Monday, January 3, 2022

Akhir Hayat Si Dukun Teluh



Hampir semua orang pasti sudah tahu siapa pemilik rumah besar di Jl. Kartini itu. Orang-orang menyebut pemilik rumah besar dan mewah itu sebagai mbah Gembrong. Entah itu sekadar julukan ataukah memang nama asli sejak kecil, tak seorangpun tahu. Yang jelas, semua orang tahu tahu bahwa mbah Gembrong adalah dukun kondang, yang pasiennya datang silih berganti, kebanyakan dari luar kota. Ada yang dari Solo, Malang, Boyolali, Probolinggo, Purwokerto, bahkan yang dari Jakarta dan luar Jawa pun ada juga yang datang untuk minta bantuan kepada mbah Gembrong.

Beberapa waktu yang lalu ada orang bertamu ke rumah mbah Gembrong. Tiga orang, dua pria dan satunya lagi wanita. Mengendarai mobil merk terkenal dan keluaran tahun paling anyar. Kepada salah seorang tetangga mbah Gembrong, ketiga orang tersebut mengaku berasal dari Ungaran, Jawa Tengah.

“Benar ini kediaman mbah Gembrong?” tanya tamu tadi kepada Basiran, tetangga dekat mbah Gembrong.

“Mbah Gembrong dukun serba bisa itu kan?” Basiran balik bertanya, menginginkan kepastian. 

“Ya, betul.” jawab mereka serempak

“Kalau memang itu yang Anda cari, rumah mbah Gembrong memang benar yang ini.” jawab Basiran menandaskan. 

Basiran, lelaki paruh baya dengan dua orang anak yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang buah di pasar Giwangan itu lantas mempersilahkan tamunya masuk, karena Basiran telah membantu mengetukkan pintu rumah mbah Gembrong.

“Terima kasih, Pak.” ujar si tamu sambil memarkirkan mobilnya di halaman timur rumah mewah bercat serba ungu itu.

Seperti terhadap tamu-tamu lainnya, mbah Gembrong pun tak terlalu lama melayani tamunya yang jauh-jauh datang dari Ungaran tersebut. Karena ada banyak orang yang antri untuk ditangani oleh mbah Gembrong. Otomatis masing-masing tamu jadi merasa sungkan dan tak terpuji bila terlalu lama berada dalam kamar praktik mbah Gembrong yang konon sangat menyeramkan itu.

Menurut desas-desus yang merebak beberapa hari sesudahnya, tamu dari kota Ungaran, Jawa Tengah tempo hari itu minta jasa baik mbah Gembrong untuk melenyapkan saingan bisnisnya. Tangan mbah Gembrong yang terlalu gampang untuk membunuh dengan bantuan ilmu ghaib-nya tersebut memang tempat sangat ideal untuk keperluan itu. Buktinya, lawan bisnis Mardjono, orang Ungaran tadi, beberapa waktu kemudian meninggal dunia dengan cara mengenaskan. 

Darminto, yang merupakan pesaing bisnis Mardjono, tertimpa batu sebesar kerbau manakala Darminto sedang mengawasi anak buahnya yang sedang bekerja di sebuah pabrik pemecahan batu tak jauh dari rumahnya.

Sudah puluhan tahun mbah Gembrong memang terkenal sebagai dukun tenung atau dukun teluh. Sebuah profesi yang digelutinya secara turun temurun, paling tidak, almarhum mbah Deglong, orang tuanya dulu juga kondang sebagai dukun teluh.

Nasib baik masih selalu berada di belakang keluarganya, sebab setiap ada pihak yang mau menghabisi mbah Gembrong, dengan berbagai cara, tak ada yang pernah berhasil. Termasuk ketika sedang ramai-ramainya kasus penculikan terhadap para dukun teluh beberapa tahun silam, mbah Gembrong bisa selamat. Ilmu yang dimilikinya memang cukup ampuh dalam membentengi dirinya dari serangan orang yang tidak menyukai sepak terjangnya. Tak aneh bila lelaki berambut gondrong mirip penyanyi reggae terkenal itu semakin merasa tak tertandingi. Entah sudah berapa orang yang mati secara ghaib lewat tangannya, hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui jumlah pastinya.

Sebagai seorang dukun senior, materi yang dikumpulkan dari uang kasih para pasiennya lumayan banyak. Bahkan dengan uang yang didapatkannya itu, ia mampu membeli rumah yang bagus, sawah, serta ladang ada di berbagai tempat. Tersebar di wilayah tempat tinggalnya mau pun di luar daerah. Jumlahnya bisa puluhan hektar plus tabungan di bank yang cukup menggiurkan jika ditunjukkan kepada orang lain.

Pekerjaan mbah Gembrong yang lain adalah tukang servis dan pendongkrak daya tarik bagi wanita-wanita nakal. Bila seorang wanita yang terjun di dunia kelam telah kurang diminati tamu langganan dan dia datang ke tempat praktek mbah Gembrong, dijamin beberapa hari kemudian wanita tadi pasti kebanjiran order. Tubuh wanita itu yang sebelumnya kusam dan tak mendatangkan selera, tiba-tiba saja bisa berubah menjadi kelihatan bahenol, sintal, cantik dan sangat mengundang birahi. Langganannya pun kembali berdatangan, dan uang pun mengalir lagi. Aliran uang tersebut sebagian tentu mengarah ke rumah mbah Gembrong sebagai balas budi. Balas budi yang klimaksnya membuat kekayaan lelaki dengan sembilan orang isteri dan sembilan orang anak tadi semakin menggunung.

Untuk membuat makin tajam dan cespleng ilmunya, mbah Gembrong harus mengadakan ritual dan persembahan kepada pembantu ghaib-nya. Di antara ritual tadi adalah meminum darah binatang, utamanya ayam berbulu hitam, berkulit legam. Orang sering menyebutnya dengan ayam cemani. Darah ayam model inilah yang pada saat-saat tertentu harus diminum olehnya. Semakin sering melakukan ritual seperti ini, semakin ampuh dan berjaya pula ilmunya. Ini diyakini betul oleh mbah Gembrong selama ini.

Manusia, bagaimanapun juga, ada kalanya di atas, ada saatnya di bawah. Keinginan dan harapan bisa melaju terus tanpa batas, namun umur tidak akan pernah bisa abadi. Dari muda menjadi tua, tidak bisa dihindari, dan setelah tua pasti akan mati. Demikian juga yang dialami oleh mbah Gembrong. Tanpa disadari, usianya pun semakin bertambah, gerak tangannya sudah semakin tak lincah lagi, hentakan kaki dan desah nafasnya pun sudah tak berirama sempurna lagi.

“Bila aku berjalan agak jauh, rasanya seperti mau berhenti nafas ini.” keluh mbah Gembrong suatu ketika pada seorang isterinya.

“Wajar, usia Bapak kan sudah lebih dari sembilan puluh tahun.” sahut si isteri yang bernama Mardiyah itu.

“Aku berencana untuk tidak memaksakan diri lagi dalam bekerja.” ujarnya dengan wajah pucat dan kusut.

“Lalu, ilmu Bapak mau dikemanakan?” tanya Mardiyah sambil duduk berjajar dengan suaminya, di bawah rindangnya pohon trembesi tak jauh dari rumahnya.

“Aku telah berusaha untuk sedikit demi sedikit membuang pengaruh ilmu itu dengan mantera-mantera yang telah kuhafal.”

“Hasilnya bagaimana, Pak?”

“Karena aku mempunyai banyak ilmu, perlu waktu lama untuk membuangnya satu per satu.”

“Tidak ada yang diwariskan Pak?”

“Anak-anak kita tak ada yang berminat.” kata mbah Gembrong setengah mengeluh.

“Kepada orang lain, bagaimana Pak?”

“Hingga saat ini belum pernah kulihat orang datang kemari untuk keperluan itu.”

“Lalu?”

“Ya sudah, memang itu risiko yang harus kutanggung, Mardiyah.” jawab mbah Gembrong sambil memandang ke alam lepas. 

Dan di atas sana, awan kelabu bergulung-gulung, bahkan berubah menjadi hitam kelam, pertanda hujan akan segera mengguyur bumi.

Beberapa hari kemudian, mbah Gembrong jatuh sakit. Awalnya hanya pusing-pusing biasa. Namun kemudian rasa pusing ini semakin parah dan berganti dengan munculnya bintik-bintik merah hampir di sekujur tubuhnya. Berbagai macam cara ditempuh untuk menghalau penyakit aneh ini. Obat modern, jamu-jamu herbal dan sudah banyak upaya lain yang ditempuh, belum juga mampu mendatangkan hasil memuaskan. Bahkan kondisi kesehatannya malah berubah semakin memburuk saja dengan tekanan darahnya yang terus melonjak-lonjak, naik-turun, tidak stabil.

Orang-orang yang sebelumnya berusaha membantu dengan caranya masing-masing, kini mulai menjauh. Mereka sudah angkat tangan. Tanpa ingin mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, dalam hati kecil mereka sudah tertanam keyakinan bahwa akhir hayat mbah Gembrong tinggal menghitung hari saja.

“Kasihan dia.” bisik seseorang yang sempat berkunjung ke rumah mbah Gembrong.

“Sejak beberapa bulan sebelumnya, kabarnya mbah Gembrong lupa mengadakan ritual minum darah ayam. Benar demikian, Mas?”

“Aku kurang tahu masalah itu, Dik. Itu urusan mbah Gembrong dan keluarganya. Kita sebaiknya hanya ikut berdoa saja, kalau pun penyakitnya tidak bisa disembuhkan, mudah-mudahan saja Allah SWT berkenan memberikan jalan yang lapang bagi perjalanan hidup mbah Gembrong selanjutnya.”

“Ya, Anda benar Mas. Sungguh tidak baik terlalu jauh menggunjingkan keburukan dan kekurangan orang lain.”

“Ya, saya juga sependapat.”

Beberapa saat kemudian, kedua orang ini hendak beranjak pulang, karena sudah cukup lama keduanya berada di dalam ruangan tempat mbah Gembrong berbaring.

Tetapi... 

Tiba-tiba terdengar suara rintihan yang sangat memelas keluar dari mulut dukun teluh yang sudah renta itu.

“Uhhhh...!!!” hanya itu, tapi cukup membuat trenyuh hati mereka yang mendengarnya. 

Kemudian kembali terdengar suara mbah Gembrong, 

“Potongkan aku ayam dan ambil darahnya.” pinta Mbah Gembrong dengan memelas dan napas yang terdengar terengah-engah.

Salah seorang anaknya yang sedang menunggu di situ segera menuruti kehendak bapaknya. Seekor ayam cemani yang mungkin sudah lama dipersiapkan langsung disembelih dan darah segarnya diberikan kepada bapaknya. Mbah Gembrong segera meneguk darah ayam yang diwadahi cangkir kecil berwarna ungu tua itu.

Baru saja beberapa teguk darah masuk ke dalam rongga mulutnya, tiba-tiba saja Mbah Gembrong langsung menyemprotkan kembali darah itu keluar hingga muncrat, berhamburan ke segala arah, bahkan sampai membasahi baju dan wajah beberapa orang yang sedang membesuknya.

Sebelum orang-orang tersebut sadar akan apa yang musti dilakukannya, mbah Gembrong sudah berteriak histeris dan...

“Hheuweeerrrrrr...!!”

Darah kental muncrat dari rongga tenggorokannya. Sejenak kemudian tubuh dukun teluh kondang itu berputar-putar seperti ayam baru dipotong. Sebentar membujur ke arah Utara, sebentar kemudian berbalik ke Selatan, lalu ke Timur, dan ke Barat. Seolah-olah ingin mengarah ke empat penjuru mata angin.

Saking menderitanya, tubuh itu seakan ingin terbebas dari sesuatu, kejang, lalu melonjak-lonjak ke atas, ke bawah, lalu setengah berputar dan...

Bregg...!!! 

Tubuh Mbah Gembrong yang renta itupun jatuh terjerembab di atas dipan kayu berukir, tempatnya berbaring tadi.

Darah kental terus-menerus termuntahkan dari mulutnya seakan tanpa henti. Darah yang muncrat dari mulutnya pun mendarat di mana-mana. Di ranjang, selimut, sekujur tubuhnya dan lantai di bawahnya. Ada berliter-liter darah, sungguh aneh memang, tak mungkin darah yang terkandung dalam tubuh manusia bisa sebanyak itu.

Jadi dari mana asalnya darah tersebut?

Tubuh mbah Gembrong semakin lemas saja, mungkin seluruh darah di tubuhnya sudah terkuras semua. Tak lama kemudian, tubuh renta itu pun berubah pucat seperti kehabisan darah. Mereka yang duduk di kanan-kiri ranjang hanya melongo keheranan. Mbah Gembrong telah tiada. Dia meninggal dalam kondisi yang tersiksa dan sangat mengenaskan.

Itulah sebuah kisah nyata yang terjadi di wilayah Gondokusuman, Yogyakarta. Kisah seorang pemilik ilmu sesat yang semasa hidupnya gemar menumpuk harta. Menyedihkan, karena di akhir hayatnya, tak secuilpun harta yang selama ini ia kumpulkan mampu menyelamatkannya dari siksa kematian.

Kisah ini bersumber dari seorang sahabat penulis yang menyaksikan langsung peristiwa mengenaskan ini. Semoga apa yang terjadi pada mbah Gembrong bisa menjadi peringatan bagi kita semua. Amin.


No comments:

Post a Comment

La Planchada