Thursday, August 19, 2021

ARWAH SANG PENGANTIN

(Gambar Hanya Ilustrasi, Bukan Tokoh Sebenarnya)


Seperti biasa setiap malam minggu, aku dan beberapa teman-teman kampungku selalu nongkrong di warung angkringan di perempatan jalan kemudian dilanjutkan main gitar dan nyanyi-nyanyi di bawah pohon besar dekat angkringan tersebut hingga dini hari.

Suatu malam terjadi tragedi dimana sepasang kekasih tertabrak motor ketika sedang menyeberang di perempatan jalan. Mereka barusan membeli makanan dan ketika mau pulang saat menyeberang tiba-tiba ada motor dengan kecepatan tinggi langsung menabrak pasangan itu. 

Spontan saja semua pengunjung warung angkringan termasuk diriku berhamburan keluar untuk menyaksikan kejadian tersebut. Si pengemudi motor hanya mengalami lecet-lecet di tubuhnya. Sedangkan si perempuan yang ditabrak langsung tewas di TKP karena kepalanya luka parah dan yang laki-laki juga luka parah hingga tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke rumah sakit.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, di suatu malam minggu seperti biasa aku dan teman-teman kampungku ngumpul di warung angkringan dan dilanjutkan nongkrong di bawah pohon besar sambil bermain gitar dan nyanyi-nyanyi bersama. Di sela-sela kami bermain gitar, tiba-tiba Anton menceritakan tentang sepasang kekasih yang mengalami kecelakaan tempo hari.

“Wah.... kasihan sekali nasib orang yang ketabrak kemarin. Hingga saat ini, laki-laki tersebut belum sadarkan diri..” Cerita Anton dengan mimik serius.

“Lho kok kamu tahu, memangnya kamu kenal orang itu?“ Tanya Andi.

“Iya kenal... orang kampung sebelah dan ternyata dia adalah teman sekantornya adikku. Namanya Rudi, tadi siang aku dimintai tolong adikku untuk menemani membesuknya di rumah sakit.” Jawabnya. ”Sedihnya lagi, ternyata ia baru saja melangsungkan pernikahannya dua hari sebelum terjadi tragedi kecelakaan itu....” Lanjutnya.

“Hhhmmm.... sungguh kasihan nasibnya...” Gumamku lirih.

Kemudian kami melanjutkan bermain gitar hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Tiba-tiba saja hujan gerimis sehingga banyak pedagang yang memutuskan untuk memberesi dagangannya dan pulang. Padahal biasanya mereka berjualan hingga dini hari menjelang subuh.

Ketika itu, tinggal kami berempat –Anton, Andi, Hendra, dan aku sendiri (Agus)- yang masih nongkrong di pohon besar itu. Dan hujan gerimis pun kin lama berubah menjadi agak deras dan deras. Akhirnya aku dan ketiga temanku berteduh sambil main gitar di depan warung makan di pinggir jalan dekat perempatan itu. 

“Wah.... kayaknya hujannya lama nih...” Seru Anton.

“Iya nih... mana udah malam lagi... jadi tambah dingin...” Sahut Hendra.

“Hhmmm bagaimana kalau kita pulang sekarang bonceng Agus secara bergantian... gimana Gus? Usul Andi sambil melirikku.

Saat itu aku memang membawa motor, karena sebelum nongkrong di warung angkringan aku diminta ibuku mengantarnya di rumah Budhe Dharmi.

“ Ya... ayo, siapa dulu nih.” Jawabku.

“Bagaimana kalau Anton dan Andi kamu antar duluan Gus, aku tunggu disini..” Usul Hendra.

“Bener nih Ndra... kamu nggak takut sendirian nunggu disini.” Sahut Anton.

“Nggak papa Ton... lagian kan rumah kalian berdekatan dan jaraknya paling dekat dari sini.” Lanjut Hendra

“Okelah kalau begitu... ayo Gus kita cabut sekarang.” Seru Andi

Akhirnya aku mengantar Anton dan Andi pulang duluan dengan naik motor bertiga. Sesampainya Anton dan Andi sampai rumahnya masing-masing, aku kembali lagi untuk menjemput Hendra. 

Dari seberang jalan nampak Hendra sedang menungguku sambil bermain gitar, dan ada seseorang wanita berdiri tak jauh di sebelahnya.

“Wah beruntung sekali nih Hendra... ditinggal sendirian malah dapet cewek..” Gumamku sambil lanjut menyeberang menuju ke tempat Hendra. 

Begitu aku tiba di tempat Hendra, pada saat yang bersamaan muncul seorang laki-laki dengan mengendarai motor menuju tempat kami. Dan ternyata laki-laki itu adalah adik Hendra yang baru pulang shift malam. 

“Wah kebetulan nih.... Aku bonceng adikku aja Gus.” Kata Hendra sambil langsung naik ke boncengan motor adiknya.

“Lho.... lalu bagaimana dengan...” Belum selesai aku bicara, Hendra sudah memotongnya..

“ Yuk kita pulang sekarang Gus... dah kedinginan berat nih” Teriak Hendra sambil menyuruh adiknya segera menstarter motornya.

Tinggallah aku sendiri yang masih duduk di atas motorku. Ingin pulang sekarang tapi aku tak tega melihat cewek itu sendirian disitu. Kulihat cewek yang sedari tadi bersama Hendra. Wajahnya pucat pasi dengan rambut panjang terurai agak basah terkena hujan.

“Payah... nih Hendra, ada cewek malam-malam dibiarkan dan ditinggal sendirian begitu saja, benar-benar tidak punya perasaan nih Hendra.” Gumamku dalam hati.

“Mbak lagi nunggu siapa? Sudah malam mbak, atau mari saya antar saja?“ Tanyaku sambil menawarkan bantuan.

“Nunggu ojek mas, tapi tidak ada yang lewat. Mas, bisa tolong antar saya ke rumah sakit?“ 

“Oo... iya.. iya bisa mari silakan bonceng.” Jawabku sambil menyuruhnya segera membonceng. Setelah perempuan itu naik di motorku, aku segera menstarter motorku dan menuju ke rumah sakit. Untung saja hujan sudah reda, sehingga aku tidak perlu menggunakan mantel. Di tengah perjalanan tiba-tiba tercium harum bunga melati yang biasanya buat orang pas kawin. Dan tiba-tiba saja bulu kudukku terasa berdiri. Entah karena kedinginan atau ketakutan aku tidak bisa membedakannya. Untuk menghilangkan rasa itu, aku berusaha sok akrab dengan perempuan itu.

“Siapa yang sakit mbak?“ Tanyaku. 

“Suami saya mas.” Jawabnya datar

“Oooo... kenapa nggak siang-siangan aja to mbak, malam-malam begini apa diijinkan sama rumah sakit?“Lanjutku

“Nggak papa kok mas. Kami dah janjian mau menjemputnya mas. Petugas rumah sakit pasti maklum mas.” Jawabnya

Beberapa saat kemudian, sampailah kami di rumah sakit. Begitu turun wanita itu berkata kepadaku.

“Mas bisa minta tolong lagi?“ Tanyanya

“Apa mbak?“ jawabku singkat

“Bisa antar saya sampai ke dalam ruangan suami saya dirawat?“Pintanya

“Oh.... ya nggak apa-apa... mari.”

Akhirnya sebelum aku pulang, aku mengantar perempuan itu terlebih dahulu masuk ke dalam rumah sakit. Aneh sekali suasana rumah sakit saat itu. Sangat sepi sekali, tidak ada satpam, perawat jaga, maupun penunggu pasien yang biasa tidur di lorong-lorong rumah sakit. “Aneh... pada kemana ya... kok sepi sekali.” Pikirku.

Beberapa saat kemudian, sampailah kami disebuah kamar no 3 di ruangan Cendana. Sekilas aku membaca nama identitas pasien yang terpampang di depan pintu. Disitu tertulis nama pasien.” Rudi Baskara.” Kemudian perempuan itu membuka pintu dan berkata padaku.

“Terimakasih mas sudah mengantar saya, hati-hati pulangnya.” Kata perempuan itu sambil menutup pintu tanpa mempersilakan aku masuk. Aku pun segera memutuskan untuk segera pulang karena waktu juga sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari.

Sampai di rumah aku segera bergegas ke kamar mandi cuci muka dan langsung ganti baju karena bajuku yang tadi agak basah kena hujan. Dan lanjut ke kamar untuk segera tidur karena besok harus bangun pagi karena ada gotong royong menyambut tujuh belasan.

Paginya saat bergotong royong, aku bertemu dengan Anton, dan Hendra. Sambil membersihkan selokan rame-rame, aku bertanya pada Hendra.

“Ndra... tega sekali sih kamu semalam... masak ada cewek sendirian kamu tinggal begitu saja.” Tanyaku penasaran pada Hendra. Tidak biasanya sih Hendra berperilaku sama cewek. Soalnya dia kan agak-agak play boy hehehe.

“Cewek yang mana? Semalam kita kan nongkrong di warung angkringan terus kehujanan. Semalaman aku tidak ketemu cewek bro.... kecuali ibuku ama mbah putri heheh.” Jawabnya sambil bercanda.

“Lalu... cewek semalam itu...” Tanyaku sambil menceritakan kejadian semalam. Di tengah-tengah ceritaku, pada saat aku berkata tentang nama pasiennya adalah Rudi baskara... spontan Anton yang dari tadi tidak begitu menyimak ceritaku tiba-tiba berseru.

“Haaaa....... apa??....... Rudi Baskara?? Bagaimana kabarnya, apa jenazahnya sudah dibawa pulang?“ 

Begitu aku mendengar teriakan Anton, aku menjadi tambah bingung dan linglung. Kemudian Anton bercerita, kalau tadi malam sekitar pukul 02.00 adiknya mendapat kabar kalau temannya Rudi yang tidak sadarkan diri setelah mengalami kecelakaan di perempatan itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tadi malam tepat jam 01.30.

“Jadi.... wanita yang semalam itu....”  Tanyaku penasaran dalam hati

 

Monday, August 16, 2021

HANTU KORBAN TABRAK LARI

(Gambar Hanya Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Jam menunjuk angka enam, aku segera keluar untuk memanasi motor yang ada di depan kamar kostku, selanjutnya aku masuk kembali untuk mempersiapkan diri untuk berangkat kerja, aku tidak perlu khawatir meninggalkan motor disitu karena tempat kostku ini terlindung pagar tembok keliling, di depan ada satu pagar besi sebagai satu satunya pintu keluar masuk, setiap penghuni kost mendapat satu kunci kamar dan satu kunci pagar depan. Dan sesuai kesepakatan, setiap kali keluar masuk pagar harus dalam kondisi terkunci, untuk menjaga keamanan saja.

“Belum berangkat?”  Tanya Lisa, teman kost yang tinggal di sebelah kamarku.

“Tanggung, lagi pakai lipstick nih.... hahaha...” Jawabku dengan bercanda, aku memang lagi merias diri tapi aku tidak pernah pakai lipstick cukup lipgloss saja agar bibirku tetap lembab. Aku ini kerja lapangan, jadi kalau mau berdandan lengkap kayak Lisa kurang sesuai karena bisa jadi bedaknya malah luntur kena keringat...

“Ah bercanda kamu!” Seru Lisa sambil mencibirkan bibir, dia itu tahu kebiasaanku yang nggak pernah pakai pemerah bibir bila mau berangkat kerja. Lain dengan dirinya, dia itu selalu berdandan lengkap dan sangat fasionable, maklum dia kerja di sebuah butik terkenal yang menjual barang-barang branded, jadilah Lisa yang seorang costumer service mesti mengikuti aturan kantor yang mewajibkan memakai pakaian fasionable dan selalu tampil cantik dan rapi.

“Enak ya kamu, bisa pakai apa saja!” Seru Lisa melihatku memakai pakaian celana jeans dan kaos t-shirt warna putih dengan lengan pendek.

“Enakan kamu, bisa tampil cantik..... siapa tahu bisa jadi artis!” Sergahku meledeknya. Lisa cengar cengir saja mendengar nya.

“Kamu tuh......” Ucapnya kemudian, lanjutnya lagi dengan bertanya, “Eh ntar malam ada acara nggak nih?”

“Ada apa emang?” Tanyaku, meski sebenarnya aku sudah bisa menebak permintaan Lisa, dia itu kalau minta aku menemaninya pasti acaranya tidak jauh-jauh dari shopping dan party. Tapi aku lebih suka ikutan yang shopping, meski jarang membeli, tapi kan bisa cuci mata. Juga aku bisa memakai pakaian santai tidak perlu berganti pakaian formal dan berdandan segala kayak menghadiri party.

“Nanti malam kan ada midnight sale di mall ternama di kota ini. Temenin aku ya?” Pintanya.

Nah benar tebakanku? Hehehe..... gak apalah ikutan jalan nanti malam.

“Wah kalau itu sih mudah... bisa diatur... asal....” Aku sengaja menghentikan omonganku.

“Iya.. iya, makan malam gratis kan?” Lanjut Lisa pasti.

“Yoi...” Ucapku sambil mengacungkan jempol.

“Kalau gitu, mending kita berangkat bareng saja. Nanti setelah jam kantor selesai aku jemput kamu, kita kan sejalur?” Lisa memberi usul, kami memang sejalur, kantor tempatku kerja dan butik tempat Lisa kerja masih dalam satu kawasan.

“Wah.. lumayan bisa nebeng mobilmu!” Seruku senang, kalau nebeng mobil Lisa aku tidak perlu berpanas panas karena mengendarai motor, juga bisa irit bensin. Tapi aku gak mau nebeng kecuali diminta sama yang punya mobil. 

Karena kulihat Lisa mengangguk anggukkan kepala tanda setuju, aku segera berujar. ”Ok lah, kalau gitu aku masukkan motor dulu di garasi ya?” Aku lalu keluar kamar, mematikan mesin motor dan menuntunnya ke dalam garasi yang disediakan oleh pemilik kost. Garasi itu terletak di ujung kamar-kamar kost. Garasi kecil saja khusus motor, bila ada yang membawa mobil disediakan juga garasi khusus, tapi ya itu... ada biayanya. Beda dengan garasi motor, tidak ada ongkos apapun.

Setelah memarkir motor, aku segera kembali ke kamar.

“Sudah siap?” Ucap Lisa begitu melihatku.

“Yup, kita bisa berangkat sekarang.” Aku lalu mengambil tas kerjaku dan mengikuti langkah Lisa keluar kamar, aku menguncinya dan menyusul dia menuju mobil di depan halaman. Aku membuka pagar depan, setelah mobil Lisa keluar aku segera menutupnya kembali dan menguncinya. Setelah itu aku bergabung dengannya untuk bersama sama berangkat kerja.

Kami akhirnya sampai di kantor, Lisa menepikan mobilnya di sisi kiri jalan, aku pun turun.

“Sampai nanti ya?” Teriakku ku kepada Lisa sambil melambaikan tangan, Lisa membunyikan klakson sebagai balasan, lalu ia melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjanya. 

Hari itu tidak banyak pekerjaan luar di lapangan, aku lebih banyak ada di dalam kantor, menyusun laporan. Dan akhirnya alarm pulang jam kantor berbunyi, setelah membereskan tugas-tugas kantor, aku segera mengemasi tas kerjaku dan keluar ruang menuju lobby, di lobby aku duduk di sofa yang menghadap luar, ada kaca besar yang membingkai depan lobby sehingga aku bisa melihat suasana luar. Kukeluarkan handphone dari tas dan aku menelpon Lisa.

“Sore Lisa..... aku sudah di lobby nih!” Aku menginformasikan kalau jam kerja ku sudah habis dan aku menunggunya di lobby.

“Ok Meli.... tunggu ya? Aku dalam perjalanan pulang nih, sebentar juga nyampai situ kok!” Jawab Lisa dari seberang, kami lalu menutup handphone agar Lisa tidak terganggu saat menyetir mobil.

Tak seberapa lama, Lisa sudah terlihat. Dari balik kaca aku melihatnya berbelok masuk menuju depan lobby, aku segara bangkit dari duduk dan keluar menemuinya.

“Gimana kalau kita nonton film dulu sambil menunggu acara sale-nya dimulai?” Tanya Lisa sambil tetap mengemudikan mobilnya.

“Terserah kamu aja, kamu kan yang punya hajat.” Jawabku santai. Diantara kami berdua memang tidak ada basa basi lagi, kami sudah berteman cukup lama semenjak kami kost di tempat yang sama, seperti sebuah peraturan yang tidak tertulis bahwa siapa yang mengajak dialah yang bertanggung jawab untuk urusan finansialnya, terkecuali sudah ada pembicaraan sebelumnya. 

“Sip lah” Serunya sambil menepuk bahuku.

Malam itu kami benar-benar menikmati kebersamaan kami, selain nonton film, makan minum di cafe lalu berlanjut ke berburu barang obral di tengah malam. 

“Gila kamu Lisa, belanja sebegitu banyak buat apa?” Seruku sambil geleng-geleng kepala melihat Lisa menenteng banyak tas belanjaan di tangan kanan dan kirinya. 

“Mumpung discount lah yaouww!” Jawabnya enteng. Memang enak jadi anak orang kaya, uang seperti air saja.. selalu mengalir. Lisa mendapat dua sumber penghasilan, dari transfer orang tuanya setiap bulan dan juga dari gajinya di butik tempat dia bekerja. Konon kabarnya uang pemberian orang tuanya jauh lebih banyak, kerja pun cuma buat isi waktu luang... ckckckc..... beda dengan aku yang hidup dari penghasilanku sendiri, tidak ada bantuan finansial dari orang tua lagi. Mau tak mau aku harus bisa mengatur arus masuk dan arus keluar jangan sampai tekor, bila tidak mau merana di tanggal tua. Akhirnya tanpa paksaaan pun aku tidak membeli barang-barang yang sekiranya kurang perlu.

Dini hari kami keluar area parkir mall tempat kami berburu barang sale.... maksudku Lisa yang berburu, aku cuma sebagai penggembira saja. Lisa mengendarai mobilnya pelan-pelan keluar area parkir karena banyak orang yang juga mau meninggalkan mall tersebut. Sampai di jalan utama suasana jalan yang biasanya ramai dan padat tampak kontradiksi sekali, meski tidak bisa dibilang sepi tapi kendaraan tidak terlalu banyak, apalagi saat kami mulai meninggalkan pusat kota, suasana sepi mulai menggelayuti perjalanan pulang kami. Kost kami memang terletak di pinggiran kota.

“Gila... sepi banget!” Seruku, mataku bergerak kekanan kekiri memandang arah depan. Meski mobil dalam keadaan terkunci kami tentu tetap was-was, maklum dini hari dan kami berdua perempuan.

“Makanya berdoa biar cepat sampai kost dengan selamat!” Sergah Lisa.

“Siap bu komandan.” Ledekku meladeni candaanya, kami berdua lalu tertawa.

Lisa menjalankan mobilnya dengan tidak terlalu kencang, meski jalanan cukup sepi tapi dia lebih memilih untuk tetap hati-hati dan tidak ngebut, katanya kadang - kadang suasana sepi membuat kita lalai karena menggampangkan. Kita jadi tidak waspada, padahal bisa saja ada seseorang yang menyeberang jalan, karena sepi orang tidak menengok kiri kanan dulu, di bagian lain si pengemudi juga merasa tidak ada orang di pagi buta begini... nah akhirnya..... kecelakaan tidak terhindarkan.

“Lisaaaaa... awaaaaaassss!!!!” Teriakku kencang, aku melihat tiba-tiba ada seorang perempuan yang begitu saja muncul di hadapan mobil ini dan Lisa telah menabraknya.

“Eh... eh.... kenapa kamu?” Tanya Lisa panik, dia segera menepikan mobil di kiri jalan.

“Tadi.... tadi.... tadi.... menabrak..... orang!” Seruku terbata bata.

“Menabrak orang?” Sergah Lisa dengan raut muka bingung.” Perasaan tidak ada apa-apa, kamu jangan nakut nakutin dong! Aku tidak lihat seorangpun tuh!” Ucapnya lagi dengan suara bernada ketakutan. Dia menatap ke depan lalu ke samping, dan lalu dari spion dia melihat ke belakang, aku juga ikut-ikutan melihat, tapi memang tidak ada apa-apa.

“Kamu berkhayal kali...!” Sergahnya lagi.

Aku terdiam sesaat sambil mengatur napas, rasa deg-degan di dalam hati masih terasa. Aku begitu yakin dengan yang aku lihat tadi.

“Menurutmu......” Aku berhenti sebentar, tidak tahu harus berkata apa.

“Apa... ada apa?” Tanya Lisa tidak sabar campur cemas.

“Kita perlu melihat keluar nggak ya?” Aku mengerti bahwa hal itu sangat berbahaya karena siapa tahu ada orang jahat yang mengintai kami, begitu kami keluar mobil habislah kita, tapi aku juga khawatir bila Lisa benar-benar telah menabrak seseorang, kalau tidak segera ditolong kan lebih beresiko lagi.

“Aduh.. gimana yaaa...!” Ujar Lisa kebingungan. 

“Gini aja... aku keluar melihat, kamu tetap di mobil dengan kondisi terkunci dan mesin masih menyala, jadi kalau ada apa-apa kamu bisa langsung tancap gas dan meminta pertolongan!” Aku mencoba mencari jalan keluar.

Lisa memalingkan muka ke arahku dan menatapku dengan heran, “Apa kamu yakin kalau aku tadi telah menabrak seseorang? Aku merasa tidak ada apa-apa selama aku mengemudi!”

“Aku kurang tahu sih... tapi... entahlah aku ingin sekali melihat keluar untuk memastikan.!” Ucapku menggaris bawahi keinginanku itu. “Tolong Lisa, daripada batinku tidak tenang!” Pintaku lagi.

“Tapi hati-hati ya. Beneran lho ya kalau ada apa-apa aku langsung tancap gas......”

“Yup, kamu cari pertolongan segera!” Potongku cepat.

Akhirnya seperti kesepakatan kami, aku keluar mobil sendirian sedang Lisa tetap di depan kemudi dengan kondisi mobil masih menyala dan semua pintu terkunci. Setelah aku keluar aku segera berjalan ke depan untuk meneliti bagian depan mobil, aku tidak menemukan apa-apa disitu, bahkan kondisi mobil juga mulus seperti tidak ada yang terjadi. Kemudian aku berjalan ke arah samping dan belakang mobil, juga tidak ada yang ganjil, semua tampak normal-normal saja, mungkinkah tadi cuma khayalanku saja? Aku bermaksud kembali ke dalam mobil ketika tiba-tiba ada sebuah sorot mobil menghalangi pandanganku, ternyata ada mobil patroli polisi. Mereka menepikan mobil, lalu seorang polisi datang menghampiri kami.

“Malam mbak, bisa kami melihat surat suratnya?” Tanya polisi itu kepada kami.

Lisa segera mengeluarkan surat-surat mobil dari dalam tasnya dan menyerahkan ke polisi itu, setelah diteliti, surat–surat itupun dikembalikan.

“Maaf, malam-malam begini kok menepikan mobil, ada apa ya? Mungkin ada yang bisa kami bantu?”  Tanya polisi itu dengan ramah.

“Ah enggak ada apa-apa kok Pak, cuma keluar sebentar mau buang angin!” Jawabku bohong, Lisa tersenyum mendengar alasanku yang sekenanya tapi tetap bisa dinalar itu.

“Ooh...!” Polisi itu tertawa kecil, lalu lanjutnya, “Ya sudah kalau begitu, tapi hati-hati sudah malam. Apalagi kemaren malam ada tabrak lari di lokasi ini......”

“Tabrak lari?” Aku dan Lisa menjerit bersamaan.

“Iya, korbannya seorang perempuan, penabraknya belum diketahui sampai sekarang. Maklum kalau kondisi sepi begini orang malah tidak hati-hati.”

“Oohh.... terima kasih infonya pak, kami juga mau segera pulang nih!” Ucap Lisa sedikit bergetar.

“Iya pak, kita mau pulang.” Tambahku menguatkan perkataan Lisa.

Setelah polisi itu kembali ke mobil patroli, Lisa mulai menjalankan mobilnya dengan pelan-pelan.

“Mungkin yang kamu lihat tadi hantu, Meli!” Kata Lisa tanpa bermaksud menakut nakuti diriku.

“Mungkin saja.... tapi beneran kamu tidak melihat atau merasakan apa-apa?”  Tanyaku balik ke dia.

“Enggak tuh.. makanya aku bingung saat kau bilang aku telah menabrak seseorang, untung tadi ada mobil patroli, aku sudah khawatir kalau terjadi apa-apa!” Sergah Lisa menarik napas lega.

“Ya sudahlah, yang penting kita selamat!” Lanjutnya lagi.

“Iya... pingin segera sampai kost nih!” Ucapku membenarkan.

Tapi mendadak kami mencium bau yang aneh, bukan hanya aku tapi Lisa juga.

“Kamu mencium bau aneh nggak Meli?” Tanya Lisa setengah tidak percaya.

“Iya nih, bau anyir!” Seruku sambil mendengus dengus mencari arah asal bau itu, tapi sepertinya bau itu melingkupi seluruh mobil. Kami lalu saling menatap, ada perasaan ngeri dan takut yang tiba-tiba menghinggapi kami berdua. Segera Lisa mengemudikan dengan sedikit lebih kencang, dan ketika kami sudah meninggalkan lokasi itu, bau-bau aneh itupun kemudian menghilang. Mungkinkah tadi yang kulihat adalah hantu perempuan tabrak lari seperti perkataan polisi itu? Dan bau aneh tadi adalah pertanda hantu itu masih ada dilokasi nya? Hiiii... kami bergidik bila mengingatnya.


KISAH PEDAGANG BAKSO KELILING

(Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Aku sedang sibuk menata dagangan bakso, saat Tarjo teman satu kost-ku pulang dari tempat kerjanya. Tarjo melihatku sejenak, kemudian ia masuk ke dalam kamar kost untuk berganti pakaian dan menaruh sepatu. Tak seberapa lama dia lalu keluar kamar menemaniku.

“Baru pulang Jo?” Sapaku melirik ke arahnya sebentar, lalu aku kembali melanjutkan menata dagangan bakso.

“Iya nih, tadi ada lembur!” Jawabnya pendek, sambil duduk di bangku kecil dekat gerobak baksoku.

“Wah enak ya kamu, tiap minggu dapat upah, apalagi bila lembur... wah duit ngumpul tuh!” Aku bercanda dengan sedikit iri. 

Tarjo itu seumuran anakku yang kutinggal di kampung, dia baru lulus sekolah menengah atas setahun yang lalu, masih muda. Tenaganya masih laku di dunia kerja. Meski sebagai buruh penghasilannya juga pas pasan, tapi tiap minggu masih ada yang bisa diharapkan. Beda dengan aku yang cuma penjual bakso keliling, penghasilan tidak pernah tentu, kadang sudah semalaman jalan tidak banyak pembeli, kalau sudah begini tabunganku yang aku simpan di almari terpaksa diambil buat modal selanjutnya. Kadang memang ramai juga sih, apalagi bila ada yang pesan untuk hajatan atau acara tertentu. Lumayanlah kalau itu.

“Wah pak Pono ini.... aku cuma buruh pabrik pak, upah juga mepet!” Ucap Tarjo merendah, “Kalau lagi laris baksonya, duit Pak Pono juga banyak kan?” Gantian dia meledek aku.

“Hahaha...” Aku tertawa sambil geleng-geleng kepala.” Kalau laris manis ya duitnya ngumpul, tapi kalau sepi... ya... gitu deh!” Lanjutku.

“Kok jualan malam hari pak? Kalau siang kan banyak orang, kemungkinan orang beli juga tentu lebih banyak daripada malam hari?” Tanya Tarjo lagi.

“Wah kalau siang tuh banyak saingan, banyak pedagang makanan. Pernah dulu aku jualan siang, tapi ternyata hasilnya lebih banyak pas jualan malam hari.” Jawabku datar. 

Aku jadi ingat dulu waktu aku pertama kali datang ke kota ini, harapan membuncah untuk mencari rejeki, apalagi ada tanggungan di kampung yang mesti kuhidupi. Seumuran Tarjo, teman kost ku itu, aku diterima kerja di pabrik sepatu. Hari-hari kulalui dengan rutinitas yang pasti juga penghasilan yang pasti pula. Tapi itu tidak berlangsung lama, saat krisis melanda negara ini pabrik tempatku bernaung ternyata tidak mampu bertahan. Jadilah pemutusan kerja besar besaran. Bahkan pabrik kemudian ditutup. 

Banyak sekali pengangguran kala itu dengan kondisi kenaikan harga yang gila gilaan. Mau tak mau aku harus banting stir mencari lahan ekonomi yang lain, untuk mencari pekerjaan sudah sangat sulit. Di usia yang tidak lagi muda juga kondisi ekonomi negara yang tidak menentu lapangan kerja jadi seperti menciut. Terpaksalah aku kerja serabutan, apa saja asal halal dan menghasilkan. Dan jadilah aku pedagang bakso keliling. Awalnya aku jualan disiang hari, pikirku banyak orang yang beraktivitas dan membutuhkan makanan, tapi ternyata saingannya banyak sekali. Akhirnya aku memutuskan berdagang di malam hari, lumayanlah, saingan tidak banyak dan aku bisa memutar modal.

“Memang nggak takut sama hantu pak?” Tanya Tarjo dengan polosnya. 

Dia belum lama menginjakkan kaki di kota ini, katanya sih selepas SMA dia diajak kerabatnya untuk bekerja di pabrik mebel sebagai tenaga mengamplas.

“Kalau hantu sih.... dirapal doa juga ngacir!” Jawabku sekenanya.

“Emang pernah ketemu sama hantu ya?” Tanyanya lagi seperti tertarik.

“Ah itu sudah lama sekali..... aku juga sudah agak lupa!”

“Cerita dong....!”Pintanya serius.

“Tapi seingatku saja ya?” Kulihat Tarjo mengangguk setuju.

“Duluuuu sekaliiiii aku pernah jualan di dekat kuburan, terus ada perempuan membeli semangkok bakso. Dia itu cantik dan wangi sekali, cuma bajunya itu lho.... putih panjang kayak kuntilanak.... eh ternyata beneran. Setelah dia pergi uang yang tadi buat membayar bakso berubah jadi daun... ya rugilah aku!”

“Kok kayak cerita di film-film itu ya?” Ucap Tarjo sambil mengeryitkan dahi. Ternyata dia pintar juga. Sebenarnya aku belum pernah ketemu hantu, cuma mencuplik dari film yang pernah aku tonton dulu.

“Film kan juga idenya dari kejadian yang pernah terjadi.” Elakku dengan nada suara agak tinggi, maklum... kan malu kalau ketahuan bohong... hehhehe.

Tarjo mengangguk angguk, entah dia percaya omonganku atau dia menyerah untuk tidak berdebat denganku yang jauh lebih tua ini.

“Seperti yang aku katakan tadi Jo.... kalau hantu mah bisa diusir pakai rapalan doa -doa.... yang paling aku takutkan sebenarnya kalau ketemu orang jahat! Itu yang berbahaya.”

“Orang jahat?” Tarjo membelalakkan mata.” Padahal kita ini termasuk orang tidak mampu.....”

Belum selesai Tarjo bicara aku memotongnya. ”D. U. I. T.” Ejaku huruf per huruf.

“Duit tidak mengenal orang mampu atau tidak mampu. Duit bisa bikin orang silau. “Lanjutku

“Pak Pono pernah mengalami ya?” Tanya Tarjo lagi.

“Ya pernah...” Kali ini aku berkata jujur. ”Dulu aku pernah dipalak preman, udah minta bakso gratisan eh merampok uang pula.”

Kulihat Tarjo menggeleng gelengkan kepala.

“Makanya aku selalu menaruh uang nominal besar di tempat yang berbeda, jadi kalau ada kejadian seperti itu, masih ada yang buat modal besok.”

“Wah beresiko juga ya!” Seru Tarjo.

“Semua pekerjaan ada resikonya Jo... yang penting kita kerja di jalan yang direstui Tuhan alias halal, Insya Allah akan dimudahkan.” Ucapku setengah menasehati.

Tarjo mengangguk angguk lagi. 

“Aku mau mandi dulu Pak Pono, hampir Maghrib nih!” Ucapnya sambil bangkit dari kursi untuk selanjutnya menuju kamar mandi di ujung baris kamar kost ini. 

Sederet kamar kost berjumlah sepuluh dengan satu kamar mandi dan WC di ujungnya. Bisa dibayangkan kami mesti antri. Kamar kostku dan Tarjo berada di nomor empat, ruangan kecil saja ukuran dua setengah kali tiga meter. Untuk menyiasati agar tidak terlalu penuh, pemilik kost menempatkan sebuah tempat tidur tingkat. Tapi dengan jam kerja yang berbeda antara Aku dan Tarjo, ruang itu jadi lebih plong. Tarjo bekerja dari pagi sampai sore bahkan petang atau malam kalau pas lembur, sedang aku dari selepas Maghrib sampai dini hari. Kami berdua jadi jarang bertemu, layaknya punya kamar kost sendiri saja. Selepas Maghrib aku mulai menjajakan daganganku. Dimulai dari daerah sekitar tempatku tinggal lalu menjauh mengikuti rute yang biasa aku jalankan.

“Banggg... baksooooo!” Suara seorang ibu dengan kerasnya sambil bertepuk tangan dan lalu melambaikan tangan. Aku segera berbalik arah untuk menemui ibu itu. 

“Beli dua pak, nggak pakai irisan tahu dan seledri!” Pesan ibu itu.

Aku segera melayaninya, selanjutnya ibu itu membawa dua mangkok bakso ke dalam. Aku diam berdiri disitu menunggu mangkok itu dikembalikan. Aku membunyikan mangkok kosong untuk memberi tanda kepada orang-orang agar tahu kalau ada penjual bakso. Sesaat kemudian ibu itu keluar rumah dan menemuiku.

“Ini pak mangkok dan uangnya!” Seru ibu tadi sambil menyerahkan mangkok kosong dan beberapa lembar uang. 

“Di lapangan kampung Madusari ada acara pameran lho Pak!” Ucapnya sesaat aku menerima uang dan mangkok.

“Pameran apa bu?” Tanyaku, dalam hati aku berterima kasih karena ibu itu sudah memberitahuku.

“Pameran tanaman hias, ramai pak!” Jawabnya bersemangat, 

“Aku sudah lihat kemaren, penjual dadakan juga banyak tuh!” Lanjutnya tanpa bermaksud beriklan.

“Wah terima kasih bu, siapa tahu rejeki ya!” Aku berkata dengan suka cita, boleh juga tuh informasinya. 

Ibu itu mengangguk dan tersenyum, selanjutnya aku meninggalkan rumah itu menuju lapangan di kampung Madusari. Kampung itu tidak terlalu jauh, berbatasan dengan kompleks perumahan yang terhitung belum lama berdiri. Sesampai disana, kulihat suasana lapangan yang sangat ramai. Stan tanaman hias berdiri berjajar dengan aneka tanaman hias yang cantik, beberapa jenis tanaman hias yang baru populer di tengah masyarakat tampak ada disetiap stan. Lalu ada penjual dadakan seperti aku ini yang berbaris di sepanjang batas lapangan.

“Baksonya pak lima.” Ucap seorang pemuda sepantaran Tarjo.

”Yudi, kamu beli minuman sana!” Suruhnya kepada salah seorang temannya.

Aku segera melayani pesanan mereka.

“Pak, kita duduk disitu ya!” Ucap pemuda itu sambil menunjukkan jarinya ke arah rerumputan yang masih kosong.

“Silakan dik!” Jawabku pendek. 

Kulihat mereka duduk melingkar di rerumputan lapangan ini. Temannya yang tadi membeli minuman turut bergabung.

Sambil menunggu mereka, aku melayani pembeli lain. Di saat longgar tidak ada pembeli, aku melayangkan pandangan di sekitar pameran. Banyak orang berlalu lalang dan melihat lihat tanaman yang dipamerkan. Beberapa dari mereka membeli tanaman hias itu dan membawanya sambil berkeliling di stan yang lain. 

“Pameran tanaman ini berapa lama ya?” Tanyaku kepada seorang pembeli yang menenteng tanaman hias di tangannya. 

Dia membeli tiga porsi bakso dan minta dibungkus plastik untuk dibawa pulang.

“Ini hari terakhir pak!” Jawabnya pendek.

“Oh, pantas ramai sekali.” Selaku sambil menuang kuah bakso ke dalam plastik.

“Hehe.... iya pak, biasanya memang gitu, ramai nya ya pas hari terakhir.” Lanjutnya lagi.

Malam semakin larut, pameran sudah selesai sejak jam sebelas malam tadi, tapi karena masih ada orang yang berlalu lalang dan membeli makanan, kami para pedagang pun siap melayani. Sesaat setelah waktu menunjuk dini hari dan sebagian besar bakso sudah terjual, aku memutuskan untuk pulang, apalagi pembeli juga mulai menyurut. Aku sudah lelah dan uang yang ada juga sudah mencukupi 

 Tapi dalam perjalanan pulang aku lewat jalan tembus agar lebih cepat. Antara kompleks perumahan dan perkampungan penduduk ada jalan tembus. Kalau melalui jalan yang biasanya aku mesti jalan melingkar, tapi kalau melewati jalan tembus itu bisa hanya seperempat saja jaraknya. Dulu aku pernah melewatinya sih, tapi saat pembangunan kompleks perumahan ini, jalan tembus itu tertutup untuk sementara waktu. Sebetulnya itu bukanlah jalan umum, tapi lahan kosong yang sering dilalui karena memperpendek jarak. Konon kabarnya lahan itu milik seorang pengusaha kaya, meski dibangun sebuah kompleks perumahan, dia menyisakan sedikit untuk jalan tembus, makanya kadang orang menyebutnya dengan jalan belakang perumahan.

Aku berjalan perlahan menyusuri pagar tembok perumahan yang tinggi, jalan ini cukup sepi karena sebelahnya terhampar kebun kosong yang berdekatan dengan sungai, dipertengahan jalan ini ada jembatan kecil yang membentang di atas sungai yang menjorok itu. Jembatan itu sederhana saja, terbuat dari batang-batang kayu yang disusun berjajar dengan tali sebagai pegangan tangan, jembatan itu juga hanya muat untuk dua orang dewasa yang berjajar, saat aku berjalan melewatinya dulu, lebarnya cukup pas untuk gerobagku. Jembatan itulah yang memperpendek jarak tempuh. Dulu saat aku melewati jembatan itu belum selarut ini, masih banyak orang yang berlalu lalang, sebagian besar mereka para pekerja yang baru pulang dari kerja, mungkin lembur atau mendapat jatah shift kerja.

Entah mengapa malam ini suasana sekitar aku berjalan sangat sepi. Sejak meninggalkan ujung tembok kompleks ini aku tidak bertemu seorangpun. Mungkin karena sudah menjelang dini hari apa ya? Orang-orang pasti sudah tidur lelap.

“Bang... bakso bang!”

Aku mendengar seseorang memanggilku... pelan saja sampai aku nyaris tidak terlalu mendengar, tapi karena malam yang sepi suara itu cukup nyampai di telingaku, kuputar kepalaku mengikuti arah suara itu, kulihat seorang perempuan muda berdiri beberapa meter di belakangku. Dia sendirian saja. Aku agak tidak percaya juga, masak perempuan malam malam begini pergi sendirian? Apa mungkin dia perempuan nakal yang sering mangkal itu ya? Tapi aku coba enyahkan prasangkaku, tidak baiklah, siapapun dia tetaplah pembeli yang harus dilayani dengan baik. Lalu aku memutar arah gerobakku menuju perempuan itu.

“Dari pulang lihat pameran mbak?” Sapaku kepadanya sekedar berbasa basi.

Dia tersenyum saja tidak menjawabnya, lalu dia mengacungkan jarinya sebagai tanda dia memesan satu mangkok bakso.

“Dibungkus atau.....” Belum selesai aku mengucapkan kalimat, dia sudah memotongnya.

“Makan disini saja Bang!”

Aku segera melayaninya dan menyerahkan baki berisi semangkok bakso dan perlengkapannya semacam sambal, saus dan kecap. Dia menerima baki itu dan membawanya ke tembok perumahan, dia lalu berdiri bersandar sambil makan bakso itu. Kuamati perempuan itu, dia memakai celana panjang dan kaos yang tertutup jaket. Rambutnya tergerai melayang layang tertiup angin. Parasnya cukup manis dengan bibir tipis menghiasi bulat telor mukanya. Hanya saja aku tidak bisa menangkap matanya, dia selalu saja menunduk. Bahkan saat ia mengembalikan mangkok dan membayarnya, dia tetap saja menunduk.

“Hati-hati sudah malam!” Ucapku kepadanya tanpa maksud menggurui. 

Dia menganggukkan kepalanya saja lalu berbalik arah berjalan meninggalkanku. Akupun lalu berjalan berganti arah menuju jembatan. Sesampai di ujung jembatan aku sempat menengok ke arah dia yang mungkin masih berjalan, tapi sosok perempuan itu tidak terlihat, aneh... masak secepat itu ia meninggalkan jalan setapak ini? Tanyaku dalam hati. Tapi aku tidak terlalu peduli, yang kuinginkan sekarang adalah segera sampai kost dan tidur.

Aku terbangun ketika suara gaduh hinggap di telingaku, ternyata Tarjo sedang bersiap siap untuk berangkat kerja. Jam dinding yang ada di hadapanku menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.

“Berangkat dulu pak Pono!” Ucapnya sambil melangkah menuju pintu kamar kost.

“Mmhmmm... yaa.. ya!!!” Jawabku masih mengantuk.

Sesaat aku diam tiduran di atas tempat tidur, setelah itu aku bangun dan berjalan ke arah kamar mandi untuk cuci muka, selanjutnya aku kembali ke kamar untuk menghitung hasil jualanku semalam. Kututup pintu kamar itu dan kukunci dari dalam, aku tidak mau penghuni kamar kost yang lain melihatku menghitung uang, bukan apa-apa, cuma aku paling malas kalau ada yang mau meminjam uang. Kalau mau nggak dipinjami nyatanya aku ada uang, kalau aku meminjami aku sendiri bakalan yang repot apalagi bila orang itu tergolong bandel dan cuek, kalau nggak ditagih tidak mau membayar. 

Kusibakkan kasur tempat aku tidur semalam, lalu kuambil kantong kain yang aku simpan di bawah tikar alas kasur, aku biasanya memasukkan semua hasil berdagang ke dalam kantong itu lalu aku sembunyikan di bawah situ. Keesokan harinya saat Tarjo berangkat kerja barulah aku membongkar dan menghitungnya, setelah dikurangi pangkal modal untuk membeli bahan-bahan pembuatan bakso, sisanya aku simpan didompet dan kutaruh di dalam almari pakaian. Sebagian uang yang terkumpul nantinya akan aku kirim ke keluarga di kampung., sebagian lagi untuk membeli keperluanku sehari hari.

Lembar demi lembar, koin demi koin aku mulai menghitung. Tapi tiba-tiba mataku tertahan pada pemandangan yang tidak biasanya, aku melihat dua lembar daun ada diantara uang-uang itu. Kuambil daun-daun itu dan kuamati. Perasaan aku tidak pernah menaruh apapun di kantong ini kecuali uang hasil aku berdagang? Kok ini ada daun? Selanjutnya pikiranku kembali ke peristiwa tadi malam saat aku menerima pembayaran dari perempuan itu, dia menyerahkan dua lembar uang kertas, dan saat aku menerima, aku melihat itu benar-benar uang kertas. Aku tertegun, tidak mengerti dengan ini semua. Kalaupun aku nanti cerita ke Tarjo, mungkinkah dia percaya?


Sunday, August 15, 2021

TUYUL PENJAGA KANTOR

(Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi)


  

Hari ini aku berencana lembur di kantor. Ini kali pertama aku lembur di kantor, itu pun karena aku lagi ketagihan main game online hehehe. Biasanya sih kerjaan aku bawa pulang. Aku bekerja sebagai editor di sebuah penerbit, jadi kerjaan kantor yang berupa naskah-naskah bisa aku kerjakan di rumah. Itu pun kalau pas aku tidak malas mengerjakannya atau pas tidak begitu di kejar-kejar dead line.

Saat itu, di ruanganku lumayan banyak temanku yang juga lembur. Hingga akhirnya waktu menunjukkan hampir pukul 20.00. Satu per satu teman-temanku mulai berkemas dan pulang. Tinggal aku dan Rudi saja di dalam ruangan itu. Beberapa saat kemudian, Rudi pun berkemas dan mau pulang.

“Gus, kamu nggak pulang nich...” Tanya Rudi

“Ntar lagi, tanggung nih.... pas seru-serunya...” Jawabku tanpa menoleh ke arah Rudi karena asyik maen game.

“Aku pulang duluan ya...” Lanjut Rudi.

“ Yo’i... hati – hati di jalan...” Jawabku singkat tanpa menoleh ke arah Rudi

“Ok.. sip.” Jawab Rudi sambil berlalu menuruni tangga.

Kini aku sendirian di ruanganku. Selang beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki menaiki tangga, dan berjalan menuju arah meja Rudi. Karena aku lagi asyik-asyiknya main game, aku pun tidak menoleh ke arah suara langkah kaki tersebut. Pikirku itu pasti Rudi.

“Balik lagi Rud, ada yang ketinggalan ya...?“ Tanyaku sambil asyik main game

“Iya... ada yang ketinggalan.” Jawabnya datar dan dingin

“Oooh...” Lanjutku singkat.

Kemudian terdengar suara langkah kaki dari meja Rudi menuju arah kamar mandi. Aku pikir Rudi mau pergi ke toilet. Bersamaan itu pula terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Aku sempatin melirik siapa gerangan yang datang, ternyata satpam kantor.

“Masih lembur nih pak Agus.? Tanya pak satpam.

“Nggak kok, sebentar lagi juga mau pulang.” Jawabku singkat sambil masih memainkan game.

“Berani nih sendirian?” Lanjut pak satpam

“Ada Rudi kok pak.” Jawabku tanpa menoleh ke arah pak satpam

“Lho tadi saya keliling kok sudah tidak ada orang?“ Jawab pak satpam sambil mendekatiku dan melihatku main game.

“Kayaknya lagi di toilet pak.” Jawabku singkat

“Ooo begitu... ya sudah saya lanjut keliling dulu pak Agus.” Lanjut pak satpam berlalu sambil menepuk bahuku

“Oh iya pak... silakan.” Jawabku

Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki dari arah toilet dan berjalan menuju ke meja Toni. Aku pikir itu Rudi. Rudi memang suka maen di meja kerja Toni, sekedar numpang membaca buku-buku dan majalah kepunyaan Toni. Hal itu karena di meja Toni memang banyak buku-buku dan majalah lelaki dewasa kesukaan Toni. 

“Dah lega ya Rud... lama sekali kau di toiletnya.” Candaku sambil tetap main game.

Namun, tidak ada jawaban dari Rudi. Ah mungkin Rudi lagi keasyikan baca majalah Toni pikirku. Tiba-tiba terdengar suara telepon yang berdering dari meja kerja Doni, meja temanku yang berada di pojokan tepat bersebelahan dengan meja Toni. Telepon itu pun terus berbunyi karena tidak ada yang mengangkat. 

“Rud angkat dong teleponnya... kamu kan yang lebih dekat.” Teriakku

Namun tidak ada jawaban dari Rudi dan telepon pun terus berdering. Aku menengok ke arah meja Toni, disitu tidak terlihat Rudi. Begitu juga di meja Rudi, kosong. Dan telepon pun masih berdering. Akhirnya aku pun menghampiri meja Doni dimana telepon tersebut berdering. Begitu aku sampai di meja tersebut, telepon itu berhenti berdering.

“Aaah sialan! Ngerjain aja nih!" kataku sambil gerutu

Saat aku kembali main game tiba-tiba telepon kembali berdering dan kali ini dari meja Rudi. Aku pun lagi-lagi menghampirinya dan begitu aku angkat teleponnya

“Hallooo..."

Tidak terdengar suara apapun! Aku tutup teleponnya dengan agak keras sambil marah -marah.

“Aaah ini pasti ulah Rudi.... bikin kesel aja!" gerutuku lagi. 

Dalam keadaan kesal aku kembali main game. Tak lama kemudian, aku merasa ada sesuatu yang beberapa kali mencolek kakiku dan sesekali menarik-narik bahan celanaku dari kolong meja kerjaku! Agak kesal dan penasaran akupun melongok ke kolong meja dan aku sangat kaget ketika…

Aku melihat ada sesosok anak kecil sedang menatap ke arahku dengan sorotan matanya yang tajam dan merah menyala! Aku langsung kaget setengah mati dan lari pontang panting keluar ruangan. Di luar kantor aku pun berpapasan dengan satpam yang baru kembali dari keliling ruangan-ruangan.

Aku pun berteriak, “ADA TTUUYYUULLLL!!!!!!!!" 

Satpam itu pun menatapku heran dan kebingungan...


Monday, August 2, 2021

Kembalinya Sang Penjaga Asrama

(Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi, bukan tempat kejadian sebenarnya)


Kisah ini terjadi menjelang tahun baru dimana asrama akan tutup/libur ketika tahun baru. Gara-gara kisah horor yang aku alami ini, aku yang sebelumnya tidak percaya akan hal-hal berbau mistik menjadi percaya setelah mengalami insiden itu. Ketika itu aku masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Wenhua di Taiwan dan tinggal di Asrama Dalun. Karena kejadian inilah, mau tidak mau aku harus percaya bahwa asrama Dalun memang ada hantunya. Berikut inilah kisah yang aku alami.

Waktu itu hari terakhir ujian. Karena pada saat semester satu mata kuliahnya lumayan banyak, jadinya kami ujian terus sampai hari terakhir. Malam itu pun bersama anak-anak asrama yang lain kami memasak shabu-shabu. Dikarenakan besok siang asrama sudah akan ditutup, jadi yang tinggal di asrama tak seberapa banyak. Aku masih ingat waktu itu gerimis, jadi rasanya dingin. Kalau sudah begini, sudah pasti saat yang tepat untuk makan shabu-shabu! Aku, bersama teman-teman asrama dan si ketua lantai, makan sambil ngobrol dan bercanda. Karena baru saja selesai ujian, ditambah kondisi luar yang dingin, kami semakin ngobrol semakin berisik, sampai tiba-tiba kamar jadi gelap! Ternyata mati lampu lagi! Salah satu temanku mengeluh,  “Asrama sudah hampir tidak ada orang, masih aja mati lampu!”

Aku tiba-tiba merasa ada yang tidak beres. Soalnya di sekelilingku terasa sunyi senyap. Si ketua, yang merasa tidak beres juga meminta kita jangan bersuara. Lalu kami dengar di luar asrama anjing menggonggong terus. Dan belakangan, gonggongannya tiba-tiba berubah menjadi suara lolongan!

Karena kondisi di ruangan gelap gulita, salah satu teman pun beranjak ke meja belajarnya untuk mencoba mengambil senter. Tiba-tiba di pintu (dia kebetulan duduk di dekat pintu), muncul sebuah bayangan hitam, dengan suara Shandong yang kental dia marah kepada kami.

“Dasar anak-anak nakal! Sudah dibilang berapa kali jangan masak di dalam kamar, masih juga masak!”

Teman yang hendak ambil senter itu pun membalas, “Sudah mau selesai kok.”

Bayangan hitam itupun menghilang. Anjing yang di luar pun sudah diam kembali. Lampu juga akhirnya menyala. Hanya saja aku melihat wajah ketua menjadi pucat pasi. Dia bilang dia tidak ingin makan lagi. Dia juga minta kita malam ini juga lebih baik pulang ke rumah masing-masing, jangan tinggal di asrama lagi. Soalnya, tadi yang berdiri di pintu itu bukanlah manusia.

Kata si ketua, sebelum aku masuk ke Asrama Dalun, dulu ada seorang petugas yang tinggal di belakang asrama. Dia orang Shandong, postur tubuhnya kurus tinggi. Dulu setiap kali ada yang curi-curi masak di asrama terus mati lampu, paman itu pasti akan marah habis-habisan. Suaranya biasanya sangat keras, sampai anak-anak di seluruh lantai pun bisa mendengarkannya.

Tapi dengar-dengar si paman itu akhirnya meninggal sewaktu pergi ke Tiongkok sana. Semenjak itu tidak pernah kelihatan lagi. Jadi, perlahan-lahan tradisi masak-masak pun tidak ada yang peduli lagi. Hanya saja, kata paman Rongmin, penjaga asrama yang menggantikannya, kadang-kadang orangnya “kembali” ke kamar tempat dia tinggal dulu.

Untuk menghilangkan rasa takut dan menunggu pagi tiba, kami bermain kartu sampai pagi, tidak ada satupun yang berani tidur. Keesokan harinya semua langsung pulang ke rumah masing-masing.


La Planchada