Masa liburan semesteran yang panjang akan segera tiba. Alex adalah seorang mahasiswa semester 4 di sebuah universitas di Yogyakarta. Bersama ketiga temannya yaitu Wisnu, Nurdin, dan Rudy, mereka berencana untuk mengisi liburan semesteran di rumah paman Alex yang bernama pak Darmadji, di sebuah dusun yang terpencil di daerah Banyuwangi. Mereka sengaja mencari tempat terpencil yang tenang dan damai untuk benar-benar memuaskan kerinduan mereka akan ketenangan setelah selama satu semester mereka menghabiskan waktu untuk belajar, belajar, dan belajar di kampus.
Acara mengisi liburan pun dirancang sedemikian matang. Mereka ingin menikmati ketenangan itu sembari lebih mendekatkan diri dengan alam pedesaan. Rumah pak Darmadji ini meski masih harus melewati jalan setapak sejauh 1 kilometer bagi mereka tidak masalah.
Singkat cerita, mereka berempat berangkat dari tempat kost dengan membawa bekal pakaian dan sebagainya masing-masing sebanyak satu tas ransel saja. Dengan naik bus, mereka akhirnya tiba di sebuah terminal angkutan kecil di Banyuwangi sekitar pukul 16.30 WIB. Dilanjutkan dengan naik ojek menuju ke dusun tempat tinggal pak Darmadji. Kemudian mereka berhenti di dekat persawahan karena sudah sampai pada jalan setapak menuju ke rumah pak Darmadji.
Setelah berjalan kaki menyusuri jalan setapak sepanjang satu kilometer, akhirnya menjelang Maghrib mereka baru tiba di rumah pak Darmadji. Namun karena rumahnya sempit maka acara menginap dialihkan dengan bermalam di rumah pak Darmadji yang satunya.
Rumah pak Darmadji yang ini merupakan pondok kosong peninggalan almarhum mertuanya. Pondok tersebut dinding-dindingnya terbuat dari kayu. Letaknya menyendiri di antara rumah-rumah yang bertebaran di dusun yang berada di pinggiran bukit itu. Lokasi pondok kosong itu agak menonjol, berada di dataran agak tinggi. Di sebelah pondok terdapat satu pohon beringin yang besar sekali, sepertinya usia pohon itu sudah puluhan tahun. Ketika Alex menawarkan teman-temannya untuk menginap di pondok kosong itu mereka tidak keberatan. Pasalnya pada malam liburan, keempat sekawan ini sering meluangkan waktu untuk bermain gitar bersama dan menyanyi sambil membakar jagung.
“Terserah kalian kalau mau tinggal di rumah kosong itu. Rumah itu kepunyaan almarhum orang tua bulik (tante)mu, dulu ditempati pekerja bangunan yang sedang membangun talud di desa ini tapi kemudian mereka pindah karena merasa tidak kerasan,” ujar pak Darmadji.
Pondok kosong itu lumayan luas dengan dua buah kamar tidur dan sebuah dapur yang masih tradisional...
Ketika malam tiba. Setelah selesai menghabiskan makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah sambil bercanda tawa dan merencanakan berbagai kegiatan untuk esok hari termasuk pergi mandi di sungai yang mengalir dari atas bukit. Selain itu, mereka juga santai-santai sambil bermain gitar. Makin lama nyanyian yang diperdendangkan semakin mendayu hingga akhirnya satu per satu dari mereka jatuh tertidur. Hanya Wisnu dan Rudy saja yang kemudian bangun dan terjaga cukup lama. Keduanya kemudian meneruskan bercengkerama dengan suara pelan, dan tidak lagi diiringi petikan gitar, agar tidak mengganggu kedua rekannya yang sudah tertidur pulas.
Keduanya membicarakan persoalan seputar kabar politik saat ini. Tiba-tiba mereka berdua yang sedari tadi terlihat termenung mendengar suara pintu diketuk. Serta merta keduanya menoleh ke arah pintu itu. Kemudian Wisnu berdiri dan membuka pintu, Ia terpaku karena tidak ada seorangpun di luar. Dia menengok ke kanan dan ke kiri tapi tidak ada seorangpun juga. Tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan yang berjalan menuju pohon beringin di samping rumah. Pelan-pelan dengan rasa penasaran, Wisnu mengikuti bayangan tersebut.
Sementara itu, Rudy yang masih berada di dalam rumah berteriak memanggil Wisnu.
“Siapa Wis, yang datang?”
Namun, tidak ada jawaban.
“Wis, siapa yang datang?” Rudy mengulangi pertanyaannya dengan nada agak lebih keras lagi. Suara Rudy yang agak keras ini membuat Alex dan Nurdin terbangun.
“Ada apa sih Rud, kok malam-malam gini teriak-teriak?” tanya Nurdin.
“Tadi ada yang mengetuk pintu, sudah dibukakan sama Wisnu, entahlah... siapa yang malam-malam begini bertamu,” jawab Rudy.
Dengan rasa penasaran, Rudy berdiri kemudian mencoba menyusul Wisnu yang masih berada di luar. Sampai di luar rumah, suasana tampak sepi tak ada seorangpun. Rudy mencoba memanggil-manggil Wisnu.
“Wis... dimana kamu, Wisnu jawab, dimana kamu?”
Rudy mencoba berjalan mengelilingi pondok, tapi tetap saja sepi tidak nampak Wisnu maupun orang lain. Kemudian dia masuk kembali ke dalam pondok menemui Alex dan Nurdin.
“Aneh, kok di luar Wisnu tidak ada ya?” kata Rudy
“Sembunyi kali Rud, pingin ngerjain kamu... hehehe,” gurau Nurdin.
“Tapi tadi ada yang mengetuk pintu,” jawab Rudy.
“Ayo kita lihat saja daripada penasaran,” tambah Alex.
Pada saat ketiganya mau berdiri, tiba-tiba Wisnu masuk ke dalam pondok dengan wajah aneh. Raut mukanya nampak pucat pasi, kedua matanya memerah dan melotot. Nafasnya terengah-engah penuh emosi.
“Pergi kalian dari sini...!” teriak Wisnu dengan suara yang keras dan menggelegar.
“Hei..! Ada apa Wis, kenapa kau ini?” tanya Alex.
Pada saat bersamaan, Nurdin berbisik kepada Rudy.
“Rud sepertinya itu bukan suara Wisnu, jangan-jangan dia kesurupan,” bisik Nurdin.
“Aku bukan Wisnu, pergi kalian... PERGI... sebelum aku marah..! Aku tidak suka kalian berada disini, pergi kalian,”
“Wis, istighfar Wis... istighfar..!” kata Alex.
Sedangkan Nurdin dan Rudy hanya berdiri ketakutan sambil membaca-baca doa.
“Pergi kalian semua... PERGI... PERGIII...!” teriak Wisnu, dengan nada yang tinggi.
Lama-kelamaan suaranya terdengah lirih serta tubuhnya mulai lunglai dan tiba-tiba...
“Brukk...!”
Wisnu pun jatuh pingsan.
Alex, Rudy, dan Nurdin bergegas mengangkat tubuh Wisnu yang tergeletak pingsan, dan memindahkannya ke dalam kamar. Mereka bertiga berusaha menyadarkannya.
“Wisnu... bangun, ayo bangun Wis... sadar... sadarlah Wis,” ketiga temannya mencoba menyadarkan Wisnu.
Akhirnya seiring dengan berkumandangnya adzan Subuh, Wisnu mulai sadar. Ketiga temannya mulai tenang dan memberinya minum.
“Ada apa kalian ini, mengapa memandangiku seperti itu dan kenapa aku harus minum air ini?” tanya Wisnu.
“Semalam kamu pingsan, sepertinya kamu kesu–” jawab Rudy, namun dipotong oleh Nurdin.
“Sudahlah, dilanjut nanti. Sekarang ayo kita shalat subuh berjamaah dulu.”
Selesai shalat subuh berjamaah, kembali Wisnu bertanya pada ketiga temannya.
“Kenapa sih kalian tadi memandangiku?”
“Siapa tadi malam yang ketuk pintu, dan kamu terus menghilang ke mana, kok pulang-pulang kamu langsung jatuh pingsan?” tanya Rudy.
“Oh, jadi itu? Semalam yang ketuk pintu itu seorang nenek, namanya mbah Darsiyem. Dia menangis karena tidak bisa tidur. Rupanya ketika kita bermain gitar, bernyanyi, dan bergurau semalam, suara kita terlalu keras, sehingga mengganggunya. Tapi aku sudah minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya, dan akhirnya mbah Darsiyem pulang. Semula mau aku antar pulang sampai ke rumahnya, tapi mbah Darsiyem menolak. Cukup sampai depan pohon beringin saja, sudah dekat kok, begitu katanya. Akhirnya aku kembali masuk, dan melihat kalian bertiga sudah tidur nyenyak sekali, makanya akupun langsung masuk kamar dan tidur. Jadi siapa yang pingsan...?” cerita Wisnu.
“Tapi...”
Belum selesai Rudy bicara terdengar pintu diketuk, ternyata pak Darmadji datang membawa singkong rebus dan satu teko teh hangat.
“Bagaimana tidur kalian, nyenyak kan...?” tanya pak Darmadji.
Kemudian mereka berempat mulai menceritakan kejadian aneh semalam.
“Oh... jadi itu rupanya yang menyebabkan para pekerja bangunan itu merasa tidak kerasan tinggal di pondok ini. Kalau begitu nanti malam kalian pindah ke rumah paman saja. Disini tidak ada nenek yang bernama Darsiyem. Mungkin dia jin penunggu pohon beringin besar yang berada di samping pondok ini,” tutur pak Darmadji dan langsung pamit pergi tidak melanjutkan ceritanya.
Alex tahu tentang keganjilan itu, siang itu juga ia mengajak teman-temannya pindah ke rumah pamannya. Alex ketika itu hanya berpikir, bisa saja jin penunggu pohon beringin besar itu merasa terusik oleh kehadiran mereka.
No comments:
Post a Comment