Menunggu mobil dipanasi, kami bertiga duduk santai di teras rumah Andi. Hanya tinggal menanti Marina dan Intan yang sebentar lagi pasti akan datang karena sudah sepakat untuk berkumpul di rumah Andi jam empat sore. Saat ini baru jam tiga lebih empat puluh lima menit jadi tak lama lagi mereka tiba.
Sesuai rencana, kami akan liburan ke Semarang selama sekitar tiga sampai empat hari. Dan itu sudah jauh-jauh hari diperhitungkan, sehingga ada waktu untuk mengumpulkan uang dan membuat perencanaan matang, maklum kami semua masih berstatus mahasiswa alias belum ada penghasilan sendiri, jadi mau tak mau mesti bisa mengatur pengeluaran seefisien mungkin agar bisa berhemat.
Dari lima orang kelompok gank kami ada dua yang masih tinggal dengan orang tuanya yaitu Andi dan Nuri, sedang tiga lainnya kost, yaitu Marina, Doni dan Intan. Karena rumah Andi terletak di perkotaan dan paling mudah aksesnya maka tempat berkumpul ditetapkan di rumahnya.
“Marina sama Intan kok belum datang ya?” tanya Doni si ketua gank.
“Sebentar lagi lah...” jawab Andi, lalu matanya beralih melihat jam tangan, “Belum ada jam empat, masih kurang lima belas menit!”
“Namanya juga cewek! Persiapannya lebih banyak!” timpalku.
Aku sebagai seorang perempuan tahu pasti kalau yang namanya cewek itu tidak sepraktis kaum cowok. Kebutuhannya lebih banyak. Karena aku masih tinggal dengan orang tua, kalau ada yang belum sempat aku kerjakan bisa diambil alih sama anggota keluarga yang lain. Beda dengan kedua temanku yang kost itu, semua mereka urus sendiri.
“Mestinya nggak perlu ribet kan? Asal bawa baju dan duit… beres deh!” sergah Doni.
“Yaaah… kayak nggak tahu cewek saja sih!” seru Andi.
Aku mengangguk-angguk membenarkan ucapannya, sedang Doni cuma cengar-cengir. Dia memang paling disiplin dan tipe orang yang praktis. Makanya dia cocok jadi kepala gank.
“Eh, mobil itu dari persewaan alias rental ya? Bagus nggak kondisi mesinnya?” Andi mengalihkan topik pembicaraan.
“Iya… jangan sampai mogok di jalan, bisa repot semua nih!” tambahku.
Doni mengacungkan jempol, lalu ucapnya, “Aku sudah kenal baik sama pemilik rental, dan selama ini tiap kali ayahku rental di situ tidak pernah ada masalah. Semua lancar-lancar saja!”
Menurut ceritanya, ayahnya itu punya usaha pariwisata. Dia menangani wisata kecil alias khusus keluarga atau kelompok kecil-kecil yang terdiri beberapa orang, jadi dia sering menyewa mobil di salah satu rekan bisnisnya yang punya usaha rental. Ilmunya itu menurun ke anaknya ya si Doni itu, jadi dia paling mengerti diantara kami seluk beluk tempat wisata dan tetek bengek yang dibutuhkan untuk wisata, serta bisa mengarahkan agar bisa berhemat.
“Iya deh percaya… kan Doni yang paling pakar soal wisata!” aku mengiyakan pernyataanya.
Aku lalu berjalan ke arah mobil itu untuk mengamatinya, bersih dan kinclong, saat kubuka pintunya aroma segar tercium. Kata Doni sih mobil itu sudah dicuci sebelum dibawa kemari. Namun ketika aku bermaksud menutup kembali pintu itu, bau segar itu berubah menjadi wangi bau bunga melati. Aneh… masak baunya bisa berganti sedemikian cepat? Tapi kemudian aku tersenyum saat kulihat dari balik jendela kaca mobil -segerombolan tanaman melati yang tumbuh di sisi samping halaman rumah Andi. Angin pasti telah menerbangkan bau bunga itu ke arahku.
“Wah mobilnya bersih dan wangi!” teriaku ke arah Doni dan Andi. Aku lalu kembali ke teras.
“Ya iyalah!”seru Doni membalas ucapanku.
“Eh tuh lihat… Marina dan Intan sudah datang!” tunjukku ke arah depan, kulihat mereka datang bersama dengan mengendarai motor.
“Loh kok naik motor?” seru Andi sedikit bingung, aku juga, karena kami akan piknik ramai-ramai… lha ini kenapa malah bawa motor?
“Maaf… maaf… belum terlambat kan?” tergesa Marina turun dari boncengan. Setengah berlari dia menuju ke arah kami. Sedang Intan memarkir motornya dulu.
“Belum! Belum ada jam empat!”
“Kok bawa motor?”
“Sekalian mau nitip motor ke Andi, boleh kan Ndi? “jawab Intan.
“Boleh saja sih… memang di kost-mu ada apa?”
“Wah… kost-ku tuh nggak aman, maklum langsung menghadap jalan, agak riskan buat menyimpan motor! Liburan lebaran kemarin ada salah satu penghuni kost yang kehilangan, padahal pintu dan jendela sudah dikunci rapat! Makanya mending aku nitip ke Andi saja, kan rumah sendiri dan selalu ada penghuni!” terang Intan panjang lebar.
“Boleh aja sih asal… WANI PIRO!” Andi menirukan iklan terkenal yang sering ditayangkan di televisi.
“Huuuuuuu…” Intan mencibir.
Andi sendiri lalu terkekeh. “Ya sudah, ayo motornya dimasukin ke dalam dulu!”
Dia lalu membimbing Intan membawa motor itu ke dalam. Rumah Andi tergolong rumah model lama, itu peninggalan kakeknya yang diturunkan ke ayahnya, maka nggak heran kalau rumah itu punya halaman yang luas, tidak masalah kalau dititipin motor.
Menunggu Andi dan Intan, kami ngobrol-ngobrol.
“Wah mobilnya bagus juga ya!” ujar Marina menatap ke arah mobil itu.
Itu jenis mobil keluarga dengan dua kursi di depan, tengah dan belakang. Cukuplah buat menampung kami berlima. Keluaran tahunnya juga lumayan baru- belum ada sepuluh tahun lah.
“Siapa dong yang nyariin!” Doni menjawab sambil tersenyum puas.” Doni gitu loh!”
Kami tertawa. “Iya deh… percaya percaya…!” ucap kami berbarengan.
“Sudah siap nih semuanya?” teriak Andi diikuti Intan dari arah belakang.
“Yoi…!” Jawab kami serempak.
“OK, aku pamitan ibu dulu ya!” lalu Andi kembali masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian dia muncul dengan ibunya.
“Sudah mau berangkat ya? Ini ada makanan kecil buat kalian!” ibunya Andi menyerahkan sebuah tas plastik besar berisi makanan kepada Intan.
“Makasih Tante!” jawab kami senang, lumayan bisa buat ngemil di dalam mobil, anggaran buat makanan kecil bisa dihapus dari daftar.
Setelah berpamitan kami pun meluncur. Di depan duduk Doni dan Andi. Doni yang pertama mengemudi, di bagian tengah ada Aku dan Intan, sedang Marina duduk sendirian di kursi ketiga atau bagian belakang. Tas punggung berisi pakaian kami letakkan di bagasi belakang. Sedang tas berisi makanan dari ibunya Andi berikut minuman kemasan kami taruh di samping Marina agar mudah bila membutuhkannya.
“Makanannya dibuka dong!” teriak Andi, “Suka nggak dengan makanan dari ibuku?”
Marina membuka tas plastik besar itu, lalu serunya, “Wah...banyak banget makanannya! “Dia lalu menyebut satu demi satu nama makanan itu.
“Kita ambil kacang bawangnya dulu aja!” usulku, “Lainnya disimpan buat besok, kan perjalanan kita masih lama!”
Marina lalu mengeluarkan plastik berisi kacang bawang, setelah mengambil satu genggam dia lalu menyerahkan ke kami yang duduk di bagian tengah, sama seperti dia kami juga masing-masing mengambil satu genggam, lalu estafet ke depan ke arah Andi. Kemudian dia juga membagikan minuman kemasan.
“Ntar malam sudah sampai Semarang kan?” seru Intan, sambil tetap sibuk memunguti satu demi satu kacang dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Kalau lancar sih… namanya di jalan kan nggak bisa dipastikan!” jawab Doni dari balik kemudi.
“Yang penting sudah reservasi hotel, jadi kalaupun telat kita tetap dapat tempat buat menginap!” tambahku.
“Iya, liburan begini kalau nggak pesan tempat sebelumnya bisa repot, biasanya penginapan banyak yang penuh, maklum Semarang kan termasuk tempat tujuan wisata!”
“Sudahlah… semua kan sudah diatur sama Doni. Dijamin beres deh…!” Andi ikut menimpali, dia lalu melirik ke teman di sampingnya itu yang senyam-senyum.
“Sepi nih, hidupkan musiknya dong! Ini aku bawa CD lagu lagu terbaru!” ucap Intan seraya mengeluarkan beberapa keping CD dari dalam tasnya.
“Ada lagu nostalgia nggak nih? Enak loh kalau didengarkan waktu malam hari! Bisa mengiringi rasa kantuk!”
“Enak situ susah di kita!” celetuk Andi sambil tangannya menepuk pundak Doni. Ya pastinya karena mereka yang mesti terus membuka mata selama dalam perjalanan ini.
“Nggak apa-apa lah! Ntar kalau para cewek sudah pada tidur kita ganti musik cadas saja heheheh…!”
“Ya terserah aja! Eh kita mau makan dulu kan?”
“Ya iyalah… perut kosong mana asyik buat jalan!”
“Kita makan di rumah makan padang murah meriah aja! banyak pilihan lauknya!”
“Ok, setuju!”
Kami lalu turun di depan sebuah rumah makan padang di pinggir jalan yang kami temui. Jam baru menunjuk pukul tujuh malam lebih sedikit saat sampai di situ. Sedang Doni mencari tempat parkir dulu, baru kemudian menyusul.
“Doni, pinjam kunci mobilnya dong! Baru ingat nih tasku ketinggalan!” pintaku, baru menyadari kalau tidak membawa tas, padahal aku ini ditunjuk sebagai bendahara. Aku yang mesti membayar semua pengeluaran dan mencatatnya.
“Gimana sih kok bisa kelupaan? Pasti sudah kelaparan berat nih!” canda Marina
“Namanya juga manusia… wajar lah, apalagi kalau perut kosong... jadi nggak konsen!” jawabku santai.
Setelah menerima kunci darinya aku berjalan menuju belakang rumah makan, Doni parkir mobil di situ karena bagian depan yang tidak terlalu luas ini sudah penuh dengan mobil. Kubuka pintu tengah dan membukanya, kuambil tas yang ada di atas bantalan kursi, kukunci kembali mobil itu lalu aku ke depan untuk bergabung kembali dengan teman-temanku.
“Ini kuncinya!” kataku sambil menyerahkannya ke Doni.
Aku lalu duduk di salah satu kursi yang melingkari meja bulat. Berlima kami mengitari meja makan dan memilih menu yang ditata di atasnya. Karena perut lapar kami pun makan dengan lahap.
“Kenyang… kenyang… kenyang…!” seru Doni sambil memegangi perutnya.
“Asal jangan ngantuk ntar!” seloroh Marina.
“Tenang aja… kan ada Andi yang siap menggantikanku mengemudi!” dia melirik ke arah Andi.
“Eh… omong-omong, nanti kita melewati terowongan STIKUBANK di Semarang itu ya?” tanyaku.
“Iya, memang kenapa?” Andi menjawab dengan tenang.
Padahal itu sudah kami rencanakan sebelumnya buat nakut-nakutin Marina dan Intan.
“Katanya ada sebuah urban legend!” aku membuka pembicaraan sesuai skenario.
“Urban legend itu apaan sih?” Marina mulai masuk perangkap.
Dalam hati aku tertawa, nah… bisa aku menguliknya sekarang.
“Urban legend itu kumpulan cerita yang menjadi legenda pada suatu tempat, biasanya terdapat unsur misteri yang menjadi ciri khas tersendiri dari kisah itu. Pada artikel yang pernah kubaca, di daerah sekitar kampus STIKUBANK Semarang ada misteri cerita hantu yang terjadi pada terowongan STIKUBANK itu, yaitu hantu kuntilanak merah.
“Terowongan itu adalah terowongan tol antara STIKUBANK yang menuju Jatingaleh atau arah Unika.” akupun membahasnya panjang lebar.
“Yaahh… gituan aja dipercaya!” Doni yang tidak tahu kalau itu sudah kami rencanakan mematahkan skenario kami.
“Wah bisa berantakan nih!” begitu ucapku dalam hati.
“Tapi banyak yang pernah mengalaminya loh! Itu yang sudah aku baca di internet!” Andi menimpali ceritaku.
“Beneran Ndi?” seru Intan ngeri, “Kita nggak usah lewat terowongan itu deh!” dengan suara gemetaran, karena ketakutan Intan merajuk minta ganti jalur.
“Iya… mendingan cari aternatif jalan lain sajalah!” imbuh Marina. Kulihat wajah Intan dan Marina mulai pucat… hihihihi… aku tertawa dalam hati.
“Lewat jalan situ saja, sekalian buat membuktikan!” Doni malah berontak ingin tahu.
Yess… aku dan Andi senang karena ada sekutu baru, kalau Doni dan aku ikut kepada keputusan Andi, maka Intan dan Marina akan kalah… berarti kita mesti lewat terowongan itu.
“Aku juga pingin lewat jalan itu!” ucapku mantap.
“Apalagi aku!” imbuh Andi dengan suara tegas.
“Aduh… ntar kalau ketemu kuntilanak merah gimana dong!” rengek Intan masih berusaha tidak lewat terowongan itu.
“Iya nih… seumur umur bisa keinget loh!” tambah Marina menimpali rengekan Intan.
“Kita bikin kesepakatan aja! Kalau pas melewati terowongan itu kita semua mesti terjaga, nggak boleh ada yang tidur! Biasanya hantu tuh takut kalau ketemu sama serombongan manusia… bagi hantu akan terasa panas kan!” aku mencoba menjelaskan.
“Aku setuju!” seru Andi.
“Aku juga!” tambah Doni.
Marina dan Intan saling bertatap muka lalu menganggukkan kepala bersama-sama dengan penuh keterpaksaan.
“Sudahlah nggak usah diperpanjang lagi, kita kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan!” tutup Doni.
Kami mengikuti perkataan si ketua, sampai di mobil, kami duduk dengan formasi berbeda, kali ini Andi yang pegang setir dengan Doni di sebelahnya. Di bagian tengah ada Marina dengan Intan, sedang aku duduk di belakang.
“Eh, putar lagu rock dong! Biar asyik buat menahan kantuk!” pinta Intan.
“Iya, biar pembawaannya jadi ramai!” Marina menimpali.
“Ok lah kalau maunya begitu!” Doni mengambil CD berisi lagu-lagu cadas dan memutarnya.
Musik yang keras dan menghentak-hentak memang enak buat mengusir rasa sepi saat malam hari, juga bisa buat mengusir rasa takut.
Awalnya kami semua terjaga dan bercanda ria, namun selang beberapa waktu, entah kenapa aku sangat mengantuk, padahal suara musik terdengar sangat keras di telingaku, apa mungkin karena aku duduk sendirian di kursi bagian belakang ini serta dalam keadaan lelah? Tentu saja kucoba untuk membuat mata ini terjaga, kan malu aku yang membuat aturan eh… justru aku sendiri yang malah melanggarnya.
Entah bagaimana mulainya, mata ini terasa begitu berat dan akhirnya menutup sendiri, dan aku tidak menyadari berapa lama aku tertidur, yang jelas setengah sadar aku merasakan ada seseorang di sampingku. Aku tidak tahu benar sosok siapa itu karena mataku benar-benar lengket sulit terbuka. Meski tidak melihat langsung aku bisa merasakannya. Aku segera membaca doa di dalam hati karena perasaanku tidak nyaman. Syukurlah akhirnya aku berhasil membuka mataku. Kulihat di sampingku tidak ada siapapun, sedang di kursi tengah ada Marina dan Intan yang asyik ngemil makanan kecil. Kalau Andi dan Doni masih terjaga, mereka tampak asyik berbincang. Tidak tahu kenapa badanku terasa dingin, aku lalu mengambil jaket dan memakainya.
“Loh, kedinginan Nur!” seru Doni menengok ke arahku. Mungkin dia melihat dari arah spion kalau aku sedang mencari jaket tadi.
“Iya nih, terasa dingin… makanya aku ambil jaket!” jawabku.
Pikirku mereka tidak tahu kalau aku tadi ketiduran, coba bayangin kalau sampai mereka memergoki aku dalam kondisi tidur… wah bisa diprotes habis-habisan nih. Aku lalu mencari posisi yang enak buat nyantai. Kucoba untuk terjaga namun ternyata rasa kantuk itu menyerangku lagi. Untuk memanipulasi keadaan, kuambil kaca mata hitam dan smart phone-ku lalu ku pasang head set untuk mendengarkan musik.
“Eh… eh… ada apa nih…!” aku terkejut mendengar teriakan, ternyata Marina yang berteriak tadi. Kulihat keempat temanku menatap ke arahku. Mobil pun ternyata sudah berhenti di pinggiran jalan.
“Tadi Marina melihat seseorang di sampingmu!” seru Intan dengan mata membelalak.
Aku bingung dengan ucapannya, bagaimana mungkin, kan aku sendirian duduk di belakang.
“Ah yang benar! Jangan nakut-nakutin dong!” sergahku gusar.
“Benar, tadi dia berteriak, makanya kami menghentikan mobil! Katanya sih saat dia melongok ke belakang dia seperti melihat seseorang di sampingmu! Betul kan Rin?” urai Doni.
Marina mengangguk cepat, dia tampak ketakutan, badannya juga kelihatan gemetaran.
“Emang apa yang kamu lihat?” tanyaku penasaran.
“Aku melihat seorang perempuan, wajahnya pucat… hiii… aku takut!”
“Mungkin itu kuntilanak merah… tapi hantu itu lalu menghilang… begitu kan Rin?” Intan menimpali.
Marina mengangguk lagi. Aku jadi ikut ketakutan. Aku teringat tadi aku juga merasakan ada seseorang di sampingku. Tapi kupikir itu hanya mimpi saja.
“Kamu tadi tidur ya?” teriak Marina marah.
“Enggak kok…!” elakku.
“Katanya kita nggak boleh tidur saat melewati terowongan, eh si Nuri sendiri malah tidur!” Intan juga ikutan marah.
“Eh aku… aku berusaha terjaga kok… tapi... mmhmm… mungkin tidur-tidur ayam aja, jadi bukan tidur pulas!” gelagapan aku membantahnya.
“Loh… kamu yang bikin aturan, kamu sendiri yang melanggarnya!” suara Marina ketus.
“Sudah… sudah… jangan diperpanjang lagi! yang penting aman, kita sudah berhasil melewati terowongan itu, sekarang kita melanjutkan perjalanan!” Doni berusaha menenangkan keadaan.
Kami pun lalu melanjutkan perjalanan, namun kali ini aku tidak bisa tidur. Ternyata kami sudah melewati terowongan itu dan aku tidak menyadarinya karena terlanjur ketiduran. Dalam diam pikiranku terperangkap dengan pengakuan Marina tadi, terutama karena sebenarnya aku memang merasakan ada seseorang di sebelahku, ditambah pengakuan Marina yang mengatakan ada sosok perempuan pucat di sampingku. Hiiii… aku jadi ngeri sendiri.