Namaku Joni Harlan, aku bukan dari keluarga berada. Ayah dan ibuku hanyalah wirausahawan kecil-kecilan. Tapi kerabat ibuku banyak yang kaya-raya. Salah satunya adalah tante Diana. Sebenarnya masih ada paman dan tante yang lainnya, tapi aku paling merasa dekat dengan tante Diana karena bila dibandingkan dengan kerabat ibuku yang lain, hanya tante Diana saja yang orangnya hangat, dan menyayangi semua kerabatnya tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin. Mungkin karena tante Diana ini tidak menikah, tidak berkeluarga, dan tidak memiliki anak, maka dia merasa enteng dan mudah untuk berbagi kasih sayang dengan semua orang.
Suatu ketika tante Diana ingin memperluas usahanya dengan membuka toko baru di Bali. Ia sudah lama mengincar sebuah ruko di kawasan Kuta, dan dia ingin agar nantinya aku bergabung untuk mengelola cabang usaha tersebut.
Begitu tante Diana jadi membeli ruko di kawasan Kuta-Bali, aku pun segera ditugaskan menempati dan mengelola rumah toko berlantai tiga di dekat Gang Latar Putih itu. Tante Diana memodaliku membuka usaha souvenir dan handycraft khas Bali.
Item yang dijual mulai dari aksesories untuk fashion seperti sepatu, tas, kaos, baju, pernak-pernik fashion, dan juga aksesories untuk home interior seperti lukisan, dan patung-patung khas Bali, dan sebagainya. Lantai dasar dijadikan tempat memajang barang dagangan, lantai dua dijadikan gudang, sedangkan lantai tiga adalah tempat tinggalku.
Walau baru saja diresmikan, tapi puji Tuhan, toko kami menjadi sangat ramai dikunjungi peminat. Tante Diana melibatkan interior desainer langganannya bernama Eric Palorma yang berkebangsaan Philippina untuk membantunya mendesain toko barunya itu. Selama ini Eric selalu diminta bantuannya oleh tante Diana untuk mendesain hampir semua tokonya. Untuk toko yang di Kuta ini, Eric mendesain fasad-nya dengan altar ritualis yang dibuat sedemikian rupa sehingga setiap pengunjung yang datang ke toko akan langsung merasakan nuansa Bali di toko ini.
Ada pula pajangan di dinding berupa patung-patung khas Bali dengan berbagai bentuk dan warnanya. Selain itu dipasang pula beraneka warna lampu dekoratif yang mempercantik performance toko di malam hari. Ini pula yang diyakini sebagai pengundang keberuntungan bagi toko ini.
Tante Diana memang sangat dekat dengan dunia seni. Setiap kali membuka usaha, tante Diana selalu melibatkan ahli seni. Dan Eric Palorma merupakan ahli seni dan interior desainer handal yang sangat diandalkan oleh tante Diana, bukan hanya karena kemampuannya dalam menjalankan profesi yang digelutinya, tapi karena Eric dan tante Diana memiliki minat yang sama dalam hal supranatural.
Menurut tante Diana, Eric Palorma yang berusia hampir 60 tahun itu adalah juga seorang pakar supranatural yang mempunyai ilmu saktimandraguna. Selain menguasai ilmu fengshui, dia juga menguasai ilmu membangkitkan roh. Eric Palorma bisa berdialog dengan arwah, memanggil arwah orang yang sudah meninggal untuk bangkit dan bicara. Bahkan secara diam-diam Eric sering dimintai bantuan oleh pihak kepolisian untuk mencari pembunuh yang dinyatakan “Dark Case”, yaitu suatu peristiwa pembunuhan yang sulit dilacak. Eric diminta memanggil arwah korban dan menanyai siapa pembunuh korban itu. Dengan ilmunya, arwah korban yang sudah meninggal itu akan menyebut siapa pembunuh sebenarnya kepada Eric.
Toko milik tante Diana bukan cuma satu. Untuk di Kuta saja dia punya dua toko termasuk toko yang dipercayakannya padaku. Di Gianyar, Sanur, Bedugul, dan Kintamani, dia punya masing-masing satu toko. Semua toko yang dimilikinya dipercayakan untuk dikelola para kerabatnya. Semua usahanya itu maju pesat dan memetik untung berlipat ganda. Kemajuan usaha itu dipercaya betul oleh tante Diana disebabkan oleh ritual yang dilakukan oleh Eric Palorma.
“Tapi Eric Palorma itu hanya mediator Tuhan di dunia ini untuk membantu mereka yang bersedia bekerja keras sambil mengharapkan pertolongan dari-Nya. Yang menentukan kemajuan atau kemunduran usaha kita, tidak lain adalah kita sendiri!” kata tante Diana kepadaku.
Sebagai pemeluk agama Kristen dan memegang teguh kepercayaannya, tante Diana yakin betul kepada berkah Tuhan. “Tuhan memberkati setiap usaha yang dilakukan oleh umat-Nya. Tuhan akan menyayangi dan melindungi kita bila kita selalu memuja dan memuji-Nya!” pesan tante Diana.
Tante Diana banyak memberikan masukan perihal agama kepadaku. Sebab selama ini aku bukanlah pemeluk agama ini. Tadinya aku tidak punya agama, hanya aliran kepercayaan saja. Tapi begitu tamat SMA, aku diperkenalkan tante Diana kepada gereja.
Ajaran Kristiani kupelajari secara intensif hingga kini. Inti dari ajaran itu adalah bersih hati, tulus ikhlas, kasih sayang, punya kepedulian besar pada yang miskin dan tidak boleh iri hati juga tidak boleh menyimpan dendam. Ajaran itu kupraktekkan sehari-hari dengan beberapa orang karyawanku yang beragama berbeda-beda. Karena dengan pendekatan sifat suci itulah, maka semua karyawanku betah, jujur dan berbahagia di perusahaanku. Bahkan dua karyawati yang masih gadis, tinggal bersamaku di lantai tiga. Mereka menemaniku hingga aku menikah kelak. Tapi karena aku tidak kunjung menikah maka selama melajang berkepanjangan itu, mereka betah tinggal bersamaku.
Setelah hampir tiga tahun kami menempati ruko itu, akhir bulan Desember 2013 silam, kami bertiga dikagetkan oleh suatu suara aneh di atas loteng. Tengah malam pukul 24.00 terdengar suara batuk-batuk dari seorang lelaki berumur. Padahal di ruko kami itu tidak ada penghuni lain selain aku dan dua karyawatiku Yuliana dan Arumi. Bahkan di ruko sebelah pun, tidak ada laki-laki tua karena semua penghuninya lelaki muda dan wanita pekerja. Suara batuk seperti penderita TBC itu berlangsung secara berkala hingga adzan subuh dini hari.
“Masak ada orang di loteng?” tanya Yuliana, pegawai toko yang tinggal bersamaku.
“Tidak mungkin, tidak mungkin ada orang betulan di atas sana!” timpal Arumi, pegawaiku yang satunya.
“Maksud kalian yang batuk itu hantu?” desakku.
“Bukan hantu, tapi mungkin mahluk ghaib lah!” tandas Yuliana.
Habis adzan, Yuliana dan Arumi melakukan shalat subuh. Setelah itu kami bertiga tidur di kamar masing-masing. Pagi harinya, kami segera turun ke bawah untuk berbenah. Kami membuka pintu toko dan stand-by pukul 09.00 pagi. Beberapa calon pembeli masuk, perempuan, laki-laki baik tua maupun muda. Di antara beberapa calon pembeli, salah seorang kakek terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya melihat beberapa sepatu yang dipajang. Kakek itu terbatuk-batuk dan suara batuknya persis suara misterius yang terdengar tadi malam.
Arumi memandang Yuliana, Yuliana melempar pandangannya padaku. Aku lalu memberi kode agar salah seorang di antara mereka mendekati kakek-kakek itu.
“Bapak cari apa, cari sepatu? Sepatu yang model apa dan buat siapa?” desak Arumi.
Si kakek acuh tak acuh saja. Dia berlagak tidak mendengarkan pertanyaan Arumi. Atau justru dia benar-benar tidak dapat mendengar suara Arumi. Untuk itulah Arumi mengulangi lagi pertanyaannya. Tapi kakek-kakek itu tidak memperdulikan pertanyaan itu juga. Dengan lembut, Arumi pun menyentuh tangan kakek-kakek itu.
“Kakek cari sepatu?” tanya Arumi lagi.
Yang bersangkutan tetap diam, malah dia berlalu dari Arumi menuju konter yang lain.
Karena Arumi tidak berhasil mendekati, Yuliana ambil inisiatif menanyai lelaki tua itu. Tapi kakek itu tetap diam membisu seribu bahasa. Bahkan dia lalu berlalu keluar dari toko kami, menuju ke arah jalanan yang sudah mulai ramai. Seperti kompak betul, kami bertiga melongok keluar halaman. Tapi aneh bin ajaib, kakek-kakek itu tidak terlihat sama sekali. Baik di utara maupun di selatan dan barat, kakek itu tidak ada di sana.
“Ke mana dia berjalan?” tanyaku kepada Arumi dan Yuliana.
Kedua pegawaiku itu pun mengangkat bahu. Dalam hitungan detik, kakek itu menghilang begitu saja, bagai asap tertiup angin.
“Batuknya persis suara batuk tadi malam, jangan-jangan...” bisik Yuliana.
“Maksud Yuliana, jangan-jangan kakek itu makhluk jejadian yang tadi malam ada di loteng kita!” kataku.
Kejadian yang misterius yang kami anggap kecil itu berlalu begitu saja. Kami berusaha melupakan peristiwa itu dan menjadikannya sebagai pengalaman unik saja. Tapi, seminggu kemudian, menjelang tengah malam, suara batuk itu terdengar lagi. Kali ini malah disertai bau wewangian yang menyengat. Bau harum itu seperti gabungan antara melati, kantil dan bunga mawar. Semerbak aroma itu tercium ke penjuru ruang lantai tiga. Termasuk di dalam kamarku.
“Nampaknya persoalan ini persoalan serius, kita tidak boleh menganggap enteng. Kita harus telpon tante Diana dan Eric!” desakku.
Yuliana dan Arumi pun mengangguk.
“Benar Pak, kita mesti panggil bu Diana dan uncle Eric!” Sahut keduanya dengan serempak.
Karena keduanya mendukungku, maka segera kuambil handphone-ku untuk menghubunginya. Namun sebelum semua tuts handphone kupencet, tiba-tiba terdengar suara gedebuk dari loteng bagian dapur.
“Aduh, suara apa itu?” tanya Arumi.
Suara itu mirip durian jatuh dan bunyinya keras sekali hingga lantai tiga bergetar.
“Ayo kita rame-rame lihat ke dapur!” pintaku. Kami pun bertiga menghambur ke dapur.
Begitu pintu dapur dibuka Arumi, kami langsung terperanjat. Jantungku berdetak kencang dan kakiku tiba-tiba menjadi lemas. Di situ kami melihat sosok kakek-kakek yang siang tadi di toko. Kakek-kakek itu nanar menatap mataku dan seakan ingin bicara. Tapi karena takut, kami bertiga segera kabur dan berteriak minta tolong. Tapi anehnya, suara kami tidak ada yang mendengar.
Kami lari ke lantai bawah dan membuka pintu darurat. Kami terus berlari sampai ke gereja Santo Yosef yang terletak hanya beberapa puluh meter dari ruko. Gereja yang tertutup oleh bangunan toko-toko itu sangat sepi malam itu. Tidak ada penjaga, ataupun satpam yang bergadang. Padahal biasanya ada satu atau dua orang di situ itu. Anehnya, di malam yang sunyi itu tidak ada seorangpun yang terlihat.
Oh Tuhan... di depan pintu sebuah rumah di dekat gereja itu, aku melihat kakek-kakek itu berdiri di sana. Tubuhnya yang kaku dengan muka pucat tersorot oleh bias sinar lampu jalan yang menyinarinya. Kami yang ketakutan segera berlari berbalik arah. Kami keluar ke jalan raya melalui sebuah gang kecil. Kami tidak dapat berkomunikasi pada siapapun karena semua handphone kami tertinggal di lantai tiga. Aku butuh bantuan polisi, paling tidak untuk mengamankan toko yang belum kami kunci.
Akhirnya dua orang polisi dengan mobil Karens dinas patroli membantu kami. Kami bertiga naik mobil polisi dan menuju rumah abangku yang lain, Daniel. Daniel segera keluar mengikuti dengan mobilnya dan kami bersama-sama dengan kedua orang polisi tadi kembali ke toko. Dua polisi tersebut ikut naik ke atas, namun sesampainya di tempat kejadian, ternyata Kakek-kakek itu sudah tak ada lagi di dapur. Di depan rumah dekat gereja Santo Yosef pun, kakek itu tak ada lagi.
“Mana? Tidak ada apa-apa kok?” tukas Ipda Wayan Dipa, salah seorang dari dua polisi itu.
Daniel menyisir setiap ruangan ruko dengan senter enam batere. Gudang barang-barang pun diacak mencari keberadaan kakek-kakek yang kami lihat. Atas restu Daniel, polisi pun berpamitan pada kami dan meninggalkan nomor handphone kepada Daniel.
“Saya pikir ini hanya halusinasi karena adik Anda sangat penakut...!!” kata Ipda Wayan Dipa kepada Daniel.
Karena Eric Palorma sedang berada di Singapura dan HP-nya tidak bisa dihubungi, maka kasus aneh itu terhenti di situ. Hingga sampailah kami pada hari-hari Raya Nyepi. Malam itu, Si Kakek batuk-batuk lagi di atas loteng. Aku segera menelpon pak Ipda Wayan Dipa, dan polisi itu segera datang ke toko kami. Dengan mata kepalanya sendiri Ipda Wayan Dipa mendengar suara batuk-batuk dan mencium bau wewangian yang keras menusuk hidung itu.
“Ya, saya mendengar suara batuk dari loteng dan bebauan yang menyengat hidung!” komentar Ipda Wayan Dipa.
Daniel sudah berada di lantai tiga setelah kutelpon beberapa saat menjelang malam. Persiapan sudah kami buat. Aku memegang salib dan dua orang pegawaiku membawa tasbih.
Seperti kejadian pertama, dari loteng atas dapur terdengar suara gedebuk lagi. Suara seperti durian jatuh kembali terdengar dan mengagetkan kami. Pak Ipda Wayan Dipa mencabut pistol dan mengendap-endap untuk membuka pintu dapur. Kami beramai-ramai membuntuti polisi itu dari belakang. Benar saja, kakek-kakek yang sama berdiri pucat dan kaku di sana, berhadapan dengan kami.
“Siapa Anda!” bentak Ipda Wayan Dipa.
Lelaki tua itu tetap diam membisu. Dengan langkah perlahan dia maju mendekati Ipda Wayan Dipa yang memegang pistol. Sosok itu seperti menantang untuk ditembak sambil menunjuk dadanya yang pucat.
“Maju selangkah lagi, Anda saya tembak!” kata Wayan Dipa.
Bukannya mundur, ditantang begitu Si Kakek malah maju lagi satu langkah. Tapi Ipda Wayan orangnya cukup bijak, dia tidak jadi menembak, dia memasukkan senjatanya lalu mengulurkan tangannya pada Si Kakek dan mengajak berjabat tangan. Kakek itu lalu menjulurkan tangannya dan berjabatan dengan Ipda Wayan.
Tapi dalam hitungan sepersekian detik, kakek itu berubah menjadi asap lalu menghilang ke atas loteng. Semua gumpalan asap itu terbang ke loteng dan Ipda Wayan ternganga dan keheranan dengan apa yang baru saja dihadapinya.
“Seumur hidup saya, baru kali inilah saya menemukan keanehan yang sangat mengherankan sepanjang tugas saya sebagai polisi...!!” imbuh Ipda Wayan Dipa kepada kami.
Ipda Wayan Dipa menyarankan agar kami pindah saja jika takut tinggal di ruko ini. Sebab menurut Ipda Wayan, kakek itu adalah mahluk ghaib yang menetap. Dia penghuni ruko dan mungkin punya hubungan yang kental dengan ruko ini. Coba diselidiki secara intensif, minta bantuan jasa paranormal untuk menyelidikinya.
“Maaf saya ini menguasai eksakta kepolisian, tapi buta soal supramistik seperti ini!” akunya.
Karena mengaku tidak paham, Ipda Wayan Dipa mengajak seorang kenalannya yang mengerti soal mahluk ghaib. Temannya itu juga seorang paranormal yang biasa memimpin sembahyang di krematorium dan larungan. Putu Kumbara nama paranormal itu. Dengan ilmu yang nyaris setara dengan Eric Palorma, Putu Kumbara melakukan ritual di dapur saya. Dengan sejumlah peralatan sesaji, daging ayam, daging babi, buah-buahan lengkap, air putih dan ikan, Putu Kumbara berdoa di situ. Putu Kumbara juga membakar kemenyan dan membuat semacam tulisan di atas kertas putih dengan tinta hitam.
Saat asap kemenyan mengepul, tiba-tiba suara batuk kembali terdengar dan asap tebal berbunyi gedebug jatuh di depan Putu Kumbara. Duh Gusti, kami melihat dengan kasat-mata sosok kakek-kakek itu mendekat kepada Putu Kumbara. Dia makan dengan lahap sesaji yang diberikan oleh Putu Kumbara. Dengan logatnya yang khas dalam berbahasa, Putu Kumbara dari Gilimanuk itu berdialog dengan Si Kakek. Dalam dialog itu diketahuilah bahwa kakek itu adalah buyut kami dari Gianyar. Kakek itu sudah lama mengikutiku sebagai cicitnya dan ingin hidup bersamaku sampai aku meninggal. Nama kakek itu adalah Markus Suwarna, dulunya dia lahir dan besar di Tuban, Jawa Timur sebelum akhirnya hijrah ke Gianyar, menikah dengan seorang wanita Bali, dan akhirnya menetap di sana sampai akhir hayatnya.
“Dia membuntutimu selama kau tinggal di ruko ini. Dia tinggal di sekitar sini dan minta makan pada cicitnya. Tapi kau tidak pernah memberikan sesaji terutama pada tanggal l5 bulan ke delapan, yang merupakan tanggal kelahirannya. Saat itu dia sangat butuh persembahan dari anak cucu dan cicitnya berbentuk doa, sesaji dan kemenyan. Ke depan nanti, rutinlah melakukan sesaji, sediakan daging, buah dan minuman di tempatmu memasak. Sebagaimana manusia yang hidup, dia juga butuh makan dan berinteraksi dengan manusia yang asli keturunan darahnya!” jelas Putu Kumbara.
Setelah pulang dari Singapura, Eric Palorma pun mengatakan hal yang sama.
Sejak itu aku rutin memberi sesaji untuk mbah buyutku, Markus Suwarna. Kata dua ahli supramistik Putu Kumbara dan Eric Palorma, kakekku itulah yang mendorong usaha kami selama ini untuk maju pesat. Beliau datang untuk mendampingiku hingga akhir hayatku.
“Dia adalah pendamping ghaib-mu sampai ahir hayat. Kau adalah keturunannya dan dia sangat mencintaimu, Nak!” kata Putu Kumbara.
Kini aku belajar banyak dari dua orang paranormal itu tentang berdialog dengan arwah. Di kamar yang aku sediakan khusus, aku dapat berbincang dengan buyutku dan kami membahas apa saja yang bersifat duniawi dan surgawi.
Walau tidak seiman denganku, Arumi dan Yuliana pun mengakui bahwa arwah itu dapat berkomunikasi pada yang hidup kalau hal itu mau dipelajari. Kata Arumi yang berjilbab itu, di dalam agama Islam pun, ada ilmu supramistik yang memungkinkan manusia yang hidup berdialog dengan arwah. Tapi yang mampu melakukan itu adalah orang-orang terpilih seperti kyai sufi dan kaum tasawuf yang punya hubungan langsung dengan kekuatan Maha Tunggal.