Thursday, December 30, 2021

Perkantoran Bekas Kuburan



Cerita ini berawal sekitar tahun 1998 di kota Jogja, sewaktu Yudi bekerja di sebuah kantor di kota gudeg itu. Dia sebagai staf kantor. Yudi sendiri tinggal di daerah Polanharjo, Klaten. Setiap hari ia pulang pergi Polanharjo-Jogja naik angkutan. Sekali berangkat ia harus ganti tiga kali angkutan. Sebenarnya ia ingin kost di Jogja, namun karena masih baru ia belum sempat mencari kost-kostan. 

Kebetulan dalam minggu itu banyak pekerjaan yang harus dilembur, Yudi sendiri tidak mungkin setiap hari bisa pulang. Oleh atasannya Yudi disarankan untuk tinggal di kantor saja. Ada dua kamar yang bisa dipakai, selain kamar yang ditempatinya bersama teman sekerja, Jono, kamar lainnya dipakai Bu Ratmi, tukang bersih-bersih kantor.

Hari pertama tidur di kantor, tahu-tahu Yudi sudah mengalami kejadian aneh. Waktu tengah malam dia mendengar langkah kaki berat berjalan dan seperti berdiri di depan kamar. Disusul suara seperti orang berdehem. Membuat malam itu terasa gerah.

Pada pagi harinya ketika kejadian semalam ditanyakan bu Ratmi dan Jono, jawabannya ternyata pendek saja.

“Oh, rupanya pakdhe datang.” komentar mereka dengan cuek. 

Hari berikutnya terus terjadi keanehan yang sama, dan ketika ditanyakan mengenai kejadian itu dengan enteng dijawab oleh Jono bahwa yang disebut pakdhe itu genderuwo! Spontan Yudi kaget mendengar nama genderuwo.

Malam berikutnya, sekitar jam 02.00 Yudi tidur di luar karena di dalam terasa panas. Waktu tidur dia diganggu suara besi di pukul-pukul.

“Teng teng teng” 

Membuatnya terbangun untuk mencari asal suara tersebut. Sepertinya suara di lantai 2, sehingga dia menuju arah suara tersebut.

Tepat di pojok ruang di bawah remang-remang lampu dilihatnya sebentuk warna putih tegak sedang berdiri. Penasaran dengan apa yang dilihatnya, sosok itu didekati, setelah jelas Yudi langsung berjingkat. Sosok yang ada di hadapannya itu ternyata pocong! Terlihat jelas sosok itu menatap ke arahnya.

Spontan Yudi lari terbirit-birit dan kembali masuk ke dalam  kamar.

“Aku melihat sebentuk pocong anak-anak tapi lama kelamaan menjadi besar. Benar-benar gila.” ujarnya kepada Jono. 

Jawaban tentang hantu-hantu yang tiap malam berkelana dalam kantor, baru dapat ditemukan pada esok harinya.

Saat jalan di belakang gedung perkantoran dia melihat di tengah tempat parkir yang di paving ada cekungan yang berderet-deret sejajar. Dia lalu bertanya pada bu Ratmi, barulah ditemukan jawaban jelas, jika kompleks gedung perkantorannya ini sebelumnya bekas tanah pemakaman. Bu Ratmi dan Jono sendiri sudah terbiasa tinggal di tempat itu, sehingga tidak begitu menggubris kalaupun ada kejadian aneh.

Setelah mendengar penuturan itu sekujur tubuh Yudi langsung lemas. Dia tidak mampu berbuat apa-apa karena kenyatannya lahan kuburan telah berganti menjadi gedung perkantoran yang megah. Menurut penuturannya hantu-hantu itu sampai sekarang masih bergentayangan. 


Monday, December 27, 2021

Bukan Halusinasi



Ini adalah sebuah pengalaman aneh yang pernah dialami oleh Nora Trisiana, seorang sekretaris di sebuah perusahaan otomotif ternama di kota Bogor. Ketika itu di malam hari ketika dimana hujan turun sangat lebat. Saat itu Nora sedang tidur di kamarnya di sebuah apartement di pusat kota. Tiba-tiba saja ia terbangun oleh suara-suara aneh yang sepertinya berada di dalam kamarnya. Nora pun membuka matanya dengan perlahan sambil melirik jam dinding yang ternyata baru menunjukkan pukul 02:00 dini hari. Di dalam kamarnya, suasana cukup gelap, karena sudah menjadi kebiasaan Nora untuk tidur dengan lampu kamar dimatikan. Hanya seberkas cahaya temaram yang muncul dari balik jendela. Cuaca saat itu sangat dingin dan Nora lupa untuk menyalakan penghangat ruangan kamar, walaupun selimut setebal apapun tetap saja Nora masih merasakan dinginya suasana malam yang hujan. 

Karena dirasa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, Nora pun kembali melanjutkan tidurnya. Dan dalam sekejap Nora pun kembali tertidur dengan sangat pulas. Mungkin karena ia sangat lelah setelah pulang dari bekerja. Namun belum berapa lama ia tertidur, tiba-tiba saja ia terbangun lagi karena mendengar suara aneh yang terdengar sangat pelan di telinganya seperti suara-suara kerumunan serangga, dan tiba-tiba saja suara-suara itu kemudian menghilang begitu saja, saat itu Nora sempat kaget dan memperkirakan bahwa serangga-serangga itu mungkin sedang bersarang di salah satu pohon cemara yang berada di halaman apartement.

Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara-suara aneh yang belum pernah ia kenal sebelumnya, suara ini seperti suara seseorang yang sedang bercakap-cakap, namun suara itu sangatlah aneh di telinganya. Ketika itu dengan enggan dan malas-malasan ia melihat jam dinding dengan mata sebelah tertutup, jam menunjukan pukul 02:20 dini hari. Dalam hati, Nora jadi bertanya-tanya, 

“Ini terlalu pagi untuk seseorang bercakap-cakap seperti ini, memangnya tidak ada waktu besok untuk bercakap-cakap?”

 Dan suara-suara itu pun semakin lama semakin terdengar sangat jelas, kali ini memang sangat jelas suara itu terdengar di telinga Nora, dan sepertinya itu adalah sebuah percakapan antara ibu dan anaknya. Dan masih dengan mata tertutup karena mengantuk, Nora pun terpaksa mendengar pembicaraan mereka tersebut.

Pertama ada suara seorang wanita yang berkata,

“Kau ini harus menuruti semua perintah dari ibumu ini mengerti!”, 

Kemudian ada suara anak laki-laki menjawab,

“Ibu tak pernah mengerti perasaanku saat ini, ini sudah terlalu malam, Bu!”

Saat itu keringat dingin mulai mengucur di dahi Nora.

Sungguh sangat aneh bukan? Dini hari begini masih ada pertengkaran antara ibu dan anak, sedangkan setahu Nora, selama ini ia tidak mempunyai tetangga ibu-ibu maupun anak-anak karena di sebelah gedung apartement ini adalah sebuah asrama perawat wanita, sungguh aneh bukan? 

Perasaan dan pikiran Nora mulai tidak tenang, ingin sekali ia membuka kedua matanya, namun ia sangat takut sekali, karena perasaannya semakin lama semakin tidak enak, akhirnya beberapa saat kemudian Nora langsung memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. 

Dan apa yang ia lihat? 

Sebuah pemandangan aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya, dimana ada bayangan seorang wanita dan seorang anak berdiri di atas meja kerjanya, nampak jelas apa yang ia lihat bayangan itu hitam legam dan berbentuk manusia dan Nora dapat melihatnya dengan jelas. Setelah melihatnya, tiba-tiba saja tubuh Nora langsung lemas dan ia pun pingsan di atas tempat tidurnya. 

Keesokan harinya, Nora terbangun karena mendengar pintu apartement digedor-gedor dengan keras. Ia pun bergegas bangun dan berjalan tergesa-gesa menuju ke pintu untuk mengetahui siapa gerangan yang datang.

Ketika Nora membuka pintu, rupanya si Wida, rekan kerjanya yang datang. Terlihat ia berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah yang kelihatan sangat shock, panik, cemas, ketakutan. Sulit digambarkan. 

Nora bertanya kepadanya, 

“Kenapa tiba-tiba saja kau datang ke rumahku? Bukankah hari ini seharusnya kau masuk kerja?”

Kemudian tanpa basi-basi Wida langsung menerobos masuk dan langsung membuka beberapa lembaran kertas foto yang baru saja ia cetak, ia beberkan semua lembaran kertas foto itu di atas meja kerja Nora, kemudian ia berkata, 

“Aku akan memperlihatkan beberapa foto yang sangat aneh dan sepertinya kamu memang harus segera meninggalkan apartement yang kamu sewa iniini, karena kamu tidak tinggal sendiri di apartement ini, ada makhluk lain yang menghuni disini. Cobalah lihat foto ini, yang ini... dan yang ini... ada bayangan hitam berbentuk seperti sebuah figur seseorang sedang berdiri di ruang tamu, dan di beberapa lokasi lain di apartement yang kamu sewa ini...”

Nora memperhatikan dengan seksama foto-foto itu, sepertinya foto-foto itu diambil dalam sebuah pesta, tapi mengapa di apartementnya? Seingat Nora, ia tidak pernah mengadakan pesta di apartementnya. Nora pun jadi tak habis pikir bagaimana Wida bisa mengambil foto di dalam apartementnya? Dan ia pun bertanya, 

“Wid, kapan kamu mengambil foto-foto ini?”

Wida pun menjelaskan,

“Bukan aku yang mengambilnya, tapi si Roland pacarnya Hani. Kamu ingat tidak sewaktu kamu ditugaskan selama lima hari ke Singapura? Kamu mempercayakan apartementmu kepada Hani bukan? Nah, ketika itulah Hani mengadakan pesta di apartementmu ini untuk merayakan ulang tahun Roland. Dan mereka memotretnya untuk mengabadikan perayaan itu...”

“Kalau mereka yang memotretnya, lantas kenapa foto-foto ini sekarang ada padamu Wid?” tanya Nora penasaran.

Wida pun menjelaskan, 

“Ini semua karena Roland dan Hani takut mengatakannya padamu, mereka merasa bersalah karena mengadakan perayaan tersebut di apartementmu tanpa minta ijin terlebih dulu,” 

“Dan ketika mereka melihat adanya keanehan dalam foto-foto yang telah mereka cetak tersebut, mereka ingin segera memberitahumu tapi karena tidak berani akhirnya mereka berdua meminta tolong kepadaku untuk mengatakannya padamu...” lanjut Wida.

Nora melihat sekali lagi foto-foto itu. Nampak sekali beberapa bayangan hitam legam berbentuk wujud manusia yang ikut terekam dalam foto-foto tersebut, bayangan hitam menakutkan persis seperti yang ia lihat semalam.

 Nora mulai merasa takut, ia menjadi trauma dan enggan untuk tinggal lebih lama lagi di apartement tersebut. Keesokan harinya ia pun bergegas pergi meninggalkan apartement itu untuk kembali tinggal bersama kakaknya di rumahnya di pinggiran kota Bogor.

 

Ritual Ghaib yang Menyesatkan



Ketut Madira adalah seorang pemuda yang sangat baik dan selalu menghargai teman apalagi kaum hawa. Namun sifat baik tak selamanya dihargai manusia di zaman sekarang ini. Hidup materialistis telah membutakan mata hati sebagian orang di zaman ini. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Ketut Madira yang sekarang ini sedang dilanda patah hati. Hanya karena belum punya pekerjaan tetap, cinta yang telah lama dirajut, kandas diterjang ombak kehidupan. 

Masih segar dalam ingatan Ketut Madira, betapa indahnya perasaan cinta yang ia jalin dengan seorang dara, bernama Ida Ayu Ratna Gupita.

Hari-hari mereka lalui bersama penuh kemesraan, bagaikan dunia ini hanya milik mereka berdua. 

“Kak... aku sungguh beruntung mendapatkan laki-laki seperti Kakak yang sangat baik dan penuh pengertian.” kata Ratna Gupita setengah merayu.

“Kakak pun merasa beruntung mendapatkan gadis seperti dirimu. Sudah cantik wajahnya, lemah-lembut perangainya, baik hati lagi...” balas Ketut Madira tak kalah romantisnya.

Setelah berjalan beberapa tahun dan berbagai masalah yang sempat menjadi kerikil dalam perjalanan romantika cinta kedua insan ini pun dapat mereka atasi bersama. Sepanjang jalan, akhirnya sampailah mereka pada gerbang petaka yang kemudian merobek jaring cinta yang selama ini mereka rajut dengan benang kasih sayang, menjadi renda saling percaya yang sangat indah.

Orang tua Ida Ayu Ratna Gupita yang selama ini bersikap baik, tiba-tiba saja berubah menjadi sangat membenci Ketut Madira. Karena mengetahui bahwa Ketut Madira ternyata belum mapan kehidupannya karena belum bekerja alias pengangguran. Dan Ida Ayu Ratna Gupita yang tidak tahu apa-apa pun harus ikut menanggung akibatnya.

Dan dimulailah kisah sedih itu... 

Ketika itu, Ketut Madira harus pulang kampung untuk sementara waktu karena ayahnya sedang sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit.

Semenjak kepergian Ketut Madira itulah, tanpa sepengetahuan Ida Ayu Ratna Gupita, diam-diam ibundanya telah pergi menemui seorang dukun. Melalui perantara dukun ini, pikiran Ida Ayu Ratna Gupita dicuci sehingga ia menjadi lupa, tidak ingat sama sekali akan sosok Ketut Madira, orang yang selama ini sangat dicintainya.

Dan waktu pun berlalu...

Setelah sekian lama tidak bertemu, dan Ratna Gupita juga tak pernah menjawab telepon dari Ketut Madira, menjadikan rasa khawatir dan was-was menyelimuti hati dan pikiran Ketut Madira. Rasa rindu dan kangen pun berkecamuk dalam dada Ketut Madira. Rasa rindu yang begitu mendalam tidak dapat lagi ditahan olehnya. Dengan keberanian yang dimilikinya, Ketut Madira pun mendatangi kediaman Ida Ayu Ratna Gupita sekedar untuk bertemu dan melepaskan rasa rindu yang selama ini telah menyiksa perasaannya.

Namun setibanya di sana... ternyata ia tidak bisa menemui gadis pujaan hatinya itu, yang ia hadapi malah ibunda kekasihnya yang menemuinya dengan memasang muka masam dan galak. 

“Heh... Ketut Madira! Asal tahu saja, anak saya tidak pernah mencintai kamu... kenapa masih berani datang ke sini!! Apa kamu sudah gila...!!” hardik ibunda Ida Ayu Ratna Gupita dengan angkuhnya.

Bagaikan disambar geledek di siang hari bolong, Ketut Madira sangat terperanjat dengan apa yang didengarnya hari itu. Seakan tak percaya dengan yang terjadi, tapi semua itu sungguh nyata. Sungguh panas rasa hati Ketut Madira mendapatkan kata-kata yang begitu menghina dirinya. Ketut Madira yang selama ini baik dan penyabar, tidak dapat menerima perkataan yang dilontarkan oleh ibunda Ida Ayu Ratna Gupita. 

Ibarat kata pepatah,

“Sudah luka... disiram air garam pula!!”

“Dia telah mengatakan aku ini orang gila. Huh... lihat saja nanti, ia harus bermenantukan orang gila ini!” sumpah Ketut Madira dalam hati.

Tidak ada rotan akar pun jadi. Setidaknya pribahasa inilah yang terpatri dengan kuat di dalam hati Ketut Madira. Berangkat dari rasa sakit hati, Ketut Madira pun pergi menemui seorang rekannya yang memiliki ilmu dan kekuatan supranatural, yang bernama Putu Ranggada. Melalui petunjuk dari Putu Ranggada inilah, Ketut Madira kemudian mulai menjalankan ritual-ritual  yang diyakininya akan mampu mengembalikan sang pujaan hatinya.

Ritual yang cukup aneh ini dimulai dengan memasukan garam yang telah diberi mantera ke dalam mulut ayam yang sedang mengerami telurnya. Setelah itu, Ketut Madira diharuskan mencabut bulu liar ayam tersebut. Ini dimaksudkan untuk mencabut sifat aneh Ida Ayu Ratna Gupita yang tiba-tiba saja melupakan Ketut Madira, seolah-olah tidak pernah mengenalnya sama sekali.

Setelah beberapa hari berlalu, ritual yang dilakukannya pun selesai. Namun setelah dua puluh satu hari berlalu, sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan, dan ternyata belum juga ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Ida Ayu Ratna Gupita akan ingat dan kemudian akan datang menemuinya. Sadar bahwa ritual yang dijalaninya tidak membawa hasil, Ketut Madira pun bertandang ke rumah temannya yang lain yaitu Nyoman Artha dan mulai berkeluh-kesah.

Nyoman Artha yang merasa kasihan, mencoba menghibur dan memberikan pandangan positif tentang kehidupan kepada Ketut Madira.

“Jujur, saya merasa sangat kehilangan dan tiap malam selalu saja teringat akan Ida Ayu Ratna Gupita. Tolonglah... bantu saya. Saya sudah benar-benar merasa buntu. Tidak tahu lagi harus berbuat apa.” bujuk Ketut Madira kala itu.

Karena Ketut Madira tampaknya telah bulat tekadnya, Nyoman Artha pun kemudian mengantarnya kepada salah seorang temannya yang mengerti akan ilmu ghaib yaitu Wayan Arya. Oleh Wayan Arya, Ketut Madira disuruh menyediakan minyak misik, jeruk purut dan benang tujuh macam.

Dengan media yang berbeda tersebut, Wayan Arya kemudian mulai melakukan ritual penarikan sukma Ida Ayu Ratna Gupita agar kembali mencintai Ketut Madira. Setelah dimantra-mantrai, sebagian benda tersebut disuruh ditanam di tempat dimana Ida Ayu Ratna Gupita akan lewat. Sebagian lainnya di suruh ditanam di persimpangan yang banyak dilalui oleh orang umum.

Kali ini, Ketut Madira sangat yakin bahwa usahanya akan berhasil. Dan ia pun melakukan apa yang disuruh oleh Wayan Arya demi kembalinya sang kekasih yang begitu dicintainya. Namun setelah beberapa waktu berlalu, Ketut Madira pun kembali terbentur pada tembok kegagalan.

“Maaf Ketut, bukannya saya mau beralasan. Tapi rupanya Ida Ayu Ratna Gupita telah dipagari oleh orang tuanya. Rasanya akan sulit ditembus hanya oleh satu orang.” kata Wayan Arya mencoba memberi pengertian kepada Ketut Madira.

“Lantas? Jalan apa lagi yang harus dilakukan?” tanya Ketut Madira dengan penuh harapan.

“Saya nanti akan mencoba meminta bantuan kepada guru saya yang berada di Lombok. Agar lebih mudah membobol pagar ghaib yang dipasang mengelilingi Ida Ayu Ratna Gupita,” jawab Wayan Arya mencoba meyakinkan Ketut Madira.

Dua minggu kemudian, Ketut Madira disuruh oleh Wayan Arya untuk pergi ke pulau Lombok guna menemui salah seorang guru Wayan Arya, yang bernama Made Mantrang. Sesampainya di sana dan menjelaskan maksud dari kedatangannya ke Lombok, Ketut Madira pun diterima dan dijanjikan akan dibantu oleh Made Mantrang.

Setelah segala persiapan selesai, Made Mantrang pun mulai melakukan berbagai ritual untuk mengembalikan Ida Ayu Ratna Gupita kembali kepada Ketut Madira dan selain itu, Ketut Madira pun diberi sebuah jimat untuk pagar diri kalau-kalau ada serangan balik dari pihak orang tua Ida Ayu Ratna Gupita.

Entah sudah berapa banyak uang dan waktu yang dihabiskan oleh Ketut Madira hanya untuk mendapatkan kembali cinta dari kekasihnya. Tanpa terasa, waktu yang telah ditentukan oleh Made Mantrang pun sampai. Namun sejauh ini tidak juga ada tanda-tanda kalau Ida Ayu Ratna Gupita akan kembali kepada Ketut Madira. Ini sungguh sebuah pukulan yang telak menghantam hati sanubari Ketut Madira, sehingga sempat membuat Ketut Madira merasa terlunta-lunta bagaikan kapal tanpa haluan.

Sungguh berat penderitaan batin yang dialami oleh Ketut Madira. Sampai-sampai sempat terlintas dalam pikirannya, kalau hidup ini sudah tak berarti lagi. Para sahabat yang paham akan kondisi Ketut Madira, mencoba memberi semangat dan saran agar ia jangan sampai patah arang. Sehingga berujung kepada jalan yang dilarang agama.

Untunglah kata-kata para sahabatnya didengarkan oleh Ketut Madira sehingga bisa membuat hati mereka sedikit merasa lega. Suasana yang menenteramkan jiwa ini berlangsung satu bulan lebih lamanya dimana wajah Ida Ayu Ratna Gupita tidak lagi menari-nari di pelupuk mata Ketut Madira.

Sayang, suasana yang kondusif ini kembali mengalami goncangan yang berat. Semua terjadi gara-gara mendengarkan hasutan dari salah seorang teman Ketut Madira. 

“Eh, Ketut... kok mau saja melupakan Ida Ayu Ratna Gupita. Dia kan telah menyakitimu. Seharusnya kamu itu bisa membuat dia bertekuk lutut di hadapanmu!” kata teman Ketut Madira di kala itu.

Kata-kata dari teman Ketut Madira ini sungguh sangat luar biasa. Ketut Madira yang mulai melupakan Ida Ayu Ratna Gupita, tiba-tiba kembali menjadi haus lagi akan cinta kasih Ida Ayu Ratna Gupita. Namun sebelum melangkah, kembali Ketut Madira menemui seorang temannya, untuk bertukar pikiran akan masalah yang dihadapinya.

Waktu bertandang inilah, tanpa sengaja Ketut Madira melihat tumpukan majalah di rak buku milik temannya itu. Majalah yang tak lain adalah Majalah Supranatural yang menjadi bacaan favorit temannya di kala waktu senggang itupun segera mencuri perhatian Ketut Madira.

Saat membolak-balik majalah ini, Ketut Madira tertarik dengan salah seorang paranormal yang mengiklankan ilmu pengasihnya. (Demi menjaga privasi paranormal dimaksud, sengaja namanya tidak ditulis di sini).

Temannya yang sadar akan sebuah bahasa iklan mencoba menasehati Ketut Madira agar jangan termakan bahasa iklan yang banyak dibumbui fatamorgana. Sayang... tanpa sepengetahuan sang teman, Ketut Madira melaksanakan niatnya dan menghubungi paranormal yang dimaksud.

Paranormal tersebut menyarankan agar Ketut Madira menggunakan Ajian Gaet Sekar untuk menarik kembali sukma Ida Ayu Ratna Gupita. Ilmu yang telah dipindahkan pada selembar kain merah berbentuk rajahan ditambah dengan sebuah keris kecil sebagai penajamnya. Melalui petunjuk paranormal tersebut, Ketut Madira pun mulai melakukan ritual yang diajarkan oleh paranormal tadi.

Ritual yang dimulai dengan memasukkan foto Ketut Madira dan Ida Ayu Ratna Gupita, kemudian keris kecil tersebut dibungkus dengan kain rajahan Ajian Gaet Sekar. Setelah dibungkus, baru kemudian ditanam ke dalam tanah dan ritual pun selesai.

Setelah dua minggu berjalan, tidak juga ada tanda-tanda kalau ritual yang telah dijalankan akan berhasil. Karena penasaran, Ketut Madira pun menghubungi paranormal tersebut melalui telepon.

“Pak, saya telah melakukan semua petunjuk yang bapak berikan, namun sampai saat ini tidak juga ada tanda-tanda kalau Ida Ayu Ratna Gupita akan menemui saya.” kata Ketut Madira menyampaikan keluhannya.

“Tenang saja. Nanti kalau sudah mencapai empat puluh hari, pasti ia akan menemui kamu.” jawab seseorang di seberang sana.

Namun, sayang seribu sayang, kali ini pun Ketut Madira kembali menelan pil kegagalan yang sangat pahit dan menyesakkan dada. Perang ghaib yang dilakukannya masih juga menemui kegagalan. Dengan beruntunnya kegagalan demi kegagalan, membuat Ketut Madira sadar akan sebuah takdir dan jodoh yang tidak dapat dipaksakan.

Sekalipun segala upaya telah dilakukan kalau belum jodoh, tetap saja terbentur pada tembok yang sangat kuat dan kokoh. Dan hanya segelintir orang saja yang berhasil memaksakan kemauannya. Itupun kalau lagi mujur dan dikabulkan oleh sang Pencipta Alam Semesta.

Dan ia sungguh sangat menyesal karena selama ini telah menduakan Tuhan. Seharusnya ia pasrah kepada-Nya dan mengharapkan pertolongan hanya dari-Nya. Namun alih-alih ingat kepada-Nya, ia malah sibuk berburu pertolongan dari satu dukun ke dukun lainnya. Jadi mungkin ini adalah hukuman yang harus diterimanya karena telah lengah dan berpaling dari-Nya. 

Dan kini Ketut Madira hanya bisa gigit jari sambil meratapi nasibnya yang sedang dirundung patah hati.


Tuesday, December 21, 2021

Kereta Berhantu di Jalur Jakarta-Bogor



Cerita seram mengenai kereta berhantu di jalur Jakarta-Bogor sepertinya memang sudah tidak asing bagi mereka yang terbiasa menumpangi KRL. Memang banyak orang yang menuturkan keganjilan peristiwa yang mereka alami saat menaiki kereta hantu. Bagi yang pernah mengalaminya, sudah pasti mereka akan kapok naik KRL pada malam hari. Salah satu cerita yang sempat booming mengenai kereta hantu adalah penumpang yang turun dari kereta itu tidak lagi melihat KRL. 

Kejadiannya pasti selalu di luar jadwal kereta semestinya, dimana KRL seharusnya sudah tidak beroperasi. Kejadian yang paling membuat bulu kuduk merinding adalah keretanya dapat dilihat secara kasat mata oleh siapapun. KRL yang berjalan sendiri dengan tanpa adanya masinis dan penumpang melaju dari arah Bogor hingga Stasiun Manggarai. Hal ini sendiri diakui oleh sejumlah warga serta petugas penjaga lintasan kereta api.

Kejadian jalannya KRL misterius ini memang disaksikan oleh banyak warga, salah satunya adalah Sutrisno yang adalah penjaga pintu lintasan KA di daerah Bukit Duri, Jakarta Selatan. Pada saat itu, ia yang memang bertugas jaga malam, mendadak kaget karena sirene pintu lintasan tiba-tiba berbunyi. Tentu saja aneh karena pada saat itu, jam masih menunjukkan pukul 04.00 pagi dimana masih belum ada kereta yang beroperasi. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba ada rangkaian kereta yang melintas di hadapannya dari arah Bogor dengan kecepatan 60-80 km.

Ia mengatakan bahwa pada saat itu, kereta menarik empat buah gerbong namun tidak ada penumpang dan masinis. Juga dalam keadaan gelap. Sementara Wakil Kepala Stasiun Kereta Api Manggarai, Muhyar tidak mau memberikan keterangan soal kereta api yang lewat tersebut. Akan tetapi, dia mengakui bahwa pada saat itu memang ada kereta api yang tiba-tiba nyelonong ke daerahnya. Selain itu, Zainal Abidin selaku Kepala Bagian Hubungan Masyarakat PT KA Daerah Operasional Jabotabek juga mengaku heran dengan insiden tersebut. Pasalnya, secara teknis jadwal operasional kereta harusnya puku 05.00 WIB. Yang lebih mengherankan lagi adalah kereta api itu meluncur tanpa adanya pasokan aliran listrik.

Cerita lainnya dialami oleh salah seorang warga bernama Slamet dimana ia pernah dihampiri oleh seorang yang baru saja turun dari kereta api sekitar pukul 23.30 WIB. Kala itu, pemuda yang mengaku seorang mahasiswa kebingungan karena sedang mencari angkot, becak dan tukang ojek. Slamet pun mengatakan bahwa KRL terakhir dari Jakarta baru tiba di Depok Baru pukul 10.00 WIB. Setelah lewat dari jam itu sudah tidak ada lagi kereta yang beroperasi. 

Usai diberi minum oleh Slamet, mahasiswa tersebut menceritakan kisah yang dialaminya. Menurutnya, ia menaiki kereta api dari stasiun Universitas Pancasila. Ketika naik, ia merasa di stasiun tersebut tidak sepi. Yang dia tahu hanya ada kereta, lalu dia naiki karena akan ke Depok. Namun, saat berada di dalam KRL, ia melihat penumpang mengenakan pakaian serba putih di satu gerbong. Dan pada saat itu ia tidak merasa bingung, takut ataupun heran.

Mahasiswa yang bertempat tinggal di Perumahan BDN, Sawangan ini duduk di sebelah lelaki tua yang tengah asik membaca koran. Dia pun kemudian meminjam koran tersebut karena sang bapak tua sudah tidak lagi membacanya. Akan tetapi, kemudian ia harus turun karena kereta yang telah ditumpanginya sudah berada di Stasiun Depok Baru. Dia pun buru-buru turun dari kereta api sambil memegang koran itu. 

Akan tetapi mahasiswa itu merasa heran karena stasiun dalam keadaan sepi saat ia keluar. Ia pun kemudian langsung menghampiri Slamet selaku penjaga perlintasan kereta di jalan. Kemudian, sang mahasiswa memberikan dan memperlihatkan koran yang dipinjamnya oleh seorang laki-laki tua yang ada di kereta api tadi. Benar saja, setelah diamati, koran itu ternyata terbitan lama yakni tahun 1953. Mahasiswa itu pun langsung terkulai lemas di samping Slamet yang sebelumnya memberitahu bahwa tidak ada kereta yang lewat sejak tadi.


Thursday, December 16, 2021

Misteri Seorang Suster



Kisah ini aku alami ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar di Bogor. Sekolahku tergolong sekolah elit karena bangunannya yang besar. Namun, sekolahku ini juga terkenal angker karena bangunannya sudah tergolong cukup tua dengan arsitektur Belanda yang lumayan mencekam. 

Banyak sekali cerita misteri sekolah Bogor yang aku dengar sejak aku masih sekolah di tingkat SD. Ceritanya, anak-anak SD saat itu sedang menempuh ujian akhir nasional. Ruang ujian anak SD digabungkan menjadi satu, yaitu di aula indoor yang biasa dipakai untuk olahraga. Jadi di aula tersebut ada sekitar 240 anak kelas 6 SD. Kejadiannya ini bukan saat ujian sedang berlangsung, tapi waktu istirahat ujian dan aula dalam keadaan kosong.

Saat itu ada 2 anak TK yang bermain di balkon aula. Tanpa ada satu orang dewasa pun yang ada di aula, tiba-tiba 2 anak kecil tersebut terjatuh dari balkon ke lantai aula yang dipenuhi meja kursi ujian. Yang menemukan 2 anak malang tersebut adalah seorang anak SD yang baru kembali dari kantin saat istirahat. Teriakan anak yang histeris tersebut langsung memanggil para guru dan siswa-siswi lainnya. Tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya, kedua anak malang tersebut dibawa ke rumah sakit terdekat. Untung mereka tidak sampai meninggal dan bisa menceritakan kejadian sesungguhnya.

Parahnya, ternyata mereka meloncat dari balkon aula dalam keadaan sadar! Mereka bilang, ada seorang suster yang memperlihatkan bahwa di bawah itu ada kolam renang, padahal jelas-jelas yang ada di bawah itu meja dan kursi! 

Ciri-ciri suster jadi-jadian yang mereka ceritakan pun tak pernah ditemukan di sekolahku. Sekolahku memang sekolah swasta Katholik yang merangkap biara. Entah siapa sosok suster misteri sekolah Bogor menyesatkan yang ada di aula waktu itu, yang jelas makhluk tersebut tidak berniat baik.


Hantu Bule Korban Bom Bali



Kejadian itu terjadi saat aku ke Bali, ada tugas dari kantor untuk menemui beberapa toko pakaian di sana. Aku adalah karyawan marketing di sebuah perusahaan pakaian jadi atau lebih afdol disebut garment. Perusahaan tempatku bekerja memproduksi aneka pakaian jadi berupa atasan dan bawahan motif bunga-bunga sepatu yang eksotis dan disukai turis-turis asing, tas-tas selempang dari bahan kain dan masih banyak lagi. 

Sebagian produk adalah desain kami sendiri tapi sebagian lainnya adalah pesanan para pembeli yang membawa gambar desain mereka. Tidak masalah bagi kami untuk memproduksi barang tersebut, tapi biasanya ada kesepakatan bahwa desain itu tidak boleh digunakan selain bagi si pemesan. 

“Suryawati dari PT Java-sehati!” ucapku pada seorang resepsionis hotel tempat aku akan menginap. Sekretaris di kantor sudah membuat reservasi sebelumnya.

“Oh iya. Untuk empat hari tiga malam ya, Bu!” jawab si resepsionis.

“Iya!” kataku sambil menyerahkan kartu identitas diri.

Setelah mendapat kunci aku segera bergegas menuju kamar dengan nomor seperti yang tertera. Tidak banyak barang yang aku bawa selain sebuah tas besar berisi pakaian dan sebuah tas kerja berisi katalog dan contoh pakaian jadi produksi perusahaan kami. Kamarku ada di lantai tiga, hotel tempat aku menginap memang tergolong berbintang. Ada tersedia banyak kamar dan fasilitas lainnya.

Masuk ke kamar, aku menaruh tas di dalam almari, kusibakkan gorden jendela, dari balik kaca aku bisa melihat pemandangan di bawahnya. Ada sebuah kolam renang ukuran besar di tengah tengah bangunan ini, dan banyak orang baik wisatawan nusantara maupun mancanegara yang asyik berenang di kolam itu.

Karena cukup lelah, aku putuskan rebahan dulu di tempat tidur, aku berangkat dari Yogyakarta tadi siang, karena paginya rapat dulu di kantor. Belum sempat aku memejamkan mata, handphone-ku berbunyi, aku segera mengambilnya dari dalam tas.

“Hallo!” ucapku.

“Ibu Suryawati? Ini Wanda, ada pesan dari boss, ibu diminta membuka email karena boss baru saja email ke Bu Suryawati!” terang Wanda, sekretaris kantor. “Ini Wanda hanya memberitahukan saja, Bu!” lanjutnya.

“Terimakasih Wanda!” 

“Baik Bu, saya tutup dulu telponnya. Selamat sore Bu!” balasnya sambil mematikan telepon.

Ah boss, mengapa tidak dari pagi tadi saat mengadakan rapat sih? Aku menggerutu dalam hati, setelah membuka laptop memang ada sebuah pesan masuk dan ada lampirannya juga. Ternyata boss menggaris bawahi bahwa model pembayaran harus lebih ketat lagi, maklum beberapa art shop seringkali lambat dalam hal pembayaran, itu membuat perusahaan kesulitan menjalankan cash flow-nya.

Belum selesai aku membaca email dari Wanda, ada telepon masuk lagi. Kupikir itu dari dia lagi, eh ternyata bukan. Di layar handphone tertera nama Setyawati. Dia itu adikku yang kuliah di Surabaya, dia sudah semester enam dan sekarang lagi libur. Aku bisa memprediksi kalau dia akan ikutan ke Bali.

“Hallo... Kak Surya!” sapa Setya dari seberang.

“Setya, ada apa? Aku lagi ke Bali nih ada tugas dari kantor!” terangku sambil terus membaca email.

“Yaah... ke Bali kok nggak bilang-bilang sih!” celetuk adikku itu.

Aku tersenyum, “Cuma tugas kantor, masak mesti bilang-bilang sih, kayak pejabat penting aja!” balasku setengah bercanda.

“Bukan begitu Kak Surya...! Aku kan lagi libur jadi ada waktu yang longgar kan? Aku bisa nyusul kesitu buat nemenin Kakak... heheh!” suara Setya terdengar merajuk.

Yaahhh... mulai deh, tapi kupikir-pikir tak apalah. Justru aku senang karena ada teman di sini daripada bengong sendiri di kamar. Setya juga sudah dewasa jadi dia bisa menjaga diri kalau aku tinggal bekerja.

“Boleh aja sih, tapi kakak nggak bisa menemani kamu seharian lho... kakak kan kerja...” jawabku, “Tapi sudah pamit dan minta ijin Bunda kan?” lanjutku.

“Bunda kan lagi pergi mengunjungi mas Sugeng di Jakarta, mungkin sekitar satu mingguan. Aku bengong di kost sendirian, tidak ada teman... pada mudik sih!”

“Oh jadi kamu nggak mudik karena Bunda ke rumah mas Sugeng ya? Ya udah... kamu kesini saja, aku menginap di...!”.

“Sebentar aku ambil pena.” potong Setya.

Dia mencatat nama dan alamat hotel yang aku berikan, kemudian katanya, “Ok deh, aku kesana besok sore!”

“Perlu dijemput nggak nih?” tanyaku.

“Nggak usah, aku naik taksi saja dari bandara ke hotel tempat Kakak menginap!”

Setelah ngobrol sebentar, kami memutuskan pembicaraan karena aku masih ada tugas dan Setya mesti mengemasi barang-barang serta membeli tiket ke Bali.

Ah senangnya jadi Setya, sebagai anak bungsu dia mendapat banyak kemudahan, bagaimana tidak? Kakak-kakaknya sudah pada bekerja, jadi dia sering dapat uang dari sana sini selain dari Bunda. Beda dengan aku dulu, waktu aku kuliah ada dua kakak yang juga kuliah... sehingga Bunda mesti memeras otak untuk mencukup-cukupkan hasil pensiun mendiang ayah. 

Malam itu, setelah aku mempersiapkan berkas-berkas yang akan kubawa esok aku mencoba untuk tidur, agar aku merasa segar keesokan paginya. Kalau kurang tidur, mata jadi sembab, badan kurang fit dan buat berpikir juga susah. Namun dalam kondisi setengah terjaga aku merasa ada suara tangisan lirih. 

Kucoba untuk membuka mata agar lebih bisa menangkap suara itu dan buat meyakinkaku apakah suara itu benar adanya ataukah cuma halusinasiku semata. Namun setelah aku berhasil membuka mata tidak lagi kudengar suara itu. Karena kemudian aku tidak bisa tidur akupun lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Selanjutnya aku tiduran saja di ranjang sambil menyalakan televisi, biasanya kalau melihat program acara yang tidak begitu aku suka aku akan tertidur sendiri... hahahha...

Esok paginya aku bangun karena suara alarm handphone berbunyi. Setelah mandi dan merapikan diri aku keluar untuk makan pagi yang sudah disediakan oleh pihak hotel, selanjutnya aku memesan taksi untuk membawaku keliling kota mengunjungi klien-klien perusahaan.

“Jalan Itu menuju underground ya Pak?” tanyaku kepada supir taksi.

“Iya Bu, pernah mengunjungi?” dia balik bertanya.

“Belum sih, tapi nanti setelah pekerjaan selesai dan ada waktu longgar aku akan mengunjunginya!” jawabku.

“Oh... kerja apa Bu?”

“Marketing garment, Pak. Kami memasok ke beberapa art shop di sini!” 

“Sekarang kondisi Bali jauh lebih baik Bu, dibanding saat kejadian bom bali itu!”

“Pengaruhnya besar sekali ya Pak? Aku belum kerja saat itu, aku masih kuliah!”

“Wah... Bali jadi sepi. Para wisatawan jadi takut datang kesini karena tidak aman, padahal sebagian besar dari kami warga Bali menggantungkan hidup kami dari sektor pariwisata!” terang pak supir panjang lebar.

“Mmhmm...” aku mengangguk setuju. Memang dari berita di koran yang aku baca dulu serta tayangan di televisi, kondisi Bali pasca bom Bali menjadi lesu, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungannya, roda perekonomian pun terganggu karena Bali merupakan kota tujuan wisata, sektor pariwisata mendominasi kegiatan penduduknya.

“Semoga kejadian itu tidak terjadi lagi Pak, kita semua jadi susah!” kataku.

“Iya Bu! Bukan hanya perekonomian yang jatuh, tapi bahkan banyak kejadian mistis Bu. Setelah beberapa bulan pasca kejadian, masih ada saja kisah angker yang terjadi. Hal ini diakui oleh beberapa supir taksi di kawasan Denpasar. Mereka memilih untuk tidak mau mengantar bule dengan alasan tertentu. Konon ada seorang supir taksi yang mengangkut seorang bule dari rumah sakit ke sebuah hotel berbintang di kawasan Nusa Dua. Saat itu malam hari, dan ketika sudah dekat lokasi tujuan sang supir menyadari tak ada penumpang di belakangnya. Yang ada hanyalah bau anyir darah dan daging gosong menyengat yang mengerikan. Hiiii... ngeri Bu!” cerita supir taksi panjang lebar.

Aku yang mendengar ceritanya ikutan merinding. Dalam hati aku merencanakan akan mengunjungi underground itu bersama Setya. Ingin turut mengenang, dan berdoa semoga arwah para korban diterima disisiNya juga berharap kejadian yang merugikan diri bangsa kita tidak terulang lagi karena ulah segelintir orang mengatas namakan agama untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya jauh dari ajaran.

Hari pertama aku awali dengan mengunjungi lima buah art shop yang tersebar di sepanjang jalan ini, keesokan harinya aku juga akan mendatangi tiga toko yang tersisa lainnya. Jadi di hari ketiga aku bebas, ada waktu luang buat aku dan Setya jalan-jalan dan mencari oleh-oleh. 

Kegiatan di lima art shop di hari itu menghabiskan waktu seharian. Sore menjelang petang aku baru tiba kembali ke hotel. Setelah mengisi perut di restaurant hotel buat makan malam, aku kembali ke kamar. Agenda malam itu cuma satu yaitu tidur!! Aku lelah sekali setelah seharian bekerja.

Anehnya, kejadian kemarin malam terulang kembali, aku mendengar tangisan lirih itu lagi. Suara itu terdengar berasal dari dalam kamar ini, meski mengantuk berat telingaku masih bisa menangkapnya, sepertinya berasal dari arah kamar mandi. Namun kali ini aku tidak bangun, sebab aku merasa mungkin itu cuma telingaku saja yang bermasalah... paling juga pikiranku sendiri yang berkhayal karena kelelahan dan mata belum sepenuhnya terpejam. 

Akan tetapi... saat tanpa sengaja kepalaku memutar ke arah kamar mandi, secara samar aku melihat ada seorang wanita bule keluar dari kamar itu sambil menangis lirih, aku tidak bisa melihat wajahnya karena rambut pirangnya tergerai ke depan menutupi muka, hanya saja ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya... ya tubuhnya tidak lengkap dan rusak. Aku mencoba membuka mata dan berusaha terjaga, tapi sosok wanita itu menghilang menembus dinding kamar hotel -hanya meninggalkan bau gosong dan anyir darah, jadi sia-sia saja aku memaksakan diri untuk sadar. 

Aku bingung dan heran, tidak percaya dengan yang aku lihat, apakah hal itu nyata atau hanya permainan pikiranku saja? Aku berdoa dalam hati dan memohon pada Tuhan agar aku bisa tidur dengan tenang dan nyenyak.

Keesokan paginya aku melanjutkan tugas mengunjungi sisa art shop yang kemarin belum sempat kusambangi. Kuharap sorenya semua agenda tugasku selesai. Dan rencanaku berhasil, sore hari semua sudah kelar, akupun langsung menuju ke hotel tempat aku menginap karena tadi Setya sms kalau sore ini dia akan langsung ke hotel. Dan ternyata benar sesampai di lobby saat aku mau mengambil kunci kamar, resepsionis memberitahu kalau ada seseorang yang menungguku.

“Setya...!” seruku. Kulihat dia sedang duduk di sofa lobby sambil membaca koran.

“Kak Surya...!” balasnya riang, dia lalu mengembalikan koran di tempatnya dan berdiri untuk menyambutku.

Kami berangkulan dan tertawa bersama.

“Kenapa nggak bilang kalau sudah sampai, kelamaan nunggunya nggak nih?” tanyaku sambil mengguncangkan bahunya.

“Ah belum lama kok, aku sengaja nggak telpon Kakak, takut mengganggu kerja Kakak!” jawabnya kalem.

Kucubit dia dan kuajak ke kamar, “Kita ke kamar saja biar lebih bebas ngobrol, kalau di sini mau berbicara keras kan malu...!”

“Yoi...!” balas Setya.

Kami berdua lalu berjalan bersama menuju kamar tempat aku menginap, senang rasanya ada yang menemani di sini.

“Numpang tiduran dulu ah...!” seru Setya begitu kami sampai di dalam.

“Iya silakan, aku tinggal mandi dulu ya? Gerah nih!” aku menaruh tas kerja di atas meja dan meninggalkan adikku.

Selesai mandi kuhampiri Setya, “Kamu mau mandi nggak?”

“Ya jelas dong, biar badan jadi segar!” katanya sambil diiringi tawa kecil, dia lalu bangkit dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Tak seberapa lama suara gemericik air terdengar.

“Nanti malam kita mau kemana nih?” tanyanya setelah selesai mandi.

“Kalau makan di luar aja gimana? Esoknya baru seharian kita menghabiskan waktu, aku lelah sekali nih!” jawabku dengan nada lesu, aku memang kelelahan setelah bekerja seharian. Mendingan tenaga disimpan buat esok hari.

“Aku juga capai kok, ok acara malam ini makan di luar aja lalu tidur, besok baru kita jalan!” 

Malam itu kami keluar untuk makan di sebuah rumah makan khas masakan Bali. Setelahnya kami kembali ke hotel untuk berisitirahat.

“Masakan di rumah makan tadi enak ya!” seru Setya, “Bisa buat referensi kalau ada acara wisata ke Bali!”

“Ajak dong pacarmu... buat mencicipi makanan referensimu! Lumayan kan sekalian buat promosi kalau kamu suka makan!” selorohku.

“Mestinya Kak Surya dong yang promosi ke pacar Kakak!” balasnya.

“Belum laku nih... belum ada pacar!” 

Kami berdua lalu tertawa.

“Sudahlah Kak, nanti kalau sudah waktunya pasti juga akan datang sendiri, Tuhan sudah mengatur semuanya!” urai Setya bijak.

Aku mengangguk setuju, “Doanya ya... biar cepat dapat pendamping!”

Malam itu kami tidur bersama di kamar ini, aku sangat kelelahan sehingga aku cepat tertidur dengan pulas, tampaknya sih Setya juga demikian, tapi aku kurang tahu pasti. 

Namun di saat aku terbuai tidur yang nyenyak, bahuku diguncang-guncang olehnya.

“Ehmm... eh... mhmm... ada apa?” tanyaku sambil menguap, aku masih mengantuk berat.

Dengan mata sedikit terpejam kulihat Setya yang tampak ketakutan.

“Kamu kenapa?” tanyaku lagi, kali ini mencoba untuk membuka mata.

“Aku... aku... lihat hantu...!” kata Setya terbata-bata.

“Hantu??” seruku terkejut, mulutku sampai melongo, “Beneran nih?”

Setya mengangguk cepat, dengan gemetaran tangannya menunjuk ke arah kamar mandi, “Tuh dari sana!”

“Ok, sekarang kamu cerita ya ke aku? Pelan-pelan saja, sebentar aku ambilkan minum!” aku bangun dari ranjang dan mengambil air mineral yang ada di meja, lalu kuberikan padanya. Setya minum beberapa tegukan, dia jadi agak mendingan. 

Setelah lumayan tenang dia lalu bercerita,

“Waktu itu aku lagi tidur, tapi tiba-tiba aku mendengar tangisan lirih. Kupikir aku lagi mimpi, makanya aku tidak hirau dan tetap melanjutkan tidurku. Namun karena aku kehausan aku bermaksud mengambil air mineral dari atas meja. Eeh... tanpa sengaja mataku menangkap sosok wanita bule muncul dari kamar mandi. tapi kondisi tubuhnya tidak lengkap dan rusak, dia berjalan menuju dinding dan menerobosnya begitu saja, setelah itu bau gosong dan anyir darah tercium sangat kuat... hiiii... aku takut sekali.”

Kuusap kepala Setya dengan lembut untuk menenangkannya, di benakku aku berkata, 

“Kok ceritanya mirip dengan yang aku alami? Berarti yang aku lihat malam kemarin benar adanya.” 

Tapi aku memutuskan menunda menceritakan kejadian itu, takutnya nanti Setya jadi tambah senewen, dia itu tipe cewek penakut, dia pasti nggak mau tidur di sini kalau aku ceritakan sekarang. Toh besok kita sudah akan check out.

“Sudahlah Setya, kita tidur lagi saja!” pintaku.

“Mana aku bisa tidur kalau kamar ini berhantu!” ucapnya cemberut.

Wah repot nih kalau dia minta pindah kamar, kutengok jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, masak dini hari begini mau pindahan kamar. Malas ah. Aku sendiri kurang tertarik dengan cerita hantu, bagiku dunia hantu berbeda dengan dunia kita. Tuhan pasti sudah menggariskan secara terpisah. Jadi hantu tidak akan bisa mengganggu kita, mungkin cuma penampakan penampakan kecil lalu akan menghilang dengan sendirinya. Bagiku itu bukan masalah besar, cuek saja dan ditangkal dengan doa-doa pasti akan berlalu.

“Ya sudah kalau begitu kita menonton televisi aja menunggu pagi menjelang!” usulku mencoba mencari solusi agar Setya tenang.

Tampaknya dia setuju meski hanya anggukan kecil saja. Aku lalu mengambil remote televisi dan mencari saluran yang ada.

“Ada film dari jaringan televisi asing nih! Mau lihat nggak? kayaknya juga baru mulai tuh!” aku menawarinya melihat sebuah tayangan film.

“Boleh, tapi kamu jangan tidur ya? Kita sama-sama menonton!” pintanya merajuk.

“Beres, aku juga terlanjur terjaga nih, nggak bisa tidur lagi!” hiburku kepadanya.

Lalu kami berdua sama-sama menonton film itu, kelihatannya sih Setya belum sepenuhnya bisa melupakan kejadian tadi, karena dia tampak masih sedikit risau, seringkali kali aku memergokinya menengok ke arah kamar mandi dan dinding kamar ini seolah-olah ia khawatir hantu itu akan nongol lagi. 

Dalam hati aku sendiri juga bimbang mau menceritakan kejadian yang kualami dua malam itu ataukah tidak. Kadang kita perlu sedikit berbohong agar ketenangan dapat terkendali daripada menceritakan yang sebenarnya tapi membuat kacau suasana. Apalagi menghadapi Setya yang super penakut itu. Pandangan mataku memang tertuju ke arah layar televisi, tapi pikiranku melayang ke hantu wanita bule itu? Ada kejadian apa dengannya? Mungkinkah dia korban bom bali itu dan sebelum meninggal dia sempat menginap di hotel ini? Banyak pertanyaan yang muncul tapi kucoba untuk aku tepiskan, lebih baik aku fokus dengan kehidupanku sendiri.

Bertemu Monyet Misterius di Sangeh




Beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di Sekolah Menengah Atas, aku mengikuti wisata study tour ke pulau Bali. Salah satu tempat tujuan wisata yang kami tuju adalah Sangeh. 

“Adik-adik peserta wisata, sekarang kita akan mengunjungi Sangeh!” seru pemandu wisata yang ada di dalam bis bersama kami. Namanya pak Made. Dia asli orang Bali.

“Sangeh? Apa itu pak? Pantai atau apa ya?” celetuk salah seorang teman kami.

Jawab pak Made, “Sangat mungkin banyak yang belum tahu, Taman Wisata Alam Sangeh memang belum seterkenal Kuta, Tanah Lot, Danau dan Gunung Batur di Bali. Sangeh itu sebuah tempat pariwisata di pulau Bali yang terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.”

 Lanjutnya lagi, “Sangeh terkenal karena suasananya yang masih sangat alami dan yang utama di tempat itu ada hewan monyetnya. Lokasi Objek Wisata Sangeh hanya terletak sekitar 20 km saja dari Denpasar. Salah satu pesona dari Taman Wisata Alam Sangeh Bali adalah wisata hutan yang termasuk hutan lindung yang dilindungi dengan luas sekitar 14 hektar.”

“Wah kalau hanya lihat monyet... ini teman kami sudah mirip monyet!” canda Joni sambil jarinya menunjuk ke arah Boby, teman yang duduk di sebelahnya. 

“Enak aja, kamu tuh si Raja Monyet!” balas Boby tak mau kalah.

“Hahahahah...” kami semua yang ada di dalam bis tertawa terpingkal-pingkal.

Joni itu teman kami yang terkenal lucu dan suka bercanda. Pak Made yang mendengar hanya tersenyum simpul demikian para guru yang kebagian tugas mengantar kami wisata ke Bali juga cuma tersenyum.

“Baiklah adik-adik semua, saya akan terangkan sedikit tentang Sangeh. Mungkin banyak dari kalian yang belum tahu,” kata pak Made lagi.

Lalu meluncurlah informasi tentang Sangeh dari mulut pak made, 

“Padahal taman wisata ini memiliki daya tarik yang sangat kuat, mulai dari hutan lindungnya yang sangat asri, ribuan monyet yang saling bermain dengan kawanannya, bahkan kalau ada nyali alias keberanian maka kita juga bisa bermain bersama para monyet itu. Selain terkenal karena monyetnya, tempat itu juga terkenal karena kawasan hutan yang luas dan tertata rapi. Dominan pohon-pohon yang tumbuh di hutan ini adalah tumbuhan pala, bahkan konon katanya tumbuhan pala ini tidak dapat tumbuh di tempat lain selain di hutan Sangeh ini. Pohon-pohon pala di Sangeh berdiri kokoh dengan batang yang lurus nan tinggi. Usia dari pohon-pohon tersebut bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Ada yang sudah berumur seratus tahunan dan bahkan ada yang sampai berumur tiga ratus tahunan. Wisata alam Sangeh, Bali ini memiliki sejarah yang membuat tempat ini menjadi tempat yang disakralkan oleh warga setempat. Bahkan tidak ada warga sekitar yang mau menebang 1 pohon pun di area hutan Sangeh ini. Itu karena pohon-pohon di hutan Sangeh sangat dijaga ketat oleh para warga setempat. Tidak ada yang berani menebang pohon tersebut meskipun pohon itu telah layu dan mati. Mereka akan membiarkan pohon tersebut tumbang dan rapuh dengan sendirinya.”

Kami yang mendengar cerita pak Made jadi tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Sangeh, sebab selama ini yang sering ditayangkan di televisi adalah pantai-pantainya yang indah, Pura yang sakral dan bangunan-bangunan lainnya yang penuh ukiran dan indah dilihat selain banyaknya turis asing yang berkunjung ke pulau Dewata ini.

“Memang apa sih istimewanya pohon-pohon itu hingga sakral?” tanya seorang teman kami.

“Baiklah, ini saya ceritakan sejarahnya, Hutan Wisata Sangeh dibuat sebagai taman dari kerajaan Mengwi. Agar terlihat cantik taman ini ditanami pohon pala yang khusus didatangkan dari Gunung Agung. Sebenarnya rencana pembuatan taman ini sangat dirahasikan namun akhirnya pembuatan taman ini diketahui oleh beberapa orang, akibatnya pembuatan taman itu dihentikan, hingga akhirnya kawasan itu diberi nama Sangeh, yang artingya ada orang yang melihat. Jika kita sempat mengunjungi taman wisata ini, kita pasti akan tertarik dengan keindahan pohon pala yang tumbuh di hutan ini, karena selain tumbuhnya lurus, pohon pala juga memiliki kayu yang sangat bagus. Namun anehnya, menurut beberapa sumber, pohon pala Sangeh konon tidak bisa ditanam di tempat lain. Hingga orang-orang yang ingin memiliki kayu pohon pala tidak pernah kesampaian. Ada hal menarik yaitu tentang sebuah pohon yang telah tua dan akan roboh. Dari perkiraan banyak orang, pohon tersebut akan roboh ke arah Pura Bukit Sari, namun kenyataanya semua ternyata melenceng. Awalnya pohon tersebut akan ditebang namun tidak ada yang berani karena takut mendapat kutukan.”

Pak Made terdiam sebentar, lalu dia melanjutkan ceritanya. “Sekitar awal Januari, akhirnya pohon itu roboh sendiri, mengarah ke barat daya. Persis antara bangunan Bale Kulkul dan Pewaregan, sehingga hanya sedikit sekali menimbulkan kerusakan, hanya pada tembok luar Pewaregan saja. Ini mengherankan karena seharusnya pohon itu tumbang persis di bangunan utama pura, Selain pohon pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlubang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lubang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria. Pohon itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh dan sebenarnya merupakan pohon pule.”

“Pohon pule itu apa sih Pak, kegunaannya untuk apa?”

“Di Bali, pohon pule memiliki banyak keistimewaan karena kayunya sering digunakan untuk keperluan khusus, misalnya, membuat topeng yang dipakai sebagai sungsungan. Masyarakat kadang-kadang ada yang meminta kayu pule itu,” jelas pak made, “Tetapi, tentu saja tidak boleh begitu saja orang mengambil kayu atau dahannya karena harus disesuaikan dulu hari baiknya serta memberi persembahan sebagai tanda minta ijin.

“Terus kalau monyet-monyet di sini apa juga punya keistimewaan?”

“Monyet Sangeh memiliki beberapa kelompok yang masing-masing kelompok memiliki satu pemimpin. Namun kelompok-kelompok tersebut memilki pimpinan tertinggi atau bisa dibilang raja dari seluruh raja monyet yang ada di Sangeh. Pemimpin tertinggi ini berdiam di tempat yang paling luas di. Ditempat raja monyet ini tinggal terdapat sebuah pura yang sangat terkenal kesakralannya yaitu Pura Bukit Sari. Entah bagaimana caranya, pemimpin monyet dipilih karena memiliki kekuatan dan kharisma yang sangat luar biasa. Bahkan mereka memiliki hak-hak yang lebih dibanding monyet lainnya, seperti saat mengawini si betina atau saat mendapat jatah makanan. Biasanya raja monyet akan mendapat jatah pertama sampai ia puas, sebelum memberikan jatah tersebut pada monyet-monyet lain.Sebagian besar kawasan hutan wisata ini, menjadi tempat bermukim monyet, hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan para pengusaha untuk membuat beberapa kios tempat menjual beraneka ragam cinderamata.” terang pak Made panjang lebar.

 Setelah berhenti sebentar, pak Made lalu meneruskan ceritanya, “Monyet yang tumbuh dan besar di Sangeh merupakan monyet yang relatif liar. Seringkali monyet-monyet di sana berbuat nakal dengan mengambil barang-barang bawaan para turis atau wisatawan seperti kamera, topi, perhiasan, kacamata dan yang lainnya. Maka disarankan untuk tidak membawa barang-barang yang mudah terambil oleh monyet, barang-barang yang bergantungan di leher misalnya, yang pemakaiannya di atas kepala. Sebaiknya kalian memegang erat barang bawaan yang kalian bawa. Karena kalau tidak, monyet akan terus memantau kalian.”

“Aduh... monyetnya matre ya Pak? Kok tahu barang berharga!” celetuk Andi.

Pak Made tertawa kecil, jawabnya, “Tenang, ada caranya apabila barang bawaan kalian terlanjur diambil oleh monyet. Kalian cukup membeli sebuah pisang atau kacang, kemudian dekati monyet itu dan jika kalian beruntung ia akan mengambil pisang dan menjatuhkan barang yang ia ambil dari kalian. Namun jika kalian kurang beruntung monyet ini akan mengambil pisang sekaligus barang bawaan kalian.”

“Huuuuuuu...!” seru kami semua setelah mendengar kalimat terakhir dari pemandu wisata. 

“Yaahh... rugi dong Pak, sudah dikasih pisang eh barang kita tidak dikembalikan!”

“Makanya tidak usah bawa barang-barang berharga, agar tidak diikuti sama monyet!” pak Sastro –guru kami– menengahi.

Setelah bis parkir di tempat yang disediakan, kami semua turun. Mengikuti langkah pak Made, kami berjalan beriringan menuju tempat wisata Sangeh. Dan memang benar apa yang beliau jelaskan tadi ternyata Sangeh terdapat banyak pohon-pohon yang menjulang dengan monyet-monyet yang bergelantungan di sana-sini.

“Lihat tuh...!” seruku kepada kedua temanku, Andi dan Burhan, sambil menunjuk ke arah monyet-monyet itu, “Mata para monyet itu seperti tatapan anak kecil yang melihat mainan!”

“Betul kata Candra!” ucap Andi membenarkan ucapanku.

“Kalian semua nggak bawa barang berharga kan?” kataku serius.

“Ya iyalah... apalagi dompet! Kalau sampai diambil monyet bisa mampus tuh! Nggak bisa beli oleh-oleh!” balas Burhan sambil nyengir.

Yup, kami bertiga tidak membawa apapun kecuali pakaian yang menempel di badan. Bahkan dompet pun kami tinggal di tas dan tetap di dalam bis. Meski banyak yang berjualan aneka cinderamata di luar area wisata tapi lebih baik kami tidak membawa dompet, toh nanti kami juga akan mengunjungi pasar seni Sukawati yang kata para guru, itu tempat aneka macam kerajinan Bali, nanti juga akan mampir ke toko oleh-oleh. Jadi nggak apalah kalau di Sangeh ini kami semua khusus menikmati alam dan para monyetnya... heheheh.

Entah mengapa selama berjalan-jalan menikmati suasana hutan Sangeh aku merasa diikuti salah satu monyet. Monyet itu memang tidak dekat dekat kepadaku, seperti berjarak beberapa meter. Tapi hati kecilku mengatakan kalau itu monyet yang sama yang mengikutiku sejak aku memasuki tempat wisata ini.

“Burhan, Andi... kamu lihat monyet yang itu bukan!” seruku kepada kedua temanku dengan menunjuk ke atas, di pohon itu seekor monyet yang kuyakini mengikutiku sedang bergelantungan di dahan pohon.

“Iya... kenapa memang?” tanya Burhan sambil mengalihkan pandangan matanya dari pohon ke arahku.

“Monyet itu kok mengikutiku sejak tadi ya!” ucapku agak ketakutan.

“Ah... monyet-monyet di sini kan sama semua, bagaimana kamu bisa mengenali kalau monyet itu mengikutimu?” Andi tampak tidak percaya dengan ucapanku.

“Iya coba kamu jelaskan kepada kami, apa bedanya monyet yang kamu tunjuk tadi dengan monyet di pohon yang ini... pohon yang itu dan pohon yang di sana!”

Aku mengangguk-angguk, ya sepertinya semua monyet sama, aku tidak bisa menyebutkan perbedaan di antara para monyet itu.

“Ah... mungkin itu hanya perasaanku saja. Lupakan sajalah!” kataku sedikit malu.

“Yang penting kita tidak membawa barang berharga, jadi kita tidak repot!” 

Akhirnya kami bertiga tetap melanjutkan berjalan-jalan menikmati alam Sangeh beserta para monyetnya. Meski dalam hati aku mengatakan monyet satu itu terus mengikuti tapi aku berusaha mengalihkan perhatian ke teman-teman dan alam di sini, toh monyet itu tidak menggangguku, jadi kenapa mesti resah dan takut?

Setelah dua jam menikmati pemandangan alam dan serunya bergabung dengan para monyet di Sangeh, kami mesti kembali ke dalam bis. Dan saat akan meninggalkan Sangeh itulah aku mengalami peristiwa yang aneh.

“Aduh... aduh... aduh!” teriakku keras, saat monyet yang kuyakini sejak tadi mengikuti tiba-tiba turun dari pohon dan memelukku dengan erat.

“Tolong... tolong... Candra dipeluk monyet!” teriak kedua temanku Burhan dan Andi berbarengan.

Untung pak Made berada tidak terlalu jauh, sehingga beliau langsung datang dan menolongku, monyet itu diusirnya dengan mudah.

“Adik tidak apa-apa kan?” tanya pak Made sambil menenangkanku.

“Ti... ti... tidak!” jawabku gugup dan gemetaran.

Pak Made lalu bertanya lagi, “Tidak ada barang yang diambil si monyet kan?”

Aku menggeleng, “Saya tidak bawa apa-apa kok Pak Made!”

“Syukurlah, itu hanya monyet iseng, nggak usah takut!”

Akhirnya kami semua masuk ke dalam bis dan bermaksud melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata yang lainnya.

“Bagaimana rasanya dipeluk monyet? Asyik nggak?” gurau Joni kepadaku.

“Enak apaan... kaget banget tadi tiba-tiba ada monyet langsung memeluk!” jawabku.

“Itu pasti monyet betina... heheheh!” ujar Joni sambil mengerlingkan mata.

Burhan dan Andi yang mendengar candaan Joni tak kuasa menahan tawa. Sedangkan aku hanya bisa nyengir.

“Sudah... sudah... kembali sana ke tempat dudukmu!” usirku halus, kalau Joni tidak segera kembali ke tempat duduknya bisa habis aku diolok olok sama dia.

Bis berjalan pelan meninggalkan Sangeh, lalu melaju dengan tenang, kami yang kelelahan setelah sekitar dua jam berjalan-jalan di wisata alam itu jadi mengantuk dan banyak yang tertidur. Termasuk juga aku, dan seperti kebiasaanku, aku selalu menyilangkan kedua tanganku di perut kalau sedang tidur di kursi. Saat itulah aku merasakan ada yang mengganjal di balik baju yang aku pakai. Setelah aku raba sejenak, memang ada sesuatu di situ. Kubuka kancing baju di bagian perut dan kuambil. Ternyata ada satu buah pala yangmenyelip di balik bajuku. Buah pala itu wangi sekali seperti wangi sesajen.

“Apakah monyet tadi yang memberiku buah pala ini?” begitu aku berkata dalam hati.


Thursday, December 2, 2021

Misteri Kuntilanak Penunggu Kamar Asrama


Waktu itu sekitar tahun 2013 Agung bersama rekan-rekan kerjanya mengikuti pelatihan di daerah Bogor, tepatnya di PUSDIKZI atau Pusat Pendidikan Zeni Bogor. Dari pagi hingga sore hari, Agus dan Agung –salah satu sahabatnya- bersama rekan-rekannya yang lain mengikuti kegiatan pelatihan yang juga dipandu oleh anggota TNI itu. 

Singkat cerita, acara kegiatan pelatihan selesai dan peserta masuk ke kamar masing-masing. Seperti umumnya orang-orang yang sedang pelatihan, acara di sore hari adalah mandi, ngopi, ngobrol dengan peserta pelatihan lain, kemudian lanjut makan malam. 

Kamar Agung lokasinya berdekatan dengan kantin tempat para anggota TNI makan dan minum, sedangkan kamar Agus tepat disamping kamar Agung. Sehabis solat Isya, Agus dan Agung ngobrol-ngobrol di depan kamar. Waktu menunjukkan jam 10 malam, mereka berduapun masuk kekamar masing-masing untuk istirahat.

Agus masuk kamar dan bisa langsung sukses tertidur. Sementara Agung masuk kamar mulai merasakan hal-hal aneh. Pertama masuk kamar, Agung berjalan menuju tempat tidur. Agung merasakan ada bayangan yang berkelebat masuk dari pintu, namun begitu Agung menoleh ke belakang, dia tidak melihat apa-apa. Agung hanya merasakan tengkuknya merinding. Hiiiii… 

Cepat-cepat Agung langsung naik ke kasur untuk merebahkan badannya. Karena sanking capeknya, Agung langsung tertidur. Namun belum lama tertidur, Agung mendengar suara orang mengetuk pintu. 

“Tok… tok…”

Agung membuka matanya namun tidak langsung bangun, dia mencoba menunggu suara ketukan pintu itu lagi. Lalu terdengar kembali suara ketukan pintu.

“Tok… tok… tok!” 

Kali ini terdengar lebih keras! Agung langsung bangun dari kasur dan segera menuju pintu. Ketika pintu dibuka… Agung tidak menemukan siapapun yang mengetok pintu. Tengok kanan… tengok kiri… tak ada orang sama sekali… Agung kembali masuk ke dalam kamar. Ia lihat di jam dinding, waktu menunjukan jam 12 malam! Kembali Agung naik ke kasur tiduran telentang sambil memancal selimat bermaksud menutup badannya. Baru separuh selimut menutupi badan, terlihat ada mahluk seperti anak kecil umur dua tahunan, berwarna hitam, berkepala gundul dan betelanjang dada yang berlarian di depan kasur sambil tertawa-tawa…

“Hii… hii... hi…”

Merinding sekujur tubuh Agung melihat pemandangan yang aneh itu! Agung langsung menutupi seluruh badannya agar tidak melihat mahluk-mahluk kecil itu. Sekitar lima menit berselang, tiba-tiba suara-suara anak itu hilang! Lalu yang terdengar hanya suara serangga-serangga malam… hening… sunyi. Kembali Agung membuka selimut sebatas dada, mahluk-mahluk kecil itu lenyap. Namun… ada penampakan lain!

Melintas dari kiri ke arah kanan Agung… bayangan putih perempuan berambut panjang mengenakan gaun putih.

Ssseeettt…!

Agung merasakan tengkuknya merinding! Pandangan Agung mengikuti arah sosok mahluk berambut panjang tersebut. Agung terduduk sambil mengamati keadaan… mencari-cari ssok mahluk ghaib yang melintas.

Ketika mata Agung sedang memandang ke sekeliling kamar, dari kanan… ke depan kasur… ke sisi ruangan… Dan saat pandangan mata Agung melihat ke atas! Busyet! Ada mahluk perempuan berambut panjang yang sedang duduk di atas lemari dan seluruh rambutnya menutupi wajah!

Sesaat Agung duduk terpaku di atas kasur! Tidak bisa berkata-kata! Tidak bisa bergerak! Rasa takut yang luar biasa menghinggapi Agung! Beberapa detik kemudian, Agung baru bisa menggerakkan badan dan reflek teriak.

“Kuntilanak!”

Agung langsung telungkup dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, dengan posisi tangan masih memegang selimut di atas kepala. Dengan harapan Agung tidak melihat kuntilanak tersebut. Tidak sampai disitu saja, ternyata kaki agung mulai terasa dingin… cesssss… seperti ada es batu di sekitar kakinya. Agung berusaha kuat memegang selimut kemudian menarik kakinya dan meringkuk! Tapi kuntilanak itu tidak pergi dan semakin menjadi-jadi! Agung merasa kedua kakinya ada yang mencengkeram dan mengguncangnya… Kemudian mulai terdengar suara perempuan tertawa menyeramkan.

“Hii… hii... hi…”

Tidak tahan dengan kondisi ketakutan luar biasa, Agung langsung melompat dari atas kasur dan berteriak! Lari kencang sampai menabrak pintu kamar! Agung berhasil keluar kamar dan segera lari menuju kamar Agus 

“Tok… tok… tok!” 

Agung mengetok pintu kamar Agus dengan keras dan dengan nafas yang terengah-engah! Agus terbangun dan membukakan pintu. Belum sempat Agus bertanya, Agung langsung nyelonong masuk kamar dan langsung telungkup di atas kasur Agus.

“Ada apa Gung?” tanya Agus. 

“Ada kuntilanak Gus, tadi saya lihat sendiri dan kaki saya diguncang-guncang. Saya numpang tidur di kamar kamu ya Gus, saya takut di kamar sebelah,” jelas Agung. 

Akhirnya malam itu Agung tidur di kamar Agus karena kamar Agung ternyata ada kuntilanak ganas yang akan mengganggu siapa saja yang tidur disitu. Hiiiii…


Wednesday, December 1, 2021

Hantu Lelaki Korban Mutilasi

 



Malam itu aku duduk santai di depan teras rumah paman Kartolo, baru tiga hari yang lalu aku tinggal di sini, di sebuah kota yang jauh dari tempat tinggalku sebelumnya bahkan beda pulau. Aku dulu tinggal di kota kecil yang terletak di pulau Kalimantan, selepas menyelesaikan sekolah di sebuah SMA aku tidak bisa melanjutkan kuliah sebab orang tua tidak mampu membiayai, aku terpaksa mencari pekerjaan agar aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sayangnya aku kesulitan mendapatkan pekerjaan. Aku menyadari dengan kepandaian yang hanya rata-rata dan tidak ada pengalaman kerja apapun tentu sulit menembus dunia kerja, atau mungkin keberuntungan belum berpihak kepadaku. 

Oleh orang tua aku diminta ikut tinggal dengan paman Kartolo di Jakarta. Siapa tahu bisa mendapatkan pekerjaan di sana, untuk menambah pengalaman dulu tidak apa-apa sambil terus mencari kesempatan kerja yang lain. Intinya aku harus mulai menancapkan perekonomian untuk kelangsungan hidupku selanjutnya.

“Kamu di sini rupanya!” seru Paman mengagetkanku. “Kamu lagi melamun ya?”

Aku tergagap, “Ah… eh… enggak kok… aku…!”

“Rachmat, aku memahami kalau kamu belum sepenuhnya senang tinggal di sini, maklum masih baru. Belum ada teman, belum tahu mana-mana. Tapi yakinlah nanti kamu akan bisa mengadaptasi sendiri dan kelak akan kerasan. Pamanmu ini sudah duapuluhan tahun di sini lho!” sambil duduk di sampingku, dia berkata panjang lebar.

“Iya Paman, minta doanya saja agar segera dapat pekerjaan.” jawabku dengan sopan, sebenarnya aku tidak masalah kerja dimanapun asal kerja halal dan aku nyaman dengan pekerjaan itu. 

“Yang sabar dan banyak berdoa, pasti Tuhan akan mengabulkan!” balas paman.

“Sebenarnya aku ingin mencoba jadi TKI di Malaysia seperti beberapa temanku, tapi ayah dan ibu tidak memperbolehkan!” imbuhku sedikit curhat menyampaikan keinginanku yang kandas.

“Kalau orang tua tidak mengijinkan lebih baik jangan lakukan. Restu itu penting, laksana lentera yang menerangi jalanmu. Kita coba dulu mencari peruntungan di kota ini, siapa tahu kamu berhasil.” jawabnya menasehatiku.

Paman Kartolo adalah adik lelaki ibu, dulu kakek bertransmigrasi dan lama tinggal di Kalimantan. Ibu akhirnya mendapat jodoh orang asli Kalimantan sedangkan paman setelah dewasa memilih pergi ke Jakarta, dia sudah cukup lama merantau di ibukota dan berwiraswasta sebagai seorang distributor barang-barang kebutuhan rumah tangga. Dulu kupikir dia punya semacam kantor dan ada banyak karyawan, maklum waktu berkunjung ke Kalimantan aku melihat kehidupannya terkesan serba lebih. Dia membawakan banyak oleh-oleh dan membagikan uang kepada para keponakannya. Ternyata setelah aku ada di sini baru aku tahu kalau paman kenyataannya juga tidak seberhasil bayanganku. 

Dia bekerja sendiri dibantu anak lelakinya yang tertua, usahanya adalah menyalurkan barang di pasar-pasar tradisional. Kemarin aku diajak olehnya, dengan naik mobil pick-up butut kami berkeliling menyambangi para pedagang di pasar-pasar itu. Saat itu Rusli, anak lelakinya itu sedang demam, makanya aku diajak untuk menggantikannya.

“Kak Rusli masih sakit Paman?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Masih demam dia. Semoga besok dia sudah baikan!” jawabnya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, “Kalau besok belum sehat betul, kamu mau kan membantu Paman?” tanyanya, kepulan asap mulai menghiasi udara.

“Iya Paman, aku malah senang kok karena ada kegiatan, bengong aja di rumah juga tidak nyaman.” jawabku berterus terang. Kuakui aku lebih senang melakukan aktivitas membantu Paman daripada hanya diam di rumah, memang sih aku bisa membantu tante dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam menyapu, membersihkan kamar mandi dan lainnya, tapi jenuh juga terus-terusan ada di rumah. Beda kalau aku diajak keliling pasar, aku bisa mendapatkan pengalaman baru, berinterakasi dengan orang-orang dan yang utama aku bisa melihat keadaan kota.

Paman tertawa, lalu katanya, “Ya syukurlah kalau kamu senang, eh… paman mau nonton bola dulu di televisi, kamu mau ikut?” 

Aku menggeleng, “Aku di sini dulu saja Paman.” jawabku pendek.

Kulihat dia bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam rumah, tak seberapa lama suara televisi terdengar. Acara pertandingan bola itu terdengar sampai telingaku.

Kualihkan pandanganku ke depan, dalam kesendirian aku memikirkan kehidupanku kelak. Meski belum ada rencana pasti tapi aku sudah memutuskan kalau aku tidak mau berlama-lama tinggal di sini, aku ingin mandiri. Apalagi kehidupan paman sekeluarga juga tidak secemerlang yang aku duga. Dengan seorang istri dan tiga orang anak tentu sulit baginya untuk menjalankan perekonomian keluarga karena pekerjaan paman yang belum begitu mapan. 

Kak Rusli saja –seperti aku- tidak bisa melanjutkan kuliah, satu adiknya masih duduk di SMA dan satunya lagi masih di SD. Kak Rusli juga mesti membantu pekerjaan ayahnya selama belum mendapatkan pekerjaan pasti. Dan kini aku… bernasib sama dengannya.

Tak terasa malam mulai menjelang, aku lalu masuk ke dalam rumah. Kulihat Paman masih asyik menonton televisi.

“Paman, Rachmat tidur dulu ya!” sapaku kepadanya.

“Emmhmm… ya!” gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Aku lalu masuk ke sebuah kamar yang diperuntukkan bagi aku dan kak Rusli. Kamar itu kecil saja berukuran dua setengah kali dua setengah meter. Hanya ada sebuah tempat tidur tingkat –kak Rusli tidur di tempat tidur bawah dan aku di tingkat atasnya. Juga ada sebuah almari serta satu set meja kursi. Kami juga berbagi almari, aku mendapat satu sap di paling bawah untuk sekedar menaruh barang-barangku di situ. Tidak banyak barang yang aku bawa, hanya satu tas besar berisi beberapa helai pakaian dan surat-surat penting untuk tujuan mencari pekerjaan, jadi tidak masalah bagiku mendapatkan satu sap almari karena lumayan masih lapang. Hanya saja tas besarku tidak bisa kujejalkan di dalamnya karena tidak muat, aku lalu siasati dengan menaruhnya di atas almari sehingga tidak membuat kamar ini terlihat sempit.

Kulihat kak Rusli tidur dengan pulas, selimut membungkus tubuhnya dengan erat. Aku naik tangga tempat tidur pelan-pelan agar tidak membuat gaduh dan membangunkannya. Aku membaringkan badanku yang kurasa cukup lelah di atas kasur. Kutatap genting di atasku yang jaraknya hanya satu meter dariku, lewat kaca kecil yang ada diantara sisipan genting-genting itu aku bisa mengintip langit malam yang cukup cerah dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Sesaat kemudian akupun tertidur.

Pagi-pagi setelah sholat Subuh, Paman mengajakku mulai bekerja karena kak Rusli belum sehat benar. Tante memberi bekal minuman dan makanan kecil. Beliau adalah seorang istri yang baik, dia seorang ibu rumah tangga biasa. Dimulai dengan memasukkan aneka barang dagangan ke atas mobil di bak belakang, lalu aku menutupinya dengan terpal agar barang aman terjaga tidak tercecer.

“Pergi dulu Tante.” aku pamit sambil mencium tangannya.

“Iya Rachmat, hati-hati Nak!” jawabnya, dia lalu melambaikan tangan kearah kami.

Setelah aku masuk dan duduk di sampingnya, paman lalu menjalankan mobil. Deru mobil pick-up butut itu terdengar memecah kesunyian, rupanya para tetangga masih banyak yang tidur. Kurapatkan jaketku untuk mengusir hawa dingin yang mulai mengganggu, meski jendela mobil masih dalam keadaan tertutup tapi udara masih bisa masuk ke sela-selanya, apalagi saat mobil melaju, udara pun terasa bertiup kencang.

“Rutinitas kerja kita memang seperti ini, mulai dari pagi-pagi buta sampai menjelang sore. Beda dengan karyawan kantor!” ucapnya sambil mengemudikan mobil, “Yang penting halal, pasti akan diberkati oleh Tuhan!”

“Iya Paman!” jawabku, “Kak Rusli nggak ingin kerja kantoran?” tanyaku kemudian.

Paman tertawa, lalu jawabnya, “Tentu saja dia ingin. Tapi mau apa dikata kalau kesempatan itu belum menghampirinya. Sekarang bantu-bantu ayahnya dulu sambil terus berusaha.”

“Nggak ingin melanjutkan kuliah saja?” tanyaku lagi.

Paman menghela napas panjang, “Aku tahu Rusli ingin kuliah tapi paman tidak punya uang untuk itu. Kamu pasti mengerti kalau biaya kuliah itu mahal sekali!”

“Iya Paman!” kataku pendek. Aku bisa merasakan karena nasibku hampir sama dengan kak Rusli. Aku berusaha tidak menanyakannya lagi, khawatir paman jadi galau.

“Katanya kota Jakarta banyak kriminal ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Ada banyak berita tentang pencurian, perampokan…!”

“Sudahlah… namanya juga kota besar, banyak penghuninya tapi lapangan kerja tidak memadai, yang penting kita selalu berusaha untuk menatap masa depan!” elak Paman seperti enggan membicarakannya.

Aku diam saja, pikiranku kembali ke berita-berita yang sering aku tonton di televisi ataupun yang aku baca di koran, banyak peristiwa kejahatan. Tapi karena paman malas membahasnya akupun tidak memperpanjang. Apalagi dia mengalihkan obrolan dengan topik terkini tentang korupsi, akupun terhanyut dengan membahasnya bersama-sama.

Seharian kami melakukan pekerjaan dengan memasok barang di pasar-pasar. Paman sudah punya langganan tersendiri jadi dia seperti biasa dengan rutinitasnya, beda dengan aku yang masih kebingungan dengan jenis-jenis barang. Sering aku keliru mengambil barang yang dimaksud, tapi untunglah paman termasuk orang yang sabar. Dia menganggapku masih belajar jadi tidak mempermasalahkannya, para pedagang langganannya tampaknya juga tahu kalau aku masih anak baru, sebagian dari mereka bahkan menanyakan perihal Rusli yang tidak nampak mendampinginya seperti biasa. Paman menerangkan kepada mereka kalau Rusli sedang sakit dan aku adalah keponakannya yang dari Kalimantan.

Menjelang sore, pekerjaan mendistribusikan barang selesai sudah, kupikir kami akan langsung pulang, ternyata dia mengajakku ke rumah salah seorang temannya.

“Kita ke rumah pak Solihin dulu, dia ada bisnis untuk kita.” ucapnya datar.

Setelah sampai di sebuah rumah yang terletak di perkampungan padat penduduk, paman memarkir mobil di jalan di depan rumah itu karena tidak ada halaman yang cukup untuk menampung mobil. Aku keluar mobil dan mengikuti langkah paman memasuki halaman itu.

“Hei… Kartolo, sudah datang rupanya!” suara seseorang dengan aksen Madura terdengar keras. Kulihat dia menepuk bahu paman, mereka tampak akrab satu sama lain.

“Solihin, kenalkan ini Rachmat keponakanku dari Kalimantan!”

Aku menjulurkan tangan untuk menyalami pak Solihin, dia menyambut jabatanku dengan hangat.

“Rusli mana?” tanya pak Solihin.

“Dia lagi sakit!” jawab paman.

Kami bertiga lalu masuk ke dalam rumahnya, ternyata ada banyak barang di situ dan sebagian besar sudah terbungkus rapi. Rupanya paman diminta mengirim barang-barang dari pak Solihin ke koleganya di lain kota.

“Ini daftar barang-barangnya. Kamu tinggal mengirim saja!” ucap pak Solihin sambil menyerahkan beberapa lembar kertas berisi nota pengantar barang untuk orang yang berbeda satu sama lain. 

Paman menerima dan melihatnya sekilas. “Seperti biasa kan?” tanyanya kemudian.

“Ya!” jawab pak Solihin singkat.

Kami bertiga lalu sibuk memasukkan barang-barang yang sudah terbungkus rapi itu ke dalam bak belakang mobil, dan aku menutupinya dengan terpal. Setelah berpamitan, kami berdua lalu pulang ke rumah. 

Menurut paman, lebih nyaman berangkat malam hari sehingga kami akan sampai di kolega pak Solihin pada pagi hari, Siangnya diharapkan semua selesai dan kami bisa pulang kembali.

“Paman tidak takut berangkat malam hari?” tanyaku.

“Tidak masalah berangkat malam hari. Yang penting jalanan juga tidak padat, kita lebih leluasa!” jawabnya.

“Maksudku, Paman tidak takut kejahatan di jalan atau ketemu hantu?” tanyaku lagi.

Paman tertawa terbahak, “Hantu?” teriaknya keras, lalu lanjutnya, “Aku tidak takut ketemu hantu, yang perlu dikhawatirkan kalau kita bertemu orang jahat yang mau merampok, itu yang berbahaya.” 

“Tapi alhamdulilah selama ini aku tidak mengalami hal-hal seperti itu!” imbuhnya menenangkan diriku.

Sesampai di rumah, aku mandi dan makan malam. Sehabis itu aku diminta paman untuk beristirahat dulu, nanti aku akan dibangunkan olehnya bila hendak berangkat.

Menjelang malam aku sudah siap bersamanya untuk mengirim barang-barang dari pak Solihin. Aku sudah mengenakan jaket dan membawa sarung, kalau malam pasti dingin. Paman juga demikian.

“Dingin ya!” serunya membuka pembicaraan.

“Iya Paman!” jawabku pendek sambil merapatkan jaket di tubuh serta mengalungkan sarung di leherku.

“Namanya juga cari uang. Tidak mudah!” timpalnya.

“Kalau kamu mengantuk ya tidur saja!” tambahnya.

Aku mengangguk, tapi aku belum mengantuk, karena paman konsentrasi dengan kemudinya akupun mengarahkan pandangan keluar melihat alam sekitar. Malam itu sangat gelap karena mendung menghiasi langit, tidak ada kerlap kerlip bintang di sana, jalananpun lumayan tidak terlalu padat, beda sekali saat berkendara di siang hari… wuih padat merayap. 

“Lumayan tidak ramai ya Paman?” seruku.

“Mhmmm..!” gumamnya.

“Kamu nggak ingin belajar nyetir?” paman balik bertanya.

“Ingin sih, kak Rusli juga bisa nyetir kan? Aku belajar ke dia atau Paman saja?” ucapku dengan senang. Aku memang ingin bisa menyetir sendiri, kuharap dengan bisa menyetir aku bisa meringankan beban paman dan itu juga sebuah ketrampilan buatku, tidak ada salahnya bahkan sangat bermanfaat.

“Aku saja yang mengajarimu nanti.” jawabnya, “Rusli memang bisa menyetir tapi belum mahir betul, kalau mengajarimu nanti malah beresiko!”

“Besok kalau ada waktu longgar aku akan ajari kamu!” imbuhnya.

“Terima kasih Paman!” jawabku lega.

Kupikir lebih nyaman belajar sama paman, karena dia bisa mengatur emosinya. Tidak mudah tentu mengajari orang yang sama sekali belum bisa. Butuh kesabaran dan ketelatenan. Biasanya anak muda tidak akan sesabar orang tua yang notabene sudah kenyang asam garam kehidupan serta lebih bijaksana dalam memandang banyak hal.

“Paman, aku tidur ya… nggak tahu kok mengantuk begini!” ucapku seraya menguap.

“Ya tidur saja!” jawabnya.

Akupun lalu mencoba tidur, meski kurang nyaman karena seringkali terganggu dengan kondisi jalan yang tidak mulus, tapi cukuplah bagiku untuk memejamkan mata. Apalagi dengan hawa dingin yang melingkupinya… wah cocok benar. 

Entah berapa lama aku tidur, tiba-tiba aku mendengar ketukan kecil dari arah jendela kaca mobil. Sebenarnya aku kurang peduli dengan itu, kupikir itu suara ranting yang terlepas atau apalah, lagian aku masih mengantuk berat, rasanya malas mau membuka mata. Tapi suara ketukan terdengar terus, meski pelan tapi beruntun. 

Setengah sadar aku mencoba membuka mata, kulihat meski samar ada seseorang di balik kaca mobil itu. Kualihkan pandanganku ke arah samping tempat paman duduk di depan kemudi, ternyata tidak ada dia di situ, kulihat kunci mobil juga tidak tertancap di tempatnya. Aku kembali menatap ke arah suara tadi, tapi tidak nampak ada orang, mungkinkah dia sudah pergi? 

Karena penasaran akupun keluar mobil, kutengok ke kanan kiri tidak ada seorangpun di situ. Kulihat suasana malam yang gelap gulita karena mendung, angin dingin bertiup sangat terasa, belum lagi suara daun-daunan yang tertiup angin, benar-benar membuat suasana menjadi mencekam, terlebih tidak ada paman. Dimana dia? Kenapa meningalkanku sendirian? Tak mungkin ia pergi jauh, mobil memang berhenti di pinggir jalan, namun kupikir dia keluar untuk buang air kecil saja.

Aku memutuskan untuk keluar mobil dan melihat keadaan sekeliling. Kulangkahkan kaki mengitari mobil, kulayangkan pandangan mata di sekitarnya. Entah ini ada di jalan apa, sepertinya paman mengambil jalan pintas karena tidak banyak mobil yang lewat, jadi kondisi lumayan sepi. Sesaat aku mendengar bunyi langkah kaki dari arah samping tersembunyi di balik pepohonan, mungkinkah itu paman? Atau orang yang tadi mengetuk jendela mobil? Akupun lalu berjalan menuju suara itu, ingin tahu juga sebenarnya ada apa.

Di rerimbunan pohon di samping jalan itu ternyata tidak ada apapun, akupun bermaksud kembali ke dalam mobil. Namun suara seseorang dari arah belakang mengagetkanku, suara itu terdengar memelas, 

“Tolong saya Dik!” begitu ucapnya.

“Tolong apa Mas?” jawabku sambil mencari arah suara itu. Karena malam yang gelap aku agak kesulitan melihat dengan jelas.

“Tolong carikan kepala saya!” jawabnya penuh iba. 

Aku terhenyak mendengar perkataanya, meski sedikit geli aku juga merasa heran, apa mungkin orang itu orang gila ya? Namun mataku tiba-tiba tertahan di pemandangan yang ada di depanku, meski kondisi gelap aku bisa melihat dengan samar sosok seorang berbadan layaknya lelaki… untuk lebih meyakinkan akupun menatap dari bawah ke atas, dia hanya bersandal jepit, lalu ke atas lagi ternyata dia mengenakan celana panjang yang sobek di sana sini kemudian naik lagi ke atas dia memakai kemeja yang kumal… tapi… tapi… ketika kulihat di bagian atasnya lagi… lelaki itu tidak ada kepalanya, bahkan kedua tangannya juga tidak ada. Kupejam pejamkan mataku dan kuusap-usap, bahkan aku mencubit kulitku sendiri karena tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tapi ternyata benar yang aku lihat, spontan aku lalu menjerit dan lari terbirit-birit menuju mobil.

“Hei kamu kenapa?” teriak paman menangkapku.

“Eh… anu… aku… Paman darimana?” aku balik bertanya dengan terbata-bata.

“Tadi paman buang air kecil sebentar. Sebenarnya aku mau bilang tapi karena kamu tertidur pulas aku jadi mengurungkan membangunkanmu, toh hanya sebentar!” jawabnya tenang sambil membimbingku ke dalam mobil.

“Kamu dari mana tadi? Kok menjerit ketakutan sih?” tanyanya lagi setelah dia masuk dan duduk di sebelahku, dia lalu menghidupkan mesin mobil.

“Aku… aku!” aku tidak bisa melanjutkan ucapanku, kejadian tadi membuatku terguncang, jantungku masih berdetak dengan kencang.

“Kenapa? Lihat hantu?” seloroh Paman tanpa bermaksud menertawakanku, “Kan sudah kubilang hantu itu tidak berbahaya, tinggal dilawan dengan doa pasti juga akan beres!”

Tanpa kuminta paman akhirnya bercerita bahwa di tempat ini dulu pernah terjadi kejahatan besar yang menggegerkan masyarakat, karena ditemukan mayat lelaki korban mutilasi, kepala dan kedua tangannya terpisah dari raganya.

“Tapi itu sudah lama… paman berkali-kali melewati jalan ini juga tidak pernah menemui kejadian kejadian aneh!” tutupnya dengan santai.

Aku diam, dalam hati aku memanjatkan doa-doa semampuku. Memang terasa lebih tenang akhirnya. Saat mobil melaju aku melirik dari spion kaca mobil, tapi tidak kulihat siapapun.


La Planchada