Awalnya aku juga tidak tahu apa itu Loro Blonyo, tapi setelah aku mengalami kejadian aneh beberapa tahun silam, aku jadi tertarik untuk mencari informasi tentang itu, jadi sebelum aku menceritakan peristiwa itu alangkah baiknya kalau aku berbagi informasi kepada kalian apa itu patung Loro Blonyo.
Loro Blonyo merupakan patung yang berujud sepasang pengantin Jawa yang menggunakan pakaian adat Jawa dengan atribut lengkap, menggunakan beskap untuk pengantin pria dan basahan untuk pengantin putri. Pada awalnya patung Loro Blonyo berbentuk pengantin Jawa dengan posisi duduk, namun seiring perkembangan jaman dan perkembangan seni-rupa kontemporer, patung Loro Blonyo mengalami proses perubahan bentuk. Ada yang berdiri dan ditambah aplikasi lain-lainnya, namun dalam perubahan bentuk tersebut patung Loro Blonyo tetap memperhatikan pakemnya yaitu sepasang pengantin Jawa dan bentuk pasangan pengantin Jawa tersebut adalah pakem dari patung tersebut, mengenai busananya menyesuaikan daerah setempat, yaitu gaya pakaian adat Jawa gaya Surakarta ataupun gaya keraton Yogyakarta.
Dalam menggambarkan suatu fenomena budaya, orang Jawa senantiasa terlingkupi oleh pengaruh alam semesta yang bersifat material maupun yang tidak kasad mata. Demikianlah visualisasi Loro Blonyo terbuat dari sepasang patung dibuat dari bahan kayu, atau tanah liat, yang terdiri dari patung seorang perempuan –rara– yang didampingi seorang laki-laki dengan mengenakan busana perkawinan adat Jawa, gaya basahan dalam posisi duduk yang penempatannya pada rumah joglo, yaitu tepatnya di senthong tengah, atau di sebelah kanan, dan kiri krobongan yang berfungsi simbolis bagi pemiliknya.
Nah kisah yang terjadi adalah seperti ini. Siang itu, aku dan dua orang temanku, Yuli dan Nani, sudah siap di teras rumahku. Tas punggung mereka yang kelihatan sangat tebal diletakkan begitu saja di ujung sofa. Aku tiduran santai di atas sofa, kakiku kusilangkan di atas tumpukan tas mereka, Yuli duduk di kursi di sisi kiri, dia asyik membaca koran, sesekali dia memandang ke arah jalan. Sedang Nani, sedari tadi celingak-celinguk mengawasi jalan, menunggu dua teman kami lainnya yang belum datang.
“Ratna dan Dewi mana sih... kok belum datang juga...!” keluh Nani dengan berkacak pinggang.
“Santai kenapa? Sebentar juga nanti datang, kan tadi sudah sms kalau masih dalam perjalanan.” jawab Yuli santai.
“Huuh... tahu begini aku kan ikutan lambat!” sungut Nani lagi. Dia memang tIpe orang yang tidak sabaran. Tapi bagusnya dia memang tepat waktu, setiap kali ada janji dengan dia dijamin dia pasti sudah datang duluan.
“Yaa... sabar ajalah!” jawab Yuli pendek.
Aku menengok ke arah mereka lalu kataku, “Namanya juga numpang... hehehe!” kulihat Nani menyorongkan mulutnya sedang Yuli menendang kakiku pelan.
Kami berlima memang berencana mau wisata ke Yogyakarta dengan menumpang mobil Ratna. Sebelumnya kami kalkulasi perkiraan jumlah pengeluaran, lalu kami bagi rata berapa iuran per orangnya, tentu saja itu khusus biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan bersama, sedang kebutuhan pribadi masing-masing ya ditanggung sendiri sendiri..
“Hei tuh... mereka datang!” teriak Nani senang, jarinya menunjuk nunjuk ke arah jalan.
Yuli menutup koran dan meletakkannya kembali ke atas meja lalu ikut bergabung dengan Nani. Aku juga bangun dari tiduranku lantas ikut bergabung. Kulihat mobil Ratna dan Dewi beberapa meter di depan kami, setelah berhenti di depan teras, mereka keluar mobil dengan tertawa-tawa.
“Maaf... maaf...!” teriak Ratna sambil nyengir.
“Iya nih tadi mamanya Ratna menumpang sampai swalayan, jadilah kita menunggu mamanya siap dulu!” terang Dewi kepada kami.
“Kalau nggak mau ngantar mama... bisa repot aku, bisa nggak jadi wisata!” sambung Ratna setengah bercanda.
Kami menyadari itu mobil orang tua Ratna, jadi ya harus tahu dirilah.
“Tapi kita beruntung... nih!” Ratna mengangkat bungkusan plastik besar berisi aneka makanan dan minuman ringan, “Ini bekal dari mama untuk kita.”
Kami berlima tertawa, asyik juga dibekalin sama orang tuanya Ratna jadi kita bisa menghemat biaya.
“Ayo, kita berangkat sekarang!” ajak Nani.
“Bentar aku numpang ke kamar kecil dulu.” potong Dewi sambil menggandeng tanganku minta diantar ke kamar kecil.
“Iya, aku juga mesti ambil tasku... masih di dalam tuh!” kataku pada mereka sambil berjalan masuk ke dalam bersama Dewi.
Sesaat kemudian, kami sibuk memasukkan tas-tas bawaan kami ke dalam mobil, setelah selesai aku berpamitan dulu kepada kakakku.
“Kak berangkat dulu ya, pamitkan ke ayah bunda ya?”
“Yoi... hati hati ya!” jawab kak Leli. Ia keluar rumah dan menyalami kami satu persatu, lalu ia melambaikan tangan ke arah kami.
Selama perjalanan kami bersenda gurau, bergembira bersama. Ratna dan Dewi duduk di depan, Ratna yang pegang kemudi. Sedang Nani, Yuli dan aku duduk di belakang. Tiga dari kami, Ratna, Dewi dan aku bisa menyetir jadi kami bisa bergantian. Kami juga sudah reservasi penginapan di kota gudeg itu jadi kita tidak perlu repot-repot mencari hotel. Rencananya kami akan menghabiskan tiga hari berwisata di kota itu.
“Sampai Jogja kira kira jam berapa ya?” tanya Nani.
“Sabar sayang...!” canda Ratna.
“Iya nih Nani... nggak sabaran amat!” kata Dewi menimpali.
Nani cengar-cengir dikerubut tiga orang. Jawabnya, “Iya deh... aku tinggal tidur aja dulu!”
Kami perkirakan kita akan sampai di Yogyakarta menjelang malam, mungkin sekitar jam tujuh atau jam delapan malam, tergantung situasi jalan, maklum liburan begini jalan pasti ramai.
Benar juga, sampai hotel yang terletak di belakang kawasan Malioboro, jam menunjuk pukul delapan kurang beberapa menit. Setelah Ratna memarkir mobilnya, kami berjalan menuju lobby dengan membawa tas masing-masing. Di sisi kanan depan lobby kami melihat banyak penjual cinderamata menggelar barang dagangan mereka, kebanyakan produk fashion semacam kaos, baju baju batik dan sebangsanya, tapi juga ada cinderamata kecil-kecil seperti gantungan kunci, tas,dompet kecil, kipas dan banyak lagi.
Sampai meja resepsionis Dewi si ketua kelompok yang mengurus. Setelah mendapat dua kunci untuk dua kamar, dia memberikan satu ke Nani. Kami memang menyewa dua kamar untuk dua dan tiga orang. Ratna dengan Dewi di satu kamar, sedang Nani, Yuli dan aku di kamar yang lainnya. Nomor kamar kami berurutan.
“Eh teman-teman, nanti aku keluar sebentar ya, mau lihat-lihat cinderamata di depan. Bagus-bagus tuh kayaknya.” Ucapku sambil menunjuk depan lobby.
“Yaaahhhh kamu tuh, baru nyampai sudah mau belanja!” protes Yuli.
“Mestinya acara belanja tuh nanti kalau mau pulang.” sambung Nani
“Iya nih... ntar kehabisan uang baru tahu rasa tuh!” timpal Ratna sambil mencibirkan bibirnya ke arahku.
“Loh... yang mau belanja juga siapa? Aku kan bilang cuma mau lihat-lihat! Lagian daripada bengong ngantri mandi mendingan waktu dimanfaatkan buat cuci mata.” aku mencoba membela diri
“Iya... tidak apa-apa... tapi jangan lama-lama loh, nanti segera kembali ke kamar... terus mandi dan gabung dengan kita. Rencana kan mau makan malam bersama-sama!” Dewi membelaku. Dia memang pantas dijadikan ketua kelompok, bijaksana gitu loh... heheheh.
“Huuuu.” sungut teman-teman yang lain, tapi mereka tidak memaksakan kehendak. Setelah menaruh tas bawaan di dalam kamar, aku keluar seorang diri menuju depan lobby. Di situ sudah banyak pengunjung hotel yang berbaur dengan para penjual. Sebagian cuma melihat-lihat, sebagian lagi ada yang sudah tawar menawar dan melakukan transaksi.
Aku sendiri sebenarnya cuma melihat-lihat, aku memang tidak bermaksud membeli, cuma ingin tahu harga-harganya saja. Tapi saat mataku tertuju pada pada sekumpulan patung kayu, aku jadi tergoda untuk melihat lebih lanjut. Di antara patung patung kayu itu ada yang berujud patung sepasang pengantin -lelaki dan perempuan dengan ukiran pakaian model Jawa. Patung patung itu tampak manis dengan hiasan manik-manik di bagian kepalanya laksana hiasan sanggul pengantin. Ada juga sepasang patung kayu yang kelihatan antik dengan warna memudar. Kuakui aku memang suka aneka macam boneka dari kayu. Mungkin terdengar konyol, hari gini suka boneka kayu... tapi namanya juga suka mau gimana lagi!!! Sebenarnya aku tidak bermaksud membeli, cuma sekedar melihat-lihat, setelah dirasa cukup akupun bermaksud kembali ke dalam untuk giliran mandi. Namun sebuah tangan menarik jaketku pelan, aku menengok ke belakang. Kulihat seorang perempuan muda yang tampak cemas memandangku nanar.
“Saya punya patung Loro Blonyo, milik sendiri, Mbak bisa lihat dulu!” kata dia dengan logat Jawa kental dan bibir sedikit bergetar. Sebenarnya aku malas menanggapinya. Tapi melihat dia seperti sungguh-sungguh akupun jadi tertarik, siapa tahu patung yang dia tawarkan memang istimewa?
“Patung Loro Blonyo... apa itu?” tanyaku pendek.
“Patung Loro Blonyo itu patung pengantin ala Jawa!” jelasnya pendek pula.
“Ini Mbak.” jawab dia sambil mengeluarkan sepasang patung pengantin ukuran kecil dari dalam tasnya yang lusuh.
Kuamati sebentar patung yang terbuat dari kayu itu, berukuran kecil saja. Polos tanpa manik-manik di bagian sanggulnya, mungkin tampak tidak menarik karena wujudnya patung kecil diukir laksana pengantin sederhana saja, tapi aku terkesima dengan kondisi patung itu, tampak tua dan antik. Sepertinya patung itu sudah cukup tua. Warna kayunya mulai menghitam di beberapa bagian karena faktor usia.
“Murah Mbak, limaratus ribu saja. Buat makan Mbak!” rengeknya memelas.
“Beneran patung pengantin ini punyamu?” tanyaku setengah tidak percaya, masak orang seperti dia bisa punya patung antik yang sehalus dan sebagus ini?
“Punya nenek saya Mbak, tapi sudah meninggal dan patung ini diberikan kepada saya. Sudah saya coba jual di toko barang antik... tapi ditawar murah Mbak, padahal mereka kalau jual dengan harga sangat tinggi, apalagi kalau dijual ke pelancong, jadi mending dijual langsung ke pemakai.”
“Tiga ratus ribu ya?” tawarku sekenanya alias tidak sungguh sungguh.
Dia diam sebentar, kupikir dia tidak akan melepasnya eh ternyata dugaanku meleset.
“Iyalah Mbak...!” dia menyerahkan patung itu kepadaku, terpaksa deh aku membayarnya.
Setelah menerima uang, perempuan itu tampak tersenyum lega lalu dia beringsut dari hadapanku berjalan meninggalkan hotel. Tinggal aku sendiri yang sebenarnya agak kecewa dengan keputusanku membeli patung itu. Apakah aku membeli terlalu mahal karena aku menawar langsung diberikan? Tapi sudah terlanjur mau bagaimana lagi? Akupun kembali ke kamar.
“Yuli baru mandi ya?” tanyaku pada Nani, dia duduk kursi sedang menyisir rambut. Bunyi gemericik dari kamar mandi terdengar, pasti Yuli baru mandi..
“Iya... nanti giliran kamu.” jawabnya pendek sambil terus menyisisr rambut.
“Eh beli apaan tuh?” teriaknya mengagetkanku. Rupanya dia melihatku meletakkan patung pengantin itu di atas meja.
“Patung Loro Blonyo.” jawabku pendek sambil membaringkan tubuh di atas tempat tidur.
Nani bangkit dari duduknya dan mengambilnya, ia melihat-lihat sebentar lalu katanya, “Patung pengantin ini kayaknya sudah tua tuh?” Seperti tidak percaya ia mengamati dengan lebih teliti, “Iya nih... antik kayaknya. Mahal pasti, berapa kamu beli?” tanyanya lagi.
“Murah kok cuma dua ratus ribu!” aku berbohong, kan malu nanti diolok-olok kalau aku menyebut harga yang sebenarnya.
“Kubeli tiga ratus ribu boleh nggak?” tawar dia seperti tertarik
“Yee... antik gitu loh!” jawabku semaunya.
Nani bersungut-sungut mendengarnya, dia lalu meletakkan kembali patung Loro Blonyo itu di atas meja. Sebentar kemudian Yuli selesai mandi, dia keluar dengan handuk di atas kepalanya.
“Wah sudah datang nih... cepetan mandi sana.” ujarnya begitu melihatku. Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi. Kunyalakan air panas dan air dingin berbarengan untuk mencari suhu yang pas untuk badanku yang capek ini, hangat-hangat kuku begitu kata orang.
Selesai mandi dan berdandan tipis, kami berlima berkumpul di lobby sebentar untuk membahas acara malam ini. Kami sepakat untuk keluar dengan berjalan kaki saja, makan di sepanjang jalan Maliobroro, lalu dilanjutkan jalan-jalan menikmati malam. Kami kembali ke hotel sekitar pukul sebelas malam, kaki kami pegal-pegal dan ingin segera tidur.
“Met tidur semua, besok jam tujuh pagi harus sudah siap loh!” Dewi, si ketua kelompok mengingatkan kami.
“Yaaaaa... bos!” jawab kami berbarengan sambil saling melambaikan tangan, lalu kami masuk kamar masing-masing.
“Wah capeknya...!” ujar Yuli sambil memijit kakinya. Dia langsung rebahan di tempat tidur. Nani juga ikut rebahan di samping Yuli, lalu berujar, “Tidur... tidur...”
“Iya... mari kita segera tidur, agar besok tidak kesiangan.” sambungku juga ikutan merebahkan diri.
Karena kami semua kelelahan setelah seharian menghabiskan waktu di perjalanan, kami langsung terlelap dalam tidur, namun entah jam berapa aku tiba tiba terbangun, seperti setengah sadar, kudengar bunyi bunyi aneh yang berasal di atas meja, hidungku juga mencium bau melati yang begitu wangi. Dalam keadaan masih mengantuk aku menengok ke arah suara itu, kulihat sepasang manusia lelaki dan perempuan dalam balutan pakaian tradisional Jawa berdiri di samping meja dan bermain-main dengan patung itu, anehnya lagi mereka itu terlihat transparan, namun begitu mereka tahu aku menatap mereka, dalam hitungan detik mereka menghilang. Aku sangat kaget dan secara reflek menjerit.
Nani dan Yuli terbangun mendengar teriakanku.
“Ada apa nih... ada apa?” tanya mereka bersahutan.
“Eee... aaaa...” aku seperti sulit berkata-kata.
“Iya ada apa?” tanya mereka sedikit jengkel bercampur penasaran.
“Patung itu...” kataku tercekat sambil menunjuk ke arah kedua patung yang jatuh ke karpet.
“Lhah... cuma patung jatuh aja!” ucap Yuli sambil kembali tidur.
“Iya nih... bikin kaget aja...” timpal Nani manyun, dia juga kembali tidur.
Sedang aku duduk termangu di atas tempat tidur, aku tidak berani mengambil patung itu. Keringat dingin membasahi tubuhku. Mungkin aku akan terjaga semalamam. Kejadian tadi membuatku bergidik.
No comments:
Post a Comment