Saat itu kami berlima sedang bermain ke pegunungan, bukan untuk mendaki gunung melainkan untuk refreshing saja setelah selesai menjalani ujian semesteran. Dengan mengendarai motor kami berboncengan menuju tempat ini, tidak banyak yang kami bawa kecuali jaket dan tas berisi makanan ringan, kami tidak perlu membawa tikar karena di area wisata pegunungan seperti ini ada yang menyediakan jasa sewa tikar, tidak mahal kok apalagi kami tanggung berlima.
Ini baru pertama kali kami kesini setelah mendapat informasi dari teman kampus yang kebetulan tinggal di kota tempat kami belajar. Tertarik dengan ceritanya kami memutuskan berwisata disini apalagi setelah dihitung-hitung tidak membutuhkan banyak biaya, cukup iuran bensin dan buat membayar retribusi, kami juga sengaja membawa camilan sendiri agar hemat, karena jajan di tempat wisata biasanya lebih mahal.
“Kayaknya disitu asyik buat bersantai ria nih!” seru Ana.
Kami mengikuti arah telunjuk Ana yang berujung ke sebuah hamparan rerumputan hijau dengan beberapa pohon besar di sekitarnya, sepertinya asyik juga karena cahaya matahari tertahan di dedaunan pohon-pohon yang lebat itu sehingga kami tidak akan kepanasan bila duduk disitu.
“Boleh Juga tuh!” ucap Cinta riang.
“Teman yang lain bagaimana?” sambungnya mengalihkan pandangan ke arah kami satu persatu, “Setuju nggak dengan usulan Ana?”
Budi menganggukkan kepala, aku juga demikian.
“Ya deh ikutan aja!” Doni menyahut belakangan.
Akhirnya kami berjalan bersama-sama menuju tempat yang sudah dipilih Ana.
“Disini aja ya?” tawar Cinta kepada kami, dia berhenti berjalan dan menghentak-hentakkan kakinya di tanah, “Lumayan keras dan datar, kalau menggelar tikar disini pasti nyaman buat tiduran!”
“Nggak di ujung situ... tuh, kita bisa melihat pemandangan di bawah!” usul Doni. Dia memberi pilihan untuk duduk di pinggiran tebing.
“Wah nggak berani aku! Bahaya... kalau kita tidak waspada bisa jatuh ke jurang!” tolak Cinta menanggapi usulan Doni.
“Iya... tahu sendiri kalau kita bercanda sering kebablasan, lupa tempat dan waktu, kalau tiba-tiba jatuh kan berabe!” aku setuju dengan argumen Cinta.
“Yaahhh... payah! Kalau sama cewek isinya takut melulu...” suara Doni terdengar kecewa.
“Sudahlah, kita ikutan suara terbanyak saja!” Budi menengahi.
Akhirnya kami berlima duduk di tempat yang dipilih oleh Cinta.
“Bu, sewa tikarnya satu!” ucapku kepada seorang ibu yang membawa beberapa tikar.
Sedari tadi ibu itu mengikuti kami, pasti dia tahu kalau kami membutuhkan tikar untuk duduk. Setelah membayar kami menerima sebuah tikar darinya dan menggelar di atas rerumputan.
“Numpang tanya Bu!” tanya Ana.
Ibu itu menengok ke arah Ana, “Ada apa Mbak?”
“Itu pohon kok beda sendiri sih!” serunya lagi penuh tanya, tangannya menunjuk sebuah pohon yang tumbuh diantara deretan pohon.
Otomatis kami semua mengikuti arah tangannya, memang benar pohon itu berbeda dengan pohon yang lain. Pohon itu seperti layu dan kering, tidak ada dedaunan yang menghiasi dahan-dahannya, sedang pohon yang lain rimbun dengan daun-daun yang hijau, padahal kalau dipikir-pikir pohon itu tumbuh di areal tanah yang sama.
“Itu pohon keramat Mbak!” jawab ibu itu pendek dan terdengar datar, tapi sungguh mengejutkan kami.
“Ah... yang benar Bu!” bantah Doni tidak percaya.
“Ada penunggunya kali!” sahut Budi kalem.
“Masa pohon ada yang menunggu!” protes yang lain.
“Ada genderuwonya kali... kalau peri cantik mana mau menunggu pohon tua kayak gitu!” celetuk Budi sambil menahan tawa.
“Ngawur kamu!” sergah Ana sambil meninju pundak Budi.
“Emang ada penunggunya ya, Bu?” tanya Doni menanggapi ucapan teman-temannya.
“Iya Mas, katanya sih perempuan...”
Belum selesai ibu itu berkata kami semua tertawa. Masa ada perempuan penunggu pohon? Berarti betul dong dengan dugaan Budi. Dia yang tahu kalau candaannya ternyata benar menjadi semakin besar kepala. Dia pun tertawa lebih keras dan penuh kebanggaan.
“Makanya jangan meremehkan ucapan kyai Budi... hahahah!”
“Tepatnya mbah dukun Budi!”
“Huuuuuu...”
“Tapi emang benar kok!” ibu itu melanjutkan ucapannya dengan raut muka serius, mau tak mau kami jadi ikut arus juga... maksudnya bisa jadi ibu itu tidak berbohong.
“Ibu pernah lihat ya?” selidik Doni.
“Belum sih... hanya kata orang...”
“Kata orang gimana?” aku tidak sabar mendengar cerita selanjutnya.
“Disitu dulu pernah ditemukan mayat perempuan muda yang menggantung diri, katanya sih putus cinta. Sejak itu pohon itu kering kerontang seakan tidak bertumbuh.”
Kami melongo mendengar penjelasan ibu itu. Sebenarnya kami kurang begitu percaya tapi suara ibu menyiratkan kejujuran.
“Jadi beneran nih ada yang mati disitu?”
“Bener Mbak! Beritanya juga masuk koran kok, tapi sudah lama sekali... dua puluhan tahun yang lalu, ibu masih kecil saat itu.”
“Maaf Mbak, Mas, ibu mau ke tempat lain, siapa tahu ada yang membutuhkan tikar!”
“Silakan Bu, terima kasih informasinya.”
Ibu itu lalu berbalik arah menuju sekumpulan remaja lainnya.
“Kamu percaya cerita ibu itu?” tanya Cinta kepada kami sesaat duduk di atas tikar.
“Kalau beritanya sampai masuk koran biasanya sih benar!” jawabku agak merinding.
“Menurutku, peristiwa bunuh diri itu mungkin benar adanya, tapi kalau pohon itu lalu jadi keramat karena ada penunggunya aku tidak percaya. Tahayul namanya!” bantah Doni.
“Benar kata Doni!” Budi menimpali, “Biasa lah orang selalu menghubung-hubungkan segala sesuatunya! Karena matinya tidak wajar akhirnya memunculkan kabar-kabar yang di luar nalar alias tidak logis!”
“Tapi... kenapa pohon itu kering kerontang? Lihat di sebelahnya... pohon lainnya tumbuh subur dan rindang tuh!” bantah Ana penuh tanda tanya.
Sejenak kami terdiam, mata kami tertuju ke arah pohon itu. Tapi kemudian Doni memberi argumen yang bisa diterima akal sehat.
“Mungkin saja ada orang yang sengaja melakukan itu! Karena pohon itu sudah dipakai untuk sarana melakukan bunuh diri, mereka menganggap pohon itu tidak layak untuk tumbuh. Mau menebang mungkin takut makanya pohon itu dibuat sekarat alias dibikin agar mati dengan sendirinya!”
“Emang bisa ya pohon dibuat sekarat?”
“Bisa aja... kalau disirami bensin tiap hari ya pohon itu akan mabuk... hahahahah!” gurau Budi membuat kami semua ikut-ikutan tertawa terbahak.
“Ah sudahlah... ngapain pula membicarakan pohon keramat, mendingan kita duduk-duduk disini sambil ngobrol topik yang hangat dan asyik sembari makan camilan!” Ana akhirnya menutup pembicaraan mengenai pohon keramat itu. Dia lalu mengeluarkan satu stoples makanan kecil yang dia bawa.
“Hayooo... kalian bawa apa?” serunya.
“Aku bawa keripik pisang nih!” jawab Cinta.
“Arem-arem... bisa buat mengisi perut yang lapar!” tambahku sembari mengeluarkan makanan itu dari tasku.
“Seperti perjanjian sebelumnya... aku bawa yang paling berat yaitu air minum kemasan!” timpal Budi seraya mengeluarkan lima botol.
“Doni? Kamu bawa apa hayoo?”
Doni langsung tertawa nyengir mendapat pertanyaan itu, dia lalu mengangkat bahu sambil berkata, “Aku bawa kartu buat main!”
“Lah... kok kartu! Mana enak untuk dimakan?” celetuk Ana iseng.
“Kartu tuh enak buat dimainin... bukan dimakan!” balas Doni sigap, dia seakan tahu arah pembicaraan selanjutnya, yaitu diprotes oleh teman-teman yang lain.
“Betul juga tuh... sambil makan dan ngobrol kita main kartu!” aku pikir usulan Doni oke juga.
“Kalau main doang mana asyik... pakai taruhan dong!” saran Doni sedikit sombong.
“Hah... taruhan? Gila kamu... di tempat terbuka seperti ini... kegaruk petugas keamanan baru tahu!” sergahku sambil membelalakkan mata.
“Iya tuh... aku pernah baca di koran, ada yang main kartu pakai duit trus ditangkap... katanya sih masuk ranah perjudian!” tambah Budi meyakinkan sekali.
“Aku juga ogah main kartu...!” teriak Cinta sengit, mungkin karena terprovokasi dengan ucapan teman-temannya jadi dia sewot.
“Tuh, Don... usulmu kelewatan sih!”
“Hahahaha...” Doni malah tertawa terbahak, dengan mimik lucu ia berujar, “Emang taruhan itu cuma pakai uang?”
“Loh... maksudmu?” aku tidak mengerti.
“Gini nih... siapa yang kalah harus menyambangi pohon sekarat... eh keramat itu lalu wajib menciumnya... Asyik nggak?” mata Doni yang sipit berkeliling memandangi kami satu persatu seperti minta persetujuan.
Kami diam sebentar memikirkan tawaran Doni yang aneh dan tidak biasanya itu tapi terus terang cukup bikin penasaran buat uji nyali.
“Aduh... nanti kalau penunggunya marah gimana?” suara Ana terdengar agak ketakutan.
“Iya nih... takut kuwalat!” Aku memperkuat pendapat Ana.
“Gak usah aneh-aneh lah...!” Cinta menimpali.
“Yahhh... kalian para cewek... penakut semua! Siang-siang begini... penunggunya pada tidur lah! Hantu mah keluarnya malam hari!” Doni tidak mau kalah dalam mempertahankan usulannya.
“Betul juga kata Doni... siang-siang begini tidak perlu takut!” Budi tampak setuju dengan tantangan yang ditawarkan teman sesama lelaki itu.
Akhirnya kami berlima memungut suara, bila tiga tidak setuju maka taruhan permainan itu dibatalkan, tapi bila dua saja yang tidak mau berarti usulan Doni akan dijalankan. Kami menulis jawaban itu di balik sepotong kecil kertas yang lalu digulung dan dikumpulkan jadi satu, seperti lintingan arisan.
Tak sabar kami ingin tahu hasil akhirnya. Setelah dibuka... ternyata tiga dari kami setuju dengan taruhan usulan Doni. Bisa dipastikan Doni dan Budi menulis kata setuju, tapi satu orang lagi siapa ya? Kan ada tiga perempuan yaitu Ana, Cinta dan aku sendiri –Evi. Kami bertiga para cewek bahkan saling berpandangan satu sama lain untuk memastikan siapa yang menulis kata setuju. Kayaknya tidak satupun dari kami yang menulis kata itu, meski tidak terucap lewat mulut masing-masing tapi dari tatapan sudah terlihat bahwa kami bertiga kurang setuju. Tapi sudahlah kami tidak boleh menuduh... sesuai perjanjian, mau tak mau kami harus menjalankan kesepakatan itu.
Kami memainkan jenis yang mudah dan jenis mainan kartu yang umum. Putaran pertama ternyata si Budi yang kalah.
“Aku akan menyambangi pohon sekarat itu... hehehe...!” dia seperti tidak ada beban untuk melaksanakan hukuman taruhan, dia lalu bangkit dari tikar dan melangkah menuju pohon itu.
“Hati-hati Bud... kalau ada apa-apa teriak saja!” teriak Doni bercanda.
Budi memalingkan muka ke arah Doni dan mencibirkan mulut lalu balasnya, “Kalau ketemu peri cantik gimana? Heheheh!”
“Dibawa kemari aja... kenalin ke aku!” kelakar Doni lagi.
Kami para perempuan cuma geleng-geleng kepala, meski begitu kami semua mengawasi Budi dari kejauhan. Saat dia sampai di pohon itu pandangan kami sedikit tertahan, agak takut juga, tapi ternyata Budi malah melakukan hal yang konyol. Dia memeluk pohon itu sambil mencium cium gemas. Kami jadi tertawa melihat tingkahnya, rasa takut berubah menjadi geli.
“Gimana Bud? Ada yang aneh nggak?” pancing Doni saat Budi balik ke tempat kami berkumpul.
“Bukan aneh... tapi...!” Budi berkata dengan serius, membuat kami terpana untuk mengikuti ucapannya selanjutnya.
“Tapi apa Bud? Cerita dong!” ucap Ana seperti tidak sabar.
“Tadi seperti ada yang menyengat!” jawab Budi dengan raut muka kayak pemikir.
“Hah... jadi benar ada penunggunya dan dia marah dengan tingkahmu itu?” suara Cinta terdengar sedikit bergetar.
“Jangan nakut-nakutin dong Bud!” protesku.
“Beneran kok... ada yang menyengat karena ternyata disitu banyak semut... hahahahah!”
Huuuu... kami semua terbahak dengan penjelasan Budi. Kirain ada apa... eh ternyata cuma semut!
Kami lalu melanjutkan permainan, silih berganti kami kalah dan mesti melakukan hukuman yang telah disepakati. Namun kami sudah tidak takut dan was-was lagi karena ternyata tidak ada hal yang aneh dengan pohon yang dibilang keramat itu.
“Kita istirahat sejenak lah, main kartu terus capek juga!” Cinta meminta menghentikan permainan itu, dia mengambil makanan dari stoples dan menawarkan kepada kami.
“Iya kita break dulu! Nanti kan bisa diteruskan!” sahutku seraya mencomot sebuah kue kering dari dalam stoples.
Kartu itu lalu kami tumpuk menjadi satu dan diletakkan di tengah tengah tikar.
“Besok kita main kemana lagi? Liburan... bete kalau nggak kemana-mana!”
“Kemana-mana juga mau, asal nggak keluar uang banyak!”
“Betul tuh... main kemana gitu yang murah meriah!”
“Ke pantai aja! Sekarang kan ke gunung... nah besok ke pantai, setuju nggak?”
“Boleh, berarti kita mesti berangkat pagi-pagi sekali atau sekalian sore, ke pantai kalau siang kan bikin kulit item, cahaya matahari di siang hari juga tidak bagus buat kesehatan!”
“Iyalah siapa pula yang mau berpanas-panasan!”
“Mendingan sore, sekalian lihat sun set! Langit cerah semburat warna orange kan bagus, apalagi suasana juga mendukung karena tidak panas!”
“Aku setuju saja, teman-teman yang lain gimana?”
Ternyata kami semua menyetujui dan sepakat untuk main ke pantai. Rencana pun dimatangkan.
“Kita berkumpul di kostnya si Evi saja yang mudah dijangkau!”
Aku mengangguk, “Boleh saja!”
“Tapi pulangnya jangan terlalu malam! Biasa kost putri... ada jam malamnya! Maksimal jam sembilan mesti sudah sampai kost!”
“Ya iyalah siapa pula yang mau ke pantai malam-malam, mau lihat apa? Cuma gelap kan?”
“Sampai sinar matahari nggak terlihat kita putuskan pulang saja!”
Akhirnya rencana itu diketok palu bahwa kami sore setelah Ashar berkumpul di kost aku lalu berangkat bersama-sama pakai motor ke pantai, selepas Maghrib atau matahari terbenam kami putuskan untuk pulang sehingga kami tidak terlambat sampai kost, kalau nggak dapat pintu kan repot!
“Sudah sore nih! Pulang yuk!” pinta Ana.
“Main kartu sekali lagi aja!” tolak Doni.
“Boleh lah... buat “gong” penutup,” sahut Budi.
Kami lalu main kartu sekali lagi sebagai penutup, eh ternyata aku yang kalah... terpaksa deh aku menjalani hukuman.
“Ini pelukan dan ciuman terakhir... dihayati yah!” ledek Doni.
“Ih... kayak mau berpisah sama pacar aja deh!” jawabku kalem.
Aku kemudian berjalan santai ke arah pohon sekarat itu, tidak ada perasaan apapun kecuali ingin segera selesai melaksanakan hukuman dan segera pulang. Teman-teman yang lain tampaknya juga tidak antusias lagi menyaksikanku melaksanakan hukuman, mungkin karena sejak tadi tidak ada kejadian yang aneh-aneh.
Sesampai disitu, kuamati lagi pohon itu, tidak ada yang istimewa kecuali terlihat sekarat karena kering kerontang, dahan-dahannya juga gundul tidak ada daun yang menempel. Kupeluk pohon itu dengan ogah-ogahan, aku bermaksud menciumnya, tapi mendadak aku merasakan energi yang kuat dan berusaha menarik diriku untuk lebih erat memeluknya, aku jadi gemetaran... kupalingkan wajahku ke arah teman-teman, aku berteriak minta tolong. Tapi mereka terlihat kurang hirau, malah menertawakanku, dikiranya aku bercanda saja.
Aku semakin ketakutan, apalagi tarikan yang kurasakan bertambah kuat, aku jadi susah bernapas. Kuteriaki teman-temanku lagi, kali ini aku tidak bisa menahan tangis, suara tangisan yang keras pun pecah. Melihatku seperti itu, teman-temanku seperti tersadar kalau ada sesuatu dengan diriku, mereka lantas berlarian menuju ke arahku.
“Ada apa Vi? Kok kamu sampai menangis!” Cinta bertanya dengan wajah ketakutan.
“Iya nih kamu kok pucat sekali!” Ana menambahi.
Sedang Doni dan Budi segera membantuku melepaskan kedua tanganku dari pohon itu. Mereka lalu membimbingku berjalan menjauhinya.
“Ada apa sih Vi? Bikin kami semua senam jantung saja?” tanya Doni gusar. Mungkin dia mengira aku cuma main-main saja.
“Iya Vi... cerita dong! Jangan bikin kita jadi senewen!” Budi menimpali.
Akhirnya aku menceritakan kejadian yang aku alami, bahwa aku merasa ada energi yang kuat dari pohon itu dan seperti menarikku dengan kuat. Awalnya mereka tidak percaya dengan ceritaku karena sudah beberapa kali dari mereka menjalani hukuman tidak satupun yang mengalami kejadian seperti halnya yang menimpaku. Tapi karena melihatku seperti ini, gemetaran dan pucat pasi mereka jadi percaya... atau mungkin terpaksa percaya untuk menjaga perasaanku.
“Makanya kalau tidak setuju dengan taruhan yang aku tawarkan ya ditulis “TIDAK” dong!” protes Doni.
“Aku nulis “TIDAK” kok,” jawabku cepat.
“Aku juga!” tambah Cinta tak kalah cepat.
“Apalagi aku... si penakut ini... “TIDAK” lah ya!” Ana ikutan menjawab dengan sengit.
“Nah loh... kalian kan tahu sendiri tulisan di lintingan kertas itu!” sergah Doni sewot.
“Iya... nggak usah malu lah!” Budi menambahi.
Kami bertiga saling berpandangan.
“Tapi beneran aku nulis “TIDAK” kok,” aku berkata dengan serius.
“Aku juga menulis begitu!” Ana juga sungguh-sungguh dalam mengucapkannya.
“Berani sumpah... aku menulis “TIDAK” juga,” Cinta apalagi, lebih tegas dalam pengucapannya.
“Baiklah... tidak usah diperdebatkan tapi kita buktikan saja! Sekarang kita ambil lintingan itu dan kita baca lagi, tapi kalian mesti jujur itu tulisan siapa!” Budi mencoba mencari jalan keluar.
Kami setuju dengan tawaran yang diajukan Budi, kami lalu kembali ke tikar dan mengambil lintingan yang berserakan diantara kartu dan bungkus makanan ringan, meski tidak mudah karena tercecer tapi kami akhirnya berhasil mengumpulkan.
“Ini kertas yang pertama– “YA” Tulisan siapa nih?” tanya Budi.
“Aku!” jawab Doni cepat.
“Ini kertas kedua– “TIDAK” Hayo yang ini punya siapa?” tanya Budi lagi.
“Itu tulisanku,” jawab Cinta.
“Kertas ketiga–juga “TIDAK” nih!” lanjutnya.
Aku mengacungkan jari tanda itu tulisanku.
“Yang keempat– “YA”... kalau ini tulisanku sendiri!” ucap Budi.
“Nah... akhirnya kertas kelima! Pasti tulisan Ana... dan jawabnya pasti “YA” dong,” seloroh Budi sedikit gusar.
“Beneran Bud... aku menulis tidak!” teriak Ana galak.
“Baik... bukti otentik tidak bisa dilawan!” sungut Budi.
Dia lalu membuka lipatan kertas yang terakhir, tapi kami semua terbelalak melihatnya karena disitu tertulis kata “TIDAK”. Kami bengong dibuatnya, padahal tadi waktu mau memulai permainan kami melihat dengan jelas bahwa tiga diantara tulisan itu adalah “YA”. Secara refleks kami menengok ke arah pohon itu, entah mengapa rasa takut tiba-tiba menghinggapi kami semua, tergesa-gesa kami mengambil tas masing-masing lalu berlari menjauhi area itu.
No comments:
Post a Comment