Liburan sekolah kali ini kelasku mengadakan liburan ke pantai Parangtritis. Menyenangkan sekali, bisa bermain air dan pasir sepuasnya. Sayangnya guru kelasku sudah mewanti-wanti agar tidak berenang ataupun bermain air terlalu jauh ke arah laut karena ombaknya lumayan besar, takutnya nanti terbawa arus ombak. Soalnya, berdasarkan dari berita-berita selama ini sudah banyak yang menjadi korban ganasnya pantai laut selatan.
Bus wisata kami sudah berhenti di area parkir, kamipun ramai-ramai turun. Aku, Bagus, Cahyo dan Doni -yang terkenal sebagai gank kribo- segera menyatu membuat rombongan sendiri.
“Edo, Cahyo... awas jangan membuat ulah yang aneh-aneh, nanti kita semua yang repot!” Pak Guru Pamudji memberi peringatan.
“Beres Pak... paling godain cewek... tidak apa-apa kan Pak?” seloroh kami sambil tertawa-tawa. Beliau cuma tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Segera kami membaur dengan pengunjung lain berjalan menuju pantai. Cuaca saat itu agak mendung tapi untunglah tidak hujan, jadi kaki kami tidak terlalu panas berjalan telanjang di pasir yang terhampar luas.
“Eh, kata orang, pantai ini ada jin-jin penunggunya loh...katanya sih ada ratunya juga... Ratu Pantai Selatan.” Doni membuka pembicaraan sesaat kami sampai di bibir pantai.
“Katanya juga, pamali kalau pakai baju warna hijau... hijau apa ya aku lupa.” tambahnya lagi.
“Ah itu kan mitos. Gunung ada penunggunya, pantai ada juga...” kataku seenaknya.
“Bangunan juga ada loh... apalagi bangunan tua. Contohnya sekolah kita, ada penunggunya...” sela Cahyo.
Kami terkejut dan saling berpandangan.
“Penunggunya kan pak Semin.” lanjutnya geli.
Kamipun tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya, pak Semin adalah tukang kebun merangkap penjaga sekolah kami. Cahyo memang suka bercanda.
“Tapi ini beneran loh,” Doni berusaha meyakinkan kami, lanjutnya, “Eyangku yang dari Yogyakarta cerita ada ritual tertentu semacam sesajen untuk sang ratu. Juga ada warna hijau tertentu yang tidak boleh dipakai...”
“Huuuuu...” kompak kami mencibir.
“Sudah ah, ayo kita main-main air, mandi ramai-ramai...masak ke pantai nggak kena air...” kata Bagus
Kamipun berlarian ke arah laut. Bermain ombak yang memecah pasir, berbasah basah bercanda ria bersama.
“Hai, Mas...” suara seorang perempuan muda hinggap di telingaku, aku menengok ke arah suara itu, kulihat seorang perempuan seusiaku tersenyum ke arahku.
“Ayo kejar aku kalau berani” lanjutnya, sebelum aku sempat menjawab sapaannya. Ia berjalan pelan mendahuluiku lalu berlari-lari kecil ke arah laut sambil mencibirkan bibirnya. Akupun tertantang untuk meraihnya, aku lalu berlari menembus air laut yang semakin dalam, tiba-tiba aku terjatuh, air mulai menggenangi mukaku, mataku pedih terkena air laut tapi aku masih bisa melihat secara samar-samar kalau perempuan itu berlarian di depanku sambil melambaikan tangan menantangku untuk menangkapnya. Aku berusaha bangun untuk mengejarnya, tapi kakiku ada yang menyeret keras menuju pantai.
“Edo, kamu nggak apa-apa kan?”
“Udah dibilangin Pak Guru jangan terlalu jauh ke laut, tuh kamu hampir terbawa ombak!” kataku
“Makanya jangan sok...” lanjut Bagus
Teman-temanku bersahut sahutan ngomong ke arahku, aku masih gelagapan karena terkena air. Kuarahkan mataku ke laut, perempuan itu sudah tidak ada, padahal aku yakin dia beberapa meter di depanku, mestinya dia juga terbawa arus. Perlahan mataku menyelidik sekeliling, perempuan berbaju warna hijau... ah hijau... aku jadi ingat perempuan itu berbaju hijau... dan dia memang sudah tak ada. Tiba-tiba aku merinding... apa benar pantai ini ada penunggunya dan bisa berubah wujud seperti cerita-cerita yang sudah beredar selama ini? Atau itu cuma halusinasiku semata? Ah... aku mendesah pelan. Untung ada teman-teman yang memperhatikanku dan segera memberi pertolongan, Terima kasih teman... terima kasih Tuhan.
No comments:
Post a Comment