Tuesday, January 7, 2020

Hantu Pohon Asam (Banyuwangi)


Liburan semester kali ini, kami berlima; Dian, Yati, Ratna, Sarah dan aku berencana berlibur ke rumah eyang Dian di Banyuwangi. Menurut cerita Dian, rumah eyangngnya itu terletak di pegunungan, dikelilingi kebun yang ditanami aneka tanaman. Selain itu, di kebun tersebut juga dilewati aliran sungai kecil yang membelah kebun. Wah kami membayangkan pasti asyik tuh liburan disitu.

Dari terminal kota, kami beralih ke angkot desa. Awalnya hanya kami berlima dan beberapa pedagang naik angkot itu, tapi begitu keluar dari terminal dan berjalan pelan menuju desa, satu dua penumpang mulai naik dan akhirnya angkot itu penuh. Mulai terasa deh sesaknya... mana baunya macam-macam lagi... hehehe. Setelah sekitar satu jam perjalanan kami pun sampai. Dengan membawa tas punggung masing-masing kami berjalan menyusuri jalan desa mengikuti langkah Dian. Tak seberapa lama kami pun bisa melihat rumah eyangnya Dian. Tampak bahwa rumah tua berbentuk limasan itu sangat anggun berdiri dikelilingi kebun dan pohon-pohon besar. Beberapa pohon kelapa tegak berdiri laksana barisan prajurit. Juga ada pohon asam yang menjulang di sisi kanan samping rumah. Sepertinya asyik buat memanjat. Di depan rumah, ada halaman besar yang tumbuh beberapa gerombol tanaman bunga mawar liar, ada yang berwarna merah dan ada pula yang berwarna putih. 

Dian membimbing kami memasuki rumah, setelah duduk di ruang tamu Dian masuk ke dalam, tak seberapa lama ia keluar dengan seorang nenek tua.

“Konco-koncone Dian, yo?” tanya nenek dengan logat Jawa yang kental. Kami mengangguk dan satu persatu dari kami menjabat tangan beliau.

“Yo wis, monggo menikmati dusun ini. Eyang akan menyiapkan makan malam buat kalian. Pokoknya anggap rumah sendiri, tidak perlu sungkan,” eyang Dian lalu beranjak meninggalkan kami di ruang tamu.

Setelah ngobrol sejenak dan minum teh yang disajikan oleh Dian, kami pun masuk ruang tidur Dian untuk menaruh tas-tas kami. Ruang tidur Dian besar sekali dan ada dua tempat tidur berjejer, cukuplah buat kami berlima tidur disitu. Lalu kami bergantian mengantri mandi. Kamar mandinya terletak di luar rumah, meski tidak begitu jauh kami lumayan takut kalau malam hari mesti ke kamar mandi sendirian. Tapi kami sudah sepakat untuk saling antar.

Sehabis mandi, kami berlima berjalan-jalan di sekitar rumah. Meski masih sore, hawa dingin lumayan menyergap kami. Awalnya Dian membawa kami ke kebun belakang yang ditanami aneka tanaman buah. Ada buah belimbing, papaya, mangga, jeruk dan beberapa tanaman lain.

“Besok kita bisa membuat acara rujakan nih,” celetuk Ratna girang. 

“Iya... lihat tuh buah-buahnya... segar menggoda selera,” timpal Yati.

“Asal jangan kebanyakan cabe ajah... nanti sakit perut berebut antri ke kamar mandi... kalau malam-malam mau ke kamar mandi emang kalian berani?” tanyaku.

“Kan sudah sepakat saling antar? Kalau ramai ramai mah hantunya yang takut...” ucap Sarah, lanjutnya, “Disini kan kawasan bebas hantu ya Dian?”

Mendengar pernyataan Sarah, Dian tertawa. Kami pun ikut tertawa. Tapi kami terhenyak mendengar penjelasan Dian selanjutnya. “Tapi menurut cerita eyangku, dulu... duluuuuuu sekaliiiii... ada orang Belanda yang digantung di pohon asam itu oleh tentara Jepang. Biasalah jaman perang, nyawa nggak ada harganya.” 

Namun ketika Dian melihat wajah-wajah kami yang berubah ngeri ia pun menyadari kalau cerita itu sudah membuat kami bergidik.

“Eh tapi jangan takut, itu kan cuma cerita... paling juga buat nakut-nakutin aja biar nggak keluar malam-malam... dan selama ini nggak ada hantunya kok... nyatanya eyangku tinggal disini sendiri juga berani. Masak kita berlima kalah nyali sama eyang yang sudah sepuh... malu dong!”

Kami semua pun tertawa terbahak mendengar argumen Dian.

“Iya deh... ntar kalau hantunya nongol kita kerubut saja. Satu banding lima pasti kalah kan?” ucapku seenaknya. Kami tertawa lagi, cerita soal hantu pun berlalu dan kami melanjutnya acara jalan-jalan sore kami mengelilingi kebun dan halaman rumah eyangnya Dian.

Malam itu kami berlima tidur lelap di kamar Dian, maklum seharian perjalanan membuat kami lelah, juga hawa dingin menusuk tulang membuat kami nyaman di balik selimut dan berdesak tidur. Namun tiba-tiba bahuku diguncang seseorang, setengah sadar kulihat Yati mencoba membangunkanku.

“Anterin aku dong, mau pipis nih... habis dingin banget sih jadi kepingin pipis!” Suara Yati terdengar memelas. Terpaksa deh aku bangun. Karena sudah jatahku menemaninya maka meski mata ini berat untuk dibuka dan seluruh badan serasa melayang kupaksa beranjak dari tempat tidur. Dengan dibungkus jaket tebal aku dan Yati keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di luar rumah.

Keluar rumah, hawa dingin segera menyergap kami, setelah menutup pintu dan merapatkan jaket kami ke badan kami pun berjalan beriring ke arah kamar mandi. Suasana desa yang sepi terpecah oleh suara angin dan tanaman-tanaman yang daunnya bergoyang-goyang tertepa angin. Jantungku berdegup kencang, ada perasaan takut menjalar ke tubuhku. Kupikir Yati juga demikian karena langkah kakinya terasa makin cepat saja.

“Eh, pintunya jangan ditutup rapat ya? Aku tunggu di luar pintu!” pintaku kepada Yati. Dia mengangguk setuju. Setelah kami bergantian masuk ke kamar mandi, kami pun berjalan kembali menuju ruang tidur Dian. Saat aku melewati pohon asam itu, meski berjarak bebarapa meter dari emperan rumah tak ayal bulu kudukku berdiri karena tiba-tiba cerita Dian soal orang Belanda yang digantung tentara Jepang itu melintas di pikiranku. Akupun merapat ke badan Yati dan kami berpegangan erat. Aku tidak berani menengok ke arah pohon itu, pokoknya jalan terus saja menuju kamar.

Setelah tiba di pintu rumah, aku merasa lega. Yati masuk duluan baru aku, saat mau menutup pintu tak sengaja mataku melirik ke arah pohon asam. Meski cuma sesaat, mataku menangkap bayangan seseorang tergantung di pohon asam itu, walau kemudian hilang ditelan gelapnya malam. Segera pintu itu kututup dan kukunci. Kami kembali ke kamar tidur dan berusaha tidur. Kulihat keempat temanku tertidur pulas, sedang aku tetap terjaga terbelenggu bayangan di pohon asam itu karena menyisakan sebuah tanya, apakah itu benar-benar bayangan orang Belanda itu ataukah cuma khayalanku saja? Ah... aku merasa malam membentang begitu lama.

No comments:

Post a Comment

La Planchada