Wednesday, March 16, 2022

MISTERI RUMAH BUBRAH

(Gambar Hanya Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Setiap hari aku selalu melewati rumah bubrah itu, pagi hari saat berangkat kerja dan tiap sore atau petang tiap kali pulang dari bekerja. Aku tinggal di sebuah perumahan yang lumayan jauh dari pusat kota. Namanya juga perumahan untuk kalangan rakyat, jadi… pada umumnya ukuran rumahnya kecil-kecil, rata-rata type 36 dan 45. Itupun kebanyakan penghuninya membeli dengan cara mencicil melalui bank, istilahnya kredit kepemilikan rumah… hehehe. 

Suamiku bekerja sebagai pegawai negeri sipil jadi lumayan tidak sulit baginya untuk mengajukan kredit. Sedangkan aku adalah karyawati di perusahaan swasta yang belum terbilang besar, dan seperti karyawan swasta lainnya, jam kerjaku terbentang dari pagi pukul delapan sampai sore jam empat, itupun kadang ada lembur sehingga aku bisa pulang selepas maghrib atau bahkan setelah Isya. Tapi lumayan juga uang lemburnya, jadi kami para karyawan senang-senang saja kerja lembur. Tentu saja itu diberlakukan saat padat pekerjaan dan batas penyelesaian yang mendesak. Bila tidak, ya tentu saja tidak akan ada lembur, karena tentunya perusahaan tidak mau rugi.

Rumah tua dan bubrah itu terletak di tengah-tengah antara jalan utama dan jalan yang menghubungkan ke perumahan kami, rumah itu berdiri di sebuah pekarangan yang cukup luas, di sisi sebelah kanan, kiri dan belakang rumah itu terbentang persawahan. Di depannya ada sebuah jalan kecil yang merupakan satu-satunya jalan menuju perumahan kami. Jalan itu tidak terlalu besar, jadi kalau ada mobil berpapasan dari arah berlawanan, keduanya mesti sedikit menyorong ke samping agar tidak berserempetan, jadinya kami yang menggunakan motor harus menunggu. 

Rumah itu berdiri di lahan bekas sawah yang dikeringkan, tapi rumah itu belum selesai pengerjaannya, mungkin karena keterbatasan dana jadi belum bisa diselesaikan. Yang pasti, rumah itu sudah berdiri, genting dan tembok lengkap, hanya pintu dan jendela belum ada, Oleh pemiliknya hanya ditutupi dengan anyaman bambu. Pengerjaan rumah itu tampaknya terhenti, sehingga kesan bubrah dan tidak terurus sungguh terasa. 

Sama seperti kondisi rumah, pekarangan di bagian belakang juga tampak bubrah, aku bisa melihatnya karena tidak ada pagar yang membingkai rumah itu, pekarangan itu tidak terawat, memang ada segerombolan pohon pisang di sisi kanan dan kiri pekarangan, tapi selebihnya cuma tanaman-tanaman liar yang menyatu dengan rumput yang meninggi. Belum ada penerangan sama sekali di rumah itu, jadi setiap kali petang menjelang, rumah itu terlihat gelap dan sunyi. Aku kurang tahu siapa pemiliknya karena aku belum lama tinggal di perumahan, bisa dibilang baru beberapa bulan. 

Perumahan tempat kami tinggal memang belum lama didirikan, tapi sudah cukup banyak yang menghuni. Aku dan suami yang pendatang termasuk yang beli belakangan. 

Bila dilihat, bangunan rumah itu bisa dibilang belum cukup tua atau mungkin terlihat tua karena tidak terawat ya? Aku pikir pemiliknya kehabisan dana dan tidak mampu menyelesaikannya. Membangun rumah memang perlu dana yang tidak sedikit, bila tidak direncanakan dengan baik bisa saja pengerjaan rumah itu terhenti di tengah jalan. 

Tapi… sudahlah itu bukan urusanku.

Pagi itu aku berangkat ke kantor dengan mengendarai motor, aku memakai mantel untuk melindungi diri dari hujan. Aku paling sebal kalau hujan turun saat aku kebetulan sedang akan pergi atau dalam perjalanan pulang dari kantor, selain mesti berganti sandal sedangkan sepatu aku masukkan ke dalam saja tas plastik agar tidak basah, juga dandanan di wajah jadi berantakan. Sebenarnya aku bisa naik angkot yang melewati jalan yang menghubungkan perumahan dengan kota, tapi aku tidak sabar menunggu apalagi jam kedatangan angkot-nya juga tidak bisa dipastikan. Kadang berhenti dulu cukup lama dan menunggu penumpang penuh… wah, bisa-bisa aku malah jadi terlambat dong. 

Saat melewati rumah itu kulihat beberapa pelajar pria yang kongkow-kongkow, santai dengan duduk-duduk di teras. Motor mereka di parkir di samping rumah sehingga tidak kehujanan, aku yakin mereka pasti tidak berbekal mantel. Musim hujan begini… kok ya tidak bawa mantel. Atau bisa jadi itu untuk alasan mereka terlambat masuk sekolah ya? Kulihat sekilas mereka ngobrol dan tertawa-tawa.

Sesampainya di kantor, aku memarkir motor di tempat parkir yang sudah disediakan, lalu menutupi motor dengan mantel yang aku pakai tadi agar mantel itu kering. Kuambil sepatu dari dalam tas plastik dan kutukar dengan sandal, selanjutnya aku memakai sepatu. Setelah merapikan rambut dan mengelap wajahku yang sedikit terkena air hujan, aku berjalan menuju ruang kantor. Di sana, aku langsung menuju ke ruang kerjaku. 

Sebenarnya bukan ruang kerja sih, karena meja kami para karyawan diatur berjejer memanjang, tapi ada sekat yang membatasi meja masing-masing karyawan. Yah... semacam bilik kecil kecil, dan masing masing juga ada pintu sorongnya, yaitu sebuah papan yang bisa didorong, semacam pintu koboi itu loh. 

“Kehujanan ya?” suara yang sudah sangat aku kenal terdengar dari balik bilik.

Aku mendongakkan wajah ke arah suara itu, kulihat kepala Rumi nongol di atas, kedua tangannya berpegang pada sekat bilik kayu. 

“Kamu juga kan?” balasku begitu melihat rambutnya yang sedikit basah.

“Namanya juga musim hujan!” jawabnya kalem, 

“Aku mau dandan dulu, nih lihat riasanku berantakan, kayak kamu… hehehehh.” sambungnya sambil terkekeh.

Aku ikutan tertawa, setelah kepala Rumi turun dari sekat, aku membuka laci kecil di meja kerjaku, kukeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi peralatan dandan. Tidak lengkap-lengkap amat sih… cuma kebutuhan riasan dasar saja, utamanya bisa membuat wajah tidak terlalu polos. Selanjutnya aku tenggelam dalam rutinitas pekerjaan.

Hari ini ternyata ada lembur, jadi selepas maghrib nanti baru aku bisa pulang. Aku dan beberapa temanku menyempatkan shalat maghrib di kantor, kalau makan malam sudah tadi disediakan nasi kotak oleh kantor, lumayanlah buat mengganjal perut. Hujan-hujan begini membuat perut selalu kelaparan.

“Wah, hujannya kok bertambah deras ya?” protes Rumi cemberut.

“Iya nih… payah, padahal mau pulang!” tambah Ussi temanku yang lain.

Rumi, Ussi dan aku sendiri baru berada di tempat parkir untuk mengambil motor masing-masing dan bermaksud pulang. Tapi melihat hujan yang sedemikian deras kami mengurungkan niat. Bukan apa-apa sih…, hanya saja, kami takut kalau-kalau mesin motor kami mati karena kadang air meluap menutup jalan. Bila luapannya masuk ke mesin, kadang bisa membuatnya jadi mogok.

“Kita tunggu aja sampai sedikit reda,” kataku pada mereka. 

“Hujan deras begini kadang bisa bikin mesin motor mati,”

“Iya, dua hari lalu aku terpaksa menuntun sampai bengkel terdekat, businya kali!” sambung Rumi.

“Betul, daripada kerepotan menuntun mendingan menunggu sebentar!” tambah Ussi.

Kami bertiga lalu berjalan menuju bagian depan, di situ ada semacam ruang runggu. Sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu, kami bertiga lalu bergabung dengan mereka. Kami duduk dekat ruang satpam.

“Menunggu hujan reda ya Mbak?” tanya pak Dwi –satpam kantor kami.

“Iya nih…!” jawabku

“Silakan deh, banyak juga kok yang menunggu!” katanya lagi tanpa bermaksud berbasa-basi.

“Terimakasih Pak!” jawab kami.

Cukup lama kami menunggu, aku lalu kirim sms ke mas Joko –suamiku– kalau aku akan pulang terlambat karena ada lembur dan terjebak hujan, jadi ini masih menunggu di kantor. Mas Joko menjawab tidak apa-apa, dia bisa mempersiapkan makan malam sendiri. Kami berdua sama-sama bekerja jadi saling memahami satu sama lain, tidak ada pembagian pekerjaan rumah tangga, siapa yang longgar dan ada waktu maka dia yang mengerjakan. 

Menjelang pukul delapan malam hujan mulai mereda. Aku dan kedua temanku serta beberapa karyawan lain yang tadi menunggu, segera berhamburan keluar menuju ke tempat parkir.

“Pulang dulu ya…!” seruku kepada Ussi dan Rumi.

“Yoi, ketemu besok!” jawab Ussi pendek.

“Daaa…” balas Rumi sambil melambaikan tangan.

Kami memang ingin segera pulang, badan sudah pegal-pegal rasanya. Apalagi hari sudah malam, maunya langsung sampai rumah dan istirahat. Sesampainya di tempat parkir, kulepaskan mantel dari motor lalu kupakai, meski hanya gerimis kecil lebih baik akau mengenakan mantel, siapa tahu hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi? Kan malah kerepotan sendiri nanti. Sepatu juga aku lepas untuk selanjutnya aku ganti dengan sandal. Setelah aku menstarter motor akupun melenggang keluar ruang parkir. 

Sepanjang jalan dari kantor meninggalkan pusat kota, banyak pengendara motor yang juga masih memakai mantel. Kulihat toko-toko yang berjajar di kedua sisi jalan tampak sepi, yah, hujan-hujan begini siapa juga yang mau keluar rumah? Entah mengapa ketika aku melihat warung bakso di ujung jalan perutku tiba-tiba tidak bisa diajak kompromi, padahal tadi sudah mendapat jatah nasi kotak dari kantor, kok sekarang lapar lagi? Mungkin karena aku melihat cukup banyak orang yang jajan di warung bakso itu, apalagi hujan-hujan begini… makan yang hangat-hangat tentu asyik. Bayangan semangkuk bakso yang hangat sungguh menggoda selera, akupun tidak jadi melanjutkan pulang ke rumah, aku berbelok dulu ke warung itu.

Setelah memarkir dan melepas mantel, aku berjalan menuju ke dalam warung, aku memesan satu mangkok bakso komplit dan satu gelas teh panas. Selanjutnya aku celingak-celinguk mencari kursi yang kosong.

“Hai Nita… sini…” suara serorang perempuan memanggil namaku. Kucari arah suara itu, ternyata bu Wal –tetanggaku di perumahan- sedang duduk menikmati bakso. Aku bergerak menemuinya. Kulihat ada sedikit bangku yang kosong, cukup lah buat aku untuk duduk.

“Duduk sini saja Nit, cukup kok!” begitu kata bu Wal sambil sedikit bergeser.

“Terima kasih Bu Wal.” jawabku seraya duduk di sebelahnya.

Bu Wal itu beberapa tahun lebih tua dariku, dia bekerja di sebuah pabrik makanan terkemuka di kota ini. Sebenarnya dia satu kota sih dengan kantorku, tapi karena berbeda tempat kerja kami jarang bertemu bahkan saat berangkat dan pulang kerja. Apalagijam kerja bu Wal yang tidak tentu karena menggunakan sistem shift. Hanya saat pertemuan warga di perumahan dan kadang pas libur saja kami bertemu.

“Ini mau pulang ke rumah atau gimana Bu?” sapaku berbasa basi.

“Wah, ini sih mau masuk kerja Nit, aku shift malam. Nita mau pulang ya?” balasnya sambil menghentikan sementara makan baksonya.

“Oooh… sift malam ya? Kalau aku mau pulang Bu, tapi nggak tahu kok pingin makan basko dulu,” jawabku. 

“Hehehe… tidak apa-apa makan bakso dulu, tidak terlalu malam juga kok, memang sih jalan menuju perumahan agak sepi, tapi sebelum jam sepuluh malam biasanya juga masih ada satu dua orang yang lalu lalang, kan banyak tuh yang baru pulang kerja.” kata bu Wal panjang lebar.

“Iya Bu, lumayan sepi… apalagi sepanjang jalan hanya persawahan ya? Cuma ada satu rumah saja yaitu rumah bubrah…!” timpalku 

Bayangan rumah itu muncul di benakku. Kalau sudah petang rumah itu gelap gulita dan terasa sangat sepi, aku pernah lewat saat petang… memang sungguh senyap, hanya deru motor atau mobil yang sesekali saja terdengar. 

“Iya, rumah itu menakutkan juga ya? Apalagi pas malam hari. Sudah dikelilingi persawahan, kosong pula. Kata orang sih rumah itu tidak diselesaikan sama pemiliknya…”

“Loh kenapa? Kan sayang tuh!” potongku, aku jadi tertarik untuk mendengar ceritanya lebih lanjut.

Kulihat bu Wal mengangkat bahu,

“Aku kurang tahu pasti, hanya menurut kabar,” dia diam sejenak, “katanya ada tragedi di rumah itu, seseorang meninggal di rumah itu…”

“Haahh…???” aku terkejut bukan kepalang.

“Tidak perlu takut Nit! Bukan pembunuhan… tapi kecelakaan biasa saja. Seorang pedagang keliling numpang berteduh di rumah itu, tapi dia terkena serangan jantung sehingga meninggal. Karena kejadiannya malam hari jadi nggak ada yang tahu. Para pekerja bangunan baru mendapati saat pagi ketika akan melanjutkan kerjaan,” lanjutnya dengan tenang.

“Oohh… kirain…!” aku merasa lega.

“Kenapa tidak dilanjutin ya pengerjaan rumah itu?” tanyaku.

“Dananya mepet kali!” bu Wal menjawab sekenanya.

Aku manggut manggut, “Iya… bangun rumah memang perlu dana besar!”

Kulihat bakso pesananku sudah datang, pelayan meletakkan mangkok bakso dan gelas air teh di mejaku. Lalu kami berdua sibuk makan bakso, aku baru mulai mau makan sedang bu Wal sudah hampir habis.

“Maaf Nit, aku duluan ya? Hampir jam sembilan nih…!” Ucap bu Wal berpamitan seraya bangkit dari kursi.

“Oooh… iya.. iya Bu, silakan?” jawabku.

“Selamat pulang, dan hati-hati ya,” kata bu Wal lagi sambil menepuk bahuku.

Dari tempatku duduk, kulihat bu Wal keluar dan dengan motornya ia meninggalkan warung ini menuju tempat kerjanya. Akupun lalu melanjutkan makan.

Setelah selesai makan, aku membayar ke kasir dan berlalu pulang. Sepanjang perjalanan pulang memang masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan utama di kota ini. Kebanyakan naik sepeda motor menandakan para karyawan baru pulang. Mungkin mereka seperti aku yang baru bisa pulang karena terjebak hujan deras tadi.

Aku sampai di pertigaan jalan yang menghubungkan jalan menuju perumahan, ada papan kecil yang dipasang di ujung pertigaan yang menunjukkan arah perumahan kami, aku berbelok mengikuti arah itu dan dari jalan utama menuju ke perumahan, aku merasakan sepi yang mencekam. Hujan masih turun meski tidak deras, sesekali petir dan guntur bergantian menghias langit. Memang sesekali ada motor dan mobil yang lewat tapi mereka menjalankan lajunya dengan kencang, sedangkan aku tidak berani. 

Jalan ini tidak terlalu mulus, meski sudah diaspal tapi kerusakan ada di sana sini. Banyak lobang di sekujur badan jalan. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh. Apalagi belum juga ada penerangan di sepanjang sisi jalan, kita para pengendara cuma bisa mengandalkan sorot lampu kendaraan masing-masing.

Aku memilih menjalankan motor dengan pelan-pelan, lebih baik terlambat asal selamat, begitu kira-kira semboyanku hehehe... Entah mengapa, semakin jauh dari jalan utama, jalanan juga semakin senyap saja. Sudah berlalu sekitar lima menit tidak ada kendaraan lain yang lewat, aku jadi ketakutan sendiri. Aku berharap aku selamat sampai di rumah. Aku khawatir ada orang jahat seperti diberitakan di TV yang mencegat dan merampas motor.

Dari jauh aku melihat rumah bubrah itu meski samar, karena selain hanya mengandalkan penerangan sorot lampu motor depan, derai hujan yang turun cukup menganggu pandangan. Sudah separoh jalan, sebentar lagi akan sampai gerbang perumahan, begitu aku menghibur diri. Tapi aku terhenyak begitu melihat pemandangan di rumah itu, meski tidak begitu jelas, mataku bisa menangkap sesosok lelaki tua duduk bersandar di salah satu tembok rumah itu. Aku menghentikan motorku sejenak dengan kondisi mesin masih hidup. Kuamati dengan seksama, benarkah yang kulihat? 

“Ah… paling hanya seseorang yang menumpang berteduh!” begitu aku berkata dalam hati.

Aku tersenyum sendiri, dan bermaksud akan melanjutkan perjalanan. Namun mendadak aku kaget dan terperanjat, mataku seperti mau keluar karena tiba-tiba si lelaki tua itu lenyap begitu saja dari pandangan, bagaikan asap tertiup angin. Gugup campur gemetaran aku memacu gas dengan kencang, aku tak peduli dengan banyaknya lobang yang mengganggu di tengah jalan. Tujuanku hanya satu:

“Segera sampai ke rumah…!!”


No comments:

Post a Comment

La Planchada