Tuesday, March 21, 2023

La Planchada



Rumah Sakit Juarez del Centro merupakan tempat dimana kisah mistis “La Planchada” atau “The Ironed Lady” bermula. Berdasarkan cerita, pada sekitar tahun 1930an ada seorang perawat bernama Eulalia yang selalu mengenakan seragam bersih dan disetrika dengan sempurna (karena itu dinamakan “The Ironed Lady”). Eulalia ini merupakan perawat yang sangat memerhatikan pasiennya. Menurut cerita, dia jatuh cinta pada seorang dokter dan mereka memutuskan untuk menikah. Namun, sang dokter meninggalkannya di altar. Eulalia kemudian menjadi tertekan dan meninggal (ada yang mengatakan kalau ia bunuh diri). Konon, arwahnya sampai sekarang masih menghantui lorong rumah sakit dengan seragam tuanya yang bersih dan rapi. 

Mereka yang pernah melihat penampakan La Planchada mengatakan ia terlihat seperti perawat biasa yang berjalan ataupun melayang dan terkadang terlihat seperti makhluk yang mengerikan. Dikabarkan bahwa La Planchada sering menyamar sebagai perawat di rumah sakit tersebut untuk merawat pasien. Pasien yang pernah dirawat oleh La Planchada akan sembuh dalam waktu singkat yang tidak wajar.


Sunday, March 20, 2022

Bertemu Kuntilanak Merah di Terowongan STIKUBANK Semarang



Menunggu mobil dipanasi, kami bertiga duduk santai di teras rumah Andi. Hanya tinggal menanti Marina dan Intan yang sebentar lagi pasti akan datang karena sudah sepakat untuk berkumpul di rumah Andi jam empat sore. Saat ini baru jam tiga lebih empat puluh lima menit jadi tak lama lagi mereka tiba. 

 Sesuai rencana, kami akan liburan ke Semarang selama sekitar tiga sampai empat hari. Dan itu sudah jauh-jauh hari diperhitungkan, sehingga ada waktu untuk mengumpulkan uang dan membuat perencanaan matang, maklum kami semua masih berstatus mahasiswa alias belum ada penghasilan sendiri, jadi mau tak mau mesti bisa mengatur pengeluaran seefisien mungkin agar bisa berhemat. 

Dari lima orang kelompok gank kami ada dua yang masih tinggal dengan orang tuanya yaitu Andi dan Nuri, sedang tiga lainnya kost, yaitu Marina, Doni dan Intan. Karena rumah Andi terletak di perkotaan dan paling mudah aksesnya maka tempat berkumpul ditetapkan di rumahnya. 

“Marina sama Intan kok belum datang ya?” tanya Doni si ketua gank.

“Sebentar lagi lah...” jawab Andi, lalu matanya beralih melihat jam tangan, “Belum ada jam empat, masih kurang lima belas menit!”

“Namanya juga cewek! Persiapannya lebih banyak!” timpalku. 

Aku sebagai seorang perempuan tahu pasti kalau yang namanya cewek itu tidak sepraktis kaum cowok. Kebutuhannya lebih banyak. Karena aku masih tinggal dengan orang tua, kalau ada yang belum sempat aku kerjakan bisa diambil alih sama anggota keluarga yang lain. Beda dengan kedua temanku yang kost itu, semua mereka urus sendiri.

“Mestinya nggak perlu ribet kan? Asal bawa baju dan duit… beres deh!” sergah Doni.

“Yaaah… kayak nggak tahu cewek saja sih!” seru Andi.

Aku mengangguk-angguk membenarkan ucapannya, sedang Doni cuma cengar-cengir. Dia memang paling disiplin dan tipe orang yang praktis. Makanya dia cocok jadi kepala gank. 

“Eh, mobil itu dari persewaan alias rental ya? Bagus nggak kondisi mesinnya?” Andi mengalihkan topik pembicaraan.

“Iya… jangan sampai mogok di jalan, bisa repot semua nih!” tambahku.

Doni mengacungkan jempol, lalu ucapnya, “Aku sudah kenal baik sama pemilik rental, dan selama ini tiap kali ayahku rental di situ tidak pernah ada masalah. Semua lancar-lancar saja!”

Menurut ceritanya, ayahnya itu punya usaha pariwisata. Dia menangani wisata kecil alias khusus keluarga atau kelompok kecil-kecil yang terdiri beberapa orang, jadi dia sering menyewa mobil di salah satu rekan bisnisnya yang punya usaha rental. Ilmunya itu menurun ke anaknya ya si Doni itu, jadi dia paling mengerti diantara kami seluk beluk tempat wisata dan tetek bengek yang dibutuhkan untuk wisata, serta bisa mengarahkan agar bisa berhemat.

“Iya deh percaya… kan Doni yang paling pakar soal wisata!” aku mengiyakan pernyataanya.

Aku lalu berjalan ke arah mobil itu untuk mengamatinya, bersih dan kinclong, saat kubuka pintunya aroma segar tercium. Kata Doni sih mobil itu sudah dicuci sebelum dibawa kemari. Namun ketika aku bermaksud menutup kembali pintu itu, bau segar itu berubah menjadi wangi bau bunga melati. Aneh… masak baunya bisa berganti sedemikian cepat? Tapi kemudian aku tersenyum saat kulihat dari balik jendela kaca mobil -segerombolan tanaman melati yang tumbuh di sisi samping halaman rumah Andi. Angin pasti telah menerbangkan bau bunga itu ke arahku.

“Wah mobilnya bersih dan wangi!” teriaku ke arah Doni dan Andi. Aku lalu kembali ke teras.

“Ya iyalah!”seru Doni membalas ucapanku.

“Eh tuh lihat… Marina dan Intan sudah datang!” tunjukku ke arah depan, kulihat mereka datang bersama dengan mengendarai motor.

 “Loh kok naik motor?” seru Andi sedikit bingung, aku juga, karena kami akan piknik ramai-ramai… lha ini kenapa malah bawa motor?

“Maaf… maaf… belum terlambat kan?” tergesa Marina turun dari boncengan. Setengah berlari dia menuju ke arah kami. Sedang Intan memarkir motornya dulu.

“Belum! Belum ada jam empat!” 

“Kok bawa motor?”

“Sekalian mau nitip motor ke Andi, boleh kan Ndi? “jawab Intan.

“Boleh saja sih… memang di kost-mu ada apa?”

“Wah… kost-ku tuh nggak aman, maklum langsung menghadap jalan, agak riskan buat menyimpan motor! Liburan lebaran kemarin ada salah satu penghuni kost yang kehilangan, padahal pintu dan jendela sudah dikunci rapat! Makanya mending aku nitip ke Andi saja, kan rumah sendiri dan selalu ada penghuni!” terang Intan panjang lebar.

“Boleh aja sih asal… WANI PIRO!” Andi menirukan iklan terkenal yang sering ditayangkan di televisi.

“Huuuuuuu…” Intan mencibir.

Andi sendiri lalu terkekeh. “Ya sudah, ayo motornya dimasukin ke dalam dulu!”

Dia lalu membimbing Intan membawa motor itu ke dalam. Rumah Andi tergolong rumah model lama, itu peninggalan kakeknya yang diturunkan ke ayahnya, maka nggak heran kalau rumah itu punya halaman yang luas, tidak masalah kalau dititipin motor. 

Menunggu Andi dan Intan, kami ngobrol-ngobrol.

“Wah mobilnya bagus juga ya!” ujar Marina menatap ke arah mobil itu.

Itu jenis mobil keluarga dengan dua kursi di depan, tengah dan belakang. Cukuplah buat menampung kami berlima. Keluaran tahunnya juga lumayan baru- belum ada sepuluh tahun lah.

“Siapa dong yang nyariin!” Doni menjawab sambil tersenyum puas.” Doni gitu loh!”

Kami tertawa. “Iya deh… percaya percaya…!” ucap kami berbarengan.

“Sudah siap nih semuanya?” teriak Andi diikuti Intan dari arah belakang.

“Yoi…!” Jawab kami serempak.

“OK, aku pamitan ibu dulu ya!” lalu Andi kembali masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian dia muncul dengan ibunya.

“Sudah mau berangkat ya? Ini ada makanan kecil buat kalian!” ibunya Andi menyerahkan sebuah tas plastik besar berisi makanan kepada Intan.

“Makasih Tante!” jawab kami senang, lumayan bisa buat ngemil di dalam mobil, anggaran buat makanan kecil bisa dihapus dari daftar.

Setelah berpamitan kami pun meluncur. Di depan duduk Doni dan Andi. Doni yang pertama mengemudi, di bagian tengah ada Aku dan Intan, sedang Marina duduk sendirian di kursi ketiga atau bagian belakang. Tas punggung berisi pakaian kami letakkan di bagasi belakang. Sedang tas berisi makanan dari ibunya Andi berikut minuman kemasan kami taruh di samping Marina agar mudah bila membutuhkannya.

“Makanannya dibuka dong!” teriak Andi, “Suka nggak dengan makanan dari ibuku?”

Marina membuka tas plastik besar itu, lalu serunya, “Wah...banyak banget makanannya! “Dia lalu menyebut satu demi satu nama makanan itu.

“Kita ambil kacang bawangnya dulu aja!” usulku, “Lainnya disimpan buat besok, kan perjalanan kita masih lama!”

Marina lalu mengeluarkan plastik berisi kacang bawang, setelah mengambil satu genggam dia lalu menyerahkan ke kami yang duduk di bagian tengah, sama seperti dia kami juga masing-masing mengambil satu genggam, lalu estafet ke depan ke arah Andi. Kemudian dia juga membagikan minuman kemasan.

“Ntar malam sudah sampai Semarang kan?” seru Intan, sambil tetap sibuk memunguti satu demi satu kacang dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Kalau lancar sih… namanya di jalan kan nggak bisa dipastikan!” jawab Doni dari balik kemudi.

“Yang penting sudah reservasi hotel, jadi kalaupun telat kita tetap dapat tempat buat menginap!” tambahku.

“Iya, liburan begini kalau nggak pesan tempat sebelumnya bisa repot, biasanya penginapan banyak yang penuh, maklum Semarang kan termasuk tempat tujuan wisata!”

“Sudahlah… semua kan sudah diatur sama Doni. Dijamin beres deh…!” Andi ikut menimpali, dia lalu melirik ke teman di sampingnya itu yang senyam-senyum.

“Sepi nih, hidupkan musiknya dong! Ini aku bawa CD lagu lagu terbaru!” ucap Intan seraya mengeluarkan beberapa keping CD dari dalam tasnya.

“Ada lagu nostalgia nggak nih? Enak loh kalau didengarkan waktu malam hari! Bisa mengiringi rasa kantuk!”

“Enak situ susah di kita!” celetuk Andi sambil tangannya menepuk pundak Doni. Ya pastinya karena mereka yang mesti terus membuka mata selama dalam perjalanan ini.

“Nggak apa-apa lah! Ntar kalau para cewek sudah pada tidur kita ganti musik cadas saja heheheh…!”

“Ya terserah aja! Eh kita mau makan dulu kan?”

“Ya iyalah… perut kosong mana asyik buat jalan!”

“Kita makan di rumah makan padang murah meriah aja! banyak pilihan lauknya!”

“Ok, setuju!”

Kami lalu turun di depan sebuah rumah makan padang di pinggir jalan yang kami temui. Jam baru menunjuk pukul tujuh malam lebih sedikit saat sampai di situ. Sedang Doni mencari tempat parkir dulu, baru kemudian menyusul.

“Doni, pinjam kunci mobilnya dong! Baru ingat nih tasku ketinggalan!” pintaku, baru menyadari kalau tidak membawa tas, padahal aku ini ditunjuk sebagai bendahara. Aku yang mesti membayar semua pengeluaran dan mencatatnya.

“Gimana sih kok bisa kelupaan? Pasti sudah kelaparan berat nih!” canda Marina

“Namanya juga manusia… wajar lah, apalagi kalau perut kosong... jadi nggak konsen!” jawabku santai. 

Setelah menerima kunci darinya aku berjalan menuju belakang rumah makan, Doni parkir mobil di situ karena bagian depan yang tidak terlalu luas ini sudah penuh dengan mobil. Kubuka pintu tengah dan membukanya, kuambil tas yang ada di atas bantalan kursi, kukunci kembali mobil itu lalu aku ke depan untuk bergabung kembali dengan teman-temanku. 

“Ini kuncinya!” kataku sambil menyerahkannya ke Doni. 

Aku lalu duduk di salah satu kursi yang melingkari meja bulat. Berlima kami mengitari meja makan dan memilih menu yang ditata di atasnya. Karena perut lapar kami pun makan dengan lahap.

“Kenyang… kenyang… kenyang…!” seru Doni sambil memegangi perutnya.

“Asal jangan ngantuk ntar!” seloroh Marina.

“Tenang aja… kan ada Andi yang siap menggantikanku mengemudi!” dia melirik ke arah Andi. 

“Eh… omong-omong, nanti kita melewati terowongan STIKUBANK di Semarang itu ya?” tanyaku.

“Iya, memang kenapa?” Andi menjawab dengan tenang. 

Padahal itu sudah kami rencanakan sebelumnya buat nakut-nakutin Marina dan Intan. 

“Katanya ada sebuah urban legend!” aku membuka pembicaraan sesuai skenario.

“Urban legend itu apaan sih?” Marina mulai masuk perangkap.

Dalam hati aku tertawa, nah… bisa aku menguliknya sekarang.

“Urban legend itu kumpulan cerita yang menjadi legenda pada suatu tempat, biasanya terdapat unsur misteri yang menjadi ciri khas tersendiri dari kisah itu. Pada artikel yang pernah kubaca, di daerah sekitar kampus STIKUBANK Semarang ada misteri cerita hantu yang terjadi pada terowongan STIKUBANK itu, yaitu hantu kuntilanak merah.

“Terowongan itu adalah terowongan tol antara STIKUBANK yang menuju Jatingaleh atau arah Unika.” akupun membahasnya panjang lebar.

“Yaahh… gituan aja dipercaya!” Doni yang tidak tahu kalau itu sudah kami rencanakan mematahkan skenario kami.

“Wah bisa berantakan nih!” begitu ucapku dalam hati.

“Tapi banyak yang pernah mengalaminya loh! Itu yang sudah aku baca di internet!” Andi menimpali ceritaku.

“Beneran Ndi?” seru Intan ngeri, “Kita nggak usah lewat terowongan itu deh!” dengan suara gemetaran, karena ketakutan Intan merajuk minta ganti jalur.

“Iya… mendingan cari aternatif jalan lain sajalah!” imbuh Marina. Kulihat wajah Intan dan Marina mulai pucat… hihihihi… aku tertawa dalam hati.

“Lewat jalan situ saja, sekalian buat membuktikan!” Doni malah berontak ingin tahu.

Yess… aku dan Andi senang karena ada sekutu baru, kalau Doni dan aku ikut kepada keputusan Andi, maka Intan dan Marina akan kalah… berarti kita mesti lewat terowongan itu.

“Aku juga pingin lewat jalan itu!” ucapku mantap.

“Apalagi aku!” imbuh Andi dengan suara tegas.

“Aduh… ntar kalau ketemu kuntilanak merah gimana dong!” rengek Intan masih berusaha tidak lewat terowongan itu.

“Iya nih… seumur umur bisa keinget loh!” tambah Marina menimpali rengekan Intan.

“Kita bikin kesepakatan aja! Kalau pas melewati terowongan itu kita semua mesti terjaga, nggak boleh ada yang tidur! Biasanya hantu tuh takut kalau ketemu sama serombongan manusia… bagi hantu akan terasa panas kan!” aku mencoba menjelaskan.

“Aku setuju!” seru Andi.

“Aku juga!” tambah Doni.

Marina dan Intan saling bertatap muka lalu menganggukkan kepala bersama-sama dengan penuh keterpaksaan.

“Sudahlah nggak usah diperpanjang lagi, kita kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan!” tutup Doni.

Kami mengikuti perkataan si ketua, sampai di mobil, kami duduk dengan formasi berbeda, kali ini Andi yang pegang setir dengan Doni di sebelahnya. Di bagian tengah ada Marina dengan Intan, sedang aku duduk di belakang.

“Eh, putar lagu rock dong! Biar asyik buat menahan kantuk!” pinta Intan.

“Iya, biar pembawaannya jadi ramai!” Marina menimpali.

“Ok lah kalau maunya begitu!” Doni mengambil CD berisi lagu-lagu cadas dan memutarnya. 

Musik yang keras dan menghentak-hentak memang enak buat mengusir rasa sepi saat malam hari, juga bisa buat mengusir rasa takut. 

Awalnya kami semua terjaga dan bercanda ria, namun selang beberapa waktu, entah kenapa aku sangat mengantuk, padahal suara musik terdengar sangat keras di telingaku, apa mungkin karena aku duduk sendirian di kursi bagian belakang ini serta dalam keadaan lelah? Tentu saja kucoba untuk membuat mata ini terjaga, kan malu aku yang membuat aturan eh… justru aku sendiri yang malah melanggarnya.

Entah bagaimana mulainya, mata ini terasa begitu berat dan akhirnya menutup sendiri, dan aku tidak menyadari berapa lama aku tertidur, yang jelas setengah sadar aku merasakan ada seseorang di sampingku. Aku tidak tahu benar sosok siapa itu karena mataku benar-benar lengket sulit terbuka. Meski tidak melihat langsung aku bisa merasakannya. Aku segera membaca doa di dalam hati karena perasaanku tidak nyaman. Syukurlah akhirnya aku berhasil membuka mataku. Kulihat di sampingku tidak ada siapapun, sedang di kursi tengah ada Marina dan Intan yang asyik ngemil makanan kecil. Kalau Andi dan Doni masih terjaga, mereka tampak asyik berbincang. Tidak tahu kenapa badanku terasa dingin, aku lalu mengambil jaket dan memakainya.

“Loh, kedinginan Nur!” seru Doni menengok ke arahku. Mungkin dia melihat dari arah spion kalau aku sedang mencari jaket tadi.

“Iya nih, terasa dingin… makanya aku ambil jaket!” jawabku. 

Pikirku mereka tidak tahu kalau aku tadi ketiduran, coba bayangin kalau sampai mereka memergoki aku dalam kondisi tidur… wah bisa diprotes habis-habisan nih. Aku lalu mencari posisi yang enak buat nyantai. Kucoba untuk terjaga namun ternyata rasa kantuk itu menyerangku lagi. Untuk memanipulasi keadaan, kuambil kaca mata hitam dan smart phone-ku lalu ku pasang head set untuk mendengarkan musik. 

“Eh… eh… ada apa nih…!” aku terkejut mendengar teriakan, ternyata Marina yang berteriak tadi. Kulihat keempat temanku menatap ke arahku. Mobil pun ternyata sudah berhenti di pinggiran jalan.

“Tadi Marina melihat seseorang di sampingmu!” seru Intan dengan mata membelalak.

Aku bingung dengan ucapannya, bagaimana mungkin, kan aku sendirian duduk di belakang.

“Ah yang benar! Jangan nakut-nakutin dong!” sergahku gusar.

“Benar, tadi dia berteriak, makanya kami menghentikan mobil! Katanya sih saat dia melongok ke belakang dia seperti melihat seseorang di sampingmu! Betul kan Rin?” urai Doni.

Marina mengangguk cepat, dia tampak ketakutan, badannya juga kelihatan gemetaran.

“Emang apa yang kamu lihat?” tanyaku penasaran.

“Aku melihat seorang perempuan, wajahnya pucat… hiii… aku takut!”

“Mungkin itu kuntilanak merah… tapi hantu itu lalu menghilang… begitu kan Rin?” Intan menimpali.

Marina mengangguk lagi. Aku jadi ikut ketakutan. Aku teringat tadi aku juga merasakan ada seseorang di sampingku. Tapi kupikir itu hanya mimpi saja.

“Kamu tadi tidur ya?” teriak Marina marah.

“Enggak kok…!” elakku.

“Katanya kita nggak boleh tidur saat melewati terowongan, eh si Nuri sendiri malah tidur!” Intan juga ikutan marah.

“Eh aku… aku berusaha terjaga kok… tapi... mmhmm… mungkin tidur-tidur ayam aja, jadi bukan tidur pulas!” gelagapan aku membantahnya.

“Loh… kamu yang bikin aturan, kamu sendiri yang melanggarnya!” suara Marina ketus.

“Sudah… sudah… jangan diperpanjang lagi! yang penting aman, kita sudah berhasil melewati terowongan itu, sekarang kita melanjutkan perjalanan!” Doni berusaha menenangkan keadaan.

Kami pun lalu melanjutkan perjalanan, namun kali ini aku tidak bisa tidur. Ternyata kami sudah melewati terowongan itu dan aku tidak menyadarinya karena terlanjur ketiduran. Dalam diam pikiranku terperangkap dengan pengakuan Marina tadi, terutama karena sebenarnya aku memang merasakan ada seseorang di sebelahku, ditambah pengakuan Marina yang mengatakan ada sosok perempuan pucat di sampingku. Hiiii… aku jadi ngeri sendiri.

Wednesday, March 16, 2022

ARWAH ANAK-ANAK PENUNGGU PULAU



Cerita ini mengisahkan suatu hal yang cukup menarik dari Mexico. Seperti yang telah diketahui oleh banyak orang, hingga saat ini, Mexico sangat dikenal dengan peninggalan kebudayaan kuno yang sudah berusia sangat tua, seperti kebudayaan India kuno yaitu Aztec dan Inca, begitu pula dengan banyaknya situs bersejarah dan juga bangunan-bangunan, serta sungai-sungai bersejarah yang menghubungkan beberapa tempat wisata yang menarik.

Salah satu tempat tujuan wisata yang cukup menarik adalah Xochimilco, yaitu sebuah daerah tujuan wisata yang cukup terkenal di Mexico City. Pada tahun 1987, Xochimilco terpilih sebagai salah satu warisan budaya manusia versi sebuah majalah ternama di Mexico, yang sekaligus menarik jutaan wisatawan dari seluruh dunia setiap tahunnya untuk berkunjung ke daerah itu.

Namun, kenyamanan dan ketentraman para wisatawan mungkin bisa berubah menjadi perasaan ngeri dan seram begitu mereka berkunjung ke pulau yang juga dikenal sebagai Pulau Patung Anak tersebut.

Pulau terpencil yang terletak di salah satu kawasan berpaya ini dianggap berhantu dan dipenuhi oleh ratusan patung anak-anak yang menyeramkan. Dikatakan menyeramkan karena ekspresi yang terpancar dari patung-patung tersebut tidak mencerminkan dunia anak-anak yang pada umumnya ceria, banyak senyum, dan penuh kebahagiaan. Sebaliknya, patung-patung tersebut mengekspresikan suatu penderitaan tak tertahankan, raut muka penuh kesedihan, bahkan juga ketakutan. 

Untuk bisa sampai ke pulau ini, para pengunjung harus menaiki perahu selama kurang lebih dua jam dari Mexico City, dan menyusuri sungai-sungai yang berliku. Tidak berhenti sampai di situ saja, setelah perahu ditambatkan, mereka masih harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan pinus sejauh kurang lebih 3 kilometer.

Dan sesampainya di sana, begitu kaki menjejak ke tanah di lokasi tersebut, maka para pengunjung pun akan segera disambut dengan ratusan patung anak-anak yang usang dengan suasana yang menakutkan.

Hampir seluruh sudut di pulau yang berukuran kecil tersebut, para penduduknya mempunyai patung anak-anak yang digantung di pepohonan maupun di palang-palang besi yang sudah berkarat.

Keadaan patung-patung yang sudah usang akibat terlalu lama terpapar oleh cuaca yang berubah-ubah tersebut telah mengubahnya menjadi sarang laba-laba serta berbagai macam serangga beracun yang cukup mengerikan.

Walaupun pulau ini bukan merupakan daerah tujuan wisata terpopuler nomor satu di Mexico City, namun ia tetap saja dikunjungi oleh ribuan juru foto, reporter, maupun wisatawan yang menginginkan pemandangan baru dan pengalaman unik yang lain dari biasanya di setiap liburan.

Seorang perempuan fotografer dari sebuah koran terkemuka di Brazil, Marianna Velasquez yang berkunjung ke Xochimilco baru-baru ini menggambarkan wilayah tersebut sebagai tempat paling menakutkan yang pernah dikunjunginya, ia sekaligus memuji tempat itu sebagai tempat yang sangat sempurna untuk pemotretan seni atau untuk syuting film bertema thriller dan horor.

“Di awal perjalanan ke pulau ini, saya sempat dihibur dengan pemandangan hutan yang alami, masih murni dan sangat menarik di mata saya. Begitu pula dengan berbagai binatang liar dan berbagai jenis burung yang sedang berkicauan yang saya temui selama dalam perjalanan menuju ke pulau ini, kesemuanya itu begitu menggetarkan hati dan menyentuh imajinasi saya.” kata Marianna dengan penuh antusias.

“Bagaimanapun, begitu sampai ke pulau itu, tanpa bisa dijelaskan, suasana langsung berubah dalam sekejap mata, aroma misterius dan suasana mistik langsung menyebar memenuhi setiap relung udara di pulau itu. Dan tiba-tiba saja perasaan seram terus saja menyelimuti diri saya tanpa tahu penyebabnya. Semua itu berlangsung hingga tiba waktunya saya harus mengakhiri kunjungan tersebut.” katanya lebih lanjut.

Menurut Marianna Velasquez, melihat ekspresi menyeramkan dari puluhan patung anak-anak yang bergelantungan di pepohonan dan di palang-palang besi itu cukup mengganggunya.

“Patung-patung tersebut bukan hanya bergelantungan di pepohonan maupun di palang-palang besi, tetapi ada juga yang bergeletakan di tanah bagaikan mayat-mayat yang berserakan, ada pula yang saling bertumpuk di tepi bangunan-bangunan tua, dan ada pula yang terdampar di pagar.” kata Marianna sambil bergidik.

Selama berpuluh-puluh tahun patung anak-anak itu dibiarkan begitu saja terpapar cuaca sehingga menyebabkan bentuknya menjadi keriput dan menakutkan, bahkan ada beberapa patung yang mulai patah bagian-bagian tubuhnya, beberapa lainnya ada yang sampai pecah, remuk tak berbentuk.

“Ada patung anak-anak yang diselimuti sarang laba-laba beracun, ada yang kehilangan anggota badan, dan ada pula yang hanya tinggal kepala tergantung di pepohonan,” jelasnya lagi.

Penduduk di daerah itu percaya bahwa pulau itu berhantu setelah ditemukannya seorang anak perempuan yang mati di lokasi bersangkutan, peristiwa itu sendiri telah berlalu kira-kira 50 tahun lalu.

Mayat anak perempuan itu ditemukan oleh seorang lelaki, Alfonso Vicarro Di Maria. Ia adalah seorang nelayan tua yang tinggal seorang diri di pulau tersebut.

Di Maria menduga bahwa mayat anak perempuan yang ditemukannya itu hanyut di sungai bersama beberapa patung anak-anak yang entah hasil karya siapa, tapi besar kemungkinan patung-patung yang hanyut bersama korban itu adalah barang-barang mainan miliknya, karena mereka ditemukan mengapung di sekitar mayat korban.

Sejak penemuannya itu, hampir setiap malam Di Maria sering diganggu oleh suara jeritan menyayat hati dan bayangan mayat anak-anak yang berkeliaran di hutan.

Karena tidak tahan dengan gangguan itu, Di Maria menggantung semua patung anak-anak milik korban di pepohonan sekitar tempat anak perempuan itu dikubur untuk menghormatinya. Beberapa waktu kemudian Di Maria juga menggantung ratusan patung lagi untuk menenteramkan arwah anak-anak tadi.

Lelaki itu terus tinggal seorang diri di pulau terpencil itu hingga dia ditemukan mati secara misterius pada akhir tahun 2011.

Mayat Di Maria ditemukan terapung di sungai yang sama saat dia menemukan mayat anak perempuan beberapa waktu sebelumnya.

Hingga kini, penduduk dan wisatawan yang berkunjung di pulau itu sering merasa mendengar suara seperti orang yang sedang menjerit-jerit histeris dan kadangkala patung-patung berwujud anak-anak yang mereka temui di setiap sudut pulau seperti sedang berbisik-bisik serta memandang ke arah mereka.

Sampai hari ini, banyak pengunjung yang sengaja membawa patung anak-anak –untuk diletakkan di pulau tersebut sebagai penghormatan kepada roh di lokasi itu. Mereka menggantung patung-patung mereka di pepohonan, terkadang membiarkan tergeletak begitu saja di tanah atau di mana saja sembari berdoa agar arwah-arwah yang masih saja bergentayangan di pulau tersebut segera menemukan kedamaian dan ketenangan sehingga tidak lagi mengganggu mereka yang masih hidup. 


HANTU PEREMPUAN GANTUNG DIRI



Dewi memandang wajah Nina yang begitu terlihat mendung, kepedihan terpancar di matanya. Keduanya duduk lesehan di atas lantai tanpa tikar dan punggung mereka menempel di tembok, awalnya Dewi tidak memperhatikan wajah temannya tapi begitu nada sesenggukan terdengar lirih, dia secara refleks memandang wajah temannya itu, barulah dia sadar kalau Nina begitu tertekan. Beberapa saat mereka berdua terdiam sampai tiba-tiba Nina mengucapkan kalimat yang membuatnya terperangah.

“Wi… kamu pernah terpikir untuk bunuh diri?” tanya Nina saat itu.

“Bubb… bubb… bunuh diri?” teriak Dewi terbata-bata, dia tidak percaya dengan yang dia dengar barusan.

Nina menggangguk, air matanya mulai menetes.

“Rasanya sudah tidak ada semangat hidup, Wi…!” 

“Kamu sudah gila…!” potong Dewi cepat.

“Paling tidak aku bisa lepas dari beban ini, dan aku menjadi orang yang bebas!!” tukas Nina putus asa.

Dewi terdiam sejenak, dia lalu teringat cerita ibunya, 

“Nin, aku pernah diceritain sama ibuku… beliau juga pernah mencoba untuk bunuh diri… kamu mau mendengar ceritaku kan?” bujuk Dewi pelan.

Nina menengok ke arah Dewi dengan terpengarah… 

“Ibumu…?” sahut Nina tak percaya.

“Tidak mungkin lah, ibumu kan shalihah sekali… beliau memakai kerudung, rajin ke masjid… ah, kamu cuma mau menghiburku ya…?” lanjut Nina setengah protes.

“Mungkin kamu tidak percaya kalau ibuku pernah berusaha untuk bunuh diri, tapi cobalah kau dengar ini…”

Lalu meluncurlah cerita Dewi.

“Ibuku sudah tiga kali mencoba bunuh diri saat aku SD dulu, dengan tujuan agar bisa menyatu dengan almarhum ayah selamanya. Ibu frustasi dengan keadaan ekonomi yang begitu berat. Ayahku wafat dengan meninggalkan beban tiga orang anak yang masih kecil-kecil.”

Dewi menghela napas sejenak, lalu melanjutkan ceritanya.

“Saat aku kelas 6 SD, ibu pernah mencoba untuk bunuh diri. Pernah loncat dari angkot, menyayat nadi, dan minum racun pembersih. Tapi anehnya selalu saja ada yang menghalangi beliau mati, mungkin belum waktunya. Saya tidak bisa menyalahkan ibu. Dia hanya ingin hidup tenang bebas dari segala masalah yang membelit hidup dan selamanya bersama mendiang ayah. Dia panik dan terpukul sekali saat ditinggalkan oleh ayah menghadap Tuhan.”

“Terus, kenapa ibumu tidak jadi bunuh diri? Dan berubah menjadi alim begitu?” 

Jawab Nina yang mulai tertarik dengan cerita Dewi, meski sebenarnya dia agak kurang percaya juga.

“Mmmhhhh… setelah pada akhirnya beliau bertemu hantu yang mati bunuh diri. Sampai sekarang tidak pernah terbesit sedikitpun kata 'bunuh diri’.”

“Bertemu hantu yang bunuh diri?” seru Nina kaget setengah mati.

Dewi mengangguk,

“Saat itu ibuku berusaha bunuh diri dengan minum racun pembersih di kamar mandi, tapi untungnya ketahuan sama nenek, meski agak terlambat, karena waktu itu ibu sudah tidak sadarkan diri. Dengan dibantu oleh para tetangga, ibu segera dibawa ke rumah sakit. Nah setelah siuman, ibu tampak seperti orang bingung dan sering berdiam diri.”

“Ibumu ketemu hantu di rumah sakit…?” cetus Nina.

Dewi menggeleng, “Bukan hantu rumah sakit.”

“Lalu… hantu apa yang ibumu bilang?” tanya Nina lagi penasaran.

“Nenek berusaha keras menyadarkan ibu dan memintanya bercerita… ternyata ibu selalu didatangi oleh seorang wanita yang berwajah manis, dulunya dia adalah teman dan juga tetangga ibu sebelum ibu menikah. Dia gantung diri di kamarnya akibat pacarnya tidak mau bertanggung jawab, dia kebingungan dan takut sekali. Biasanya ‘orang yang tidak sadar dan hampir mati’ bisa bersinggungan dengan dunia lain, makanya ‘mereka para hantu’ bisa mengenali orang-orang yang demikian.” jelas Dewi panjang lebar.

“Kata ibuku, seringkali Sri –nama teman yang bunuh diri itu– mendatangi dan meminta tolong. Nah, Sri yang meninggal gantung diri ini agak ekstrim. Dia mendatangi ibu untuk minta bantuan melepaskan tali di leher yang masih mencekiknya. Dengan menangis tersedu-sedu dia datang menembus pintu kamar rumah sakit, ibu ketakutan sekali tapi tidak bisa apa-apa karena beliau tidak sadar jadi tidak bisa ngomong sama nenek atau siapa saja yang sedang menjaganya di rumah sakit. Sementara Sri terus saja berbicara.”

“Tik... Titik…” Begitu dia biasa memanggil ibu saat masih kecil dulu, “…bisa bantu aku Tik…”

Meski ketakutan tapi ibu berusaha menjawabnya –tentu saja dalam bahasa batiniah yang hanya bisa dimengerti oleh ibu dan Sri temannya itu, 

“Mau dibantu apa, Sri?”

Dia menjawab, “Sesak, Tik... tolong... sesak...”

Ibu memandanginya. Kasihan, mukanya sedih pucat, seutas tambang masih menempel di lehernya, dan kedua tangannya memegangi tali tambang itu.

Dalam keadaan terengah dia terus bercerita, 

“Pacarku, kabur setelah menghamili aku, aku bingung dan takut dimarahi orang tua. Aku gantung diri agar tenang… lepas dari masalah.”

“Dari hanya memandangnya... ibu bisa merasakan rasa sakit yang diderita Sri, temannya itu. Ibu pikir dia juga sudah mati karena bisa berkomunikasi dengan Sri yang sudah meninggal tapi tidak bisa ngomong sama orang yang menungguinya alias orang yang masih hidup. Tapi ternyata salah…”

“Saya sudah mati, Sri… bagaimana cara membantumu...?” ibuku balik bertanya kepada Sri.

Sri tertawa cekikikan terdengar sangat menakutkan. 

“Sesama orang mati penasaran tidak bisa saling membantu. Mereka sibuk dengan derita masing masing!”

Ibu kaget setengah mati mendengar penuturan Sri… barulah beliau menyadari kalau masih hidup.

“Kalau begitu, mengapa kamu tidak minta bantuan orang-orang itu!” Ibu menunjuk ke arah nenek dan salah seorang kerabatnya yang menungguinya di rumah sakit.

“Tidak bisa, Tik… mereka tidak bisa melihat aku. Beda dengan kamu, kamu bisa melihat aku dan kita bisa saling berbincang!”

Ibupun mulai lupa kalau Sri itu hantu dan bertanya lagi, 

“Lalu gimana, Sri?”

Sri menangis lagi dan berkata,

“Tik… aku sudah mati hampir 15 tahun dan rasa sakit di leherku ini masih saja terasa… sesak… sesak sekali rasanya.”

Mungkin kita pernah mendengar, jika kita mati akan ada malaikat yang akan menjemput kita, namun itu tidak terjadi padanya. Tersiksa dengan perasaan sakit di lehernya seperti sakit yang dia rasakan saat nyawanya terlepas karena gantung diri. Lebih parahnya, dia tidak bisa berkomunikasi dengan hantu lainnya yang mungkin gentayangan karena penasaran juga.

Dia bertanya lagi kepada ibu, 

“Sampai kapan aku akan begini ya, Tik? Sakit... sesak di leher ini. Sri pikir dengan bunuh diri, akan lupa pada kepedihan hati...” 

Ibu yang masih kebingungan hanya menggelengkan kepala dan menjawab seadanya,

“Mungkin sampai kiamat, Sri...”

Dan dia terisak keras, suaranya mengerikan dengan nafas terengah karena tali di leher. 

“Coba bantu membuka tali ini, Tik...”

Perasaan takut mulai lewat, ibu mencoba memegang talinya. Tapi tembus lagi tembus lagi. Bahkan tangan ibu tidak bisa memegangnya. 

“Maaf, Sri, saya tidak bisa membantu… tali ini tidak bisa kupegang.”

Dia terisak... terdiam... dan dalam keadaan yang masih terengah sesak, dia meninggalkan kamar ibu sambil berkata, 

“Semoga cepat kiamat ya, Tik, kapan-kapan aku ke sini lagi ya… senang ada teman yang bisa diajak berbicara!” 

Setelah dia meninggalkan kamar, ibu hanya bisa terdiam. Cukup sedih melihat kondisi teman masa kecilnya itu, tidak ada yang bisa membantu. Sendirian menanti kiamat. Lalu ibu teringat kisah dirinya sendiri yang sudah mencoba bunuh diri… tiba-tiba ibu merasa sangat ketakutan. Bagaimana kalau dia nanti mati dan bernasib seperti Sri… merasakan sakit selamanya sampai kiamat datang? Kepada siapa dia akan berkeluh kesah? Sri bilang sesama hantu penasaran tidak bisa saling berkomunikasi dan saling membantu? Dan orang-orang yang masih hidup tidak juga bisa diajak berbicara?

Ibupun lalu berdoa sekuat hati memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup dan menebus kesalahannya selama ini karena telah mencoba bunuh diri.

Syukur alhamdulillah doa ibu dan orang-orang sekitar dijawab oleh Tuhan, ibu akhirnya siuman. Meski beberapa saat terlihat bingung dan berdiam diri, tapi setelah dibujuk nenek dan kerabat yang lain ibu mulai membuka diri dan bercerita kisah yang dialaminya selama dalam keadaan tidak sadarkan diri itu.

Semenjak itu ibu berubah, dia menjadi lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Lebih ikhlas menjalani hidup.

Dewi mengakhiri ceritanya, dia melihat Nina yang mulai berkaca kaca.

“Wi… aku tidak mau sendirian merasakan sakit seperti Sri teman ibumu! Menderita sekali rasanya…! Aku ingin seperti ibumu saja, ikhlas menjalani hidup.”

Nina merangkul Dewi dan kemudian Nina menangis sesenggukan di bahu teman akrabnya itu. Dewi mengelus lembut rambut Nina, terbesit di hatinya: Di saat kita semua ketakutan menghadapi kiamat karena merasa belum siap, di tempat lain ada hantu-hantu yang sangat menanti datangnya kiamat. Untuk yang masih kepikiran bunuh diri, terserah. Dengan membaca cerita di atas mungkin sudah terbayang bagaimana nantinya.


MISTERI RUMAH BUBRAH

(Gambar Hanya Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Setiap hari aku selalu melewati rumah bubrah itu, pagi hari saat berangkat kerja dan tiap sore atau petang tiap kali pulang dari bekerja. Aku tinggal di sebuah perumahan yang lumayan jauh dari pusat kota. Namanya juga perumahan untuk kalangan rakyat, jadi… pada umumnya ukuran rumahnya kecil-kecil, rata-rata type 36 dan 45. Itupun kebanyakan penghuninya membeli dengan cara mencicil melalui bank, istilahnya kredit kepemilikan rumah… hehehe. 

Suamiku bekerja sebagai pegawai negeri sipil jadi lumayan tidak sulit baginya untuk mengajukan kredit. Sedangkan aku adalah karyawati di perusahaan swasta yang belum terbilang besar, dan seperti karyawan swasta lainnya, jam kerjaku terbentang dari pagi pukul delapan sampai sore jam empat, itupun kadang ada lembur sehingga aku bisa pulang selepas maghrib atau bahkan setelah Isya. Tapi lumayan juga uang lemburnya, jadi kami para karyawan senang-senang saja kerja lembur. Tentu saja itu diberlakukan saat padat pekerjaan dan batas penyelesaian yang mendesak. Bila tidak, ya tentu saja tidak akan ada lembur, karena tentunya perusahaan tidak mau rugi.

Rumah tua dan bubrah itu terletak di tengah-tengah antara jalan utama dan jalan yang menghubungkan ke perumahan kami, rumah itu berdiri di sebuah pekarangan yang cukup luas, di sisi sebelah kanan, kiri dan belakang rumah itu terbentang persawahan. Di depannya ada sebuah jalan kecil yang merupakan satu-satunya jalan menuju perumahan kami. Jalan itu tidak terlalu besar, jadi kalau ada mobil berpapasan dari arah berlawanan, keduanya mesti sedikit menyorong ke samping agar tidak berserempetan, jadinya kami yang menggunakan motor harus menunggu. 

Rumah itu berdiri di lahan bekas sawah yang dikeringkan, tapi rumah itu belum selesai pengerjaannya, mungkin karena keterbatasan dana jadi belum bisa diselesaikan. Yang pasti, rumah itu sudah berdiri, genting dan tembok lengkap, hanya pintu dan jendela belum ada, Oleh pemiliknya hanya ditutupi dengan anyaman bambu. Pengerjaan rumah itu tampaknya terhenti, sehingga kesan bubrah dan tidak terurus sungguh terasa. 

Sama seperti kondisi rumah, pekarangan di bagian belakang juga tampak bubrah, aku bisa melihatnya karena tidak ada pagar yang membingkai rumah itu, pekarangan itu tidak terawat, memang ada segerombolan pohon pisang di sisi kanan dan kiri pekarangan, tapi selebihnya cuma tanaman-tanaman liar yang menyatu dengan rumput yang meninggi. Belum ada penerangan sama sekali di rumah itu, jadi setiap kali petang menjelang, rumah itu terlihat gelap dan sunyi. Aku kurang tahu siapa pemiliknya karena aku belum lama tinggal di perumahan, bisa dibilang baru beberapa bulan. 

Perumahan tempat kami tinggal memang belum lama didirikan, tapi sudah cukup banyak yang menghuni. Aku dan suami yang pendatang termasuk yang beli belakangan. 

Bila dilihat, bangunan rumah itu bisa dibilang belum cukup tua atau mungkin terlihat tua karena tidak terawat ya? Aku pikir pemiliknya kehabisan dana dan tidak mampu menyelesaikannya. Membangun rumah memang perlu dana yang tidak sedikit, bila tidak direncanakan dengan baik bisa saja pengerjaan rumah itu terhenti di tengah jalan. 

Tapi… sudahlah itu bukan urusanku.

Pagi itu aku berangkat ke kantor dengan mengendarai motor, aku memakai mantel untuk melindungi diri dari hujan. Aku paling sebal kalau hujan turun saat aku kebetulan sedang akan pergi atau dalam perjalanan pulang dari kantor, selain mesti berganti sandal sedangkan sepatu aku masukkan ke dalam saja tas plastik agar tidak basah, juga dandanan di wajah jadi berantakan. Sebenarnya aku bisa naik angkot yang melewati jalan yang menghubungkan perumahan dengan kota, tapi aku tidak sabar menunggu apalagi jam kedatangan angkot-nya juga tidak bisa dipastikan. Kadang berhenti dulu cukup lama dan menunggu penumpang penuh… wah, bisa-bisa aku malah jadi terlambat dong. 

Saat melewati rumah itu kulihat beberapa pelajar pria yang kongkow-kongkow, santai dengan duduk-duduk di teras. Motor mereka di parkir di samping rumah sehingga tidak kehujanan, aku yakin mereka pasti tidak berbekal mantel. Musim hujan begini… kok ya tidak bawa mantel. Atau bisa jadi itu untuk alasan mereka terlambat masuk sekolah ya? Kulihat sekilas mereka ngobrol dan tertawa-tawa.

Sesampainya di kantor, aku memarkir motor di tempat parkir yang sudah disediakan, lalu menutupi motor dengan mantel yang aku pakai tadi agar mantel itu kering. Kuambil sepatu dari dalam tas plastik dan kutukar dengan sandal, selanjutnya aku memakai sepatu. Setelah merapikan rambut dan mengelap wajahku yang sedikit terkena air hujan, aku berjalan menuju ruang kantor. Di sana, aku langsung menuju ke ruang kerjaku. 

Sebenarnya bukan ruang kerja sih, karena meja kami para karyawan diatur berjejer memanjang, tapi ada sekat yang membatasi meja masing-masing karyawan. Yah... semacam bilik kecil kecil, dan masing masing juga ada pintu sorongnya, yaitu sebuah papan yang bisa didorong, semacam pintu koboi itu loh. 

“Kehujanan ya?” suara yang sudah sangat aku kenal terdengar dari balik bilik.

Aku mendongakkan wajah ke arah suara itu, kulihat kepala Rumi nongol di atas, kedua tangannya berpegang pada sekat bilik kayu. 

“Kamu juga kan?” balasku begitu melihat rambutnya yang sedikit basah.

“Namanya juga musim hujan!” jawabnya kalem, 

“Aku mau dandan dulu, nih lihat riasanku berantakan, kayak kamu… hehehehh.” sambungnya sambil terkekeh.

Aku ikutan tertawa, setelah kepala Rumi turun dari sekat, aku membuka laci kecil di meja kerjaku, kukeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi peralatan dandan. Tidak lengkap-lengkap amat sih… cuma kebutuhan riasan dasar saja, utamanya bisa membuat wajah tidak terlalu polos. Selanjutnya aku tenggelam dalam rutinitas pekerjaan.

Hari ini ternyata ada lembur, jadi selepas maghrib nanti baru aku bisa pulang. Aku dan beberapa temanku menyempatkan shalat maghrib di kantor, kalau makan malam sudah tadi disediakan nasi kotak oleh kantor, lumayanlah buat mengganjal perut. Hujan-hujan begini membuat perut selalu kelaparan.

“Wah, hujannya kok bertambah deras ya?” protes Rumi cemberut.

“Iya nih… payah, padahal mau pulang!” tambah Ussi temanku yang lain.

Rumi, Ussi dan aku sendiri baru berada di tempat parkir untuk mengambil motor masing-masing dan bermaksud pulang. Tapi melihat hujan yang sedemikian deras kami mengurungkan niat. Bukan apa-apa sih…, hanya saja, kami takut kalau-kalau mesin motor kami mati karena kadang air meluap menutup jalan. Bila luapannya masuk ke mesin, kadang bisa membuatnya jadi mogok.

“Kita tunggu aja sampai sedikit reda,” kataku pada mereka. 

“Hujan deras begini kadang bisa bikin mesin motor mati,”

“Iya, dua hari lalu aku terpaksa menuntun sampai bengkel terdekat, businya kali!” sambung Rumi.

“Betul, daripada kerepotan menuntun mendingan menunggu sebentar!” tambah Ussi.

Kami bertiga lalu berjalan menuju bagian depan, di situ ada semacam ruang runggu. Sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu, kami bertiga lalu bergabung dengan mereka. Kami duduk dekat ruang satpam.

“Menunggu hujan reda ya Mbak?” tanya pak Dwi –satpam kantor kami.

“Iya nih…!” jawabku

“Silakan deh, banyak juga kok yang menunggu!” katanya lagi tanpa bermaksud berbasa-basi.

“Terimakasih Pak!” jawab kami.

Cukup lama kami menunggu, aku lalu kirim sms ke mas Joko –suamiku– kalau aku akan pulang terlambat karena ada lembur dan terjebak hujan, jadi ini masih menunggu di kantor. Mas Joko menjawab tidak apa-apa, dia bisa mempersiapkan makan malam sendiri. Kami berdua sama-sama bekerja jadi saling memahami satu sama lain, tidak ada pembagian pekerjaan rumah tangga, siapa yang longgar dan ada waktu maka dia yang mengerjakan. 

Menjelang pukul delapan malam hujan mulai mereda. Aku dan kedua temanku serta beberapa karyawan lain yang tadi menunggu, segera berhamburan keluar menuju ke tempat parkir.

“Pulang dulu ya…!” seruku kepada Ussi dan Rumi.

“Yoi, ketemu besok!” jawab Ussi pendek.

“Daaa…” balas Rumi sambil melambaikan tangan.

Kami memang ingin segera pulang, badan sudah pegal-pegal rasanya. Apalagi hari sudah malam, maunya langsung sampai rumah dan istirahat. Sesampainya di tempat parkir, kulepaskan mantel dari motor lalu kupakai, meski hanya gerimis kecil lebih baik akau mengenakan mantel, siapa tahu hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi? Kan malah kerepotan sendiri nanti. Sepatu juga aku lepas untuk selanjutnya aku ganti dengan sandal. Setelah aku menstarter motor akupun melenggang keluar ruang parkir. 

Sepanjang jalan dari kantor meninggalkan pusat kota, banyak pengendara motor yang juga masih memakai mantel. Kulihat toko-toko yang berjajar di kedua sisi jalan tampak sepi, yah, hujan-hujan begini siapa juga yang mau keluar rumah? Entah mengapa ketika aku melihat warung bakso di ujung jalan perutku tiba-tiba tidak bisa diajak kompromi, padahal tadi sudah mendapat jatah nasi kotak dari kantor, kok sekarang lapar lagi? Mungkin karena aku melihat cukup banyak orang yang jajan di warung bakso itu, apalagi hujan-hujan begini… makan yang hangat-hangat tentu asyik. Bayangan semangkuk bakso yang hangat sungguh menggoda selera, akupun tidak jadi melanjutkan pulang ke rumah, aku berbelok dulu ke warung itu.

Setelah memarkir dan melepas mantel, aku berjalan menuju ke dalam warung, aku memesan satu mangkok bakso komplit dan satu gelas teh panas. Selanjutnya aku celingak-celinguk mencari kursi yang kosong.

“Hai Nita… sini…” suara serorang perempuan memanggil namaku. Kucari arah suara itu, ternyata bu Wal –tetanggaku di perumahan- sedang duduk menikmati bakso. Aku bergerak menemuinya. Kulihat ada sedikit bangku yang kosong, cukup lah buat aku untuk duduk.

“Duduk sini saja Nit, cukup kok!” begitu kata bu Wal sambil sedikit bergeser.

“Terima kasih Bu Wal.” jawabku seraya duduk di sebelahnya.

Bu Wal itu beberapa tahun lebih tua dariku, dia bekerja di sebuah pabrik makanan terkemuka di kota ini. Sebenarnya dia satu kota sih dengan kantorku, tapi karena berbeda tempat kerja kami jarang bertemu bahkan saat berangkat dan pulang kerja. Apalagijam kerja bu Wal yang tidak tentu karena menggunakan sistem shift. Hanya saat pertemuan warga di perumahan dan kadang pas libur saja kami bertemu.

“Ini mau pulang ke rumah atau gimana Bu?” sapaku berbasa basi.

“Wah, ini sih mau masuk kerja Nit, aku shift malam. Nita mau pulang ya?” balasnya sambil menghentikan sementara makan baksonya.

“Oooh… sift malam ya? Kalau aku mau pulang Bu, tapi nggak tahu kok pingin makan basko dulu,” jawabku. 

“Hehehe… tidak apa-apa makan bakso dulu, tidak terlalu malam juga kok, memang sih jalan menuju perumahan agak sepi, tapi sebelum jam sepuluh malam biasanya juga masih ada satu dua orang yang lalu lalang, kan banyak tuh yang baru pulang kerja.” kata bu Wal panjang lebar.

“Iya Bu, lumayan sepi… apalagi sepanjang jalan hanya persawahan ya? Cuma ada satu rumah saja yaitu rumah bubrah…!” timpalku 

Bayangan rumah itu muncul di benakku. Kalau sudah petang rumah itu gelap gulita dan terasa sangat sepi, aku pernah lewat saat petang… memang sungguh senyap, hanya deru motor atau mobil yang sesekali saja terdengar. 

“Iya, rumah itu menakutkan juga ya? Apalagi pas malam hari. Sudah dikelilingi persawahan, kosong pula. Kata orang sih rumah itu tidak diselesaikan sama pemiliknya…”

“Loh kenapa? Kan sayang tuh!” potongku, aku jadi tertarik untuk mendengar ceritanya lebih lanjut.

Kulihat bu Wal mengangkat bahu,

“Aku kurang tahu pasti, hanya menurut kabar,” dia diam sejenak, “katanya ada tragedi di rumah itu, seseorang meninggal di rumah itu…”

“Haahh…???” aku terkejut bukan kepalang.

“Tidak perlu takut Nit! Bukan pembunuhan… tapi kecelakaan biasa saja. Seorang pedagang keliling numpang berteduh di rumah itu, tapi dia terkena serangan jantung sehingga meninggal. Karena kejadiannya malam hari jadi nggak ada yang tahu. Para pekerja bangunan baru mendapati saat pagi ketika akan melanjutkan kerjaan,” lanjutnya dengan tenang.

“Oohh… kirain…!” aku merasa lega.

“Kenapa tidak dilanjutin ya pengerjaan rumah itu?” tanyaku.

“Dananya mepet kali!” bu Wal menjawab sekenanya.

Aku manggut manggut, “Iya… bangun rumah memang perlu dana besar!”

Kulihat bakso pesananku sudah datang, pelayan meletakkan mangkok bakso dan gelas air teh di mejaku. Lalu kami berdua sibuk makan bakso, aku baru mulai mau makan sedang bu Wal sudah hampir habis.

“Maaf Nit, aku duluan ya? Hampir jam sembilan nih…!” Ucap bu Wal berpamitan seraya bangkit dari kursi.

“Oooh… iya.. iya Bu, silakan?” jawabku.

“Selamat pulang, dan hati-hati ya,” kata bu Wal lagi sambil menepuk bahuku.

Dari tempatku duduk, kulihat bu Wal keluar dan dengan motornya ia meninggalkan warung ini menuju tempat kerjanya. Akupun lalu melanjutkan makan.

Setelah selesai makan, aku membayar ke kasir dan berlalu pulang. Sepanjang perjalanan pulang memang masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan utama di kota ini. Kebanyakan naik sepeda motor menandakan para karyawan baru pulang. Mungkin mereka seperti aku yang baru bisa pulang karena terjebak hujan deras tadi.

Aku sampai di pertigaan jalan yang menghubungkan jalan menuju perumahan, ada papan kecil yang dipasang di ujung pertigaan yang menunjukkan arah perumahan kami, aku berbelok mengikuti arah itu dan dari jalan utama menuju ke perumahan, aku merasakan sepi yang mencekam. Hujan masih turun meski tidak deras, sesekali petir dan guntur bergantian menghias langit. Memang sesekali ada motor dan mobil yang lewat tapi mereka menjalankan lajunya dengan kencang, sedangkan aku tidak berani. 

Jalan ini tidak terlalu mulus, meski sudah diaspal tapi kerusakan ada di sana sini. Banyak lobang di sekujur badan jalan. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh. Apalagi belum juga ada penerangan di sepanjang sisi jalan, kita para pengendara cuma bisa mengandalkan sorot lampu kendaraan masing-masing.

Aku memilih menjalankan motor dengan pelan-pelan, lebih baik terlambat asal selamat, begitu kira-kira semboyanku hehehe... Entah mengapa, semakin jauh dari jalan utama, jalanan juga semakin senyap saja. Sudah berlalu sekitar lima menit tidak ada kendaraan lain yang lewat, aku jadi ketakutan sendiri. Aku berharap aku selamat sampai di rumah. Aku khawatir ada orang jahat seperti diberitakan di TV yang mencegat dan merampas motor.

Dari jauh aku melihat rumah bubrah itu meski samar, karena selain hanya mengandalkan penerangan sorot lampu motor depan, derai hujan yang turun cukup menganggu pandangan. Sudah separoh jalan, sebentar lagi akan sampai gerbang perumahan, begitu aku menghibur diri. Tapi aku terhenyak begitu melihat pemandangan di rumah itu, meski tidak begitu jelas, mataku bisa menangkap sesosok lelaki tua duduk bersandar di salah satu tembok rumah itu. Aku menghentikan motorku sejenak dengan kondisi mesin masih hidup. Kuamati dengan seksama, benarkah yang kulihat? 

“Ah… paling hanya seseorang yang menumpang berteduh!” begitu aku berkata dalam hati.

Aku tersenyum sendiri, dan bermaksud akan melanjutkan perjalanan. Namun mendadak aku kaget dan terperanjat, mataku seperti mau keluar karena tiba-tiba si lelaki tua itu lenyap begitu saja dari pandangan, bagaikan asap tertiup angin. Gugup campur gemetaran aku memacu gas dengan kencang, aku tak peduli dengan banyaknya lobang yang mengganggu di tengah jalan. Tujuanku hanya satu:

“Segera sampai ke rumah…!!”


Tuesday, March 15, 2022

Siluman Ular di Kampung Melayu



Hamdan dan Nurjanah adalah sepasang suami-istri yang belum lama menikah. Pasangan tersebut belum mempunyai tempat tinggal sendiri, mereka masih mengontrak di sebuah rumah dekat tempat kerja Hamdan di Kampung Melayu. Mereka tidak perlu membayar penuh biaya kontrak rumah, tapi hanya separohnya saja karena rumah tersebut milik kerabat Nurjanah, istri Hamdan. 

Namun belum genap empat bulan tinggal di rumah tersebut, mereka harus kebingungan mencari tempat tinggal baru, karena sewaktu banjir besar melanda Kampung Melayu, rumah yang mereka tempati tersebut roboh karena temboknya rapuh gara-gara terlalu sering terendam banjir. 

Karena tidak ada biaya membangun kembali rumah yang roboh tersebut, akhirnya merekapun terpaksa menumpang di rumah sempit milik orang tua istri Hamdan. Masyarakat di kampung istri Hamdan itu ternyata ramah dan memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Mereka tanpa diminta langsung memberikan bantuan walau ala kadarnya kepada pasangan yang baru tertimpa musibah itu. Hamdan pun bisa mudah akrab dengan mereka, baik yang tua maupun anak-anak muda. Mereka hidup rukun dan damai, saling bantu tanpa pamrih kepada siapapun yang membutuhkan bantuan.

Mereka rupanya memperhatikan kehidupan Hamdan-Nurjanah yang tidak punya tempat tinggal. Suatu ketika, salah seorang tokoh masyarakat di kampung itu yang bernama Haji Somad mengajak Hamdan berbicara empat mata. 

“Begini Mas Hamdan, sebelumnya saya mohon maaf dan mohon mas Hamdan jangan tersinggung.” katanya kepada Hamdan.

Tentu saja Hamdan kaget dan bertanya, 

“Maaf Pak, apa saya ada kesalahan kepada warga di sini?” tanya Hamdan. 

“Bukan begitu maksudnya, Mas Hamdan sama sekali tidak ada kesalahan kepada warga, tapi begini Mas, sekali lagi mohon maaf, kami warga di sini ingin sekali Mas Hamdan sekeluarga punya tempat tinggal yang agak luas, kalau di rumah bu Romlah kan ramai dan sesak, banyak saudara yang tinggal di satu rumah. Sementara di kampung kita ini ada rumah kosong yang tidak ditempati, tapi keadaannya ya tidak terawat. Kami para warga menginginkan agar Mas Hamdan sekeluarga saja yang tinggal di rumah itu. Bagaimana Mas?” kata Haji Somad.

Hamdan merasa lega, gembira dan bercampur haru, lalu Hamdan berkata kepada Haji Somad, 

“Alhamdulillah, saya sangat berterima asih kepada seluruh warga dan para pimpinan di kampung ini. Ya Pak, saya akan tinggal di situ.”

Mendengar jawaban tersebut, Haji Somad berbinar dan memeluk Hamdan sambil berkata, 

“Terima kasih Mas, semoga Mas Hamdan bisa kerasan di kampung ini, nanti kami akan bergotong-royong membersihkan rumah itu”, kata Haji Somad. 

Hamdan sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi saking terharunya.

Esok paginya, Hamdan dan istrinya bersama warga kampung bergotong-royong membersihkan rumah tersebut. Menjelang sore, rimbunan rumput alang-alang yang setinggi bahu yang tumbuh di sekeliling rumah sudah dipotong bersih, rumah juga sudah dikapur sehingga terlihat putih bersih, sangat nyaman terlihat. Selesai bergotong-royong, merekapun pulang ke rumah masing-masing. Rencananya, esok hari Hamdan dan Nurjanah akan pindah dari rumah Bu Romlah (ibunya Nurjanah) ke rumah yang baru tersebut.

Esok harinya, jam 06.00 pagi Hamdan menengok rumah baru yang akan mereka tempati itu, dan ternyata di sana sudah ada beberapa warga yang berdiri di depan pagar rumah. Begitu melihat kedatangan Hamdan, beberapa warga bergegas menghampirinya, salah satu dari mereka berkata, 

“Kenapa bisa begini ya Mas, ada apa ini, bukannya kemarin sudah kita bersihkan bareng-bareng?” katanya. 

“Memangnya ada apa Pak?” tanya Hamdan heran. 

Hamdan memang belum sempat melihat ke rumah tersebut karena sudah terburu dicegat oleh warga. 

“Itu Mas, coba lihat, rumah itu kembali seperti semula, sama seperti sebelum dibersihkan, rumput tinggi lagi, dinding kotor lagi, kenapa bisa begitu?” katanya dengan penasaran. 

Dan benar, saat Hamdan melihat rumah itu, ternyata berantakan lagi seperti ketika belum dibersihkan oleh warga. Lalu Hamdan berkata kepada mereka, 

“Tenang Bapak-bapak, kalau memang Allah Yang Maha Kuasa memberikan rumah itu kepada saya, pasti ada jalan. Maklum, rumah itu sudah lama kosong, bisa saja ada penunggunya.” kata Hamdan kepada mereka.

“Terus bagaimana Mas?” kata salah seorang dari mereka. 

“Begini Pak, Bapak-bapak dan warga semua tenang saja, mungkin saya harus “PERMISI” dulu kepada para penunggu rumah itu sebelum menempatinya. Saya hanya mohon doa dan restu seluruh warga, saya akan masuk ke dalam rumah itu sendirian, sebaiknya jangan ada yang ikut masuk.” jawab Hamdan.

Lalu, dengan mengucap basmalah dan salam kepada para hamba Allah yang sholih, Hamdan pun masuk ke dalam rumah itu, begitu sampai di dalam, muncul banyak ular memenuhi ruang tamu, lalu Hamdan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW serta salam kepada Nabi Nuh Alaihissalam. Tak berapa lama kemudian, ular-ular itu pun menghilang entah ke mana, dan tiba-tiba muncul sesosok makhluk berbadan manusia berkepala ular dan berekor seperti ular dan berkata, 

“Apa maksudmu datang ke sini?”

Hamdan pun menjawab dengan pertanyaan,

“Apa maksudmu menempati rumah kami? Ini adalah hak kami, bukan hak kamu, hak kamu bukan di sini. Kembalilah ke alammu.” jawab Hamdan.

Lalu Hamdan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta salam kepada Nabi Sulaiman Alaihissalam. Aneh sekali tapi benar-benar nyata, dalam sekejap mata, rumah itupun kembali bersih seperti kemarin waktu usai mereka bersihkan. Saat itu juga Hamdan dan Nurjanah pindah ke rumah tersebut dibantu warga, dan merekapun dengan sukacita menempati rumah baru tersebut. 


Friday, March 11, 2022

Manusia Tanpa Kepala Menyebrang di Jalan Ca-Cing



Dua bulan lamanya Sugiman merantau di Jakarta. Di Jakarta, ia membantu pamannya untuk berjualan bakmi dan nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan Ca-Cing alias Cakung-Cilincing.

Warung Nas-Gor Pak Hamid, begitulah brand yang dipajang oleh pamannya. Lumayan laris meskipun lokasi tempatnya berjualan dikenal sangat angker apalagi jika sudah menjelang tengah malam. Menurut cerita dari para pelanggannya, di wilayah itu sering berkeliaran hantu manusia tanpa kepala terutama di malam Jumat kliwon. 

Konon kabarnya, pernah terjadi kecelakaan beberapa tahun lalu. Kala itu dini hari dan gerimis tiada henti sejak dari sore hari sebelumnya. Jalanan licin dan yang menyedihkan ketika itu lampu mati sehingga penerangan jalan hanya mengandalkan sorot lampu dari kendaraan yang lewat. Jalan Ca-Cing yang mendekati Tanjung Priok dikenal sebagai jalan yang berbahanya bagi beberapa kalangan. Karena yang melewati jalan ini adalah kendaraan-kendaraan besar seperti truk tronton, dan truk kontainer berbagai ukuran yang menuju dan meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok.

Nah, pada dini hari kelabu itu menurut cerita salah seorang pelanggan, terjadi kecelakaan maut dimana seorang pengendara motor tewas terlindas truk kontainer. Namun pada saat itu si sopir truk kontainer menyangkal telah melindas si pengendara motor sampai mati. Menurut pengakuannya, saat itu jalan licin dan suasana agak gelap. Ketika mendekati lokasi tersebut, tiba-tiba ia melihat sebuah sepeda motor sudah tergeletak di tengah jalan tanpa ada pengemudinya. Ia pun menghentikan truknya. Namun tiba-tiba diseruduk dengan keras dari arah belakang oleh truk tronton yang kala itu melaju kencang, sehingga truk kontainer yang dikemudikannya pun terdorong ke depan dan melindas sepeda motor tersebut. Namun si sopir truk kontainer bersumpah, ia bersikeras bahwa saat itu tidak ada satu makhluk hidup pun yang terlindas oleh truknya.

Sayangnya fakta berkata lain, di lokasi kecelakaan itu, polisi menemukan seorang pria yang diduga adalah si pengendara motor, tewas mengenaskan dengan keadaan tubuh tanpa kepala. Aneh memang, kalau terlindas truk, apa iya kepalanya bisa putus, lalu ke mana perginya kepala itu karena hingga kini pun polisi tidak bisa menemukannya. Namun malang benar nasib si sopir truk kontainer. Sekalipun semua bukti tidak sinkron, tidak kuat, dan malah terkesan aneh, tetap saja si sopir terkena hukuman.

Begitulah kisah seram yang diceritakan oleh pak Saiman yang dini hari itu sedang menikmati mie rebus sambil ngopi bersama beberapa pelanggan di Warung Nas-Gor pak Hamid.

“Wah, mestinya kalau membicarakan hantu, harusnya sehabis Asar tadi, jangan menjelang dini hari begini. Kadang saya merasa merinding juga kalau harus mendengarkan cerita yang serem. Tapi, nggak apalah, daripada bengong saja.” kata pak Mansur, salah seorang pelanggan. 

Menurut pak Saiman, penampakan sesosok tubuh tanpa kepala berkelebat tanpa ketemu orangnya, sebagai hal lumrah di jalan Ca-Cing itu. 

“Sering saya kejar dan saya terangi dengan senter, tapi tetap tak ketemu.” katanya. 

Malah ada lelembut yang suka meledek. Cuma menampakkan perut dan dadanya saja. Kadang-kadang cuma wajahnya. Juga ada yang suka mencolek-colek. Kalau nyalinya ciut, pasti terkencing-kencing. Menurut cerita pak Saiman, ketika ia sedang berdiri di dekat trafic light, dan hendak menyeberang jalan, ia pernah merasa dicolek di bagian belakang kepalanya.

“Merinding bulu kuduk saya. Tapi karena terbiasa sembahyang lima waktu, saya tak merasa takut sama sekali.” katanya dengan nada sok alim.

Lagi, suatu malam, ketika akan membaringkan tubuhnya di tempat tidur, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang sangat halus. Lalu ada kesepakatan dengan istrinya, ia akan mencoba menengok lewat pintu yang lain. Sementara istrinya menjaga anak-anaknya. Setelah mendekat ke pintu yang diketuk-ketuk itu ternyata tidak ada orang sama sekali. 

Ada lagi cerita. Selepas Maghrib ia sedang berjalan di sisi jalan sebelah utara. Dia kaget mendengar kakek-kakek dan nenek-nenek berdiskusi. 

“Bicara dengan bahasa Jawa halus dan terasa enak didengar.” ungkap pak Saiman. 

Di antara pengalaman orang lain yang pernah ia ketahui, misalnya cerita dari seorang bakul bakmi dorong. Bakul tersebut pernah berjalan di pinggir jalan Ca-Cing sambil mendorong gerobaknya. Waktu itu di sisi barat jalan masih terdapat banyak bangunan kuno dan agak tertutup oleh rimbunnya pepohonan. 

Tiba-tiba terdengar suara orang yang berteriak memesan satu porsi bakmi goreng. Dengan enjoy pedagang bakmi dorong itu pun memasak sesuai yang dipesan. Anehnya, ketika bakmi diantar, eh… yang menerima ternyata seorang laki-laki tanpa kepala.

 “Langsung lari terbirit-birit si penjual bakmi itu.” kata Saiman.

“Iya, memang santer beredar gosip kalau di jalan Ca-Cing ini, setiap malam Jumat kliwon ada hantu laki-laki tanpa kepala yang bergentayangan, terutama menjelang dini hari.” kata pak Thohir.

“Iya, memang benar… hantu itu berkeliaran karena belum menemukan kepalanya yang hilang entah ke mana.” pak Ikhsan menimpali.

“Apa benar begitu? Lhah, sekarang ini kan malam Jumat kliwon, menjelang dini hari, dan gerimis seharian tidak berhenti, tapi kok hantunya tak juga muncul?” seloroh Sugiman santai sambil memasak nasi goreng untuk pelanggannya.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba lampu padam. Pak Hamid mencoba mencari lilin tapi tidak ketemu, alhasil warung nasi goreng di pinggir jalan Ca-Cing itupun hanya mengandalkan sorot lampu kendaraan yang sesekali lewat di tengah gerimis hujan. Tiba- tiba pak Saiman tergagap-gagap berteriak sambil menunjuk ke arah zebra cross di sisi utara warung nasgor pak Hamid,

“Li… lih… lihat di sana!!”

Semua orang di warung nasgor pak Hamid pun menoleh melihat ke arah yang ditunjuk pak Saiman, dan...

Astagaaaa…

Di Zebra Cross itu, hantu laki-laki tanpa kepala itu berjalan tertatih-tatih dan terhuyung-huyung menyeberangi jalan Ca-Cing, dan…

“Ia berjalan menuju ke siniiii…!!!” teriak pak Maksun sambil lari terbirit-birit.

Semua pelanggan Warung Nas-Gor pak Hamid pun spontan ikut-ikutan lari sambil berteriak ketakutan.

Begitupun Sugiman dan pamannya, pak Hamid, tanpa menunggu komando langsung kabur dan meninggalkan dagangan mereka begitu saja tanpa berani menoleh ke belakang.


La Planchada