Wednesday, January 8, 2020

Makhluk Halus itu Ternyata Kakek Buyutku (Bali)


Namaku Joni Harlan, aku bukan dari keluarga berada. Ayah dan ibuku hanyalah wirausahawan kecil-kecilan. Tapi kerabat ibuku banyak yang kaya-raya. Salah satunya adalah tante Diana. Sebenarnya masih ada paman dan tante yang lainnya, tapi aku paling merasa dekat dengan tante Diana karena bila dibandingkan dengan kerabat ibuku yang lain, hanya tante Diana saja yang orangnya hangat, dan menyayangi semua kerabatnya tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin. Mungkin karena tante Diana ini tidak menikah, tidak berkeluarga, dan tidak memiliki anak, maka dia merasa enteng dan mudah untuk berbagi kasih sayang dengan semua orang.

Suatu ketika tante Diana ingin memperluas usahanya dengan membuka toko baru di Bali. Ia sudah lama mengincar sebuah ruko di kawasan Kuta, dan dia ingin agar nantinya aku bergabung untuk mengelola cabang usaha tersebut.

 Begitu tante Diana jadi membeli ruko di kawasan Kuta-Bali, aku pun segera ditugaskan menempati dan mengelola rumah toko berlantai tiga di dekat Gang Latar Putih itu. Tante Diana memodaliku membuka usaha souvenir dan handycraft khas Bali. 

Item yang dijual mulai dari aksesories untuk fashion seperti sepatu, tas, kaos, baju, pernak-pernik fashion, dan juga aksesories untuk home interior seperti lukisan, dan patung-patung khas Bali, dan sebagainya. Lantai dasar dijadikan tempat memajang barang dagangan, lantai dua dijadikan gudang, sedangkan lantai tiga adalah tempat tinggalku.

Walau baru saja diresmikan, tapi puji Tuhan, toko kami menjadi sangat ramai dikunjungi peminat. Tante Diana melibatkan interior desainer langganannya bernama Eric Palorma yang berkebangsaan Philippina untuk membantunya mendesain toko barunya itu. Selama ini Eric selalu diminta bantuannya oleh tante Diana untuk mendesain hampir semua tokonya. Untuk toko yang di Kuta ini, Eric mendesain fasad-nya dengan altar ritualis yang dibuat sedemikian rupa sehingga setiap pengunjung yang datang ke toko akan langsung merasakan nuansa Bali di toko ini. 

Ada pula pajangan di dinding berupa patung-patung khas Bali dengan berbagai bentuk dan warnanya. Selain itu dipasang pula beraneka warna lampu dekoratif yang mempercantik performance toko di malam hari. Ini pula yang diyakini sebagai pengundang keberuntungan bagi toko ini. 

Tante Diana memang sangat dekat dengan dunia seni. Setiap kali membuka usaha, tante Diana selalu melibatkan ahli seni. Dan Eric Palorma merupakan ahli seni dan interior desainer handal yang sangat diandalkan oleh tante Diana, bukan hanya karena kemampuannya dalam menjalankan profesi yang digelutinya, tapi karena Eric dan tante Diana memiliki minat yang sama dalam hal supranatural. 

Menurut tante Diana, Eric Palorma yang berusia hampir 60 tahun itu adalah juga seorang pakar supranatural yang mempunyai ilmu saktimandraguna. Selain menguasai ilmu fengshui, dia juga menguasai ilmu membangkitkan roh. Eric Palorma bisa berdialog dengan arwah, memanggil arwah orang yang sudah meninggal untuk bangkit dan bicara. Bahkan secara diam-diam Eric sering dimintai bantuan oleh pihak kepolisian untuk mencari pembunuh yang dinyatakan “Dark Case”, yaitu suatu peristiwa pembunuhan yang sulit dilacak. Eric diminta memanggil arwah korban dan menanyai siapa pembunuh korban itu. Dengan ilmunya, arwah korban yang sudah meninggal itu akan menyebut siapa pembunuh sebenarnya kepada Eric.

Toko milik tante Diana bukan cuma satu. Untuk di Kuta saja dia punya dua toko termasuk toko yang dipercayakannya padaku. Di Gianyar, Sanur, Bedugul, dan Kintamani, dia punya masing-masing satu toko. Semua toko yang dimilikinya dipercayakan untuk dikelola para kerabatnya. Semua usahanya itu maju pesat dan memetik untung berlipat ganda. Kemajuan usaha itu dipercaya betul oleh tante Diana disebabkan oleh ritual yang dilakukan oleh Eric Palorma. 

“Tapi Eric Palorma itu hanya mediator Tuhan di dunia ini untuk membantu mereka yang bersedia bekerja keras sambil mengharapkan pertolongan dari-Nya. Yang menentukan kemajuan atau kemunduran usaha kita, tidak lain adalah kita sendiri!” kata tante Diana kepadaku.

Sebagai pemeluk agama Kristen dan memegang teguh kepercayaannya, tante Diana yakin betul kepada berkah Tuhan. “Tuhan memberkati setiap usaha yang dilakukan oleh umat-Nya. Tuhan akan menyayangi dan melindungi kita bila kita selalu memuja dan memuji-Nya!” pesan tante Diana.

Tante Diana banyak memberikan masukan perihal agama kepadaku. Sebab selama ini aku bukanlah pemeluk agama ini. Tadinya aku tidak punya agama, hanya aliran kepercayaan saja. Tapi begitu tamat SMA, aku diperkenalkan tante Diana kepada gereja. 

Ajaran Kristiani kupelajari secara intensif hingga kini. Inti dari ajaran itu adalah bersih hati, tulus ikhlas, kasih sayang, punya kepedulian besar pada yang miskin dan tidak boleh iri hati juga tidak boleh menyimpan dendam. Ajaran itu kupraktekkan sehari-hari dengan beberapa orang karyawanku yang beragama berbeda-beda. Karena dengan pendekatan sifat suci itulah, maka semua karyawanku betah, jujur dan berbahagia di perusahaanku. Bahkan dua karyawati yang masih gadis, tinggal bersamaku di lantai tiga. Mereka menemaniku hingga aku menikah kelak. Tapi karena aku tidak kunjung menikah maka selama melajang berkepanjangan itu, mereka betah tinggal bersamaku.

Setelah hampir tiga tahun kami menempati ruko itu, akhir bulan Desember 2013 silam, kami bertiga dikagetkan oleh suatu suara aneh di atas loteng. Tengah malam pukul 24.00 terdengar suara batuk-batuk dari seorang lelaki berumur. Padahal di ruko kami itu tidak ada penghuni lain selain aku dan dua karyawatiku Yuliana dan Arumi. Bahkan di ruko sebelah pun, tidak ada laki-laki tua karena semua penghuninya lelaki muda dan wanita pekerja. Suara batuk seperti penderita TBC itu berlangsung secara berkala hingga adzan subuh dini hari.

 “Masak ada orang di loteng?” tanya Yuliana, pegawai toko yang tinggal bersamaku.

“Tidak mungkin, tidak mungkin ada orang betulan di atas sana!” timpal Arumi, pegawaiku yang satunya. 

“Maksud kalian yang batuk itu hantu?” desakku. 

“Bukan hantu, tapi mungkin mahluk ghaib lah!” tandas Yuliana.

Habis adzan, Yuliana dan Arumi melakukan shalat subuh. Setelah itu kami bertiga tidur di kamar masing-masing. Pagi harinya, kami segera turun ke bawah untuk berbenah. Kami membuka pintu toko dan stand-by pukul 09.00 pagi. Beberapa calon pembeli masuk, perempuan, laki-laki baik tua maupun muda. Di antara beberapa calon pembeli, salah seorang kakek terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya melihat beberapa sepatu yang dipajang. Kakek itu terbatuk-batuk dan suara batuknya persis suara misterius yang terdengar tadi malam. 

Arumi memandang Yuliana, Yuliana melempar pandangannya padaku. Aku lalu memberi kode agar salah seorang di antara mereka mendekati kakek-kakek itu.

“Bapak cari apa, cari sepatu? Sepatu yang model apa dan buat siapa?” desak Arumi. 

Si kakek acuh tak acuh saja. Dia berlagak tidak mendengarkan pertanyaan Arumi. Atau justru dia benar-benar tidak dapat mendengar suara Arumi. Untuk itulah Arumi mengulangi lagi pertanyaannya. Tapi kakek-kakek itu tidak memperdulikan pertanyaan itu juga. Dengan lembut, Arumi pun menyentuh tangan kakek-kakek itu. 

“Kakek cari sepatu?” tanya Arumi lagi. 

Yang bersangkutan tetap diam, malah dia berlalu dari Arumi menuju konter yang lain.

Karena Arumi tidak berhasil mendekati, Yuliana ambil inisiatif menanyai lelaki tua itu. Tapi kakek itu tetap diam membisu seribu bahasa. Bahkan dia lalu berlalu keluar dari toko kami, menuju ke arah jalanan yang sudah mulai ramai. Seperti kompak betul, kami bertiga melongok keluar halaman. Tapi aneh bin ajaib, kakek-kakek itu tidak terlihat sama sekali. Baik di utara maupun di selatan dan barat, kakek itu tidak ada di sana.

“Ke mana dia berjalan?” tanyaku kepada Arumi dan Yuliana. 

Kedua pegawaiku itu pun mengangkat bahu. Dalam hitungan detik, kakek itu menghilang begitu saja, bagai asap tertiup angin. 

“Batuknya persis suara batuk tadi malam, jangan-jangan...” bisik Yuliana. 

“Maksud Yuliana, jangan-jangan kakek itu makhluk jejadian yang tadi malam ada di loteng kita!” kataku.

Kejadian yang misterius yang kami anggap kecil itu berlalu begitu saja. Kami berusaha melupakan peristiwa itu dan menjadikannya sebagai pengalaman unik saja. Tapi, seminggu kemudian, menjelang tengah malam, suara batuk itu terdengar lagi. Kali ini malah disertai bau wewangian yang menyengat. Bau harum itu seperti gabungan antara melati, kantil dan bunga mawar. Semerbak aroma itu tercium ke penjuru ruang lantai tiga. Termasuk di dalam kamarku.

“Nampaknya persoalan ini persoalan serius, kita tidak boleh menganggap enteng. Kita harus telpon tante Diana dan Eric!” desakku. 

Yuliana dan Arumi pun mengangguk. 

“Benar Pak, kita mesti panggil bu Diana dan uncle Eric!” Sahut keduanya dengan serempak.

Karena keduanya mendukungku, maka segera kuambil handphone-ku untuk menghubunginya. Namun sebelum semua tuts handphone kupencet, tiba-tiba terdengar suara gedebuk dari loteng bagian dapur. 

“Aduh, suara apa itu?” tanya Arumi.

Suara itu mirip durian jatuh dan bunyinya keras sekali hingga lantai tiga bergetar. 

“Ayo kita rame-rame lihat ke dapur!” pintaku. Kami pun bertiga menghambur ke dapur.

Begitu pintu dapur dibuka Arumi, kami langsung terperanjat. Jantungku berdetak kencang dan kakiku tiba-tiba menjadi lemas. Di situ kami melihat sosok kakek-kakek yang siang tadi di toko. Kakek-kakek itu nanar menatap mataku dan seakan ingin bicara. Tapi karena takut, kami bertiga segera kabur dan berteriak minta tolong. Tapi anehnya, suara kami tidak ada yang mendengar.

Kami lari ke lantai bawah dan membuka pintu darurat. Kami terus berlari sampai ke gereja Santo Yosef yang terletak hanya beberapa puluh meter dari ruko. Gereja yang tertutup oleh bangunan toko-toko itu sangat sepi malam itu. Tidak ada penjaga, ataupun satpam yang bergadang. Padahal biasanya ada satu atau dua orang di situ itu. Anehnya, di malam yang sunyi itu tidak ada seorangpun yang terlihat. 

Oh Tuhan... di depan pintu sebuah rumah di dekat gereja itu, aku melihat kakek-kakek itu berdiri di sana. Tubuhnya yang kaku dengan muka pucat tersorot oleh bias sinar lampu jalan yang menyinarinya. Kami yang ketakutan segera berlari berbalik arah. Kami keluar ke jalan raya melalui sebuah gang kecil. Kami tidak dapat berkomunikasi pada siapapun karena semua handphone kami tertinggal di lantai tiga. Aku butuh bantuan polisi, paling tidak untuk mengamankan toko yang belum kami kunci.

Akhirnya dua orang polisi dengan mobil Karens dinas patroli membantu kami. Kami bertiga naik mobil polisi dan menuju rumah abangku yang lain, Daniel. Daniel segera keluar mengikuti dengan mobilnya dan kami bersama-sama dengan kedua orang polisi tadi kembali ke toko. Dua polisi tersebut ikut naik ke atas, namun sesampainya di tempat kejadian, ternyata Kakek-kakek itu sudah tak ada lagi di dapur. Di depan rumah dekat gereja Santo Yosef pun, kakek itu tak ada lagi. 

“Mana? Tidak ada apa-apa kok?” tukas Ipda Wayan Dipa, salah seorang dari dua polisi itu.

Daniel menyisir setiap ruangan ruko dengan senter enam batere. Gudang barang-barang pun diacak mencari keberadaan kakek-kakek yang kami lihat. Atas restu Daniel, polisi pun berpamitan pada kami dan meninggalkan nomor handphone kepada Daniel. 

“Saya pikir ini hanya halusinasi karena adik Anda sangat penakut...!!” kata Ipda Wayan Dipa kepada Daniel.

Karena Eric Palorma sedang berada di Singapura dan HP-nya tidak bisa dihubungi, maka kasus aneh itu terhenti di situ. Hingga sampailah kami pada hari-hari Raya Nyepi. Malam itu, Si Kakek batuk-batuk lagi di atas loteng. Aku segera menelpon pak Ipda Wayan Dipa, dan polisi itu segera datang ke toko kami. Dengan mata kepalanya sendiri Ipda Wayan Dipa mendengar suara batuk-batuk dan mencium bau wewangian yang keras menusuk hidung itu. 

“Ya, saya mendengar suara batuk dari loteng dan bebauan yang menyengat hidung!” komentar Ipda Wayan Dipa.

Daniel sudah berada di lantai tiga setelah kutelpon beberapa saat menjelang malam. Persiapan sudah kami buat. Aku memegang salib dan dua orang pegawaiku membawa tasbih. 

Seperti kejadian pertama, dari loteng atas dapur terdengar suara gedebuk lagi. Suara seperti durian jatuh kembali terdengar dan mengagetkan kami. Pak Ipda Wayan Dipa mencabut pistol dan mengendap-endap untuk membuka pintu dapur. Kami beramai-ramai membuntuti polisi itu dari belakang. Benar saja, kakek-kakek yang sama berdiri pucat dan kaku di sana, berhadapan dengan kami.

“Siapa Anda!” bentak Ipda Wayan Dipa.

Lelaki tua itu tetap diam membisu. Dengan langkah perlahan dia maju mendekati Ipda Wayan Dipa yang memegang pistol. Sosok itu seperti menantang untuk ditembak sambil menunjuk dadanya yang pucat. 

“Maju selangkah lagi, Anda saya tembak!” kata Wayan Dipa. 

Bukannya mundur, ditantang begitu Si Kakek malah maju lagi satu langkah. Tapi Ipda Wayan orangnya cukup bijak, dia tidak jadi menembak, dia memasukkan senjatanya lalu mengulurkan tangannya pada Si Kakek dan mengajak berjabat tangan. Kakek itu lalu menjulurkan tangannya dan berjabatan dengan Ipda Wayan.

Tapi dalam hitungan sepersekian detik, kakek itu berubah menjadi asap lalu menghilang ke atas loteng. Semua gumpalan asap itu terbang ke loteng dan Ipda Wayan ternganga dan keheranan dengan apa yang baru saja dihadapinya. 

“Seumur hidup saya, baru kali inilah saya menemukan keanehan yang sangat mengherankan sepanjang tugas saya sebagai polisi...!!” imbuh Ipda Wayan Dipa kepada kami.

Ipda Wayan Dipa menyarankan agar kami pindah saja jika takut tinggal di ruko ini. Sebab menurut Ipda Wayan, kakek itu adalah mahluk ghaib yang menetap. Dia penghuni ruko dan mungkin punya hubungan yang kental dengan ruko ini. Coba diselidiki secara intensif, minta bantuan jasa paranormal untuk menyelidikinya. 

“Maaf saya ini menguasai eksakta kepolisian, tapi buta soal supramistik seperti ini!” akunya.

Karena mengaku tidak paham, Ipda Wayan Dipa mengajak seorang kenalannya yang mengerti soal mahluk ghaib. Temannya itu juga seorang paranormal yang biasa memimpin sembahyang di krematorium dan larungan. Putu Kumbara nama paranormal itu. Dengan ilmu yang nyaris setara dengan Eric Palorma, Putu Kumbara melakukan ritual di dapur saya. Dengan sejumlah peralatan sesaji, daging ayam, daging babi, buah-buahan lengkap, air putih dan ikan, Putu Kumbara berdoa di situ. Putu Kumbara juga membakar kemenyan dan membuat semacam tulisan di atas kertas putih dengan tinta hitam.

Saat asap kemenyan mengepul, tiba-tiba suara batuk kembali terdengar dan asap tebal berbunyi gedebug jatuh di depan Putu Kumbara. Duh Gusti, kami melihat dengan kasat-mata sosok kakek-kakek itu mendekat kepada Putu Kumbara. Dia makan dengan lahap sesaji yang diberikan oleh Putu Kumbara. Dengan logatnya yang khas dalam berbahasa, Putu Kumbara dari Gilimanuk itu berdialog dengan Si Kakek. Dalam dialog itu diketahuilah bahwa kakek itu adalah buyut kami dari Gianyar. Kakek itu sudah lama mengikutiku sebagai cicitnya dan ingin hidup bersamaku sampai aku meninggal. Nama kakek itu adalah Markus Suwarna, dulunya dia lahir dan besar di Tuban, Jawa Timur sebelum akhirnya hijrah ke Gianyar, menikah dengan seorang wanita Bali, dan akhirnya menetap di sana sampai akhir hayatnya.

“Dia membuntutimu selama kau tinggal di ruko ini. Dia tinggal di sekitar sini dan minta makan pada cicitnya. Tapi kau tidak pernah memberikan sesaji terutama pada tanggal l5 bulan ke delapan, yang merupakan tanggal kelahirannya. Saat itu dia sangat butuh persembahan dari anak cucu dan cicitnya berbentuk doa, sesaji dan kemenyan. Ke depan nanti, rutinlah melakukan sesaji, sediakan daging, buah dan minuman di tempatmu memasak. Sebagaimana manusia yang hidup, dia juga butuh makan dan berinteraksi dengan manusia yang asli keturunan darahnya!” jelas Putu Kumbara. 

Setelah pulang dari Singapura, Eric Palorma pun mengatakan hal yang sama.

Sejak itu aku rutin memberi sesaji untuk mbah buyutku, Markus Suwarna. Kata dua ahli supramistik Putu Kumbara dan Eric Palorma, kakekku itulah yang mendorong usaha kami selama ini untuk maju pesat. Beliau datang untuk mendampingiku hingga akhir hayatku. 

“Dia adalah pendamping ghaib-mu sampai ahir hayat. Kau adalah keturunannya dan dia sangat mencintaimu, Nak!” kata Putu Kumbara.

Kini aku belajar banyak dari dua orang paranormal itu tentang berdialog dengan arwah. Di kamar yang aku sediakan khusus, aku dapat berbincang dengan buyutku dan kami membahas apa saja yang bersifat duniawi dan surgawi. 

Walau tidak seiman denganku, Arumi dan Yuliana pun mengakui bahwa arwah itu dapat berkomunikasi pada yang hidup kalau hal itu mau dipelajari. Kata Arumi yang berjilbab itu, di dalam agama Islam pun, ada ilmu supramistik yang memungkinkan manusia yang hidup berdialog dengan arwah. Tapi yang mampu melakukan itu adalah orang-orang terpilih seperti kyai sufi dan kaum tasawuf yang punya hubungan langsung dengan kekuatan Maha Tunggal.

Korban Tingkah Usil Makhluk Halus di jl. Kasuari barat (Bali)


Kisah mistis ini dialami oleh Made Sukandar, warga Jl. Kapas, Gianyar, Bali. Ia adalah mantan pengurus bidang organisasi Kelompok Pemuda Pecinta Alam (KPPA), di kampungnya. Ia mengaku pernah dijahili makhkluk halus, sehingga membuatnya tak ingat apa yang terjadi selama beberapa jam.

Ternyata bukan hanya Made Sukandar saja yang pernah dijahili makhluk halus yang membuat orang jadi linglung. Teman baiknya, Ketut Diyana, dan salah seorang kerabatnya, Ida Bagus Purna juga mengalami nasib yang sama. Berikut ini kisah Made Sukandar.

Sehari-harinya Made Sukandar atau yang akrab disapa dengan julukan Mandar ini tercatat sebagai mahasiswa di jurusan studi dan ekonomi pembangunan Falkutas Ekonomi di sebuah perguruan tinggi terkemuka, di Bali. Jarak tempat kuliahnya dari rumah, sebenarnya cukup jauh. Namun, terasa begitu dekat, karena setiap pulang pergi kuliah, Mandar mengendarai sepeda motor. 

Setiap hari, Mandar berangkat naik motor bebek yang saat itu sangat digandrungi anak-anak muda. Sepeda motor kecil ini menjadi kebanggaannya. Ia memberimya nama “NONA”. Selain dipakai untuk kuliah, ia juga memanfaatkan Nona untuk mejeng.

Si Nona ini membuat Mandar semakin percaya diri. Nona adalah kekasihnya yang sangat ia sayangi. Karena itu, motor kecil berwarna merah menyala ini selalu tampak bersih dan mengkilat, karena memang selalu ia bersihkan, ia pandangi, dan ia usap-usap, serta ia belai dengan penuh kasih sayang.

Mandar juga aktif di organisasi kemahasiswaan di kampus. Sehingga hampir setiap hari ia berada di kampus, meskipun tak ada kegiatan perkuliahan. Mandar sering menjadi duta ke berbagai tempat mewakiliki organisasinya.

Suatu hari, Mandar ditugaskan oleh ketua organisasi mahasiswa untuk menjemput seorang tamu, gadis asal Kulonprogo, Yogyakarta. Seperti biasa, Mandar tidak pernah menolak tugas. Dan kali ini pun dengan senang hati Mandar memacu si Nona dari rumahnya untuk menjemput si gadis.

Jum’at petang itu, udara terlihat mendung. Awan hitam beriringan di langit yang kelabu. Ada segumpal awan tampak keluar dari kelompoknya. Kemudian ia berubah menjadi titik-titik air. Perlahan tapi pasti, titik-titik air itu pun jatuh ke bumi. Dan rintik hujan pun menerpa wajah Mandar. Begitulah gerimis mempercepat senja di saat itu.

Namun, hujan dan senja yang mulai temaram tidak mampu menghalangi Mandar untuk pergi melaksanakan tugas. Setibanya di Jl. Kasuari Barat, Mandar mencari gadis yang akan dijemputnya itu. Menurut informasi yang diberikan kepadanya, gadis tersebut akan menanti Mandar di depan kolam renang Tirta Sari yang terletak di sebelah Timur gedung SLB Autis, tidak begitu jauh dari Toko Besi Agung Abadi. 

Mandar menyandarkan si Nona di dekat sebuah pohon di depan SLB Autis yang letaknya cukup strategis untuk mengawasi mereka yang lalu-lalang di depan kolam renang Tirta Sari, dan ia berdiri di sampingnya sambil memperhatikan lokasi tempat si gadis akan berdiri di sana menunggu jemputan darinya.

Tak terasa, sudah hampir dua jam Mandar menanti, gadis yang ia tunggu tak kunjung datang. Mandar pun mulai kesal karenanya. Apalagi di depan gedung sekolah yang dibangun tahun 1916 ini memang suasananya cukup menyeramkan. Pohon-pohon besar berjejer di sepanjang jalan tersebut. Tak seorangpun yang ia lihat lewat di jalan yang lengang ini. Mandar jadi setengah menyesal karena telah memilih tempat menunggu yang kurang asyik. Tapi mau bagaimana lagi, tempat ini adalah satu-satunya lokasi yang tepat untuk bisa melihat apakah gadis yang akan dijemputnya nanti sudah ada di sana atau tidak.

Suara jangkrik terdengar mengerikan serasa mengiris hati Mandar, dan burung malam terdengar bersuara parau seperti suara sengau setan yang baru bangkit dari tidurnya yang lelap. Suasana yang terasa kian menyeramkan itu membuat Mandar jadi ingat bahwa malam itu adalah malam Jum’at Kliwon. Konon, di malam inilah hantu dan setan gentayangan mencari mangsa manusia yang lemah imannya.

Karena sudah menunggu sangat lama, lamaaaaa... sekali, bagaikan seabad menurut Mandar, sedangkan gadis yang akan dijemputnya tak kunjung kelihatan batang hidungnya, maka Mandar memutuskan untuk segera pulang. 

Dengan merasa sedikit kesal dan patah semangat, sambil menggerutu ia naiki si Nona. Kemudian mesinnya ia hidupkan. 

Aneh...

Karena bersamaan dengan itu, tiba-tiba hembusan angin dingin menerpa wajahnya. Sejenak wajah Mandar terasa membeku. Matanya perih, hidung terasa mau bersin tapi tertahan, mulutnya kelu, telinganya berdengung. Tiba-tiba ia merasa ada sebuah benda yang sangat dingin, sedingin es, menclok di kuduknya. 

Ya... bulu kuduknya langsung meremang.

Tak lama kemudian ada lagi sesuatu yang asing bersandar di punggungnya. Rasanya berat dan sangat dingin. Sadel motornya sedikit bergoyang seperti ada orang yang naik ke sadel lalu duduk membonceng di belakang Mandar. Mandar ketakutan. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Dan ia pun memutuskan untuk bergegas pulang ke rumahnya, karena orang yang akan ia jemput tak ada di tempat.

Mandar memacu motornya. Beban di punggung dan kuduknya terasa makin dingin dan memberat. 

Aneh... Meski ada beban berat, tapi motornya malah melaju sangat cepat, seolah-olah mendapat tambahan tenaga yang sangat dahsyat.

Menurut perasaannya, motor melaju ke arah barat, menuju ke rumahnya. Namun tak lama kemudian, Mandar pun tersadar bahwa jalan yang dilaluinya bukannya membawa dirinya pulang menuju ke rumah, tapi malah sampai di sebuah jalan yang menanjak tajam. Sekelilingnya gelap gulita. Dari kejauhan Mandar melihat seekor kunang-kunang yang sedang terbang kepayahan. Sepertinya kunang-kunang tersebut terbang mendekat tetapi ternyata makin menjauh. Mandar jadi sangat heran, karena rumahnya bukan di tempat ini.

Setelah berputar-putar tak tentu arah, lama-lama Mandar merasa kepalanya makin berat. Rasa takut yang menguasainya pun semakin menjadi-jadi hingga akhirnya Mandar pun jatuh pingsan. 

Entah sudah berapa lama Mandar pingsan. Ketika sadar, ia mendengar suara adzan Subuh sedang berkumandang. Mandar sangat terkejut. Karena ia tergolek di pinggir jalan tidak jauh dari alun-alun... 

Mandar melirik motornya masih ada di sisinya, dingin dan diselimuti kabut.

Ternyata Mandar tidak pulang ke rumahnya di Jl. Kapas, tetapi rupanya ia dibawa oleh makhluk halus menuju ke alun-alun. Waktu hal ini ia ceritakan kepada temannya, Ketut Diyana, ia juga kelihatan kaget.

“Pasti kamu dijahili setan, Ndar!” kata Ketut Diyana serius.

Ketut Diyana bercerita, beberapa tahun yang lalu ia juga pernah dijahili makhluk halus, saat melewati Jl. Kasuari Barat di waktu malam.

Dikisahkan, malam Jum’at Kliwon itu Ketut Diyana pulang dari rumah temannya dengan naik becak. Tetapi becak yang membawanya mengambil jalan yang berputar-putar hingga membuat Ketut hilang kesabaran. Ketut ingin menegur si tukang becak, tetapi saat melihat ke belakang, Ketut Diyana terkejut, karena becak itu tak ada pengemudinya. Ia bahkan tidak tahu kapan si pengemudi becak menghilang. Ketut Diyana langsung turun dari becak dan lari tunggang-langgang. 

Namun sungguh aneh... Ketut Diyana bukannya lari menuju arah barat menuju ke rumahnya, tetapi malah kabur ke arah timur, dan kemudian sampai di daerah alun-alun, persis di tempat Mandar pernah tergolek pingsan. Sampai di situ tentu saja Ketut Diyana langsung pingsan akibat kelelahan.

Lain lagi yang dialami seorang kerabat Mandar yaitu Ida Bagus Purna. Malam itu, ia lewat di Jl. Kasuari Barat. Di pinggir jalan yang sepi itu ia tidak melihat satu orangpun selain seorang tukang jualan Bandrek. Bagus Purna kemudian mampir sejenak untuk membeli Bandrek. Namun minuman khas Sunda yang biasanya hangat itu, ternyata terasa sedingin es di lidah Bagus Purna.

Anehnya, minuman yang terbuat dari jahe itu mengepulkan asap. Bahkan tubuh si pedagang Bandrek juga tampak diselimuti asap putih tebal. Sejenak kemudian bau kemenyan mulai tersebar. Wajah Bagus Purna langsung berubah pucat pasi. Tubuhnya menggigil seperti orang meriang. Ia kemudian lari terbirit-birit.

Namun, meskipun ia lari sekuat tenaga, tapi raganya masih tetap saja berada di Jl. Kasuari Barat. Sampai akhirnya ia pingsan. Berhari-hari rasa dingin Bandrek di bibir Ida Bagus Purna tetap melekat. Sejak saat itu, Bagus Purna menyatakan tabu lewat jalan itu. Terutama kalau hari sudah menjelang malam.

Di siang hari pun, Bagus Purna seperti enggan melalui jalan tersebut. Bahkan, ketika anak tertua Ida Bagus Purna diterima di SMAN yang terletak di Jl. Kasuari Barat itu, ia tidak mau pergi ke sana untuk mendaftarkannya. Jadi, terpaksa istrinya lah yang berangkat untuk mengantar anaknya mendaftar ulang.

Itulah sepenggal kisah tentang betapa usilnya makhluk halus di jl. Kasuari barat, sehingga ada sebagian orang yang jadi enggan lewat di jalan tersebut... Tapi sebenarnya itu semua terpulang kepada manusia. Selama manusia selalu menjaga keimanan dan selalu ingat kepada Tuhan, niscaya berbagai gangguan dari makhluk halus itu tidak akan mampu menembus pertahanan manusia.

Tuesday, January 7, 2020

Pohon Keramat (Banyuwangi)


Saat itu kami berlima sedang bermain ke pegunungan, bukan untuk mendaki gunung melainkan untuk refreshing saja setelah selesai menjalani ujian semesteran. Dengan mengendarai motor kami berboncengan menuju tempat ini, tidak banyak yang kami bawa kecuali jaket dan tas berisi makanan ringan, kami tidak perlu membawa tikar karena di area wisata pegunungan seperti ini ada yang menyediakan jasa sewa tikar, tidak mahal kok apalagi kami tanggung berlima.

Ini baru pertama kali kami kesini setelah mendapat informasi dari teman kampus yang kebetulan tinggal di kota tempat kami belajar. Tertarik dengan ceritanya kami memutuskan berwisata disini apalagi setelah dihitung-hitung tidak membutuhkan banyak biaya, cukup iuran bensin dan buat membayar retribusi, kami juga sengaja membawa camilan sendiri agar hemat, karena jajan di tempat wisata biasanya lebih mahal.

“Kayaknya disitu asyik buat bersantai ria nih!” seru Ana.

Kami mengikuti arah telunjuk Ana yang berujung ke sebuah hamparan rerumputan hijau dengan beberapa pohon besar di sekitarnya, sepertinya asyik juga karena cahaya matahari tertahan di dedaunan pohon-pohon yang lebat itu sehingga kami tidak akan kepanasan bila duduk disitu.

“Boleh Juga tuh!” ucap Cinta riang.

“Teman yang lain bagaimana?” sambungnya mengalihkan pandangan ke arah kami satu persatu, “Setuju nggak dengan usulan Ana?”

Budi menganggukkan kepala, aku juga demikian.

“Ya deh ikutan aja!” Doni menyahut belakangan.

Akhirnya kami berjalan bersama-sama menuju tempat yang sudah dipilih Ana.

“Disini aja ya?” tawar Cinta kepada kami, dia berhenti berjalan dan menghentak-hentakkan kakinya di tanah, “Lumayan keras dan datar, kalau menggelar tikar disini pasti nyaman buat tiduran!”

“Nggak di ujung situ... tuh, kita bisa melihat pemandangan di bawah!” usul Doni. Dia memberi pilihan untuk duduk di pinggiran tebing.

“Wah nggak berani aku! Bahaya... kalau kita tidak waspada bisa jatuh ke jurang!” tolak Cinta menanggapi usulan Doni.

“Iya... tahu sendiri kalau kita bercanda sering kebablasan, lupa tempat dan waktu, kalau tiba-tiba jatuh kan berabe!” aku setuju dengan argumen Cinta.

“Yaahhh... payah! Kalau sama cewek isinya takut melulu...” suara Doni terdengar kecewa.

“Sudahlah, kita ikutan suara terbanyak saja!” Budi menengahi.

Akhirnya kami berlima duduk di tempat yang dipilih oleh Cinta.

“Bu, sewa tikarnya satu!” ucapku kepada seorang ibu yang membawa beberapa tikar.

Sedari tadi ibu itu mengikuti kami, pasti dia tahu kalau kami membutuhkan tikar untuk duduk. Setelah membayar kami menerima sebuah tikar darinya dan menggelar di atas rerumputan.

“Numpang tanya Bu!” tanya Ana.

Ibu itu menengok ke arah Ana, “Ada apa Mbak?”

“Itu pohon kok beda sendiri sih!” serunya lagi penuh tanya, tangannya menunjuk sebuah pohon yang tumbuh diantara deretan pohon. 

Otomatis kami semua mengikuti arah tangannya, memang benar pohon itu berbeda dengan pohon yang lain. Pohon itu seperti layu dan kering, tidak ada dedaunan yang menghiasi dahan-dahannya, sedang pohon yang lain rimbun dengan daun-daun yang hijau, padahal kalau dipikir-pikir pohon itu tumbuh di areal tanah yang sama.

“Itu pohon keramat Mbak!” jawab ibu itu pendek dan terdengar datar, tapi sungguh mengejutkan kami.

“Ah... yang benar Bu!” bantah Doni tidak percaya.

“Ada penunggunya kali!” sahut Budi kalem.

“Masa pohon ada yang menunggu!” protes yang lain.

“Ada genderuwonya kali... kalau peri cantik mana mau menunggu pohon tua kayak gitu!” celetuk Budi sambil menahan tawa.

“Ngawur kamu!” sergah Ana sambil meninju pundak Budi.

“Emang ada penunggunya ya, Bu?” tanya Doni menanggapi ucapan teman-temannya. 

“Iya Mas, katanya sih perempuan...”

Belum selesai ibu itu berkata kami semua tertawa. Masa ada perempuan penunggu pohon? Berarti betul dong dengan dugaan Budi. Dia yang tahu kalau candaannya ternyata benar menjadi semakin besar kepala. Dia pun tertawa lebih keras dan penuh kebanggaan.

“Makanya jangan meremehkan ucapan kyai Budi... hahahah!”

“Tepatnya mbah dukun Budi!”

“Huuuuuu...”

“Tapi emang benar kok!” ibu itu melanjutkan ucapannya dengan raut muka serius, mau tak mau kami jadi ikut arus juga... maksudnya bisa jadi ibu itu tidak berbohong.

“Ibu pernah lihat ya?” selidik Doni.

“Belum sih... hanya kata orang...”

“Kata orang gimana?” aku tidak sabar mendengar cerita selanjutnya.

“Disitu dulu pernah ditemukan mayat perempuan muda yang menggantung diri, katanya sih putus cinta. Sejak itu pohon itu kering kerontang seakan tidak bertumbuh.”

Kami melongo mendengar penjelasan ibu itu. Sebenarnya kami kurang begitu percaya tapi suara ibu menyiratkan kejujuran.

“Jadi beneran nih ada yang mati disitu?”

“Bener Mbak! Beritanya juga masuk koran kok, tapi sudah lama sekali... dua puluhan tahun yang lalu, ibu masih kecil saat itu.”

“Maaf Mbak, Mas, ibu mau ke tempat lain, siapa tahu ada yang membutuhkan tikar!”

“Silakan Bu, terima kasih informasinya.”

Ibu itu lalu berbalik arah menuju sekumpulan remaja lainnya. 

“Kamu percaya cerita ibu itu?” tanya Cinta kepada kami sesaat duduk di atas tikar.

“Kalau beritanya sampai masuk koran biasanya sih benar!” jawabku agak merinding.

“Menurutku, peristiwa bunuh diri itu mungkin benar adanya, tapi kalau pohon itu lalu jadi keramat karena ada penunggunya aku tidak percaya. Tahayul namanya!” bantah Doni.

“Benar kata Doni!” Budi menimpali, “Biasa lah orang selalu menghubung-hubungkan segala sesuatunya! Karena matinya tidak wajar akhirnya memunculkan kabar-kabar yang di luar nalar alias tidak logis!”

“Tapi... kenapa pohon itu kering kerontang? Lihat di sebelahnya... pohon lainnya tumbuh subur dan rindang tuh!” bantah Ana penuh tanda tanya.

Sejenak kami terdiam, mata kami tertuju ke arah pohon itu. Tapi kemudian Doni memberi argumen yang bisa diterima akal sehat.

“Mungkin saja ada orang yang sengaja melakukan itu! Karena pohon itu sudah dipakai untuk sarana melakukan bunuh diri, mereka menganggap pohon itu tidak layak untuk tumbuh. Mau menebang mungkin takut makanya pohon itu dibuat sekarat alias dibikin agar mati dengan sendirinya!”

“Emang bisa ya pohon dibuat sekarat?” 

“Bisa aja... kalau disirami bensin tiap hari ya pohon itu akan mabuk... hahahahah!” gurau Budi membuat kami semua ikut-ikutan tertawa terbahak.

“Ah sudahlah... ngapain pula membicarakan pohon keramat, mendingan kita duduk-duduk disini sambil ngobrol topik yang hangat dan asyik sembari makan camilan!” Ana akhirnya menutup pembicaraan mengenai pohon keramat itu. Dia lalu mengeluarkan satu stoples makanan kecil yang dia bawa.

“Hayooo... kalian bawa apa?” serunya.

“Aku bawa keripik pisang nih!” jawab Cinta.

“Arem-arem... bisa buat mengisi perut yang lapar!” tambahku sembari mengeluarkan makanan itu dari tasku.
“Seperti perjanjian sebelumnya... aku bawa yang paling berat yaitu air minum kemasan!” timpal Budi seraya mengeluarkan lima botol.

“Doni? Kamu bawa apa hayoo?”

Doni langsung tertawa nyengir mendapat pertanyaan itu, dia lalu mengangkat bahu sambil berkata, “Aku bawa kartu buat main!”

“Lah... kok kartu! Mana enak untuk dimakan?” celetuk Ana iseng.

“Kartu tuh enak buat dimainin... bukan dimakan!” balas Doni sigap, dia seakan tahu arah pembicaraan selanjutnya, yaitu diprotes oleh teman-teman yang lain.

“Betul juga tuh... sambil makan dan ngobrol kita main kartu!” aku pikir usulan Doni oke juga. 

“Kalau main doang mana asyik... pakai taruhan dong!” saran Doni sedikit sombong.

“Hah... taruhan? Gila kamu... di tempat terbuka seperti ini... kegaruk petugas keamanan baru tahu!” sergahku sambil membelalakkan mata.

“Iya tuh... aku pernah baca di koran, ada yang main kartu pakai duit trus ditangkap... katanya sih masuk ranah perjudian!” tambah Budi meyakinkan sekali.

“Aku juga ogah main kartu...!” teriak Cinta sengit, mungkin karena terprovokasi dengan ucapan teman-temannya jadi dia sewot.

“Tuh, Don... usulmu kelewatan sih!” 
“Hahahaha...” Doni malah tertawa terbahak, dengan mimik lucu ia berujar, “Emang taruhan itu cuma pakai uang?”

“Loh... maksudmu?” aku tidak mengerti.

“Gini nih... siapa yang kalah harus menyambangi pohon sekarat... eh keramat itu lalu wajib menciumnya... Asyik nggak?” mata Doni yang sipit berkeliling memandangi kami satu persatu seperti minta persetujuan.

Kami diam sebentar memikirkan tawaran Doni yang aneh dan tidak biasanya itu tapi terus terang cukup bikin penasaran buat uji nyali.

“Aduh... nanti kalau penunggunya marah gimana?” suara Ana terdengar agak ketakutan.

“Iya nih... takut kuwalat!” Aku memperkuat pendapat Ana.

“Gak usah aneh-aneh lah...!” Cinta menimpali.

“Yahhh... kalian para cewek... penakut semua! Siang-siang begini... penunggunya pada tidur lah! Hantu mah keluarnya malam hari!” Doni tidak mau kalah dalam mempertahankan usulannya.

“Betul juga kata Doni... siang-siang begini tidak perlu takut!” Budi tampak setuju dengan tantangan yang ditawarkan teman sesama lelaki itu.

Akhirnya kami berlima memungut suara, bila tiga tidak setuju maka taruhan permainan itu dibatalkan, tapi bila dua saja yang tidak mau berarti usulan Doni akan dijalankan. Kami menulis jawaban itu di balik sepotong kecil kertas yang lalu digulung dan dikumpulkan jadi satu, seperti lintingan arisan.

Tak sabar kami ingin tahu hasil akhirnya. Setelah dibuka... ternyata tiga dari kami setuju dengan taruhan usulan Doni. Bisa dipastikan Doni dan Budi menulis kata setuju, tapi satu orang lagi siapa ya? Kan ada tiga perempuan yaitu Ana, Cinta dan aku sendiri –Evi. Kami bertiga para cewek bahkan saling berpandangan satu sama lain untuk memastikan siapa yang menulis kata setuju. Kayaknya tidak satupun dari kami yang menulis kata itu, meski tidak terucap lewat mulut masing-masing tapi dari tatapan sudah terlihat bahwa kami bertiga kurang setuju. Tapi sudahlah kami tidak boleh menuduh... sesuai perjanjian, mau tak mau kami harus menjalankan kesepakatan itu.

Kami memainkan jenis yang mudah dan jenis mainan kartu yang umum. Putaran pertama ternyata si Budi yang kalah.

“Aku akan menyambangi pohon sekarat itu... hehehe...!” dia seperti tidak ada beban untuk melaksanakan hukuman taruhan, dia lalu bangkit dari tikar dan melangkah menuju pohon itu.

“Hati-hati Bud... kalau ada apa-apa teriak saja!” teriak Doni bercanda.

Budi memalingkan muka ke arah Doni dan mencibirkan mulut lalu balasnya, “Kalau ketemu peri cantik gimana? Heheheh!”

“Dibawa kemari aja... kenalin ke aku!” kelakar Doni lagi.

Kami para perempuan cuma geleng-geleng kepala, meski begitu kami semua mengawasi Budi dari kejauhan. Saat dia sampai di pohon itu pandangan kami sedikit tertahan, agak takut juga, tapi ternyata Budi malah melakukan hal yang konyol. Dia memeluk pohon itu sambil mencium cium gemas. Kami jadi tertawa melihat tingkahnya, rasa takut berubah menjadi geli.

“Gimana Bud? Ada yang aneh nggak?” pancing Doni saat Budi balik ke tempat kami berkumpul.

“Bukan aneh... tapi...!” Budi berkata dengan serius, membuat kami terpana untuk mengikuti ucapannya selanjutnya.

“Tapi apa Bud? Cerita dong!” ucap Ana seperti tidak sabar.

“Tadi seperti ada yang menyengat!” jawab Budi dengan raut muka kayak pemikir.

“Hah... jadi benar ada penunggunya dan dia marah dengan tingkahmu itu?” suara Cinta terdengar sedikit bergetar.

“Jangan nakut-nakutin dong Bud!” protesku.

“Beneran kok... ada yang menyengat karena ternyata disitu banyak semut... hahahahah!”

Huuuu... kami semua terbahak dengan penjelasan Budi. Kirain ada apa... eh ternyata cuma semut!

Kami lalu melanjutkan permainan, silih berganti kami kalah dan mesti melakukan hukuman yang telah disepakati. Namun kami sudah tidak takut dan was-was lagi karena ternyata tidak ada hal yang aneh dengan pohon yang dibilang keramat itu.

“Kita istirahat sejenak lah, main kartu terus capek juga!” Cinta meminta menghentikan permainan itu, dia mengambil makanan dari stoples dan menawarkan kepada kami.

“Iya kita break dulu! Nanti kan bisa diteruskan!” sahutku seraya mencomot sebuah kue kering dari dalam stoples.

Kartu itu lalu kami tumpuk menjadi satu dan diletakkan di tengah tengah tikar.

“Besok kita main kemana lagi? Liburan... bete kalau nggak kemana-mana!”

“Kemana-mana juga mau, asal nggak keluar uang banyak!”

“Betul tuh... main kemana gitu yang murah meriah!”

“Ke pantai aja! Sekarang kan ke gunung... nah besok ke pantai, setuju nggak?”

“Boleh, berarti kita mesti berangkat pagi-pagi sekali atau sekalian sore, ke pantai kalau siang kan bikin kulit item, cahaya matahari di siang hari juga tidak bagus buat kesehatan!”

“Iyalah siapa pula yang mau berpanas-panasan!”

“Mendingan sore, sekalian lihat sun set! Langit cerah semburat warna orange kan bagus, apalagi suasana juga mendukung karena tidak panas!”

“Aku setuju saja, teman-teman yang lain gimana?”

Ternyata kami semua menyetujui dan sepakat untuk main ke pantai. Rencana pun dimatangkan.

“Kita berkumpul di kostnya si Evi saja yang mudah dijangkau!”

Aku mengangguk, “Boleh saja!”

“Tapi pulangnya jangan terlalu malam! Biasa kost putri... ada jam malamnya! Maksimal jam sembilan mesti sudah sampai kost!”

“Ya iyalah siapa pula yang mau ke pantai malam-malam, mau lihat apa? Cuma gelap kan?”

“Sampai sinar matahari nggak terlihat kita putuskan pulang saja!”

Akhirnya rencana itu diketok palu bahwa kami sore setelah Ashar berkumpul di kost aku lalu berangkat bersama-sama pakai motor ke pantai, selepas Maghrib atau matahari terbenam kami putuskan untuk pulang sehingga kami tidak terlambat sampai kost, kalau nggak dapat pintu kan repot!

“Sudah sore nih! Pulang yuk!” pinta Ana.

“Main kartu sekali lagi aja!” tolak Doni.

“Boleh lah... buat “gong” penutup,” sahut Budi.

Kami lalu main kartu sekali lagi sebagai penutup, eh ternyata aku yang kalah... terpaksa deh aku menjalani hukuman.

“Ini pelukan dan ciuman terakhir... dihayati yah!” ledek Doni.

“Ih... kayak mau berpisah sama pacar aja deh!” jawabku kalem.

Aku kemudian berjalan santai ke arah pohon sekarat itu, tidak ada perasaan apapun kecuali ingin segera selesai melaksanakan hukuman dan segera pulang. Teman-teman yang lain tampaknya juga tidak antusias lagi menyaksikanku melaksanakan hukuman, mungkin karena sejak tadi tidak ada kejadian yang aneh-aneh. 

Sesampai disitu, kuamati lagi pohon itu, tidak ada yang istimewa kecuali terlihat sekarat karena kering kerontang, dahan-dahannya juga gundul tidak ada daun yang menempel. Kupeluk pohon itu dengan ogah-ogahan, aku bermaksud menciumnya, tapi mendadak aku merasakan energi yang kuat dan berusaha menarik diriku untuk lebih erat memeluknya, aku jadi gemetaran... kupalingkan wajahku ke arah teman-teman, aku berteriak minta tolong. Tapi mereka terlihat kurang hirau, malah menertawakanku, dikiranya aku bercanda saja. 

Aku semakin ketakutan, apalagi tarikan yang kurasakan bertambah kuat, aku jadi susah bernapas. Kuteriaki teman-temanku lagi, kali ini aku tidak bisa menahan tangis, suara tangisan yang keras pun pecah. Melihatku seperti itu, teman-temanku seperti tersadar kalau ada sesuatu dengan diriku, mereka lantas berlarian menuju ke arahku.

“Ada apa Vi? Kok kamu sampai menangis!” Cinta bertanya dengan wajah ketakutan.

“Iya nih kamu kok pucat sekali!” Ana menambahi.

Sedang Doni dan Budi segera membantuku melepaskan kedua tanganku dari pohon itu. Mereka lalu membimbingku berjalan menjauhinya.

“Ada apa sih Vi? Bikin kami semua senam jantung saja?” tanya Doni gusar. Mungkin dia mengira aku cuma main-main saja.

“Iya Vi... cerita dong! Jangan bikin kita jadi senewen!” Budi menimpali.

Akhirnya aku menceritakan kejadian yang aku alami, bahwa aku merasa ada energi yang kuat dari pohon itu dan seperti menarikku dengan kuat. Awalnya mereka tidak percaya dengan ceritaku karena sudah beberapa kali dari mereka menjalani hukuman tidak satupun yang mengalami kejadian seperti halnya yang menimpaku. Tapi karena melihatku seperti ini, gemetaran dan pucat pasi mereka jadi percaya... atau mungkin terpaksa percaya untuk menjaga perasaanku.

“Makanya kalau tidak setuju dengan taruhan yang aku tawarkan ya ditulis “TIDAK” dong!” protes Doni.

“Aku nulis “TIDAK” kok,” jawabku cepat. 

“Aku juga!” tambah Cinta tak kalah cepat.

“Apalagi aku... si penakut ini... “TIDAK” lah ya!” Ana ikutan menjawab dengan sengit.

“Nah loh... kalian kan tahu sendiri tulisan di lintingan kertas itu!” sergah Doni sewot.

“Iya... nggak usah malu lah!” Budi menambahi.

Kami bertiga saling berpandangan.

“Tapi beneran aku nulis “TIDAK” kok,” aku berkata dengan serius.

“Aku juga menulis begitu!” Ana juga sungguh-sungguh dalam mengucapkannya.

“Berani sumpah... aku menulis “TIDAK” juga,” Cinta apalagi, lebih tegas dalam pengucapannya.

“Baiklah... tidak usah diperdebatkan tapi kita buktikan saja! Sekarang kita ambil lintingan itu dan kita baca lagi, tapi kalian mesti jujur itu tulisan siapa!” Budi mencoba mencari jalan keluar.

Kami setuju dengan tawaran yang diajukan Budi, kami lalu kembali ke tikar dan mengambil lintingan yang berserakan diantara kartu dan bungkus makanan ringan, meski tidak mudah karena tercecer tapi kami akhirnya berhasil mengumpulkan.

“Ini kertas yang pertama– “YA” Tulisan siapa nih?” tanya Budi.

“Aku!” jawab Doni cepat.

“Ini kertas kedua– “TIDAK” Hayo yang ini punya siapa?” tanya Budi lagi.

“Itu tulisanku,” jawab Cinta.

“Kertas ketiga–juga “TIDAK” nih!” lanjutnya.

Aku mengacungkan jari tanda itu tulisanku.

“Yang keempat– “YA”... kalau ini tulisanku sendiri!” ucap Budi.

“Nah... akhirnya kertas kelima! Pasti tulisan Ana... dan jawabnya pasti “YA” dong,” seloroh Budi sedikit gusar.

“Beneran Bud... aku menulis tidak!” teriak Ana galak.

“Baik... bukti otentik tidak bisa dilawan!” sungut Budi.

Dia lalu membuka lipatan kertas yang terakhir, tapi kami semua terbelalak melihatnya karena disitu tertulis kata “TIDAK”. Kami bengong dibuatnya, padahal tadi waktu mau memulai permainan kami melihat dengan jelas bahwa tiga diantara tulisan itu adalah “YA”. Secara refleks kami menengok ke arah pohon itu, entah mengapa rasa takut tiba-tiba menghinggapi kami semua, tergesa-gesa kami mengambil tas masing-masing lalu berlari menjauhi area itu.

Hantu Pohon Asam (Banyuwangi)


Liburan semester kali ini, kami berlima; Dian, Yati, Ratna, Sarah dan aku berencana berlibur ke rumah eyang Dian di Banyuwangi. Menurut cerita Dian, rumah eyangngnya itu terletak di pegunungan, dikelilingi kebun yang ditanami aneka tanaman. Selain itu, di kebun tersebut juga dilewati aliran sungai kecil yang membelah kebun. Wah kami membayangkan pasti asyik tuh liburan disitu.

Dari terminal kota, kami beralih ke angkot desa. Awalnya hanya kami berlima dan beberapa pedagang naik angkot itu, tapi begitu keluar dari terminal dan berjalan pelan menuju desa, satu dua penumpang mulai naik dan akhirnya angkot itu penuh. Mulai terasa deh sesaknya... mana baunya macam-macam lagi... hehehe. Setelah sekitar satu jam perjalanan kami pun sampai. Dengan membawa tas punggung masing-masing kami berjalan menyusuri jalan desa mengikuti langkah Dian. Tak seberapa lama kami pun bisa melihat rumah eyangnya Dian. Tampak bahwa rumah tua berbentuk limasan itu sangat anggun berdiri dikelilingi kebun dan pohon-pohon besar. Beberapa pohon kelapa tegak berdiri laksana barisan prajurit. Juga ada pohon asam yang menjulang di sisi kanan samping rumah. Sepertinya asyik buat memanjat. Di depan rumah, ada halaman besar yang tumbuh beberapa gerombol tanaman bunga mawar liar, ada yang berwarna merah dan ada pula yang berwarna putih. 

Dian membimbing kami memasuki rumah, setelah duduk di ruang tamu Dian masuk ke dalam, tak seberapa lama ia keluar dengan seorang nenek tua.

“Konco-koncone Dian, yo?” tanya nenek dengan logat Jawa yang kental. Kami mengangguk dan satu persatu dari kami menjabat tangan beliau.

“Yo wis, monggo menikmati dusun ini. Eyang akan menyiapkan makan malam buat kalian. Pokoknya anggap rumah sendiri, tidak perlu sungkan,” eyang Dian lalu beranjak meninggalkan kami di ruang tamu.

Setelah ngobrol sejenak dan minum teh yang disajikan oleh Dian, kami pun masuk ruang tidur Dian untuk menaruh tas-tas kami. Ruang tidur Dian besar sekali dan ada dua tempat tidur berjejer, cukuplah buat kami berlima tidur disitu. Lalu kami bergantian mengantri mandi. Kamar mandinya terletak di luar rumah, meski tidak begitu jauh kami lumayan takut kalau malam hari mesti ke kamar mandi sendirian. Tapi kami sudah sepakat untuk saling antar.

Sehabis mandi, kami berlima berjalan-jalan di sekitar rumah. Meski masih sore, hawa dingin lumayan menyergap kami. Awalnya Dian membawa kami ke kebun belakang yang ditanami aneka tanaman buah. Ada buah belimbing, papaya, mangga, jeruk dan beberapa tanaman lain.

“Besok kita bisa membuat acara rujakan nih,” celetuk Ratna girang. 

“Iya... lihat tuh buah-buahnya... segar menggoda selera,” timpal Yati.

“Asal jangan kebanyakan cabe ajah... nanti sakit perut berebut antri ke kamar mandi... kalau malam-malam mau ke kamar mandi emang kalian berani?” tanyaku.

“Kan sudah sepakat saling antar? Kalau ramai ramai mah hantunya yang takut...” ucap Sarah, lanjutnya, “Disini kan kawasan bebas hantu ya Dian?”

Mendengar pernyataan Sarah, Dian tertawa. Kami pun ikut tertawa. Tapi kami terhenyak mendengar penjelasan Dian selanjutnya. “Tapi menurut cerita eyangku, dulu... duluuuuuu sekaliiiii... ada orang Belanda yang digantung di pohon asam itu oleh tentara Jepang. Biasalah jaman perang, nyawa nggak ada harganya.” 

Namun ketika Dian melihat wajah-wajah kami yang berubah ngeri ia pun menyadari kalau cerita itu sudah membuat kami bergidik.

“Eh tapi jangan takut, itu kan cuma cerita... paling juga buat nakut-nakutin aja biar nggak keluar malam-malam... dan selama ini nggak ada hantunya kok... nyatanya eyangku tinggal disini sendiri juga berani. Masak kita berlima kalah nyali sama eyang yang sudah sepuh... malu dong!”

Kami semua pun tertawa terbahak mendengar argumen Dian.

“Iya deh... ntar kalau hantunya nongol kita kerubut saja. Satu banding lima pasti kalah kan?” ucapku seenaknya. Kami tertawa lagi, cerita soal hantu pun berlalu dan kami melanjutnya acara jalan-jalan sore kami mengelilingi kebun dan halaman rumah eyangnya Dian.

Malam itu kami berlima tidur lelap di kamar Dian, maklum seharian perjalanan membuat kami lelah, juga hawa dingin menusuk tulang membuat kami nyaman di balik selimut dan berdesak tidur. Namun tiba-tiba bahuku diguncang seseorang, setengah sadar kulihat Yati mencoba membangunkanku.

“Anterin aku dong, mau pipis nih... habis dingin banget sih jadi kepingin pipis!” Suara Yati terdengar memelas. Terpaksa deh aku bangun. Karena sudah jatahku menemaninya maka meski mata ini berat untuk dibuka dan seluruh badan serasa melayang kupaksa beranjak dari tempat tidur. Dengan dibungkus jaket tebal aku dan Yati keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di luar rumah.

Keluar rumah, hawa dingin segera menyergap kami, setelah menutup pintu dan merapatkan jaket kami ke badan kami pun berjalan beriring ke arah kamar mandi. Suasana desa yang sepi terpecah oleh suara angin dan tanaman-tanaman yang daunnya bergoyang-goyang tertepa angin. Jantungku berdegup kencang, ada perasaan takut menjalar ke tubuhku. Kupikir Yati juga demikian karena langkah kakinya terasa makin cepat saja.

“Eh, pintunya jangan ditutup rapat ya? Aku tunggu di luar pintu!” pintaku kepada Yati. Dia mengangguk setuju. Setelah kami bergantian masuk ke kamar mandi, kami pun berjalan kembali menuju ruang tidur Dian. Saat aku melewati pohon asam itu, meski berjarak bebarapa meter dari emperan rumah tak ayal bulu kudukku berdiri karena tiba-tiba cerita Dian soal orang Belanda yang digantung tentara Jepang itu melintas di pikiranku. Akupun merapat ke badan Yati dan kami berpegangan erat. Aku tidak berani menengok ke arah pohon itu, pokoknya jalan terus saja menuju kamar.

Setelah tiba di pintu rumah, aku merasa lega. Yati masuk duluan baru aku, saat mau menutup pintu tak sengaja mataku melirik ke arah pohon asam. Meski cuma sesaat, mataku menangkap bayangan seseorang tergantung di pohon asam itu, walau kemudian hilang ditelan gelapnya malam. Segera pintu itu kututup dan kukunci. Kami kembali ke kamar tidur dan berusaha tidur. Kulihat keempat temanku tertidur pulas, sedang aku tetap terjaga terbelenggu bayangan di pohon asam itu karena menyisakan sebuah tanya, apakah itu benar-benar bayangan orang Belanda itu ataukah cuma khayalanku saja? Ah... aku merasa malam membentang begitu lama.

Berani Melihat Hantu (Banyuwangi)


Kisah berikut ini merupakan sekumpulan peristiwa mistik yang terjadi di kantor Lastrini, seorang karyawati bagian administrasi di sebuah perusahaan distributor farmasi di Kabupaten Banyuwangi. Cerita mistik yang sudah sering kita dengar, namun cukup menarik untuk disimak dan direnungkan.

Dan berikut ini kisahnya.

Acara makan siang kantor hari ini agak berbeda. Kalau biasanya topik yang dibicarakan sambil makan siang hanya seputar cerita soal politik kantor, infotainment, atau tentang sepak bola, maka siang ini berbeda. Lastrini tidak tahu siapa yang memulai, waktu merapat ke tempat makan, seorang ibu dan dua orang bapak sudah asyik bercerita tentang penampakan di kantor mereka.

Sebenarnya bukan hal baru sih, karena rumor ini sudah ada sejak hari pertama kantor pindah ke daerah ini sekitar tahun 1998 silam. Kata orang, daerah ini dulunya adalah tempat pembuangan mayat para pejuang kemerdekaan oleh penjajah Jepang, sehingga kemudian muncullah ragam kisah horror disini. Betul atau tidaknya masih menjadi tanda tanya hingga sekarang. 

Masuk akal juga sih mengingat ketika pertama masuk ke daerah ini pada masa itu orang-orang menganggap daerah ini adalah tempatnya jin buang anak. Kuntilanak saja bisa kesurupan kalau masuk ke daerah sini. Hehehe.

Itu sih kata orang... 

Namun memang begitulah adanya. Ragam kejadian aneh yang bisa membuat bulu kuduk merinding daftarnya sudah begitu panjang sejak pertama kali kantor ini ditempati. Salah satunya adalah peristiwa berikut ini.

 Suatu hari seorang staff marketing kantor masuk di hari Minggu. Dia orang pertama yang membuka pintu, maklum ketika itu hari libur. Pada saat pintu terbuka si bapak mendengar dengan jelas suara gagang telepon diletakkan dengan agak keras. Si bapak sampai berpikir mungkin ada orang yang terjebak di dalam kantor. Tapi ternyata tidak demikian, karena dia betul-betul seorang diri dan pada hari itu dia adalah orang pertama yang membuka pintu.

Nah, ada lagi cerita lainnya, suatu malam dua orang staff bagian keuangan harus bekerja lembur karena besoknya adalah hari gajian bagi staff harian. Saat sedang asyik menghitung uang dan memilah-milahnya ke dalam amplop tiba-tiba dari kamar mandi terdengar suara gebyar-gebyur seperti ada orang sedang mandi. Mereka kaget karena setahu mereka tidak ada orang lain lagi di dalam kantor itu. Setelah diperiksa, memang betul kamar mandinya kosong padahal suara gebyar-gebyur tadi terdengar begitu jelas sekali.

Satu lagi cerita tentang hantu di kantor ini. Ketika itu seorang bapak datang paling pagi dan langsung masuk ke ruangan divisi teknik. Di ambang pintu sekilas dia melihat bayangan seorang lelaki bergerak masuk ke dalam ruangan direktur yang ada di ujung ruangan. Pikirnya, itu pasti si OB yang biasanya memang datang paling pagi untuk membersihkan ruangan. Tapi ternyata bukan, karena tidak lama kemudian si OB muncul di belakangnya. Si bapak terperanjat kaget. Dia pun bergegas melongok ke ruang direktur dan betul-betul tidak ada orang disana padahal dia yakin sekali kalau tadi melihat bayangan orang dengan jelas berjalan masuk ke ruangan itu.

Cerita-cerita hantu ini mengingatkan Lastrini pada kejadian di acara rekreasi bersama di pantai Boom bersama teman-teman bagian administrasi tempo hari.

Zakia, putri bungsu bu Hamidah yang baru berumur kurang lebih 1 tahun betul-betul rewel ketika dibawa tidur di kamar. Meski sudah lelap di gendongan dia pasti langsung berontak ketika ditaruh di ranjang. Usut punya usut ternyata Zakia takut melihat penampakan seorang perempuan disana, bahkan ibunya juga sempat melihat penampakan perempuan itu yang berambut panjang tergerai sampai pantat, mengenakan jubah putih panjang sampai menutupi mata kaki, dan ia berjalan mondar-mandir di sepanjang lorong penginapan. Keterangannya itu diperkuat oleh kesaksian dari Luthfi yang katanya juga sempat melihat ada wanita yang tidak dikenalnya di tempat mereka menginap.

Lastrini percaya bahwa memang ada orang tertentu yang mendapatkan karunia Tuhan, yaitu bisa melihat langsung kehadiran para mahluk halus tersebut. Mereka yang dikaruniai indera keenam atau bahasa kerennya sixth senses. Ada juga yang sebenarnya tidak punya sixth senses tapi bisa melihat kehadiran para mahluk halus itu. Apakah itu artinya mereka sedang beruntung atau sedang sial. Entahlah... 

Bagaimana dengan Lastrini? Alhamdulillah bahwa sampai saat ini Lastrini belum pernah melihat bentuk penampakan seperti itu. Ia tidak mau takabur, tapi Lastrini mengaku termasuk orang yang tidak terlalu takut dengan hal-hal ghaib seperti itu. Ia merasa yakin bukan karena mempunyai ilmu tertentu atau beriman tebal, tapi ia yakin bahwa mereka, para makhluk ghaib itu juga agak malas mengganggunya karena mungkin mereka berpikir,

“Ngapain mengganggu sesama setan?” katanya sambil bercanda.

Tapi serius, Lastrini juga kadang merasa ngeri kalau tinggal sendirian sambil kerja lembur di kantor malam-malam dan tiba-tiba cerita-cerita horror itu mampir di kepala. Satu-satunya senjata andalan Lastrini untuk mengusir pikiran-pikiran seram itu adalah dengan memasang musik kencang-kencang untuk mengalihkan perhatian.

Lastrini sendiri percaya bahwa makhluk-makhluk ghaib itu memang ada di sekitar kita dimanapun kita berada dan mereka memang muncul sesuai asumsi kita. Semakin kita percaya pada kekuatan dan kemunculan mereka sehingga membuat kita sendiri menjadi takut maka semakin senanglah mereka dan mungkin semakin doyan juga mereka mengganggu manusia.

Makanya Lastrini selalu berusaha untuk menanamkan sugesti bahwa mereka, para makhluk ghaib itu, sebenarnya takut pada manusia dan apa yang disuguhkan oleh film-film horror yang beredar di masyarakat hanyalah penggambaran berlebihan dari sosok bangsa mereka.

Tapi kira-kira kalau bertemu langsung dengan mereka Lastrini berani nggak ya? 

Ehmm... entahlah...! 

Bagaimana dengan Anda? 

Apakah Anda percaya bahwa yang namanya hantu itu benar-benar ada? 

Kalau bertemu langsung, berani tidak? 

Kisah Seram dari Asrama Pesantren (Banyuwangi)

Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi, Bukan tempat sebenarnya


Berikut ini adalah sebuah kisah nyata seorang santri yang pernah tinggal di asrama di sebuah pesantren ternama di Banyuwangi. Kisah ini dituturkan oleh Muhammad Sahal Surya Hadiputra. 

Muhammad Sahal Surya Hadiputra sendiri juga mantan anak pesantren. Ia juga pernah tinggal di asrama tersebut. Waktu tiga bulan pertama tinggal di asrama itu, Muhammad Sahal cukup bisa berbaur dengan anak-anak pesantren. Anak-anak tersebut rata-rata memiliki hobi yang sama dengan Muhammad Sahal, suka nongkrong di warung angkringan depan asrama ketika sedang tidak ada tugas ataupun kegiatan. Makanya mereka cukup sering bertandang rame-rame ke salah satu warung angkringan yang banyak berjejer di luar asrama selepas Maghrib, untuk sekedar minum wedang jahe.

Pada saat itu kamar Muhammad Sahal terletak di lantai tiga. Ketua lantai 3, Ikhsan, juga sering ikut nongkrong di warung angkringan dan pulang menjelang tengah malam (aturan asrama pesantren jelas-jelas melarang para santri untuk kembali ke asrama di atas jam 21.00. Tetapi anak asrama mana yang tidak pernah kembali ke asrama lewat tengah malam? Rata-rata mereka pulang ke asrama lewat tengah malam dengan menyelinap melalui pintu khusus yang hanya diketahui oleh para santri yang suka nongkrong di warung angkringan saja).

Pada musim pancaroba biasanya udara akan sangat dingin disini. Makanya para santri suka diam-diam memasak sesuatu yang hangat di dalam asrama, padahal kegiatan itu sangat dilarang. Mati lampu juga adalah hal yang lumrah disini (dan hal ini akan berkaitan dengan kisah yang akan diceritakan nantinya). 

Muhammad Sahal cukup dekat dan akrab dengan Ketua lantai 3, ditambah tiga anak asrama lainnya, yaitu Hamdani, Abdullah, dan Fauzzan. Hamdani yang sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, punya hobi mengumpulkan berbagai informasi rahasia di pesantren. Abdullah adalah seorang teman yang pernah mempelajari ilmu menerawang alam ghaib sehingga punya pengalaman melihat makhluk-makhluk ghaib. Sedangkan Fauzzan adalah anak yang suka berkunjung ke tempat-tempat angker. Makanya Muhammad Sahal cukup beruntung bisa mendengar berbagai cerita mistik... klenik... namun asyik...!

Dan disini Muhammad Sahal akan menceritakan beberapa kisah.

Usia asrama ini tergolong sangat tua, sehingga banyak sekali kisah angker yang ada disini. Dari situ saja, Muhammad Sahal sudah mendengar setidaknya lima cerita berbeda. Ada yang di kamar mandi, ada yang di depan gerbang, dan yang paling banyak adalah mengenai lantai 3.

Salah satu kisah seram di lantai 3 yang tidak bisa dilupakan oleh Muhammad Sahal adalah kisah ini.

Waktu itu ada seorang santri yang berasal dari luar daerah yang diam-diam bersembunyi di asrama pada saat hari raya Idul Fitri demi menghemat uang, karena jika pulang ke daerah, uangnya akan habis untuk biaya perjalanan. (Biasanya pada saat hari raya Idul Fitri, santri diliburkan selama dua minggu, yaitu seminggu sebelum dan seminggu sesudah hari H, dan selama itu asrama ditutup). Tapi dalam persembunyian itu dia tiba-tiba jatuh sakit, dan karena tidak ada seorangpun yang tinggal di asrama kala itu, maka tidak ada yang merawat dan membawanya ke dokter. Akhirnya dia meninggal di tempat tidur. Baru ketika asrama dibuka kembali, hal tersebut disadari oleh Nur Hidayat, sang petugas penjaga asrama. Semenjak terjadinya peristiwa itu, di lantai tiga sering ada kejadian ketindihan atau tengah malam ada suara orang yang mengetuk pintu meminta obat.

Kemudian ada lagi satu kisah seram lainnya. Ketika itu ada seorang santri yang jatuh cinta dengan salah satu santri perempuan. Sayangnya sang gadis menyukai pria lain. Dikarenakan depresi, akhirnya dia gantung diri di lantai 3. Sebelum gantung diri, dia menggunakan sebuah meja sebagai penopangnya. Makanya terkadang di tengah malam sering terdengar suara seperti meja yang sedang digeser-geser.

Kalau tentang suara meja digeser di tengah malam sih, Muhammad Sahal sendiri pernah mengalaminya. Jadi, kebetulan ada satu teman yang tinggal di lantai 2. Sudah beberapa malam ini setiap pada pukul 23.00 dia sering mendengar suara meja yang digeser-geser di atas langit-langit kamarnya. Suaranya terdengar begitu jelas sekali. Setelah mendengar satu, dua kali, dia akhirnya mengajak kawan-kawannya bergegas ke lantai atas untuk melihat siapa yang sedang usil. Tetapi sesampainya di lantai 3 dan mencari sumber suara, mereka hanya menemukan pintu yang digembok rantai dengan kokoh dan tertutup oleh debu yang tebal. Di atas rantai ada sebuah papan bertuliskan,

“Dilarang masuk, bagi pelanggar akan dihukum!”

Sepertinya sulit dipercaya ada orang yang sengaja masuk ke dalam kamar itu.

Kisah tadi merupakan secuil kisah panjang Muhammad Sahal selama dia menjadi santri di pesantren tersebut. Sebagaimana disebutkan tadi, Muhammad Sahal memiliki seorang teman yaitu Abdullah, yang bisa menerawang alam ghaib. Umumnya orang-orang seperti Abdullah ini memiliki sebuah ketrampilan mirip dengan dukun atau paranormal lainnya. Tugas utama mereka adalah menerawang alam ghaib kemudian memberi nasihat. Tidak jarang ada juga yang memberi ramalan dan mengusir roh jahat.

Kalau sudah libur, asrama disini, tidak peduli asrama putri ataupun putra, akan selalu sepi. Disini kadang memang terdengar desas-desus kisah aneh yang tidak bisa dijelaskan. Salah satu staf pengajar yang bernama Syaifullah dan tinggal di lantai 1 juga pernah mengalami kejadian aneh.

Kebetulan Abdullah cukup akrab dengan staf ini. Jadi dari dialah Abdullah mendengar beberapa cerita seram dan kemudian ia ceritakan kepada Muhammad Sahal. Akibatnya pernah suatu ketika Muhammad Sahal tidak berani pergi mandi ataupun ke toilet kalau sudah larut malam.

Sebenarnya apa yang diceritakan Abdullah kepada Muhammad Sahal sampai dia menjadi takut pergi ke toilet sendirian di tengah malam...?

Begini kisahnya...

Asrama ini memiliki sebuah tempat mandi umum. Di dalamnya ada sebuah bak. Air biasanya dipanaskan dengan menggunakan tungku besar. Disini, kamar mandi dan toilet berada di satu tempat. Di depan pintu masuk terdapat sederet wastafel dan cermin. Agak masuk ke dalam adalah dereten toilet. Dan masuk ke dalam lagi adalah tempat mandi.

Jadi ada satu cerita dimana ada seorang santri yang karena merasa gerah di tengah malam, kemudian memutuskan untuk mandi sendirian. Karena tengah malam memang tidak ada orang, maka air di bak pun sudah menjadi dingin. Pada saat sedang asyik menggosok badan tiba-tiba terdengar suara,

“Pyak... pyak... pyak...” 

Seperti suara orang sedang berlari melintasi lantai yang berair, sampai menyebabkan percikan air...! Dilihat seluruh sisi, tidak terlihat satu orang pun, bagaimana mungkin ada suara? Jadi tanpa peduli apa-apa lagi, dia langsung berlari keluar. Keesokan harinya dia jatuh sakit.

Berikutnya ada satu cerita lagi, seorang santri yang memang mempunyai kebiasaan bangun pagi. Pada saat itu musim hujan, langit masih gelap. Waktu itu dia seorang diri ke area kamar mandi untuk gosok gigi sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba, melalui pantulan di cermin, dia melihat ada seseorang berjalan melintasi dia masuk ke toilet. Tidak lama kemudian dia berjalan keluar. Beberapa saat kemudian, dia masuk lagi, lalu keluar lagi. Kejadian ini terjadi beberapa kali. Karena santri tersebut merasa keheranan jadi ketika orang itu masuk ke toilet, dia pun ikut masuk ke area toilet. Ternyata tidak ada satu orang pun disana, dan lebih herannya lagi, seluruh pintu toilet dalam keadaan terbuka... 

Satu lagi, ada kisah seorang santri yang gara-gara salah makan sehingga mengalami sakit perut. Masalahnya dia tipe orang yang punya kakus langganan, yakni kakus di toilet nomor 3. Pada saat itu, di tengah malam, santri tersebut masuk ke area toilet, dari semua toilet yang ada, ternyata toilet nomor 3 sudah dipakai orang. Mau tidak mau dia pun masuk ke toilet di sebelahnya. Di saat dia sedang duduk, dari toilet nomor 3 terdengar suara desahan nafas yang terdengar terus menerus. Pada saat itu si santri tidak menghiraukannya. Setelah selesai dia pun pergi.

Beberapa saat kemudian, santri ini sakit perut lagi, jadi dia bergegas pergi ke toilet. Ternyata toilet nomor 3 masih tetap dipakai. Dia pun mencoba mengetuk pintu toilet itu. Dari dalam terdengar suara ketukan balasan, itu berarti toilet nomor 3 tersebut memang sedang ada yang menggunakan. Mau tidak mau terpaksa ia pergi ke toilet sebelah. Dan terus menerus mendengar suara desahan nafas seperti sebelumnya.

Dan ini terjadi beberapa kali. Karena merasa kesal dia pun mencoba bertanya.

“Bro, kamu baik-baik saja?” 

Tidak ada balasan sama sekali. Karena penasaran, akhirnya setelah selesai dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu toilet 3 itu dengan keras. Tanpa diduga pintu itu pun terbuka perlahan-lahan... 

Dan ia merasakan sebersit angin yang sangat dingin melintasi dirinya. Santri ini tambah penasaran saja, kemudian ia pun mengintip ke dalam. 

Namun apa yang ia lihat disana...?

Satu jejak orang pun tidak ada disana. Jadi yang tadi menjawab ketukan di pintu toilet nomor 3 siapa? Dan yang terus-menerus mengeluarkan suara desahan nafas itu siapa? Si santri itu akhirnya mengalami trauma psikis berkepanjangan hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk keluar dari asrama pesantren dan pulang kembali ke rumah, tidak mau balik lagi ke sana.

Kemudian ada juga sebuah kejadian yang berkaitan dengan masak-memasak di dalam asrama. Gara-gara insiden itu, mau tidak mau Muhammad Sahal harus yakin dan percaya bahwa di asrama ini memang ada “sesuatunya”.

Waktu itu hari terakhir ujian. Karena pada saat semester satu mata pelajarannya lumayan banyak, jadinya mereka ujian terus sampai hari terakhir. Malam itu pun bersama anak-anak asrama yang lain mereka memasak yang serba hangat, seperti; mi instan, wedang ronde, bakar-bakar jagung, dan sebagainya. Dikarenakan besok siang asrama sudah akan ditutup, jadi yang tinggal di asrama hanya beberapa orang santri saja, yang lainnya sudah lebih dulu pulang ke rumah masing-masing.

Muhammad Sahal masih ingat waktu itu hujan gerimis, jadi udara terasa begitu dingin. Kalau sudah begini, sudah pasti ini adalah momen yang tepat untuk makan yang hangat-hangat...! Muhammad Sahal, bersama teman-teman asrama dan si Ketua (si penanggung jawab lantai), sambil makan, mereka bercanda, dan mengobrol ini dan itu. Karena pikiran terasa enteng setelah baru saja selesai ujian, ditambah kondisi udara luar yang begitu dingin, membuat mereka semakin asyik mengobrol ini dan itu, dan suara mereka pun terdengar semakin berisik, hingga tiba-tiba.

“PPETT...!”

Dan kamar pun menjadi gelap gulita...! 

Ternyata mati lampu lagi!

Salah satu teman Muhammad Sahal langsung nyeletuk.

“Asrama sudah hampir tidak dihuni orang, masih saja mati lampu!”

Muhammad Sahal tiba-tiba merasa ada yang tidak beres. Soalnya di sekeliling dirinya terasa sunyi senyap. Si Ketua, yang merasa ada sesuatu yang tidak beres langsung meminta semua agar jangan bersuara. Lalu di luar asrama terdengar suara anjing yang menggonggong terus-menerus. Dan belakangan, gonggongannya tiba-tiba berubah menjadi suara lolongan!

Karena kondisi di ruangan itu gelap gulita, salah satu santri merangkak ke meja belajarnya untuk mencoba mengambil senter. Namun tiba-tiba di pintu (dia kebetulan duduk di dekat pintu), muncul sebuah bayangan hitam, yang kemudian semakin jelas wujudnya menjadi sosok bayangan laki-laki tinggi dan kurus, kemudian dengan logat Madura yang sangat kental dan dengan suara yang keras menggelegar dia pun berteriak marah kepada para santri tersebut.

“Dasar anak-anak nakal! Sudah dibilang berapa kali jangan masak di dalam kamar, masih juga masak!”

Teman yang hendak mengambil senter itu pun menjawab.

“Sudah hampir selesai kok.”

Bayangan hitam itu pun kemudian menghilang secara perlahan. Anjing yang tadinya melolong-lolong di luar sana sudah tenang kembali. Lampu juga akhirnya menyala. Hanya saja Muhammad Sahal melihat wajah Ketua menjadi pucat pasi. Dia bilang dia tidak ingin makan lagi. Dia juga minta semuanya malam ini juga lebih baik pulang ke rumah masing-masing, jangan tinggal di asrama lagi. Soalnya, tadi yang berdiri di pintu itu bukanlah manusia... 

Kata si Ketua, sebelum para santri angkatan yang baru termasuk Muhammad Sahal masuk ke asrama ini, dulu ada seorang petugas yang tinggal di belakang asrama. Dia orang Madura, postur tubuh tinggi dan kurus. Dulu setiap kali ada yang diam-diam memasak di dalam kamar asrama, terus mati lampu, orang itu pasti akan marah habis-habisan. Suaranya biasanya sangat keras, sampai para santri dari lantai 1 sampai lantai 3 pun bisa mendengar suaranya.

Tapi dengar-dengar si Madura itu akhirnya meninggal sewaktu pergi ke Surabaya sana. Semenjak itu tidak pernah kelihatan lagi. Jadi, perlahan-lahan tradisi masak-masak di dalam kamar pun mulai berlanjut lagi. Hanya saja, kata si Ketua, kadang-kadang arwahnya “kembali” ke kamar tempat dia tinggal dulu. 

Mendengar penjelasan itu, para santri lantas kompak bermain kartu sampai pagi, tidak ada satupun yang berani memejamkan mata, masing-masing saling mengingatkan agar jangan sampai tertidur. Semua cemas jangan-jangan ada arwah lain lagi yang mendatangi mereka ketika sedang tertidur pulas. Keesokan harinya semua segera mengemasi barang-barang mereka dan langsung pulang ke rumah masing-masing.

La Planchada