Malam itu aku duduk santai di depan teras rumah Pakdhe Kartolo, baru tiga hari yang lalu aku tinggal disini, di sebuah kota yang jauh dari tempat tinggalku sebelumnya bahkan beda pulau. Aku dulu tinggal di Pulau Jawa, selepas menyelesaikan sekolah di sebuah sekolah menengah atas aku tidak bisa melanjutkan kuliah sebab orang tua tidak mampu membiayai, aku terpaksa mencari pekerjaan agar aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sayangnya aku kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Aku menyadari dengan kepandaianku yang cuma rata-rata dan tidak ada pengalaman kerja apapun tentu sulit menembus dunia kerja, atau mungkin keberuntungan belum berpihak kepadaku. Oleh orang tua aku diminta ikut tinggal dengan Pakdhe Kartolo di Sampit, Kalimantan Tengah. Siapa tahu bisa mendapatkan pekerjaan disana, buat pengalaman dulu tidak apa-apa sambil terus mencari kesempatan kerja yang lain. Intinya aku harus mulai menancapkan perekonomian untuk kelangsungan hidupku selanjutnya.
“Kamu disini rupanya!” seru pakdhe mengagetkanku. “Kamu lagi melamun ya?”
Aku tergagap, “Ah... eh... enggak kok... aku!”
“Rachmat, aku memahami kalau kamu belum sepenuhnya senang tinggal disini, maklum masih baru. Belum ada teman, belum tahu mana-mana. Tapi yakinlah nanti kamu akan bisa beradaptasi sendiri dan kelak akan kerasan. Pakdhemu ini sudah dua puluhan tahun disini lho!” sambil duduk di sampingku, dia berkata panjang lebar.
“Iya Pakdhe, minta doanya saja agar segera dapat pekerjaan.” jawabku dengan sopan, sebenarnya aku tidak masalah kerja dimanapun asal kerja halal dan aku nyaman dengan pekerjaan itu.
“Yang sabar dan banyak berdoa, pasti Tuhan akan mengabulkan!” balas pakdhe.
“Sebenarnya aku ingin mencoba jadi TKI di Malaysia seperti beberapa temanku, tapi ayah dan ibu tidak memperbolehkan!” imbuhku sedikit curhat menyampaikan keinginanku yang kandas.
“Kalau orang tua tidak mengijinkan lebih baik jangan lakukan. Restu itu penting, laksana lentera yang menerangi jalanmu. Kita coba dulu mencari peruntungan di kota ini, siapa tahu kamu berhasil!” jawabnya menasehatiku.
Pakdhe Kartolo adalah kakak lelaki ibu, dia sudah cukup lama merantau, dia berwiraswasta sebagai seorang distributor barang-barang kebutuhan rumah tangga. Dulu kupikir dia punya semacam kantor dan ada banyak karyawan, maklum waktu mudik ke Jawa aku melihat kehidupannya terkesan serba lebih. Dia membawakan banyak oleh-oleh dan membagikan uang kepada para keponakannya. Ternyata setelah aku ada disini baru aku tahu kalau ternyata pakdhe juga tidak seberhasil bayanganku. Dia bekerja sendiri dibantu anak lelakinya yang tertua, usahanya adalah menyalurkan barang di pasar-pasar tradisional. Kemarin aku diajak olehnya, dengan naik mobil pick up butut kami berkeliling menyambangi para pedagang di pasar-pasar itu. Saat itu Rusli, anak lelakinya, sedang demam, makanya aku diajak untuk menggantikannya.
“Kak Rusli masih sakit, Pakdhe?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Masih demam dia. Semoga besok dia sudah baikan!” jawabnya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, “Kalau besok belum sehat betul, kamu mau kan membantu Pakdhe?” tanyanya, kepulan asap mulai menghiasi udara.
“Iya Pakdhe, aku malah senang kok karena ada kegiatan, bengong saja di rumah juga tidak nyaman,” jawabku berterus terang.
Kuakui aku lebih senang melakukan aktivitas membantu pakdhe daripada hanya diam di rumah, memang sih aku bisa membantu budhe dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam menyapu, membersihkan kamar mandi dan lainnya, tapi jenuh juga terus-terusan ada di rumah. Beda kalau aku diajak keliling pasar, aku bisa mendapatkan pengalaman baru, berinterkasi dengan orang-orang dan yang utama aku bisa melihat keadaan kota.
Pakdhe tertawa, lalu katanya, “Ya syukurlah kalau kamu senang, eh... Pakdhe mau nonton bola dulu di televisi, kamu mau ikut?”
Aku menggeleng, “Aku disini dulu saja, Pakdhe,” jawabku pendek.
Kulihat dia bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam rumah, tak seberapa lama suara televisi terdengar, acara pertandingan bola itu terdengar sampai telingaku.
Kualihkan pandanganku ke depan, dalam kesendirian aku memikirkan kehidupanku kelak. Meski belum ada rencana pasti tapi aku sudah memutuskan kalau aku tidak mau berlama-lama tinggal disini, aku ingin mandiri. Apalagi kehidupan pakdhe sekeluarga juga tidak secemerlang yang aku duga. Dengan seorang istri dan tiga orang anak tentu sulit baginya untuk menjalankan perekonomian keluarga karena pekerjaan pakdhe yang belum begitu mapan. Kak Rusli saja tidak bisa melanjutkan kuliah, satu adiknya masih duduk di sekolah menengah atas dan satunya lagi masih di sekolah dasar. Kak Rusli juga harus membantu pekerjaan ayahnya selama belum mendapatkan pekerjaan pasti. Dan kini aku bernasib sama dengannya.
Tak terasa malam mulai menjelang, aku lalu masuk ke dalam rumah. Kulihat Pakdhe masih asyik menonton televisi.
“Pakdhe, Rachmat tidur dulu ya!” sapaku kepadanya.
“Emh... ya!” gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.
Aku lalu masuk ke sebuah kamar yang diperuntukkan bagi aku dan Kak Rusli. Kamar itu kecil saja, hanya berukuran dua setengah kali dua setengah meter. Hanya ada sebuah tempat tidur tingkat, Kak Rusli tidur di tempat tidur bawah dan aku di tingkat atasnya. Juga ada sebuah almari serta satu set meja kursi.
Kami juga berbagi almari, aku mendapat satu sap di paling bawah untuk sekedar menaruh barang-barangku disitu. Tidak banyak barang yang aku bawa, hanya satu tas besar berisi beberapa helai pakaian dan surat-surat penting untuk tujuan mencari pekerjaan, jadi tidak masalah bagiku mendapatkan satu sap almari karena lumayan masih lapang. Hanya saja tas besarku tidak bisa kujejalkan di dalamnya karena tidak muat, aku lalu siasati dengan menaruhnya di atas almari sehingga tidak membuat kamar ini terlihat sempit.
Kulihat Kak Rusli tidur dengan pulas, selimut membungkus tubuhnya dengan erat. Aku naik tangga tempat tidur pelan-pelan agar tidak membuat gaduh dan membangunkannya. Aku membaringkan badanku yang kurasa cukup lelah di atas kasur. Kutatap genting di atasku yang jaraknya hanya satu meter dariku, lewat kaca kecil yang ada diantara sisipan genting-genting itu aku bisa mengintip langit malam yang cukup cerah dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Sesaat kemudian akupun tertidur.
Pagi-pagi setelah sholat Subuh, pakdhe mengajakku mulai bekerja karena Kak Rusli belum sehat benar. Budhe memberi bekal minuman dan makanan kecil. Budhe adalah seorang istri yang baik, dia seorang ibu rumah tangga biasa. Dimulai dengan memasukkan aneka barang dagangan ke atas mobil di bak belakang, lalu aku menutupinya dengan terpal agar barang aman terjaga tidak tercecer.
“Pergi dulu Budhe,” aku pamit sambil mencium tangannya.
“Iya Rachmat, hati-hati Nak!” jawabnya, dia lalu melambaikan tangan ke arah kami.
Setelah aku masuk dan duduk di sampingnya, pakdhe lalu menjalankan mobil. Deru mobil pick up butut itu terdengar memecah kesunyian, rupanya para tetangga masih banyak yang tidur. Kurapatkan jaketku untuk mengusir hawa dingin yang mulai mengganggu, meski jendela mobil masih dalam keadaan tertutup tapi udara masih bisa masuk ke sela-selanya, apalagi saat mobil melaju, udara pun terasa bertiup kencang.
“Rutinitas kerja kita memang seperti ini, mulai dari pagi-pagi buta sampai menjelang sore. Beda dengan karyawan kantor!” ucapnya sambil mengemudikan mobil. ”Yang penting halal, pasti akan diberkati oleh Tuhan!”
“Iya Pakdhe!” jawabku, “Kak Rusli nggak ingin kerja kantoran?” tanyaku kemudian.
Pakdhe tertawa, lalu jawabnya, “Tentu saja dia ingin. Tapi apa mau dikata kalau kesempatan itu belum menghampirinya. Sekarang bantu-bantu ayahnya dulu sambil terus berusaha.”
“Nggak ingin melanjutkan kuliah saja?” tanyaku lagi.
Pakdhe menghela napas panjang, “Aku tahu Rusli ingin kuliah tapi Pakdhe tidak punya uang untuk itu. Kamu pasti mengerti kalau biaya kuliah itu mahal sekali!”
“Iya Pakdhe!” kataku pendek. Aku bisa merasakan karena nasibku hampir sama dengan Kak Rusli. Aku berusaha tidak menanyakannya lagi, khawatir pakdhe gundah.
“Katanya dulu ada kerusuhan di Sampit ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. ”Ada banyak korban!”
“Sudahlah... itu masa lalu, sekarang kita menatap masa depan!” elak pakdhe seperti enggan membicarakannya.
Aku diam saja, pikiranku kembali ke masa dulu saat kerusuhan Sampit terjadi, dari koran yang aku baca dan berita di televisi, ada banyak korban di konflik itu. Tapi karena pakdhe malas membahasnya akupun tidak memperpanjang. Apalagi dia mengalihkan obrolan dengan topik terkini tentang korupsi, aku pun terhanyut dengan membahasnya bersama-sama.
Seharian kami melakukan pekerjaan dengan memasok barang di pasar-pasar. Pakdhe sudah punya langganan tersendiri jadi dia seperti biasa dengan rutinitasnya, beda dengan aku yang masih kebingungan dengan jenis-jenis barang. Sering aku keliru mengambil barang yang dimaksud, tapi untunglah pakdhe termasuk orang yang sabar. Dia menganggapku masih belajar jadi tidak mempermasalahkannya, para pedagang langganannya tampaknya juga tahu kalau aku masih anak baru, sebagian dari mereka bahkan menanyakan perihal Rusli yang tidak nampak mendampinginya seperti biasa. Pakdhe menerangkan kepada mereka kalau Kak Rusli sedang sakit dan aku adalah keponakannya yang dari Jawa.
Menjelang sore, pekerjaan mendistribusikan barang selesai sudah, kupikir kami akan langsung pulang, ternyata pakdhe mengajakku ke rumah salah seorang temannya.
“Kita ke rumah Pak Solihin dulu, dia ada bisnis untuk kita,” ucapnya datar.
Setelah sampai di sebuah rumah yang terletak di perkampungan penduduk, pakdhe memarkir mobil di jalan di depan rumah itu karena tidak ada halaman yang cukup untuk menampung mobil. Aku keluar mobil dan mengikuti langkah pakdhe memasuki halaman itu.
“Hei... Kartolo, sudah datang rupanya!” suara seseorang dengan aksen Madura terdengar keras. Kulihat dia menepuk bahu pakdhe, mereka tampak akrab satu sama lain.
“Solihin, kenalkan ini Rachmat keponakanku dari Jawa!”
Aku menjulurkan tangan untuk menyalami Pak Solihin, dia menyambut jabatanku dengan hangat.
“Rusli mana?” tanya Pak Solihin.
“Dia lagi sakit!” jawab pakdhe singkat.
Kami bertiga lalu masuk ke dalam rumahnya, ternyata ada banyak barang disitu dan sebagian besar sudah terbungkus rapi. Rupanya pakdhe diminta mengirim barang-barang dari Pak Solihin ke koleganya di lain kota.
“Ini daftar barang-barangnya. Kamu tinggal mengirim saja!” ucap Pak Solihin sambil menyerahkan beberapa lembar kertas berisi nota pengantar barang untuk orang yang berbeda satu sama lain.
Pakdhe menerima dan melihatnya sekilas. “Seperti biasa kan?” tanyanya kemudian.
“Ya!” jawab Pak Solihin singkat.
Kami bertiga lalu sibuk memasukkan barang-barang yang sudah terbungkus rapi itu ke dalam bak belakang mobil, dan aku menutupinya dengan terpal. Setelah berpamitan, kami berdua lalu pulang ke rumah. Menurut Pakdhe, lebih nyaman berangkat malam hari sehingga kami akan sampai di kolega Pak Solihin pada pagi hari, siangnya diharapkan semua selesai dan kami bisa pulang kembali.
“Pakdhe tidak takut berangkat malam hari?” tanyaku.
“Sekarang sudah aman kok. Tidak masalah berangkat malam hari, jalanan juga tidak padat, kita lebih leluasa!” jawabnya.
“Maksudku, Pakdhe tidak takut ketemu hantu?” tanyaku lagi.
Pakdhe tertawa terbahak, “Hantu?“ teriaknya keras, lalu lanjutnya, “Aku tidak takut ketemu hantu, yang perlu dikhawatirkan kalau kita bertemu orang jahat yang mau merampok, itu yang berbahaya.”
“Tapi alhamdulilah selama ini aku tidak mengalami hal-hal seperti itu!” imbuhnya menenangkan diriku.
Sesampai di rumah, aku mandi dan makan malam. Sehabis itu aku diminta pakdhe untuk beristirahat dulu, nanti aku akan dibangunkan olehnya bila hendak berangkat.
Menjelang malam aku sudah siap bersamanya untuk mengirim barang-barang dari Pak Solihin. Aku sudah mengenakan jaket dan membawa sarung, kalau malam pasti dingin. Pakdhe juga demikian.
“Dingin ya!” serunya membuka pembicaraan.
“Iya Pakdhe!” jawabku pendek sambil merapatkan jaket di tubuh serta mengalungkan sarung di leherku.
“Namanya juga cari uang. Tidak mudah!” timpalnya.
“Kalau kamu mengantuk ya tidur saja!” tambahnya.
Aku mengangguk, tapi aku belum mengantuk, karena pakdhe konsentrasi dengan kemudinya aku pun mengarahkan pandangan keluar melihat alam sekitar. Malam itu sangat gelap karena mendung menghiasi langit, tidak ada kerlap kerlip bintang disana, jalanan pun tampak sepi, kami hanya bertemu satu dua kendaraan saja selebihnya senyap. Apalagi jalan ini jauh dari perkampungan penduduk, jadilah suasana lengang begitu terasa bercampur kesenyapan malam.
“Sepi sekali jalannya ya Pakdhe?” seruku.
“Mhmmm!” gumamnya.
“Kamu nggak ingin belajar nyetir?” pakdhe balik bertanya padaku.
“Pingin sih, Kak Rusli juga bisa nyetir kan? Aku belajar ke dia atau Pakdhe saja?” ucapku dengan senang. Aku memang ingin bisa menyetir sendiri, kuharap dengan bisa menyetir aku bisa meringankan beban pakdhe dan itu juga sebuah ketrampilan buatku, tidak ada salahnya bahkan sangat bermanfaat.
“Aku saja yang mengajarimu nanti,” jawabnya, “Rusli memang bisa menyetir tapi belum mahir betul, kalau mengajarimu nanti malah beresiko!”
“Besok kalau ada waktu longgar aku akan ajari kamu!” imbuhnya.
“Terima kasih, Pakdhe!” jawabku lega.
Kupikir lebih nyaman belajar dengan pakdhe, karena dia bisa mengatur emosinya. Tidak mudah tentu mengajari orang yang sama sekali belum bisa. Butuh kesabaran dan ketelatenan. Biasanya anak muda tidak akan sesabar orang tua yang notabene sudah kenyang asam garam kehidupan serta lebih bijaksana dalam memandang banyak hal.
“Pakdhe, aku tidur ya... nggak tahu kok mengantuk begini!” ucapku seraya menguap.
“Ya tidur saja!” jawabnya.
Aku pun lalu mencoba tidur, meski kurang nyaman karena seringkali terganggu dengan kondisi jalan yang tidak mulus, tapi cukuplah bagiku untuk memejamkan mata. Apalagi dengan hawa dingin yang melingkupinya, wah cocok sekali.
Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba aku mendengar ketukan kecil dari arah jendela kaca mobil. Sebenarnya aku kurang peduli dengan itu, kupikir itu suara ranting yang terlepas atau apalah, lagian aku masih mengantuk berat, rasanya malas mau membuka mata. Tapi suara ketukan terdengar terus, meski pelan tapi beruntun. Setengah sadar aku mencoba membuka mata, kulihat meski samar ada seseorang di balik kaca mobil itu. Kualihkan pandanganku ke arah samping tempat pakdhe duduk di depan kemudi, ternyata tidak ada pakdhe disitu, namun kulihat kunci mobil masih tertancap di tempatnya. Aku kembali menatap ke arah suara tadi, tapi tidak nampak ada orang, mungkinkah dia sudah pergi?
Karena penasaran akupun keluar mobil, kutengok ke kanan kiri tidak ada seorang pun disitu. Kulihat suasana malam yang gelap gulita karena mendung, angin dingin bertiup sangat terasa, belum lagi suara daun-daunan yang tertiup angin, benar-benar membuat suasana menjadi mencekam, terlebih tidak ada pakdhe. Dimana dia? Kenapa meninggalkanku sendirian? Tapi kok kuncinya masih menempel di mobil? Tak mungkin pakdhe pergi jauh, kupikir dia keluar buat buang air kecil saja.
Aku memutuskan untuk keluar mobil dan melihat keadaan sekeliling. Kulangkahkan kaki mengitari mobil, kulayangkan pandangan mata di sekitarnya. Begitu sepi. Sesaat aku mendengar bunyi langkah kaki dari arah samping tersembunyi di balik pepohonan, mungkinkah itu pakdhe? Atau orang yang tadi mengetuk jendela mobil? Akupun lalu berjalan menuju suara itu, ingin tahu juga sebenarnya ada apa.
Di rerimbunan pohon di samping jalan itu ternyata tidak ada apapun, akupun bermaksud kembali ke dalam mobil. Namun suara seseorang dari arah belakang mengagetkanku, suara itu terdengar memelas, ”Tolong saya Dik!” begitu ucapnya.
“Tolong apa Mas?” jawabku sambil mencari arah suara itu. Karena malam yang gelap aku agak kesulitan melihat dengan jelas.
“Tolong carikan kepala saya!” jawabnya penuh iba.
Aku terhenyak mendengar perkataannya, meski sedikit geli aku juga merasa heran, apa mungkin orang itu orang gila ya? Namun mataku tiba-tiba tertahan di pemandangan yang ada di depanku, meski kondisi gelap aku bisa melihat dengan samar sosok seorang berbadan layaknya lelaki, untuk lebih meyakinkan aku pun menatap dari bawah ke atas, dia hanya bersandal jepit, lalu ke atas lagi ternyata dia mengenakan celana panjang yang sobek disana-sini kemudian naik lagi ke atas dia memakai kemeja yang kumal, tapi ketika kulihat di bagian atasnya lagi, lelaki itu tidak ada kepalanya. Kupejam-pejamkan mataku dan kuusap-usap, bahkan aku mencubit kulitku sendiri karena tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tapi ternyata benar yang aku lihat, spontan aku lalu menjerit dan lari terbirit-birit menuju mobil.
“Hei kamu kenapa?” tanya pakdhe menangkapku.
“Eh... anu... aku... Pakdhe darimana?” Aku balik bertanya dengan terbata-bata.
“Tadi Pakdhe buang air kecil sebentar. Sebenarnya aku mau bilang tapi karena kamu tertidur pulas aku jadi mengurungkan niat membangunkanmu, toh cuma sebentar!” jawabnya tenang sambil membimbingku ke dalam mobil.
“Kamu dari mana tadi? Kok menjerit ketakutan sih?” tanyanya lagi setelah dia masuk dan duduk di sebelahku, dia lalu menghidupkan mesin mobil.
“Aku... aku!” Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku, kejadian tadi membuatku terguncang, jantungku masih berdetak dengan kencang.
“Kenapa? Lihat hantu?” seloroh Pakdhe tanpa maksud menertawakanku, “Kan sudah kubilang hantu itu tidak berbahaya, tinggal dilawan dengan doa pasti juga akan beres!”
Aku diam, dalam hati aku memanjatkan doa-doa semampuku. Memang terasa lebih tenang akhirnya. Saat mobil melaju aku melirik dari spion kaca mobil, tapi tidak kulihat siapapun.