan kepada bapaknya. Mbah Gembrong segera meneguk darah ayam yang diwadahi cangkir kecil berwarna ungu tua itu.

Baru saja beberapa teguk darah masuk ke dalam rongga mulutnya, tiba-tiba saja Mbah Gembrong langsung menyemprotkan kembali darah itu keluar hingga muncrat, berhamburan ke segala arah, bahkan sampai membasahi baju dan wajah beberapa orang yang sedang membesuknya.

Sebelum orang-orang tersebut sadar akan apa yang musti dilakukannya, mbah Gembrong sudah berteriak histeris dan...

“Hheuweeerrrrrr...!!”

Darah kental muncrat dari rongga tenggorokannya. Sejenak kemudian tubuh dukun teluh kondang itu berputar-putar seperti ayam baru dipotong. Sebentar membujur ke arah Utara, sebentar kemudian berbalik ke Selatan, lalu ke Timur, dan ke Barat. Seolah-olah ingin mengarah ke empat penjuru mata angin.

Saking menderitanya, tubuh itu seakan ingin terbebas dari sesuatu, kejang, lalu melonjak-lonjak ke atas, ke bawah, lalu setengah berputar dan...

Bregg...!!! 

Tubuh Mbah Gembrong yang renta itupun jatuh terjerembab di atas dipan kayu berukir, tempatnya berbaring tadi.

Darah kental terus-menerus termuntahkan dari mulutnya seakan tanpa henti. Darah yang muncrat dari mulutnya pun mendarat di mana-mana. Di ranjang, selimut, sekujur tubuhnya dan lantai di bawahnya. Ada berliter-liter darah, sungguh aneh memang, tak mungkin darah yang terkandung dalam tubuh manusia bisa sebanyak itu.

Jadi dari mana asalnya darah tersebut?

Tubuh mbah Gembrong semakin lemas saja, mungkin seluruh darah di tubuhnya sudah terkuras semua. Tak lama kemudian, tubuh renta itu pun berubah pucat seperti kehabisan darah. Mereka yang duduk di kanan-kiri ranjang hanya melongo keheranan. Mbah Gembrong telah tiada. Dia meninggal dalam kondisi yang tersiksa dan sangat mengenaskan.

Itulah sebuah kisah nyata yang terjadi di wilayah Gondokusuman, Yogyakarta. Kisah seorang pemilik ilmu sesat yang semasa hidupnya gemar menumpuk harta. Menyedihkan, karena di akhir hayatnya, tak secuilpun harta yang selama ini ia kumpulkan mampu menyelamatkannya dari siksa kematian.

Kisah ini bersumber dari seorang sahabat penulis yang menyaksikan langsung peristiwa mengenaskan ini. Semoga apa yang terjadi pada mbah Gembrong bisa menjadi peringatan bagi kita semua. Amin.


La Planchada