Tentu kita sudah hapal dengan film-film produksi lokal yang bergenre horror alias hantu, biasanya sih berwujud pocong. Ada banyak model, dari pocong mengerikan dan dibuat menakutkan sampai pocong gaul yang bikin kita para penonton malah tersenyum simpul bahkan tertawa.
Aku sendiri yang belum pernah melihat hal begituan secara langsung tentu berpendapat itu cuma akal-akalan para pembuat film saja agar bisa menarik penonton, tapi ternyata ada sebuah kejadian yang tidak bisa kami (aku dan teman-temanku) lupakan mengenai pocong itu.
Saat itu di hari Kamis siang aku dan beberapa temanku sedang duduk-duduk di taman kampus. Di bawah pohon rindang dan di atas bangku beton panjang kami bercengkerama bercerita kesana kemari.
“Wah nyantai dulu ah... kan ada jeda untuk jam kuliah selanjutnya!” ucap Andi.
“Iya... ngapain juga mesti pulang dulu ke kost, mendingan ngobrol-ngobrol dulu!” tambah Bella mengamini ucapan Andi.
“Enakan ngobrol apa ya? Ada topik seru nggak nih?” tanyaku menawarkan kepada teman-teman untuk membuat topik yang asyik buat bahan obrolan.
“Kalau topik bola, kalian para cewek tentu nggak ada yang tertarik!” sungut Andi sambil mencibirkan bibir.
“Kalau bola sih nggak tertarik, tapi kalau para pemainnya... baru tertarik, kan pemain bola ganteng-ganteng dan atletis!” sahut Bella kalem.
“Yaaahh... kalian tuh, bola mah yang penting gimana bisa bikin gol! Mau ganteng atau nggak yang penting prestasinya!” sergah Andi menanggapi pernyataan Bella.
“Kan asyik tuh membahas pemain bola dan pacar-pacarnya yang cantik itu, mereka...” belum selesai Bella bicara sudah dipotong Budi teman kami yang lain.
“Gossip lagi... gossip lagi!” Budi angkat bicara.
“Iya nih… cewek-cewek sukanya ngegossip aja!” Andi mendukung Budi.
“Mendingan kita cerita yang umum saja tidak bikin gossip! Kan dosa tuh kalau membicarakan orang lain!” Budi berkata dengan bijak laksana seorang uztad saja.
“Mmhmm... betul!” gumam Andi sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
“Kita membahas kejadian mutakhir aja... yaitu k-o-r-u-p-s-i!” aku menawarkan topik dengan mengejanya.
“Wah kalau bicara angka-angka yang dikorupsi bikin kita jadi ngiler tuh! Gila... uang segitu gedenya dibagi-bagi kayak bagi-bagi permen aja!” sahut Budi cepat.
Dia memang terkenal kritis, bahkan dia itu juga paling suka kalau diajak demo. Kalau aku sih malas, panas-panas mesti jalan kaki, mendingan nyantai di rumah kan... hehehhe... tapi karakter orang memang macam-macam, bagaimanapun aku tetap menghargai karakter Budi.
“Namanya juga korupsi berjamaah!” timpal Andi bersemangat.
“Melakukan kejahatan kok berjamaah ya?” balas Ana dengan nada bertanya.
“Ya iyalah... agar ada teman nanti kalau di penjara atau di neraka... hahahah!” sahut Bella seenaknya, kami semua tertawa mendengarnya.
“Begini teman-teman!” tanpa diminta Budi mulai menganalisa, “Kalau mereka melakukannya secara berjamaah itu juga bermanfaat sebagai perlindungan bagi mereka sendiri. Bayangkan kalau kita mendapat cipratan uang masak mau melaporkan? Bunuh diri dong namanya, makanya kejahatan yang terstruktur begitu susah banget diuraikan, maklum mereka saling melindungi!”
“Wah tepuk tangan buat calon dosen kita nih...” gurauku sambil bertepuk tangan, teman-teman yang ikut-ikutan bertepuk tangan.
“Kalian tuh... diajak berdiskusi malah meledek, huuu...!” tukas Budi sambil memonyongkan bibir.
“Kita nonton film aja yuk!” tiba-tiba Ana berkata seraya menunjukkan sebuah halaman koran yang memuat jadwal film di bioskop.
“Ganti topik nih ceritanya?” seruku, mataku juga langsung tertuju ke lembar koran itu. Diikuti teman-teman yang lain, akhirnya kami berkerumun membentuk lingkaran tidak beraturan untuk melihat jadwal film tersebut.
“Wah kalau film barat ini aku sudah nonton, lumayanlah!” teriak Andi keras, jarinya menunjuk ke sebuah iklan gambar film tersebut.
“Ini aku juga sudah nonton!” Bella turut menunjuk ke koran itu tapi dengan jenis film yang berbeda.
“Kita nonton film pocong aja… tuh lihat... kayaknya serem!” seru Ana memperlihatkan sebuah film pocong yang terpampang disitu.
“Nggak takut kamu nonton film horror gituan, nanti nggak bisa tidur?’ tukas Andi meledek Ana.
“Iiih sorry ya... aku kan bukan cewek penakut, emangnya Bella dan Eni!” sahut Ana membela diri. Merasa dianggap kecil, aku dan Bella berontak.
“Enak aja... aku nggak sepenakut itu!” elakku cemberut.
“Iya nih… siapa pula yang penakut!” sungut Bella berada di pihakku.
“Oke… oke, kalau gitu, kita nonton film pocong aja...!” ucap Andi menengahi.
“Kapan?” tanyaku.
Biasanya tuh rencana tinggal rencana, kadang semua setuju untuk melakukan sesuatu tapi dengan bergesernya sang waktu semua jadi mengendur dan tidak kejadian... ada yang malas, ada yang tiba-tiba ada acara, ada juga yang malahan lupa.
“Nanti sepulang kuliah!” jawab Andi lugas.
“Hah... habis kuliah langsung nonton?” seruku tidak percaya.
“Iya... kan jadwal kuliah hari ini tidak padat, hanya sampai setengah hari saja!” balas Andi.
“Daripada bengong di rumah atau kost mendingan nonton film ramai-ramai... seru kan? Apalagi film tentang pocong...!” timpal Ana
“Benar juga ucapan Ana... ayolah kalau gitu!” seruku, “Gimana dengan Bella dan Budi? Ikutan nggak?”
“Ya iyalah...!” jawab Bella.
“Aku ikutan juga, biar tambah meriah!” gurau Budi.” Oh iya aku bawa mobil nih, jadi kita bisa pergi barengan.!”
“Asyik... enaknya punya teman kaya... hahahah!” gurauku.
Akhirnya selesai kuliah hari itu kami sepakat berangkat bersama ke gedung bioskop, sebelumnya kami sempatkan dulu makan siang di kantin kampus, kalau nonton film dalam kondisi lapar tentu tidak nyaman. Setelah membeli tiket, kami menunggu di ruang tunggu sambil ngobrol-ngobrol mengisi waktu.
“Habis nonton film kita mau ngapain nih?” tanya Bella membuka pembicaraan.
“Pulang lah...!” cetus Andi pendek.
“Yah... nanggung tuh... masih sore!” balas Budi santai.
“Terus mau kemana dong?” tanyaku.
“Window shopping aja... jalan-jalan di pusat perbelanjaan!” balas Bella.
“Setuju setuju...!” sambarku sumringah. Aku mengacungkan jempol ke arah Bella.
“Huuuuuu...!” berbarengan Andi dan Budi memonyongkan mulut.
“Ogah ah ke mall... males!” tambah Budi.
“Iya nih cewek... suka belanja melulu!” Andi menimpali.
“Bukan belanja! Nggak punya duit, jalan-jalan aja...!” terang Bella.
“Ngapain ke mall kalau nggak belanja, buang-buang waktu aja!” potong Andi.
“Mendingan futsal... olahraga bikin sehat!” imbuh Budi.
“Huuuuuuu...!” gentian Bella dan Ana yang mencibirkan mulut.
“Bagaimana kalau kita main ke sungai Pelus. Sungai itu dekat rumahku kok!” Ana berusaha menengahi, lanjutnya, “Sore hari menjelang petang kan asyik main-main di sungai... adem gitu!”
“Kayak anak kecil aja main air!” ternyata Bella kurang suka.
“Tapi kayaknya asyik juga tuh mengulang masa kecil... hehehehe!” balasku menyetujui usulannya.
“Benar juga tuh... buat mengisi waktu oke juga kayaknya!” Budi menyatakan bersedia.
“Mmhmm... iyalah, sesekali main air!” tambah Andi mengiyakan.
Bella pun tak berkutik karena mayoritas bersedia menghabiskan waktu buat bermain di sungai Pelus.
“Iya deh... aku nyerah... aku ikutan aja!” akhirnya Bella menyerah.
Dan acara yang ditunggu tunggu tiba juga, akhirnya kami berlima memasuki gedung bioskop, kami sengaja memilih tempat duduk di baris paling belakang agar lebih asyik dan leluasa, terlalu dekat dengan layar juga tidak enak, bikin mata gampang capek.
Film dibuka dengan tiga orang lelaki yang di jagad hiburan sudah sering malang melintang, disitu diceritakan mereka baru ada kegiatan ronda, naasnya saat harus melewati kuburan ada pocong yang nongol dan menganggu mereka. Kisah serem bercampur konyol teramu dengan manis, kami tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memikirkan jalan cerita, karena memang tidak ada inti cerita yang bisa dipetik kecuali kesan mencekam bercampur komedi. Film yang kami tonton ringan saja.
“Yaah... filmnya kurang seru, lucu malah! Masak pocong kayak gitu!” seru Budi begitu ruangan teater kembali terang menandakan film sudah selesai diputar.
“Namanya juga horror komedi!” ucap Andi menimpali. “Pocongnya emang dibikin buat lucu-lucuan aja!”
“Pocong kok lucu... serem tahu!” sergah Bella.
“Iya, benar yang Bella bilang. Lihat make up si pocong, lumayan serem tuh!” aku membelanya karena aku juga agak takut melihat film tadi, meski sesekali aku tertawa saat ada adegan yang lucu karena si pocong ternyata gaul juga… heheheh.
“Make up-nya sih ok... tapi ceritanya kurang ada gereget!” Budi mencoba menganalisa.
“Sudahlah, ayo kita pulang, tuh kursi kursi juga mulai kosong,” pinta Ana melihat ruangan yang mulai longgar, sudah banyak penonton yang meninggalkan kursi. Kami memang sengaja duduk dulu menunggu sepi, malas rasanya mesti berdesak-desakan keluar ruangan. Toh pulang paling akhir juga tidak masalah.
Sesampai di parkiran, cuma ada beberapa motor dan mobil yang tersisa.
“Kalau longgar gini kan enak!” ucap Budi sambil menyalakan mesin mobil.
Budi duduk di depan kemudi ditemani Andi di sebelahnya, sedang Ana, Bella dan aku duduk di kursi belakangnya.
“Eh tapi kok aku kelaparan ya?” seru Andi sambil kepalanya memutar ke belakang, ke arah kami para cewek.
“Jam nanggung begini, jam makan siang sudah kelewat... eh jam makan malam belum masuk!” sergah Bella.
“Makan melulu...! Bikin gendut tahu!” sewot Ana, diamini aku dan Bella
“Tapi kalau lapar mau gimana lagi... ini perut sudah protes nih!” Andi membela diri.
“Sudahlah... emang mau makan apa?” Budi menengahi, tampaknya dia juga ingin makan.
“Makan bakso di warung pak Kumis aja. Gimana?” Andi tidak menyerah, sejenak dia mengalihkan pandangan ke arah Budi seperti minta persetujuan.
“Setuju... setuju!” timpal Budi membela Anton, mungkin karena sesama lelaki ya... heheheh.
“Ya sudahlah, kita ikuti kata ketua rombongan!” kata Ana mengalah.
Akhirnya kami mampir dulu ke warung bakso pak Kumis untuk sekedar melepaskan lelah sekalian menyantap bakso dan minum es teh. Sore mulai datang tapi geliat kota malah semakin ramai, banyak orang yang duduk-duduk bersantai sambil menikmati bakso atau mie ayam.
Agaknya Budi dan Andi tahu diri, kalau terlalu lama tentu mereka tidak enak dengan kami semua. Bukankah kami berencana mau main ke sungai Pelus dan akan mengantar kami para cewek ke rumah atau kost masing-masing? Akhirnya selesai makan bakso kami langsung tancap gas menuju sungai Pelus.
Karena sudah mulai petang dan hampir Maghrib jalanan menuju sungai Pelus tidak terlalu ramai. Kebanyakan orang pulang ke rumah masing masing setelah seharian bekerja, beda dengan kami yang hanya bertujuan main-main saja.
“Tuh lihat, di samping baliho itu ada jalan masuk, kita lewat situ!” seru Ana sambil menunjuk sebuah baliho besar yang terpampang di pinggir jalan utama, disitu memang ada ruas jalan masuk.
Budi mengikuti arahannya, “Masih jauhkan dari belokan itu?” tanyanya kemudian.
“Ah mungkin sekitar dua kilometer kok!” jawab Ana santai.
“Dua kilometer? Wow… jauh juga ya,” seru Budi lagi.
Ternyata dari belokan jalan utama tadi kami mesti melewati lahan persawahan yang membelah jalan yang kami lalui. Suasana sepi terasa sekali, meski tidak turun hujan tapi langit gelap tertutup awan mendung, membuat sore menjelang petang itu semakin mencekam. Angin bertiup sepoi sepoi dengan leluasa menggoyang goyangkan dedauanan di sekitarnya. Pohon-pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan ini juga seperti hidup menunjukan keperkasaanya.
“Jalan kok sepi sekali sih? Nggak ada yang lewat kecuali kita nih!” seruku sedikit gusar.
“Iya nih, kamu nggak takut ya Ana kalau mesti pulang malam sendirian?” tambah Andi sambil memalingkan muka ke arahnya.
“Yaahhh… kalau pagi, siang dan sore jalan ini lumayan ramai, tapi kalau sudah petang begini ya siapa juga yang mau... apalagi mendung begini, mendingan di rumah kan. Aku juga belum pernah pulang malam sendirian. Orang tuaku sudah wanti-wanti kalau ada kegiatan malam harus diantar jemput kakak, kecuali sudah ada pengantar seperti saat ini nih!” urai Ana panjang lebar.
“Tentu saja namanya orang tua, pasti protektif sekali sama anaknya, apalagi anak perempuan!” Budi angkat bicara dari belakang kemudi.
“Eh, di depan ada pertigaan tuh! Ambil yang mana? Kiri apa kanan?” tanya Budi. Kami sudah melewati persawahan yang panjang, sekarang kami menemui pertigaan menuju sungai Pelus yang tadi diusulkan sama Ana.
“Ambil yang kiri, Bud!” jawab Ana cepat.
Budi pun lalu membelokkan kemudi mobil mengikuti arah jalan. Dari sini sungai Pelus sudah mulai kelihatan. Akhirnya kami sampai juga. Setelah memarkir mobil di tempat yang lapang, kami keluar dengan bertelanjang kaki dan berlarian menuju sungai.
“Wah asyik tuh... bisa main air!” celetuk Andi. Dia sudah menyingsingkan celana panjangnya sebatas lutut.
“Heheheh... adem rasanya!” tambah Budi
“Yuk kita foto bersama!” usul Ana seraya mengeluarkan handphone-nya dan bersiap memotret.
Kamipun ambil posisi untuk bergaya. Tapi mendadak Ana berteriak.
“Aaaahhh... ada... ada...!” teriaknya kencang dan keras. Kami sampai terlonjak saking kagetnya.
“Ada apa sih Ana? Bikin kaget aja!” seru Budi tidak kalah keras, dia mungkin kesal karena sudah bergaya tiba-tiba dia harus menghentikan karena teriakan tadi.
“Aku... aku... tadi... seperti lihat… lihat...!” Ana tidak mampu mengutarakannya karena dia sendiri tampaknya tidak percaya dengan apa yang dilihat.
“Lihat apa Non...?” tanya Andi penasaran.
“Anu… ehmm... po... po... pocong!” jawabnya terbata-bata.
Kamipun tertawa terbahak bahak.
“Woiii... bangun non! Filmnya sudah berakhir sedari tadi!” tukas Andi tidak percaya dengan apa yang Ana katakan.
“Sumpah… swear!!! seru Ana dengan nada tinggi, meski dia juga kurang begitu jelas dengan apa yang dilihat sebab cuma melihat sekilas.
“Ya udah kita berpencar berburu pocong, siapa tahu Ana benar-benar melihat pocong yang tadi nongol di film!” celetuk Budi santai seakan ingin menelannya dengan ledekannya itu.
Teman-teman yang lain cekikikan, tapi mereka tidak berkeberatan dengan ide Budi. Kami lalu melihat sekeliling, mengikuti cerita Ana bahwa dia sudah melihat pocong.
“Mana pocongnya? Sembunyi kali ya? Malu ketemu cewek!” gurau Andi sambil melirik Ana.
“Bukan malu... tapi mau ngajak pocong yang lain buat kenalan... hahahahah!” Budi tertawa ngakak.
“Apalagi ini kan mau masuk ke malam Jum’at Kliwon. Para hantu ngapel cewek pas hari itu!” imbuhku bercanda.
Kembali kami tertawa cekikikan, sedangkan Ana cemberut saja. Anehnya... angin di saat petang itu terasa dingin, segera menyergap kami, apalagi angin yang bertiup sedikit kencang, membuat hawa dingin semakin melingkupi kami semua.
“Tadi aku lihat disitu!” Ana menujukkan jari di pinggiran sungai.
“Halah, paling kamu kebawa film yang tadi kita lihat!” sergah Bella sambil tersenyum dikulum.
Ana benar-benar keki dengan ledekan teman-temannya, apakah mungkin tadi cuma pikirannya sendiri karena terbawa film yang barusan dia tonton? Dia mulai goyah dengan keyakinannya. Tapi sesaat kemudian terdengar teriakan Bella.
“Eh... apa itu?” teriak Bella terdengar bergetar seperti orang yang ketakutan.
Kami mengikuti arah jari Bella yang menunjuk di sisi sungai. Saat itulah kami terkejut bukan kepalang. Kami melihat sosok putih dengan wujud pocong, pocong itu seperti membelakangi kami.
Namun kami kembali dibikin terkejut saat dengan tiba-tiba pocong itu berbalik dan menatap ke arah kami, kami bisa melihat rupa pocong itu. Wajahnya pucat pasi, matanya seperti bulatan hitam tiada sinar kehidupan yang terpancar, kain putih membungkus sekujur tubuhnya dengan tali tali yang mengikatnya.
Tiba-tiba pocong itu melompat-lompat kedepan seakan mau mendekati kami. Langsung saja kami berhamburan berlari berebut kembali menuju ke mobil, setelah semua masuk mobil, selanjutnya Budi tergesa menyalakan mesin dan langsung tancap gas.
Akhirnya kami sampai di rumah Ana. Kami juga bercerita tentang penampakan hantu pocong kepada orang tuanya, hanya saja mereka tidak percaya dengan cerita kami berlima. Meski tidak menyangkal dengan keras tapi mereka mengatakan mungkin kami terbawa film pocong yang barusan dilihat.
Tapi menurut cerita banyak orang, juga berdasarkan informasi yang beredar, lokasi di sekitar kami mau berfoto itu merupakan daerah “wingit” (angker) dan kerap terlihat makhluk halus, katanya sih banyak makhluk halus yang menghuni daerah ini yang terbentuk dari endapan lumpur sungai itu, mereka juga mengatakan, kejadian-kejadian aneh sering dijumpai warga setempat.
Menurut kabar, konon pernah ada seseorang yang sedang berdiri di sekitar tempat itu, tiba-tiba ada sesuatu yang meniup dari belakang. Bahkan, ada orang yang sedang tiduran, tiba-tiba kakinya diangkat dan diputar, nah kalau sudah begini cerita yang beredar bisa jadi hantu pocong itu memang benar ada di sungai Pelus itu.