Kisah nyata berikut ini benar-benar dialami oleh kakak sulungku, Romi. Kakakku adalah lulusan Fakultas Seni Rupa. Sudah lama dia tidak pulang ke kampung di Bantul. Sejak lulus kuliah dan diterima bekerja di sebuah perusahaan garmen terkemuka di Bandung, dia jarang pulang. Hal ini bisa dimaklumi mengingat posisinya sebagai seorang manajer desain yang super sibuk sehingga membuatnya kesulitan mencari waktu luang untuk berlibur.
Suatu hari kak Romi mendapat cuti dari kantornya. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mudik ke kampung halamannya di Bantul. Kak Romi yang pernah menyandang gelar juara melukis ketika dirinya masih duduk di bangku SMA itu pulang dengan mengendarai mobil inventaris kantornya. Saat tiba di Bantul, mobilnya melintas di depan rumah Pak Pardi, mantan guru dan Kepala SMA-nya dulu.
Kebetulan tanpa sengaja, mantan gurunya itu sedang ada di halaman depan rumahnya. Kak Romi segera memperlambat laju kendaraannya, kemudian membuka kaca jendela mobilnya. Mereka lalu saling bertatap muka, dan terlihat senyum ramah dari bibir sang mantan guru. Kak Romi lalu menghentikan sejenak kendaraannya.
“Assalamu’alaikum… Apa kabar Pak?” sapa kak Romi dari dalam mobilnya.
“Wa’alaikum salam… kabar baik Rom. Mampir dulu, Bapak sudah kangen sama kamu,” jawabnya spontan.
“Maaf Pak, Saya mau main ke rumah saudara dan teman dulu, nanti pulangnya pasti mampir ke sini. Mari pak, saya permisi dulu…” kata kak Romi ramah, sambil kembali menginjak pedas gas mobilnya.
Kemudian kak Romi berkunjung ke beberapa rumah saudara dan sahabat lamanya. Usai bersilaturahmi, lalu kak Romi bermaksud memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah Pak Pardi, mantan kepala SMA-nya itu. Setibanya di sana, tampak pria gendut berusia setengah abad lebih yang rambutnya sudah hampir semuanya beruban itu masih terlihat berdiri di bawah pohon mangga, di tengah halaman rumahnya, sambil matanya menatap kosong ke arah jalan.
Kak Romi segera memarkir mobilnya persis di depan pagar rumah pak Pardi. Tampak mantan gurunya itu terlihat sumringah melihat kedatangan kak Romi. Lelaki tua itu segera datang menghampiri kak Romi dengan jalan sedikit tertatih-tatih.
“Alhamdulillah akhirnya kamu mau mampir juga ke rumah Bapak ya Rom,” sambut Pak Pardi sambil menjulurkan tangannya mengajak kak Romi bersalaman.
Betapa terkejutnya kak Romi ketika tangannya menyentuh tangan pria tua itu. Tiba-tiba tangannya terasa dingin sekali, seperti terkena gumpalan batu es. Sampai-sampai badan kak Romi sedikit menggigil seperti orang demam. Anehnya lagi, tercium aroma tidak sedap yang bersumber dari badan mantan gurunya itu. Rasanya seperti bau bangkai tikus yang sangat menyengat. Terpaksa dia sedikit menahan nafas demi menjaga perasaan Pak Pardi.
“Maaf Pak, rumah ini kok sepi sekali. Keluarga Bapak ada dimana?” tanya kak Romi.
“Keluarga Bapak tidak ada di sini Rom, mereka ada kesibukan masing-masing. Bapak sendiri saja di rumah. Oh… ya, Bapak masih menyimpan lukisan yang dulu pernah kamu berikan. Lukisannya masih tersimpan di dalam. Ayo kita masuk ke rumah Rom,” jawab lelaki tua itu.
Mantan guru SMA itu berjalan mendahului kak Romi dengan badan sedikit membungkuk dan kaki kanan seperti agak pincang, sehingga jalannya terlihat miring tertatih-tatih. Anehnya, pria tua itu berbelok arah ke samping rumah, tidak masuk melalui pintu depan. Kak Romi segera mengikutinya sambil tangannya memegang hidungnya untuk menahan rasa bau yang sangat menusuk hidung.
Mereka lalu masuk lewat pintu samping yang tidak dikunci. Pria itu menunjukkan sebuah lukisan yang terpasang di dinding ruang tengah, hasil karya kak Romi yang pernah diberikannya sebagai kenang-kenangan kelulusan sekolah dulu. Ada juga beberapa foto keluarga dan berbagai patung yang menghiasi ruangan itu.
Pak Pardi mempersilahkan kak Romi untuk duduk, kemudian dia pergi begitu saja ke lantai atas. Beberapa saat lamanya kak Romi dibiarkan sendiri diruangan itu sendirian. Suasana terasa agak aneh, sepi dan semilir angin yang masuk terasa dingin sekali. Bau busuk masih menyengat hidung. Sambil menunggu pak Pardi, kak Romi hanya berdiri sambil memandang beberapa lukisan dan foto yang ada di dinding rumah tersebut.
Sudah setengah jam berlalu, namun tidak ada tanda-tanda kalau pak Pardi akan turun ke bawah. Kak Romi mulai gelisah dan perasaan tidak enak mulai menghantui perasaannya, tapi dia berusaha menepisnya dengan berpikiran positif. Pertahanan kak Romi akhirnya mulai goyah, karena penghuni rumah itu lama tak muncul juga. Lalu kak Romi mengambil inisiatif mencoba memberanikan diri memanggil pak Pardi.
“Pak Pardiiiii! Pak Pardiiii! Maaf, Pak, saya tidak bisa lama-lama di sini, saya mau pulang,” teriak kak Romi sambil menatap ke arah lantai atas.
Beberapa kali kak Romi berteriak cukup keras, namun usahanya sia-sia belaka, tidak ada jawaban sama sekali dari lantai atas. Tentu saja hal ini membuat dia bertambah bingung. Akhirnya kak Romi memutuskan untuk pulang saja.
Keanehan kembali terjadi, ketika kak Romi bermaksud melangkahkan kakinya keluar rumah, tiba-tiba badannya seperti ditiup angin sehingga bulu kuduknya berdiri. Badannya mendadak tidak bisa digerakkan, seolah-olah kaku. Dalam kondisi tidak berdaya tersebut, dia teringat nasihat almarhum ayahnya agar selalu berzikir dan membaca ayat suci Al-Qur’an dimanapun dia berada, terutama jika tertimpa masalah.
Kak Romi mulai membaca dalam hati beberapa ayat suci Al-Qur’an yang dihafalnya. Ajaibnya, tiba-tiba badannya terasa enteng dan dia mulai bisa bergerak normal seperti biasa. Cepat-cepat dia keluar rumah itu menuju mobilnya, lalu tancap gas kembali ke Bandung.
Sejak kejadian ganjil tersebut, pikiran kak Romi selalu teringat kepada Pak Pardi. Dia tidak habis pikir, mengapa mantan gurunya itu tidak muncul juga saat itu. Dia bingung dan masih bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan sebenarnya yang terjadi?
Sebulan kemudian kak Romi berkesempatan kembali ke Bantul. Kali ini dia coba berkunjung ke salah seorang mantan guru kimia waktu di SMA dulu yaitu Pak Karno. Di sana dia menceritakan kejadian yang dialaminya tersebut dan menanyakan mengapa mantan kepala SMA-nya itu berperilaku seperti itu. Tentu saja mantan guru kimianya itu terperanjat. Kemudian Pak Karno menjelaskan kepada kak Romi kalau Pak Pardi sesungguhnya sudah lama meninggal dunia, sekitar 3 tahun yang lalu karena penyakit liver. Beberapa tahun pak Pardi menderita akibat penyakitnya tersebut sampai akhirnya meninggal dunia.
Badan kak Romi kembali menggigil mengingat kejadian sebulan yang lalu, ketika dirinya mampir ke rumah Pak Pardi. Kini dia baru menyadari kalau lelaki yang berbau busuk yang ditemuinya di rumah mantan kepala sekolahnya tersebut ternyata hantu.
Sepulang dari rumah mantan guru kimianya itu, kak Romi menyempatkan diri berziarah ke makam Pak Pardi untuk mendoakan, agar arwahnya diterima dengan baik di sisi Allah SWT.