Demi masa depan kedua anaknya, Indarsih nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit diterima oleh akal sehat. Ia rela menikah dengan bangsa jin. Hal ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia ghaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi?
Begini ceritanya...
Kehidupan rumah tangga Indarsih pada awalnya sangat bahagia. Suaminya, Waskito utomo, adalah seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga seorang ayah yang baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.
Suatu ketika mereka harus pindah dari Surabaya ke Bogor. Maklum saja, ketika itu Waskito dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi, jabatan, dan juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula mereka berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun justru di kota hujan inilah kepahitan itu berawal.
Ya, benar...!
Tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga mereka yaitu Hendarman Priyambodo, yang ketika itu baru berumur tiga tahun. Kenyataan ini sungguh memukul batin Indarsih dan suaminya. Sejak si bungsu divonis mengidap kanker otak, Indarsih sering melihat suaminya melamun seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Waskito jauh lebih menyayangi si bungsu. Sebab semenjak masih bayi merah, anak ini memang sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari mereka.
Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kedua pasangan ini, terutama Waskito yang pernah menyebut Hendarman sebagai “anak yang akan memiliki banyak keajaiban.”
Sebab ketika Indarsih mengandungnya, Waskito mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip sosok seorang wali, yang menitipkan anak kepadanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Waskito bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh anak bungsunya tergolong relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha mereka membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota Bogor sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil Hendarman sering jatuh pingsan, dan mereka sebagai orang tua merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa untuk menolongnya, kecuali hanya dengan membawanya ke rumah sakit sesegera mungkin untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.
Mereka hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2001 silam. Ketika itu mereka sekeluarga memutuskan untuk mudik ke kampung halaman Indarsih di Banyuwangi, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran bersama keluarga besar, rencananya kesempatan ini juga akan mereka gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit yang diderita oleh si bungsu.
Namun sekali lagi, manusia hanya bisa berencana dan berusaha, sedangkan hasilnya Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tua Indarsih untuk menikmati liburan, dan sebelum sempat mereka membawa si bungsu berobat secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya terlebih dulu. Hendarman Priyambodo menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan ini terjadi hanya tiga hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa berdukanya mereka sekeluarga karena kepergian si bungsu bertepatan pada hari yang semestinya penuh dengan perayaan dan kebahagiaan. Apalagi pada malam sebelumnya si bungsu Hendarman masih sehat dan bermain-main dengan Indarsih dan Waskito. Baru menjelang subuh ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu, dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam gendongan Waskito.
Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi pasangan Indarsih dan Waskito. Sebagai seorang ibu yang telah merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang tentu sulit bagi Indarsih untuk mengikhlaskan kepergiannya. Waskito pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki, ia sudah pasti jauh lebih kuat mentalnya jika dibandingkan dengan Indarsih. Buktinya, walau masih dalam keadaan berduka, setelah selamatan tujuh hari kepergian putra kesayangannya, Waskito langsung kembali ke kota Bogor untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan swasta.
Sementara itu Indarsih sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tuanya. Demikian pula dengan kedua anak mereka yang ketika itu baru duduk di kelas satu dan kelas dua SMP. Mereka tetap tinggal di Banyuwangi, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya, kedua anak tersebut memilih untuk pindah sekolah dari Bogor ke Banyuwangi.
Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang harus dilalui oleh Indarsih terasa sangat hampa. Berat pula baginya untuk kembali ke Bogor mengingat kedua putra dan putrinya juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Karena keadaan inilah, maka pada akhirnya Indarsih pun lebih memilih untuk tinggal dan menetap di Banyuwangi. Suaminya cukup mengerti dengan pilihan Indarsih ini. Ia tahu pasti kalau kondisi kejiwaan Indarsih masih sangat labil.
Lima bulan telah berlalu semenjak kematian si bungsu, Waskito masih rutin mengirimi Indarsih uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Namun di bulan ke-6 terjadilah sesuatu yang tak pernah diduga oleh Indarsih sebelumnya. Kiriman uang dari Waskito tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, Indarsih kemudian mencoba menghubungi suaminya melalui ponsel miliknya, tapi ternyata hanya masuk mailbox. Ketika ia mencoba melakukan kontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan bahwa Waskito, suaminya sudah mengundurkan diri sejak sebulan yang lalu.
Berita ini benar-benar membuat Indarsih pusing tujuh keliling. Mengapa suaminya mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta pendapatnya, atau setidaknya memberitahu dirinya? Apa yang telah terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan?
Setumpuk pertanyaan dalam benak Indarsih itu tak pernah mendapatkan jawabannya, sebab semenjak ia menerima berita tersebut, Waskito, suaminya itu seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah sedikitpun Indarsih mendengar kabar tentang dirinya. Berulang kali ia menghubungi nomor ponselnya, namun yang ia dengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tidak dapat dihubungi.
Betapa kecewa hati Indarsih, sebab Waskito pun sama sekali tak pernah mengontak dirinya lagi walau hanya sekejap saja.
Kemana perginya Waskito? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkan Indarsih dengan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama untuk pendidikannya kelak.
Di tengah keputusasaan itu Indarsih bertemu dengan sahabatnya semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Sumiyarsih. Waktu itu Indarsih sangat terkejut melihat keadaan Sumiyarsih yang sepertinya sudah menjadi orang sukses. Ia bisa menyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah untuk ukuran Indarsih. Tak hanya itu, ia juga sudah berganti nama menjadi Laila dan sudah bisa pergi haji. Ia nampak cantik sekali dengan balutan busana muslimah.
Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Sumiyarsih bisa berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, Indarsih tahu persis bagaimana asal-usul sahabatnya ini. Ia lahir dari keluarga buruh tani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak biaya sekolah, dan kalau jajan di kantin sering kali Indarsih yang mentraktirnya.
Melihat Sumiyarsih yang sudah hidup senang dan bergelimang kemewahan, terus terang saja Indarsih merasa sangat iri padanya. Dan sahabatnya ini seolah-olah bisa membaca perasaan Indarsih. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundang Indarsih datang ke rumahnya.
Ketika Indarsih sampai di rumahnya, kekagumannya pada sahabatnya itu semakin besar saja. Bagaimana tidak? Ia melihat rumah Sumiyarsih yang megah dan sangat mewah menurut penilaian Indarsih.
“Kemana suami dan anak-anakmu, Sum?” tanya Indarsih saat melihat suasana rumah yang sepi sekali.
Sumiyarsih tersenyum sambil menyuguhkan cemilan di hadapan Indarsih.
“Aku sudah 5 tahun menjanda, In!” katanya.
Mendengar jawaban itu, Indarsih merasa sedikit tak enak hati. Namun, Sumiyarsih sepertinya tidak merisaukan pertanyaan dari Indarsih barusan. Buktinya ia segera menyambung penjelasannya.
“Suamiku dulu selingkuh, jadi kupikir lebih baik ya bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu aku tolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oh... ya, bagaimana dengan keadaanmu, Indarsih?”
Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling Indarsih pun menceritakan bagaimana porak-porandanya keluarganya. Sebagai sahabat, sepertinya Sumiyarsih sangat tersentuh mendengar cerita sedih Indarsih.
Ia berkata setelah menyimak ceritanya.
“Aku ini tetap sahabatmu, Indarsih. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?”
“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Sum?” Indarsih balik bertanya.
“Kau harus kawin dengan bangsa jin...!”
Betapa terkejutnya Indarsih mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatnya ini. Bagaimana mungkin Sumiyarsih yang sudah pernah pergi haji itu sampai tega menawarkan solusi sesat itu kepadanya?
Seolah bisa membaca keterkejutan Indarsih, Sumiyarsih buru-buru menyambung ucapannya sambil tersenyum.
“Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Indarsih! Menurutku ini adalah suatu yang halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, makhluk itu akan menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga karena melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai dari makhluk itu sebab aku sudah merasa punya cukup modal untuk bekal hidup sampai tujuh turunan. Makhluk itu bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa menjalankan ibadah.”
Setelah mendengar penjelasan Sumiyarsih seperti itu, Indarsih pun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat sulit bagi dirinya. Bapaknya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi Indarsih juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua anaknya. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.
Dengan kedua alasan tersebut akhirnya Indarsih meminta Sumiyarsih untuk mengantarkan dirinya ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu ritual kawin dengan bangsa jin itu.
Singkat cerita, Sumiyarsih mempertemukan Indarsih dengan Kyai Badrun, seorang paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan bangsa jin. Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginan Indarsih yang disampaikan oleh Sumiyarsih, Kyai Badrun mengaku bersedia membantu. Namun Indarsih diminta untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti ayam cemani, kembang tujuh rupa, dan berbagai sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Sumiyarsih bersedia membantu Indarsih menyiapkan semua keperluan ini.
Benar juga kata Sumiyarsih. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Kyai Badrun, sebab ayah Indarsih memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Kyai Badrun bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.
Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mata Indarsih, maka proses ijab kabul pun sangat janggal menurut Indarsih. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Sumiyarsih berbisik di telinga Indarsih.
“Suamimu itu tampan sekali, Indarsih. Kau beruntung mendapatkannya!”
Tampan? Bagaimana mungkin Sumiyarsih mengatakan ini pada Indarsih, padahal Indarsih sama sekali tidak melihat keberadaan suami yang katanya tampan itu. Apakah memang Sumiyarsih bisa melihat perwujudannya sehingga ia bisa berkata demikian?
Indarsih tak tahu pasti. Yang jelas, ia meyakini kalau Sumiyarsih hanya membohonginya. Buktinya, ia mengalami ketakutan yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suami ghaibnya datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama.
Memang, sesuai dengan pesan Kyai Badrun, malam pertama Indarsih dengan suaminya yang merupakan bangsa jin itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan menurut paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suaminya itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang lebih dari mencukupi.
Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempat tinggal Indarsih sedang ada acara hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anak Indarsih sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu Indarsih menyuruh mereka pergi nonton sendiri. Yang tinggal di rumah hanya ayah Indarsih yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang tengah malam kedua anak Indarsih pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Indarsih sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar ia kunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.
Sesuai dengan pesan Kyai Badrun, Indarsih sudah berdandan cantik dengan pakaian yang sudah diberi minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya sangat menyengat. Indarsih tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.
Menjelang pukul satu dini hari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Indarsih pun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk matanya, antara sadar dan tidak ia dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam kamarnya.
Aneh sekali, sepertinya ada sosok bayangan hitam yang tiba-tiba muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia jin yang telah sah menjadi suami Indarsih? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Sumiyarsih berkata kepadanya bahwa suaminya ini sangat tampan. Apakah Sumiyarsih benar-benar sudah membohongi dirinya?
Berbagai pertanyaan itu mendera batin Indarsih. Sementara makhluk menyeramkan itu berdiri sambil memandangi tubuh Indarsih, membuat nyali Indarsih semakin ciut. Ia mulai merasa ketakutan. Indarsih bergidik dan berusaha menjerit, namun anehnya seketika itu suaranya seperti tercekat di kerongkongannya, dan tubuhnya berubah sangat kaku tak bisa digerakkan seperti terpasung oleh suatu kekuatan ghaib.
“Tolooong...!”
Indarsih ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutnya bagaikan tersumbat. Teriakannya hanya menggema di dalam rongga dadanya.
Tetapi Tuhan masih menyayangi Indarsih. Dalam keadaan yang sangat kritis dan menakutkan itu tiba-tiba saja mulutnya bisa berucap dengan lantang.
“Astagfirullah... Allahu Akbar... Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah...!”
Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulut Indarsih. Dan yang terjadi di hadapannya sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak saja makhluk menyeramkan itu terpental menjauh darinya, sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuh Indarsih yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan Indarsih melompat dari tempat tidur sambil berteriak memuji kebesaran Allah.
“Laa Ilaaha Illallah... Allahu Akbar... Subhanallah...!”
Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutnya, dengan suara yang lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu pun perlahan berubah wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.
Tak lama kemudian kedua anaknya menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggilnya.
“Ibuu...”
Ketika pintu ia buka, mereka langsung berhamburan memeluk Indarsih dan langsung bertangisan.
“Apa yang terjadi, Ibu?” tanya Eko, anak sulungnya.
Indarsih hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil membiarkan air matanya mengalir deras membasahi sekujur wajahnya. Sungguh ia tak kuasa menjelaskan semua ini kepada kedua anaknya. Ia tidak ingin melukai perasaan mereka. Indarsih tidak ingin mereka menuding dirinya telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan menanggung kesulitan hidup.
Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Sumiyarsih datang menemui Indarsih dan mengatakan bahwa ia telah gagal dalam melakukan ritual.
“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Sum...! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin dengan jin itu...” jawab Indarsih setelah mendengar penjelasan Sumiyarsih.
Meski mengaku kecewa, namun Sumiyarsih cukup mengerti dengan perasaan Indarsih. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar Indarsih tidak sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila ia memerlukannya. Namun sejujurnya, Indarsih tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatnya ini walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata ia lakukan karena ia takut sesuatu akan terjadi terhadap dirinya.
Ketika Indarsih memutuskan untuk mencurahkan kisah ini kepada seorang ulama setempat, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, Indarsih masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan makhluk seram dari alam ghaib itu masih sering menghantui dirinya. Ia sering datang dalam mimpinya dan menagih malam pertamanya pada Indarsih.
No comments:
Post a Comment