Seperti biasa setiap malam minggu, aku dan beberapa teman-teman kampungku selalu nongkrong di warung angkringan di perempatan jalan kemudian dilanjutkan main gitar dan nyanyi-nyanyi di bawah pohon besar dekat angkringan tersebut hingga dini hari.
Suatu malam terjadi tragedi dimana sepasang kekasih tertabrak motor ketika sedang menyeberang di perempatan jalan. Mereka barusan membeli makanan dan ketika mau pulang saat menyeberang tiba-tiba ada motor dengan kecepatan tinggi langsung menabrak pasangan itu.
Spontan saja semua pengunjung warung angkringan termasuk diriku berhamburan keluar untuk menyaksikan kejadian tersebut. Si pengemudi motor hanya mengalami lecet-lecet di tubuhnya. Sedangkan si perempuan yang ditabrak langsung tewas di TKP karena kepalanya luka parah dan yang laki-laki juga luka parah hingga tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, di suatu malam minggu seperti biasa aku dan teman-teman kampungku ngumpul di warung angkringan dan dilanjutkan nongkrong di bawah pohon besar sambil bermain gitar dan nyanyi-nyanyi bersama. Di sela-sela kami bermain gitar, tiba-tiba Anton menceritakan tentang sepasang kekasih yang mengalami kecelakaan tempo hari.
“Wah.... kasihan sekali nasib orang yang ketabrak kemarin. Hingga saat ini, laki-laki tersebut belum sadarkan diri..” Cerita Anton dengan mimik serius.
“Lho kok kamu tahu, memangnya kamu kenal orang itu?“ Tanya Andi.
“Iya kenal... orang kampung sebelah dan ternyata dia adalah teman sekantornya adikku. Namanya Rudi, tadi siang aku dimintai tolong adikku untuk menemani membesuknya di rumah sakit.” Jawabnya. ”Sedihnya lagi, ternyata ia baru saja melangsungkan pernikahannya dua hari sebelum terjadi tragedi kecelakaan itu....” Lanjutnya.
“Hhhmmm.... sungguh kasihan nasibnya...” Gumamku lirih.
Kemudian kami melanjutkan bermain gitar hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Tiba-tiba saja hujan gerimis sehingga banyak pedagang yang memutuskan untuk memberesi dagangannya dan pulang. Padahal biasanya mereka berjualan hingga dini hari menjelang subuh.
Ketika itu, tinggal kami berempat –Anton, Andi, Hendra, dan aku sendiri (Agus)- yang masih nongkrong di pohon besar itu. Dan hujan gerimis pun kin lama berubah menjadi agak deras dan deras. Akhirnya aku dan ketiga temanku berteduh sambil main gitar di depan warung makan di pinggir jalan dekat perempatan itu.
“Wah.... kayaknya hujannya lama nih...” Seru Anton.
“Iya nih... mana udah malam lagi... jadi tambah dingin...” Sahut Hendra.
“Hhmmm bagaimana kalau kita pulang sekarang bonceng Agus secara bergantian... gimana Gus? Usul Andi sambil melirikku.
Saat itu aku memang membawa motor, karena sebelum nongkrong di warung angkringan aku diminta ibuku mengantarnya di rumah Budhe Dharmi.
“ Ya... ayo, siapa dulu nih.” Jawabku.
“Bagaimana kalau Anton dan Andi kamu antar duluan Gus, aku tunggu disini..” Usul Hendra.
“Bener nih Ndra... kamu nggak takut sendirian nunggu disini.” Sahut Anton.
“Nggak papa Ton... lagian kan rumah kalian berdekatan dan jaraknya paling dekat dari sini.” Lanjut Hendra
“Okelah kalau begitu... ayo Gus kita cabut sekarang.” Seru Andi
Akhirnya aku mengantar Anton dan Andi pulang duluan dengan naik motor bertiga. Sesampainya Anton dan Andi sampai rumahnya masing-masing, aku kembali lagi untuk menjemput Hendra.
Dari seberang jalan nampak Hendra sedang menungguku sambil bermain gitar, dan ada seseorang wanita berdiri tak jauh di sebelahnya.
“Wah beruntung sekali nih Hendra... ditinggal sendirian malah dapet cewek..” Gumamku sambil lanjut menyeberang menuju ke tempat Hendra.
Begitu aku tiba di tempat Hendra, pada saat yang bersamaan muncul seorang laki-laki dengan mengendarai motor menuju tempat kami. Dan ternyata laki-laki itu adalah adik Hendra yang baru pulang shift malam.
“Wah kebetulan nih.... Aku bonceng adikku aja Gus.” Kata Hendra sambil langsung naik ke boncengan motor adiknya.
“Lho.... lalu bagaimana dengan...” Belum selesai aku bicara, Hendra sudah memotongnya..
“ Yuk kita pulang sekarang Gus... dah kedinginan berat nih” Teriak Hendra sambil menyuruh adiknya segera menstarter motornya.
Tinggallah aku sendiri yang masih duduk di atas motorku. Ingin pulang sekarang tapi aku tak tega melihat cewek itu sendirian disitu. Kulihat cewek yang sedari tadi bersama Hendra. Wajahnya pucat pasi dengan rambut panjang terurai agak basah terkena hujan.
“Payah... nih Hendra, ada cewek malam-malam dibiarkan dan ditinggal sendirian begitu saja, benar-benar tidak punya perasaan nih Hendra.” Gumamku dalam hati.
“Mbak lagi nunggu siapa? Sudah malam mbak, atau mari saya antar saja?“ Tanyaku sambil menawarkan bantuan.
“Nunggu ojek mas, tapi tidak ada yang lewat. Mas, bisa tolong antar saya ke rumah sakit?“
“Oo... iya.. iya bisa mari silakan bonceng.” Jawabku sambil menyuruhnya segera membonceng. Setelah perempuan itu naik di motorku, aku segera menstarter motorku dan menuju ke rumah sakit. Untung saja hujan sudah reda, sehingga aku tidak perlu menggunakan mantel. Di tengah perjalanan tiba-tiba tercium harum bunga melati yang biasanya buat orang pas kawin. Dan tiba-tiba saja bulu kudukku terasa berdiri. Entah karena kedinginan atau ketakutan aku tidak bisa membedakannya. Untuk menghilangkan rasa itu, aku berusaha sok akrab dengan perempuan itu.
“Siapa yang sakit mbak?“ Tanyaku.
“Suami saya mas.” Jawabnya datar
“Oooo... kenapa nggak siang-siangan aja to mbak, malam-malam begini apa diijinkan sama rumah sakit?“Lanjutku
“Nggak papa kok mas. Kami dah janjian mau menjemputnya mas. Petugas rumah sakit pasti maklum mas.” Jawabnya
Beberapa saat kemudian, sampailah kami di rumah sakit. Begitu turun wanita itu berkata kepadaku.
“Mas bisa minta tolong lagi?“ Tanyanya
“Apa mbak?“ jawabku singkat
“Bisa antar saya sampai ke dalam ruangan suami saya dirawat?“Pintanya
“Oh.... ya nggak apa-apa... mari.”
Akhirnya sebelum aku pulang, aku mengantar perempuan itu terlebih dahulu masuk ke dalam rumah sakit. Aneh sekali suasana rumah sakit saat itu. Sangat sepi sekali, tidak ada satpam, perawat jaga, maupun penunggu pasien yang biasa tidur di lorong-lorong rumah sakit. “Aneh... pada kemana ya... kok sepi sekali.” Pikirku.
Beberapa saat kemudian, sampailah kami disebuah kamar no 3 di ruangan Cendana. Sekilas aku membaca nama identitas pasien yang terpampang di depan pintu. Disitu tertulis nama pasien.” Rudi Baskara.” Kemudian perempuan itu membuka pintu dan berkata padaku.
“Terimakasih mas sudah mengantar saya, hati-hati pulangnya.” Kata perempuan itu sambil menutup pintu tanpa mempersilakan aku masuk. Aku pun segera memutuskan untuk segera pulang karena waktu juga sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari.
Sampai di rumah aku segera bergegas ke kamar mandi cuci muka dan langsung ganti baju karena bajuku yang tadi agak basah kena hujan. Dan lanjut ke kamar untuk segera tidur karena besok harus bangun pagi karena ada gotong royong menyambut tujuh belasan.
Paginya saat bergotong royong, aku bertemu dengan Anton, dan Hendra. Sambil membersihkan selokan rame-rame, aku bertanya pada Hendra.
“Ndra... tega sekali sih kamu semalam... masak ada cewek sendirian kamu tinggal begitu saja.” Tanyaku penasaran pada Hendra. Tidak biasanya sih Hendra berperilaku sama cewek. Soalnya dia kan agak-agak play boy hehehe.
“Cewek yang mana? Semalam kita kan nongkrong di warung angkringan terus kehujanan. Semalaman aku tidak ketemu cewek bro.... kecuali ibuku ama mbah putri heheh.” Jawabnya sambil bercanda.
“Lalu... cewek semalam itu...” Tanyaku sambil menceritakan kejadian semalam. Di tengah-tengah ceritaku, pada saat aku berkata tentang nama pasiennya adalah Rudi baskara... spontan Anton yang dari tadi tidak begitu menyimak ceritaku tiba-tiba berseru.
“Haaaa....... apa??....... Rudi Baskara?? Bagaimana kabarnya, apa jenazahnya sudah dibawa pulang?“
Begitu aku mendengar teriakan Anton, aku menjadi tambah bingung dan linglung. Kemudian Anton bercerita, kalau tadi malam sekitar pukul 02.00 adiknya mendapat kabar kalau temannya Rudi yang tidak sadarkan diri setelah mengalami kecelakaan di perempatan itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tadi malam tepat jam 01.30.
“Jadi.... wanita yang semalam itu....” Tanyaku penasaran dalam hati