Sunday, September 22, 2019

Hantu Di Kampus UI (Depok)


Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu kampus terbaik di Indonesia yaitu Universitas Indonesia atau UI ini menyimpan banyak cerita misteri. Luas lahan UI yang terletak di Depok dan mencapai 320 hektar dengan tiga perempat bagiannya merupakan ruang terbuka hijau dan danau, terasa sangat tepat jika kampus ini dijuluki salah satu kampus terhoror. Dari berbagai macam kisah mistis yang beredar, berikut adalah beberapa kisah hantu UI yang menjadi banyak perbincangan orang:

A. Hantu wisuda

Hantu ini seringkali tampak di antara foto wisudawan yang sedang berpose di area Balairung UI. Menurut Widi Kurnia, mahasiswa Teknik Metalurgi angkatan 2014, cerita ini berawal dari mahasiswi Fakultas Teknik yang meninggal saat perjalanan menuju wisuda. Diceritakan bahwa arwahnya tidak rela mati sebelum wisuda sehingga dia kerap berkeliaran di area Pusat Administrasi UI atau gedung rektorat. Namun, identitas hantu wisuda ini tidak pernah terungkap, begitu pula dengan alasan kematiannya. Widi sendiri tidak tahu cerita tersebut mitos atau fakta. Yang jelas, katanya, dia tidak pernah menemukan bukti visualnya. “Cerita itu warisan senior yang menyebar setiap tahun,” katanya.



B. Hantu Danau Kenanga

Danau Kenanga adalah salah satu dari 8 danau yang ada di UI. Danau ini terletak persis di sebelah Balairung UI, tempat yang biasa digunakan untuk menyambut mahasiswa baru maupun upacara wisuda. Alumnus Fakultas Kedokteran Gigi, Fashiola Yudianto, mengaku pernah mendengar cerita keberadaan hantu disana. Hantu itu muncul ketika volume air danau pasang. Namun dia sendiri belum pernah mendengar langsung cerita teman-temannya yang pernah melihat hantu itu. Alumni UI lainnya, Rita, mengatakan, pada tahun 2010 dirinya serta teman-temannya sedang asyik bercerita sambil melewati danau tersebut. Seketika itu, tercium bau melati dan terdengar auman harimau dari arah danau. “Kami langsung jalan terburu-buru dari arah danau menuju masjid UI,” kenangnya.

C. Hantu Jemblongan

Kisah hantu ini bahkan dimulai sebelum kampus UI Depok berdiri. Sebelumnya hantu ini sering mondar-mandir di antara rel kereta api dan kuburan yang letaknya searah dengan Lenteng Agung. Konon hantu ini sering membonceng di sepeda motor yang melintas di malam hari. Setelah UI berdiri, hantu ini dikabarkan pindah ke danau UI karena jalan raya antara Depok dan Lenteng Agung sudah terlalu ramai. Namun lagi-lagi belum ada yang bisa membuktikan cerita ini mitos atau fakta.

D. Hantu mahasiswi di gerbang utama

Cerita ini bermula dari pengalaman para satpam penjaga gerbatama (gerbang utama) UI yang masuk shift malam. Dari penuturan mereka, katanya sering ada penampakan seorang mahasiswi yang minta diantar pulang ke rumahnya di kawasan Bintaro. Berdasarkan penelusuran, beberapa tahun silam ada mahasiswi yang meninggal akibat tabrak lari di sekitar gerbang utama UI sepulang kuliah. Arwahnya gentayangan karena dia tidak pernah sampai ke rumah. Konon hantu ini juga akan mencegat taksi kosong yang baru mengantar penumpang ke dalam kampus. Biasanya supir taksi baru sadar bahwa mahasiswi ini adalah hantu saat sudah sampai di tujuan.



E. Kereta hantu Stasiun UI

Kisah ini sudah beredar di antara mahasiswa UI sejak tahun 90-an. Kala itu, ada mahasiswa yang naik kereta malam dari Stasiun UI menuju Stasiun Tebet. Ketika dia masuk ke dalam kereta, dia melihat semua penumpang lesu, berpakaian lusuh, dan tidak tegur sapa satu sama lain. Anehnya, kereta ini tidak berhenti di setiap stasiun, dan baru berhenti saat mahasiswa ini ingin turun di Tebet. Saat dia melihat ke belakang, hanya dia satu-satunya yang turun di stasiun tersebut. Mahasiswa itu baru sadar bahwa kereta yang ditumpanginya adalah kereta hantu ketika penjaga stasiun bertanya mengapa ia berjalan kaki di sepanjang rel kereta.

F. Penampakan Si Merah

Cerita hantu yang paling populer di UI adalah penampakan hantu berkebaya merah. Ada yang mengatakan bahwa hantu ini adalah seorang mahasiswa yang meninggal karena kecelakaan tepat sebelum dirinya diwisuda. Ada pula yang mengatakan bahwa hantu si merah ini dulunya adalah seorang gadis yang bunuh diri karena patah hati. Si Merah ini kerap kali menampakkan wujudnya di rektorat, FIB, menara air, sampai di belakang kaca jendela bis kuning UI. 

G. Pusat Kegiatan Mahasiswa (PUSGIWA)

Gedung PUSGIWA juga menyimpan cerita mistis tersendiri. Kejadian seram dialami oleh seorang mahasiswa yang menjadi panitia bantuan medis saat ada kegiatan. Saat sedang berjaga malam, mahasiswa ini melihat sesuatu berdiri di shelter sepeda. Rasa penasaran yang begitu besar mendorong mahasiswa tersebut untuk mendekat. Namun betapa kaget dirinya ketika menyadari bahwa sosok yang berdiri di shelter sepeda itu adalah pocong berwajah menyeramkan. 

H.Ruang Gamelan FIB

Di gedung Fakultas Ilmu Budaya atau FIB terdapat sebuah ruang gamelan yang berisi alat musik tradisional. Menurut penjaga gedung, ia pernah melihat sosok wanita yang termenung di pojok ruangan gamelan ini pada malam hari. Padahal waktu itu sudah tengah malam dan tidak ada kegiatan mahasiswa di kampus tersebut. Selain itu, di malam-malam tertentu alat-alat musik ini juga sering terdengar seperti ada yang memainkannya.

Misteri Perempuan Berambut Panjang (Depok)

Aku dan Erica adalah mahasiswa baru yang sedang mengalami masa orientasi. Kami berdua diterima di Universitas Indonesia dan kami juga tinggal di kost yang sama di kawasan Depok. Kejadian aneh ini aku alami pada Jum’at malam. Ketika itu aku sedang asyik mengobrol di kamar Erica sambil mendengarkan musik. Sengaja kami berdua akan menghabiskan malam dengan bermalas-malasan setelah seharian di plonco mahasiswa senior dan kebetulan besok adalah tanggal merah, jadi tidak perlu repot untuk bangun pagi.

Di kost ini ada sepuluh kamar, namun hanya kami berdua yang tinggal di kost. Penghuni kost lainnya adalah rata-rata mahasiswa senior semester 3 dan 5. Sehingga mereka semua masih libur dan belum pulang ke kost. Di saat asyik mengobrol dengan Erica, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku pun segera pergi ke kamar mandi meninggalkan Erica sendirian di kamar yang sedang memutar-mutar gelombang radio mencari lagu-lagu yang bagus. Setelah merasa lega, dan hendak keluar dari kamar kecil tiba-tiba saja kejadian aneh menimpaku. Pintu kamar mandi terasa sulit aku buka, seperti terkunci dari luar. Aku mencoba mendobrak-dobrak pintu kamar mandi sambil teriak minta tolong kepada Erica.

“Tolong... tolong... Erica... Erica... tolong aku, aku terkunci di kamar mandi...” teriakku sekeras mungkin.

Namun Erica tidak juga merespon teriakanku. Aku mencoba lagi berteriak minta tolong kepada Rica sambil mendobrak-dobrak pintu kamar mandi, “Erica... Erica... tolong aku...” aku berteriak sekuat tenaga.

Di saat aku berteriak-teriak memanggil Erica, tiba-tiba lampu kamar mandi menjadi aneh... nyala... mati... nyala... mati... nyala dengan sangat terang dan kemudian perlahan-lahan meredup sangat kecil hampir mati. Tiba-tiba aku mendengar suara rintihan perempuan sambil terisak-isak dan berkata, “Jangan pergi... jangan tinggalkan saya... temani saya disini.”

Perempuan itu sudah berkata 3 kali dengan perkataan yang sama dan tiba-tiba berhenti. Aku merasa semuanya sudah berakhir, tapi kenapa nyala lampunya masih redup dan bulu kudukku semakin berdiri serta aku merasa seperti ada sesuatu yang ingin membuat aku menghadap belakang. Akhirnya aku menghadap belakang dan aku melihat sosok perempuan berambut panjang dengan banyak bercak-bercak darah di bajunya yang berwarna putih. Akhirnya aku kembali berteriak dan pintu pun terbuka. 

Di depan pintu kamar mandi sudah terlihat Erica memegangiku sambil memandangiku dengan tatapan curiga dan penuh tanya.

“Kamu kenapa Wina?” tanya Erica sambil memegangi tubuhku.

“Kamu nggak dengar aku teriak minta tolong ya?” tanyaku masih ketakutan.

“Sumpah, aku tidak dengar apa-apa Win. Memangnya ada apa?” tanya Erica penuh selidik.

“Aku tadi melihat perempuan berambut panjang serem banget. Aku takut sekali Ric... aku tidur di kamarmu saja ya,” pintaku pada Erica.

“Iya... iya... ya sudah, sekarang kamu tenang aja. Malam ini kamu tidur bersamaku,” jawab Erica sambil membimbingku menuju ke kamarnya.

Kemudian aku mulai menceritakan kejadian yang aku alami di kamar mandi tadi kepada Erica. Erica pun mencoba menghiburku dan mulai mengajak ngobrol dengan topik yang lain. Lama sekali kami berdua mengobrol, hingga akhirnya kami berdua sama-sama tertidur.

Di dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan perempuan berambut panjang tadi. Perempuan itu menangis dan bercerita padaku kalau ia telah diperkosa dan disiksa oleh segerombolan perampok di dalam kamar mandi itu dan ditinggalkannya sendirian dengan pintu yang terkunci dari luar hingga akhirnya ia meninggal di kamar mandi itu. Perempuan itu pun kembali menangis dan merintih serta berkata kepadaku, “Jangan pergi... jangan tinggalkan saya... temani saya...”

Aku pun terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhku, saat itu pula Erica juga terbangun dan bertanya kepadaku, “Kenapa Win, ada apa? Kamu mimpi buruk ya?” tanya Erica.

Spontan aku menjawab pertanyaan Erica dengan nada terbata-bata sambil menangis, “Erica, aku besok mau pindah kost.”

Penampakan Di Rumah Sakit Dustira (Cimahi)



Setiap orang yang melintas di Jalan Jendral Achmad Yani, Kota Cimahi, pasti mengenal sebuah bangunan tua paling megah yang kini lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Dustira. Bangunan indah khas Eropa dengan gaya arsitektur artdeco ini dibangun pada abad 18 dan diresmikan pada 1887 oleh pemerintah Hindia Belanda dengan diberi nama Militaire Hospital. Sesuai dengan namanya, rumah sakit ini semula dibangun khusus untuk mengobati prajurit militer yang bertugas di Kota Bandung dan sekitarnya. Pada perkembangan sekarang, masyarakat sipil juga bisa berobat kesini. Bahkan banyak mahasiswa kedokteran dari berbagai kampus seperti Universitas Jendral Achmad Yani (Unjani), Universitas Kristen Maranatha dan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung melakukan kerja praktek di rumah sakit bersejarah ini.

Pada zaman penjajahan jepang (1942-1945), Rumah  Sakit Dustira Cimahi yang saat itu masih bernama Militaire Hospital sempat dimanfaatkan sebagai tempat perawatan tentara Belanda dan Jepang yang sakit. Ketika Jepang menyerah kepada sekutu dan Belanda masuk kembali ke Indonesia, rumah sakit ini dikuasai NICA (tentara Belanda) selama 2 tahun (1945-1947).  Kemudian pada 1949, rumah sakit ini dikembalikan ke pemerintah Republik Indonesia, setelah adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Penyerahan ini secara teknis dilakukan oleh militer Belanda kepada TNI yang diwakili oleh Letkol dr. Rd. K. Singawinata.

Sejak penyerahan rumah sakit Militaire Hospital ke Indonesia, namanya diubah menjadi Rumah Sakit Territorium III dan Letkol dr. Rd. K. Singawinata ditetapkan sebagai kepala rumah sakit tersebut. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 19 Mei 1956, rumah sakit ini berganti nama menjadi Rumah Sakit Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel Kawilarang. Pemberian nama ini merupakan penghargaan terhadap Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya yang telah banyak berjasa membantu pengobatan terhadap prajurit TNI, khususnya Territorium III pada masa perjuangan melawan Belanda.

Dibalik bangunannya yang megah dan bersejarah, ternyata Rumah Sakit Dustira ini kabarnya juga terkenal berhantu. Karena sudah beroperasi sejak tahun 1887, tentu sudah ada ribuan nyawa yang menghadapi ajalnya di rumah sakit ini, mungkin itulah sebabnya banyak hantu yang bergentayangan disini. Salah satu cerita horor yang menaungi Rumah Sakit Dustira adalah ketika warga setempat bermain tenis meja di pelataran rumah sakit yang kebetulan sedang kosong. Saat sedang asyik bermain, tiba-tiba ada bayangan pria bule yang melintas di depan mereka dan menghilang begitu saja. Semua yang berada disitu melihat sosok hantu pria bule itu dan tertegun sejenak menyaksikan penampakan tersebut menghilang. Kisah mistis tidak hanya dialami oleh warga sekitar, tetapi juga perawat di Rumah Sakit Dustira. Seorang perawat yang bertugas malam pernah melihat ada seorang perempuan berambut pirang di dekat tempat pengambilan air. Awalnya si perawat mengira bahwa perempuan tersebut adalah salah satu pasien. Namun ketika perawat itu berjalan ke arah tempat pengambilan air tiba-tiba sosok perempuan itu menghilang begitu saja. 

Thursday, September 19, 2019

Gunung-gunung Angker (Banten)

Daerah Banten memiliki banyak gunung yang konon angker dan berhantu. Penduduk sekitar dan pendaki yang datang ke gunung-gunung ini banyak yang melihat penampakan hantu dan merasakan aura mistis saat berada disana. Berikut ini adalah beberapa contohnya:

A. Gunung Pulosari
Salah satu gunung yang ada di Banten dan cukup mistis bernama Gunung Pulosari. Gunung setinggi 1.346 meter ini tergolong gunung yang tidak aktif dan sering dijadikan sebagai lokasi pendakian. Beberapa pendaki pernah melihat sosok Ocos yakni benda jadi-jadian yang mendiami gunung tersebut. Ocos sendiri menyerupai bola api yang konon sering menuntun para pendaki untuk mencapai puncak Pulosari. Konon dulu Pulosari merupakan sebuah desa kaya raya dengan hasil pertanian pisangnya, namun sosok Raja Babi memporak-porandakan desa tersebut tanpa bekas.

B. Gunung Asuepan
Gunung di Banten lainnya yang dianggap mistis adalah Gunung Asuepan yang memiliki ketinggian sekitar 1.174 meter. Gunung ini berjarak 18 km saja dari sebelah barat Kota Pandeglang. Di puncak gunung ini terdapat sebuah makam yang dibalut kain putih yang dikeramatkan. Nama Aseupan sendiri bermakna tempat menanak nasi yang terbuat dari anyaman bambu yang sering digunakan pada zaman dahulu.  Bagi yang hendak mendaki gunung ini diwanti-wanti agar mampu menjaga sikap dan tutur kata selama pendakian.

C. Gunung Halimun
Gunung Halimun merupakan salah satu gunung yang melintasi beberapa kota yang berlainan propinsi yakni kawasan Sukabumi, Kabupaten Lebak dan Bogor. Gunung Halimun berada berdampingan dengan gunung salak yang juga sering terjadi kecelakaan di gunung tersebut.  Kabarnya gunung ini merupakan lokasi benteng-benteng ghaib milik Prabu Siliwangi. Apabila pasukan Prabu Siliwangi sedang terdesak maka mereka akan lari ke gunung ini. Konon yang melintasi di atas area mereka akan jatuh dan meninggal sehingga Gunung Halimun cukup dikeramatkan oleh orang-orang sekitar. Gunung yang memiliki ketinggian 1.925 meter di atas permukaan laut ini sering dijadikan lokasi pendakian para pencinta alam.

D. Gunung Karang
Gunung Karang yang memiliki tinggi 1.778 meter ini juga disebut sebagai salah satu gunung angker yang ada di Banten. Gunung Karang merupakan gunung yang menyimpan banyak benda pusaka. Di bagian puncaknya terdapat sebuah sumur yang dikenal dengan nama sumur tujuh dan memang dahulunya dikabarkan terdapat tujuh sumur di tempat itu. Para peziarah pun kerap datang ke lokasi tersebut dan sesekali menemukan benda pusaka seperti batu akik dan pusaka lainnya.

Tuesday, September 17, 2019

Jenglot yang Haus Darah (Sukoharjo)

Liburan semester ini aku berkunjung ke rumah paman di Sukoharjo dan rencananya aku akan menghabiskan waktu liburanku sebulan penuh disana bersama Agus, anak pamanku. Kebetulan aku dan Agus tidak berbeda jauh usianya. Agus adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah Agus adalah seorang kolektor benda-benda unik dan mistis. Di rumah paman terdapat banyak koleksi benda-benda unik dan mistis seperti keris, batu-batuan mulia, juga benda-benda mistis lainnya. Dan ketika aku berlibur di rumah paman, kebetulan paman mempunyai koleksi baru, sebuah jenglot.

Ketika pertama melihat jenglot itu, aku dan Agus sedikit merasa ngeri. Jenglot itu berkuku panjang, ada 2 gigi taring yang menjulur dari mulutnya. Rambut jenglot itu lebih panjang dari tubuhnya, dan jenglot itu berbau amis yang sangat menyengat. Sampai-sampai aku dan Agus tidak tahan dan menutup hidung. Agus heran mengapa ayahnya sangat suka dengan jenglot itu, seakan-akan itu adalah hal yang membanggakan. 

Paman mengatakan bahwa setiap satu bulan sekali di malam Jum’at, jenglot itu harus diberi makan berupa darah manusia. Jadi paman harus pergi ke PMI untuk menukarkan darahnya dengan stok darah di PMI setiap bulannya. Aku dan Agus pun tentu saja ngeri mendengar penuturan paman tersebut. 

Suatu hari, paman harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Sebelum pergi, paman menitipkan jenglot itu kepada Agus. Ia berpesan untuk secara bergantian dengan tukang kebun rumahnya untuk menyetor darah ke PMI. Agus pun mengiyakan hal itu. Ketika pamannyanya pergi, Agus melihat ke arah jenglot itu. Ia bergidik ngeri. Lalu Agus menutup kotak jenglot itu dan menaruhnya di tempat koleksi paman. Setelah itu Agus tidak pernah membukanya lagi.

Sudah satu bulan kepergian paman, tetapi sepertinya Agus lupa dengan pesan ayahnya. Ia malah asik bermain dan melupakan tugasnya sampai entah mulai kapan Agus sering mendengar suara kasak-kusuk di tengah malam, seperti ada sesuatu yang berkeliaran di rumahnya. Awalnya Agus membiarkannya, ia mengira itu hanya tikus. Tapi entah mengapa sejak mendengar suara itu Agus merasa tubuhnya lemas, ia seperti sedang sakit. Dan di tengah tidurnya Agus merasa ada sesuatu yang berjalan di tempat tidurnya. 

Akhirnya Agus sakit, ia benar-benar lemas dan badannya demam. Sudah 3 hari Agus bedrest. Seorang dokter didatangkan ke rumah Agus, karena tante sangat khawatir dengan keadaan anaknya. Dokter mengatakan Agus menderita anemia akut. Dokter mengharuskan Agus istirahat dan mengkonsumsi obat penambah darah. Jadilah Agus tergolek lemah dan hanya bisa tiduran di kamar. 

Sampai pada suatu malam kejadian yang mengerikan terjadi. Saat itu tengah malam, Agus sedang tertidur pulas di kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar suara kasak-kusuk itu lagi, tetapi kali ini berasal dari dalam kamarnya. Lebih tepatnya di bawah tempat tidurnya. Ingin sekali Agus membuka mata dan memeriksa suara itu. Tetapi karena tubuhnya masih lemah dan ia tidak dapat membuka matanya, maka Agus pun meneruskan tidurnya. 

Sampai beberapa saat kemudian Agus merasa ada sesuatu di atas kepalanya, sesuatu itu bercakar. Ia dapat merasakan cakarnya menyentuh kepalanya, Agus pun susah payah membuka matanya. Alangkah kagetnya Agus begitu melihat sesuatu berambut panjang dan bercakar sedang mencengkram kepalanya. 
“JENGLOT!!!!!” teriaknya.

Jenglot milik paman sedang bertengger di kepalanya, merinding dan jantungnya berdegup kencang. Selama beberapa detik Agus terdiam, dan akhirnya secara refleks Agus melempar jenglot itu dari kepalanya dan berteriak sekencang-kencangnya. Agus melihat jenglot itu berkelebatan pergi dengan cepat. Karena keadaannya sedang lemah, Agus langsung pingsan. Begitu Agus tersadar, ia menemukan aku, ibunya dan saudara-saudaranya mengelilingi dirinya.

Ibu Agus menangis karena khawatir dengan anaknya. Setelah diperiksa ditemukan luka bekas gigitan di ubun-ubun Agus. Sepertinya luka sayatan, luka itu cukup dalam. Dan begitu kotak jenglot itu diperiksa, ternyata kotaknya terbuka. Dan di mulut jenglot itu ada noda darah yang masih basah. Ternyata jenglot itu menghisap darah Agus melalui ubun-ubunnya setiap malam hingga akhirnya Agus sakit anemia karena Agus tidak memberi makan jenglot itu. Menyadari hal itu, tante pun menelpon paman agar menyingkirkan jenglot itu. Akhirnya paman menyuruh orang mengambil jenglot itu. Sampai sekarang jenglot itu masih ada, diletakkan di rumah kenalan paman. Dan jenglot itu tidak pernah dibawa kembali ke rumah paman.

Misteri Hotel Marbella (Banten)

Masih di kawasan Banten, terdapat sebuah hotel dengan fasilitas yang super lengkap bernama Hotel Marbella. Hotel ini sudah lama sekali berdiri dan cukup dikenal namanya di kalangan para wisatawan. Lokasinya yang berhadapan langsung ke laut lepas membuat kamar-kamar disini sering penuh. Sayangnya beberapa tamu hotel ini dulu banyak yang melakukan bunuh diri di hotel tersebut. Tragedi mengerikan ini pada akhirnya membuat Hotel Marbella menjadi angker dan berhantu. Tak sedikit pula para tamu merasa depresi akibat gangguan para hantu gentayangan di hotel ini. Kawasan hotel yang juga dikelilingi pohon kelapa ini akan berubah suram saat malam tiba. Kalian bisa menjadikan kawasan ini sebagai lokasi uji nyali sedang ada di Banten, dijamin bikin merinding. Hotel ini bisa kalian tuju melalui rute Anyer – Cilegon yang berjarak 160 km dari ibukota Jakarta. Kira-kira jika dari Jakarta butuh waktu 5 jam untuk sampai ke tempat ini.  

Cerita mistis yang beredar di Hotel Marbella ini ternyata bukan sekedar omong kosong belaka, karena saya sudah mengalaminya sendiri. Saya bersama keluarga dan beberapa sahabat mengisi long weekend pada tahun 2018 lalu. Dari Bandung ke Pantai Anyer memakan waktu sekitar 8-9 jam. Saat itu perjalanan cukup macet mengingat sedang long weekend, sehingga kami memutuskan untuk menginap di Hotel Marbella karena cukup tergoda dengan cerita kemewahan, keindahan dan kenyamanan serta fasilitas-fasilitas yang ditawarkan hotel ini.



Kami mendapatkan kamar di lantai 8 dengan fasilitas lengkap (3 kamar tidur, balkon, ruang utama, AC, sofa, dapur, TV, 2 kamar mandi dengan bathtub dan kelengkapan lainnya) yang bisa digunakan oleh keluarga besar, dan saat itu rombongan kami ada 12 orang. Sayangnya kondisi kebersihan ruangan saya menilai agak sedikit tidak terawat, seperti toilet yang tidak jalan washernya, sprei yang sedikit kusam, langit-langit yang retak dengan noda bekas bocor, dan lain-lainnya. Namun karena dalam keadaan capek dan malas jika harus protes ke petugas hotel, akhirnya saya terima saja keadaan itu.

Kami tiba di hotel sekitar pukul 10 pagi dan check in pada pukul 12 siang. Kami sempat melihat-lihat suasana sekitar hotel yang lumayan ramai saat itu, mungkin karena long weekend. Kami berniat untuk bersantai di Pantai Anyer, namun sayangnya kondisi cuaca pada saat itu sedang tidak mendukung. Cuaca mendung dan ombak pantai besar sampai membanjiri warung di pinggir pantai, cukup berbahaya kalau kami mau bermain di pantai sehingga kami mengurungkan niat dan memutuskan untuk kesana besok pagi saja.

Biasanya di saat cuaca bagus di lokasi ini banyak dikunjungi oleh wisatawan karena pantai pasir putihnya yang bersih dan terawat. Apalagi di sekitarnya terdapat aneka kuliner khas pantai seperti hidangan laut hingga es kelapa muda, juga beragam cinderamata sampai tato temporer. Untuk water sport, fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, mulai dari boogy, selancar, banana boat, flying fish, jetski dan lainnya, semua bisa dinikmati disini dengan harga sekitar 75 ribu/orang, bahkan juga ada paket water sport yang ditawarkan.

Paginya kami berenang di kolam renang hotel yang menjadi salah satu fasilitas andalan disini, bentuknya unik dan menarik, airnya dingin, segar, bersih dan jernih, bercampur suasana yang nyaman dan udara yang segar. Di pinggir kolam ada semacam bar untuk memesan makanan ringan atau minuman. Dari sisi kolam kita bisa melihat sekeliling bangunan hotel karena lokasi kolam sendiri berada di tengah dan diapit oleh bangunan hotel yang menghadap ke Pantai Anyer. Pokonya sangat keren dan benar-benar bagus, anak-anak sangat menyukainya.

Setelah berenang dan bermain di pantai, sekitar pukul 3 sore kami langsung mandi dan istirahat sejenak. Disini awal keseraman mulai terasa, saya secara pribadi dari masuk lobby sampai lift merasa auranya berbeda, hawanya terasa lain dan bulu kuduk saya tiba-tiba langsung berdiri. Sampai masuk kamar dan ke toilet, bahkan di setiap pojok ruangan saya merasakan hal yang sama, namun saya berusaha untuk mengabaikannya.

Menjelang Maghrib kami menikmati sunset bersama keluarga tercinta dengan cuaca mendung dan angin besar disertai debur ombak. Suasana mistis saya rasakan kembali pada saat malam hari selepas Maghrib. Saya selalu merinding ketika berada di ruangan, baik kamar, toilet bahkan ruangan tamu. Saya juga merasa ada sesuatu yang melihat bahkan seperti mengawasi gerak-gerik kami di kamar. Saya tidak pernah berhenti berdoa dalam hati, namun tidak saya ceritakan perasaan saya saat itu kepada teman-teman dan keluarga, karena tidak ingin merusak suasana.

Suasana yang lebih seram terasa di saat semua orang sudah terlelap tidur. Badan saya terasa capek namun sialnya saya tidak bisa tidur, alhasil saya begadang sendiri di balkon menikmati udara dan suasana pantai, dan sesekali melihat ke bawah area kolam renang dan balkon kamar di depan. Saat itu menjelang tengah malam, tiba-tiba saya mendengar pintu di depan seperti akan dibuka orang dengan kasar dan paksa beberapa kali. Dengan memberanikan diri saya buka pintu depan, namun saya tidak melihat siapapun di luar, suasana saat itu sunyi sepi. Saya tutup kembali pintu depan, namun kemudian saya mendengar suara gemericik di toilet, seperti ada yang sedang menggunakannya. Anehnya saat saya ketuk pintu toilet tak ada yang menyahut, dan begitu saya buka pintunya ternyata tak ada orang di dalam. Tak hanya sampai disitu saja keanehan yang terjadi, karena tiba-tiba saya mendengar suara di tangga, seperti ada orang yang berjalan disana, namun begitu ditengok ternyata tak ada orang. Akhirnya saya memutuskan langsung ke kamar saja untuk tidur bersama istri dan kedua anak saya. 

Sesampainya di kamar ternyata suasananya malah lebih parah. Kondisi kamar saat itu gelap dan mencekam, dan saya merasa ada banyak makhluk yang sedang mengawasi kami saat itu. Saya berdoa dalam hati agar mereka segera pergi, namun hingga pagi suasana mencekam itu masih terasa. Bahkan saya mendengar suara berisik dari langit-langit kamar, seperti ada banyak laki-laki yang sedang berbincang dan tertawa. Istri saya juga sempat terbangun karena mendengar suara itu, “Siapa sih, berisik sekali!” katanya. 

Saya hanya menjawab spontan, “Tetangga lantai atas Bun, mungkin sedang menikmati liburan,” akhirnya istri saya kembali tidur. Padahal yang saya tahu kamar ini di adalah kamar paling atas jadi tidak ada kamar lagi di atasnya, karena sore hari saya memperhatikan dari kolam renang tidak ada kamar atau balkon lagi, artinya kamar yang saya tempati adalah kamar paling atas. Sampai adzan Subuh akhirnya suara-suara tersebut hilang.

Keesokan paginya kami bermain-main di area pantai dan untungnya tidak terjadi hal-hal yang aneh sampai kami check out dari hotel siang itu. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa pada kami semua khususnya anak-anak tercinta, saya sangat ingin segera pergi dari hotel ini, karena sudah merasa khawatir. Saat kami dalam perjalanan pulang, saya ceritakan pengalaman saya ketika berada di hotel itu, dan ternyata bukan hanya saya yang mengalami kejadian aneh, istri dan teman-teman saya juga merasakan hal yang sama. Namun mereka juga tidak mau bercerita karena tidak mau merusak suasana liburan.

Monday, September 16, 2019

Tersesat Di Kampung Jin (Ngawi)

Dua bulan yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Alas Ketonggo atau Alas Srigati di Paron, Ngawi, Jawa Timur. Saya dan dua teman saya berangkat dengan mobil menuju lokasi, yang jarak tempuhnya sekitar 5 jam dari rumah kami di Tuban. Perjalanan melewati jalan-jalan kota dan jalan raya provinsi tidaklah terlalu istimewa. Namun ketika memasuki pedesaan wilayah Padangan, Bojonegoro suasana mulai terasa berbeda. Hawa lumayan sejuk memasuki anggota tubuh kami. Di pinggir kanan kiri jalan, tampak rimbunnya hutan jati yang tertimpa cahaya senja. 

Sekitar jam 5 sore kami baru tiba di lokasi Alas Ketonggo. Karena baru pertama kali kesana, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil gambar di sekitar lokasi pintu masuk Alas Ketonggo. Setelah merasa cukup kami melapor kepada juru kunci perihal kedatangan kami. Kami melepas penat sejenak karena semenjak berangkat dari Tuban menuju ke Alas Ketonggo ini kami tanpa istirahat. Kami sempatkan juga untuk mengisi perut karena memang banyak warung di dekat pintu masuk ini.



Alas Ketonggo ini konon kabarnya dulu merupakan tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari Kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Disini, terdapat Palenggahan Agung yang banyak dijadikan sebagai tempat bermeditasi bagi mereka yang ingin ngalap berkah dalam usaha. Masyarakat sekitar percaya bahwa Palenggahan Agung tersebut merupakan tempat dimana Raden Wijaya bertapa mencari petunjuk sebelum membangun Kerajaan Majapahit. 

Di Alas Srigati juga terdapat sebuah batu besar yang biasa disebut Watu Gede atau Batu Besar, konon disini merupakan pintu gerbang kerajaan dunia lain yang ada disana. Selain itu disini ada sebuah tempat bertemunya dua muara sungai yang disebut Kali Tempuk yang sering digunakan untuk mandi bagi mereka yang mendalami ilmu kekebalan, agar awet muda, dan berbagai tujuan lainnya.

Setelah menikmati mie rebus dan segelas kopi di warung, waktu sudah menujukkan pukul 18:30. Seperti petunjuk Pak Marji sang juru kunci, waktu itu adalah waktu yang tepat untuk mandi di Kali Tempuk. Mudah saja jalan menuju ke lokasi Kali Tempuk ini karena ada papan petunjuknya. Sampai di Kali Tempuk terlihat masih ada banyak peritual yang sedang bertapa berendam disana sambil menyulut dupa. Karena menunggu terlalu lama peritual yang lain naik, akhirnya saya putuskan untuk mandi juga dan tak berapa lama kemudian peritual lain selain kami bertiga sudah naik. Akhirnya tinggal kami bertiga yang ada disana.

Salah satu hal yang membuat hati diselimuti rasa takut disini adalah ketika kita melihat orang-orang yang sedang melakukan ritual. Ada yang bertapa di pinggir kali, nyekar bunga di bawah pohon, bahkan ada yang rela tinggal disitu mengabdikan dirinya untuk terus bertapa di hutan ini. Memasuki Palenggahan Agung, yang nampak adalah kain putih sebagai simbol kesucian yang semakin menambah hawa mistis disini. Tak lebih dari satu jam kami bertiga berendam di Kali Tempuk itu, selain karena banyak nyamuk ternyata airnya juga lumayan dingin. Setelah mengobrol sejenak dan menikmati nuansa malam dengan berendam di sungai yang terbalut mistis, kami bertiga pun beranjak naik untuk melewatkan malam di Palenggahan Agung.

Anehnya, saat kami akan menuju ke Kali Tempuk tadi seingat saya tidak ada jalan bercabang. Namun begitu kami mau ke Palenggahan Agung, kami lihat ada jalan bercabang. “Ah… barangkali tadi kami kurang jeli,” pikir saya. Tapi hati kecil saya sangat yakin kalau jalan setapak ini tunggal, yang harusnya menikung ke kiri kalau dari atas. Karena bingung, saya minta seorang teman yang paling depan untuk berhenti sejenak dan meminta pertimbangan pilih yang mana, kiri atau ke kanan. Karena dua teman sepakat yakin yang kiri ya sudah saya ikut saja. Tapi sejujurnya saya yakin arah yang kanan adalah jalan menuju ke Palenggahan Agung.

Beberapa menit perjalanan, saya mulai melihat keanehan yang tidak kami alami saat akan menuju ke Kali Tempuk tadi. Di arah depan ada kabut yang amat tebal, entah ini fenomena alam biasa atau bukan. Kira-kira semenit perjalanan kami menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut mulai menipis. Setelah itu kami memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagi saya. Karena seingat saya tak ada kampung selain deretan warung penyedia makanan dan minuman di Alas Ketonggo ini. Saya mulai tersadar kalau kami memang tersesat.

“Kayaknya, kita salah jalan ya, Kang!” kata seorang teman yang berjalan paling depan. Saya kemudian mengajak dua teman saya untuk berhenti berjalan.

“Wah, kalau begitu kita tanya saja ke orang-orang itu,” ujar teman saya yang lain. Ketika itu memang terlihat beberapa orang tengah berjalan searah dengan kami atau sebaliknya. Sangat aneh!

“Sebentar dulu, kita jalan saja dulu pelan-pelan. Coba perhatikan ada yang aneh nggak dengan suasana di kampung ini. Perasaanku mengatakan, kampung ini memang aneh,” kataku setengah berbisik.

Kami berjalan pelan dan sesekali berhenti. Kami perhatikan kampung itu dengan hati yang kian tak menentu. Hal utama yang menarik perhatian saya adalah ketika saya melihat banyak sekali jagung yang sudah dikupas dibiarkan begitu saja di pinggir jalan perkampungan. Beberapa orang laki-laki juga terlihat berdiri di depan pintu pagar rumahnya masing-masing. Terlihat juga wanita-wanita yang menggendong anak-anaknya dengan kain batik. Saya lihat juga ada orang sedang membuat perapian di halaman rumahnya. Dari semua yang kami perhatikan itu, untuk sementara kami belum menyadari adanya keanehan dari orang-orang itu.

“Kita berhenti saja Kang di depan warung itu. Kita coba tanya saja jalan ke Palenggahan Agung!” pinta teman saya sambil menunjuk ke arah sebuah kedai yang ada di pinggir jalan. Dan saya menyepakatinya. Ternyata pemilik warungnya adalah seorang wanita. Namun sebelum bertanya, saya bisikkan pada teman saya untuk membaca bismillah. Wanita pemilik warung itu terlihat sedang sibuk menyapu lantai warungnya, “Barangkali menjelang tutup,” pikir saya. Saya memperhatikan warung kecil itu. Warung itu terlihat menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari seperti sabun, odol, kue-kue kecil, aneka gorengan, beras, kopi sachet, sapu lidi, dll.

Kemudian saya perhatikan wanita pemilik warung itu. Saya coba mengenali wajahnya. Tapi tak bisa. Rambutnya panjang terurai kira-kira sebatas punggung. Seolah mengerti kalau sedang saya perhatikan, dia hanya menunduk sambil tangannya terus menyapu-nyapu lantai di tempat yang sama. Saya lihat teman saya bertanya padanya. Tapi anehnya wanita pemilik warung itu tidak terlihat mengangkat wajahnya. Dia seperti tidak ingin kalau parasnya diketahui oleh orang lain. Sesaat kemudian, teman saya yang bertanya itu kembali ke arah kami berdua.

“Gimana?” tanyaku.

“Katanya, terus saja jalan. Nanti juga sampai!” jawab teman saya. Dia lalu menggumam. “Perempuan itu aneh sekali. Dia mau bicara dengan saya, tapi mukanya menunduk terus.”

“Saya juga lihat kok!” kata saya. Lalu saya berinisiatif, “Sebentar ya. Saya mau beli gorengan dulu!”

Karena rasa penasaran, saya mencari alasan agar bisa mendekati wanita itu. Ketika itu, spontan terlintas dalam pikiran saya hendak membeli gorengan. Di samping untuk melihat lebih dekat si pemilik warung, setidaknya gorengan itu lumayan juga untuk pengganjal perut.

“Assalamu’alaikum!” saya memberi salam padanya. Tanpa menjawab salam saya, kali ini dia berhenti menyapu tapi tetap menundukkan wajahnya.

Lalu katanya dengan ketus, “Ada apa lagi, Mas!”

“Saya mau membeli pisang gorengnya, Bu!” jawabku.

Wanita itu diam sejenak, lalu jarinya menunjuk ke arah plastik pembungkus, sambil katanya lagi, “Silahkan pilih saja… itu kantongnya!”

Saya mengambil kantung plastik di dekat gorengan pisang itu. Lalu saya masukkan 10 buah ke dalamnya. “Sepuluh biji saja, Bu. Berapa harganya?” tanyaku.

“Berapa saja, Mas…” jawabnya datar.

Saya sebenarnya bingung, tapi cepat-cepat saya buang kebingungan itu lalu merogoh saku. Saya ambil selembar 5 ribuan, dan ingin saya berikan langsung padanya. Tapi sebelum uang saya berikan, si pemilik warung berkata lagi, “Uangnya ditaruh di atas situ saja, Mas…” sambil menunjuk dagangan gorengannya.

Kini perempuan itu berdiri di belakang tumpukan karung beras setinggi perutnya, dengan kepalanya terus menunduk. Saya taruh selembar uang 5 ribuan itu, lalu segera permisi pergi. Tak lupa saya ucapkan terima kasih pada wanita itu, meski dia tetap diam tak menjawab.

Selepas dari warung tak sengaja saya lemparkan pandangan pada sekeliling. Ketika saya perhatikan jalan, orang-orang yang tadi kami lewati, semua tidak kelihatan wajahnya alias kepala mereka semua tertunduk. Barulah kami menyadari keanehan yang tadi belum terpikirkan, yakni semua orang di kampung ini menundukkan kepalanya seolah menyembunyikan wajah mereka. Dan anehnya lagi, kami tidak merasa merinding atau takut meski kami sudah mengerti kalau sedang berada di dunia lain.

Akhirnya, kami pun melanjutkan jalan mengikuti jalan kecil. Sampai kemudian, kampung aneh itu terlewati dan kami bertemu jalan yang mengarah ke Kali Tempuk, dan benar kali ini tidak lagi bercabang alias jalan tunggal. Lega rasanya karena yang tampak di depan adalah deretan warung-warung meski sudah tutup. Setelah sampai pada Palenggahan Agung kami langsung  ke mobil mengambil HP yang sengaja tidak kami bawa kecuali kamera digital saja untuk mengambil gambar di Kali Tempuk tersebut. Keanehan kembali membuat kami saling berpandangan setelah tahu dari HP bahwa waktu sudah menujukkan pukul 03:40 WIB. Berarti sudah lama sekali kami berada di kampung aneh itu. Kami semakin pening memikirkan kejadian yang baru saja kami alami ini.

Sambil duduk-duduk di pinggir mobil, saya membuka ransel dan bermaksud untuk mencari bungkusan pisang goreng yang tadi saya masukkan kesitu. Anehnya, saya tidak menemukan plastik bungkusan pisang goreng tadi, yang ada hanyalah bungkusan daun jati. Saat saya buka bungkusan itu, ternyata di dalamnya ada 10 lembar daun kering dan selembar uang 5 ribuan yang tadi saya bayarkan di warung wanita aneh itu.

Saya ceritakan pengalaman yang aneh itu kepada Pak Marji, sang kuncen Alas Ketonggo. Dia mengeryitkan dahi kemudian mengatakan. “Kalian sudah tersesat di kampung jin, untungnya jin-jin di kampung itu jarang mencelakai manusia, atau mungkin kalian tadi masih bisa menjaga adab di Alas Ketonggo ini, makanya kalian tidak dicelakai,” kata Pak Marji. Kami bertiga hanya bisa saling pandang mendengarnya.

Perjalanan Menyeramkan (Cirebon)

Hari itu kami sekeluarga mau mudik ke Semarang, bukan mudik lebaran sih, kami cuma mau melewatkan liburan sekolah kali ini buat anak-anak berlibur ke kota itu sekalian mengunjungi eyang mereka di Semarang. Sesuai rencana sebelumnya, Mas Hendra –suamiku, aku dan kedua anak kami Bagus dan Ayu serta Mbok Surti, pekerja rumah tangga kami akan bersama-sama meninggalkan Kota Jakarta menuju Semarang, hanya saja Mbok Surti akan turun di Cirebon ke rumah anaknya disana, jadi dia ikut menumpang dari Jakarta ke Cirebon saja, selanjutnya dia akan kembali ke Jakarta sendiri nanti. 

“Barang-barang sudah dibawa semua kan? Jangan ada yang tertinggal lho! Bisa repot nanti,” kata Mas Hendra mengingatkanku. 

Kuhitung lagi tas-tas besar kami, ada sejumlah tiga buah dan semua sudah tertata rapi berbaris di teras. Satu tas besar berisi pakaian dan perlengkapan kedua anak kami, satu lagi khusus buat aku dan suamiku sedang tas ketiga berisi oleh-oleh buat sanak saudara nanti di kampung. 

“Mbok Surti gimana, nggak ada yang dibawa nih?” tanyaku beralih ke padanya karena kulihat dia cuma membawa sebuah tas yang diselampirkan di pundaknya. 

“Ah satu tas saja cukup Bu, di rumah sudah ada pakaian kok!” jawabnya. 

“Nggak bawa oleh-oleh buat anak cucu di kampung?” tanyaku lagi. 

Mbok Surti menggeleng, “Enggak Bu, nanti bagi-bagi uang saja buat para cucu biar mereka memilih sendiri jajanan yang diinginkan!” ujarnya. 

“Ya sudah kalau begitu,“ ucapku lagi, “Bagus dan Ayu, ada yang mau dibawa lagi nggak?” tanyaku kepada kedua anakku, “Makanan, mainan!” 

“Sudah lengkap Bunda!” jawab Bagus. 

“Semua sudah masuk tas punggung kok!” tambah Ayu. Mereka masing-masing membawa tas punggung, bisa dipastikan isinya aneka makanan kecil dan mainan kesukaan mereka. Kuberi kebebasan bagi mereka untuk membawa barang-barang itu agar mereka tidak merasa bosan selama perjalanan. Bila mereka kurang nyaman biasanya akan rewel dan itu merepotkan sekali, namanya juga anak-anak.

“Oke kalau sudah lengkap semua, sekarang kita berangkat!” seru suamiku sambil membuka bagasi mobil, kami lalu memasukkan tas-tas besar itu ke dalamnya. 

“Mang Ujang, nitip rumah ya!” seruku kepada Ujang, tukang kebun kami. 

Mang Ujang yang sedari tadi berdiri di teras melihat kami sibuk, mengangguk, “Iya, Bu!” 

Setelah semua masuk mobil, kami berlima pun berangkat, keluar dari halaman rumah kulihat Mang Ujang mendorong kembali pagar besi agar tertutup. Mas Hendra duduk di belakang kemudi, di sampingnya ada aku, lalu di belakang ada Mbok Surti, Bagus dan Ayu. Anak-anak masih duduk di taman kanak-kanak jadi tempat duduk di belakang tidak terlalu sempit dipakai buat tiga orang karena perawakan mereka masih kecil, Mbok Surti sendiri juga punya bentuk tubuh kurus. 

“Nanti lewat mana, Mas?” tanyaku

“Ya lewat jalan dong!” selorohnya bergurau. 

“Masak lewat udara ya, Ayah?” Bagus menimpali, dia lalu tertawa. 

“Kalau lewat udara namanya naik pesawat terbang kan Bunda!” tambah Ayu ikutan bergabung. 

“Bisa aja kalian nih!” jawabku pendek.

“Rute kita nanti, dari Kebon Jeruk (Jakarta) – tol dalam kota – Cikampek. Dengan mengambil jalur Pantura (Pantai Utara), selepas tol Cikampek, mengambil arah Cirebon,” akhirnya Mas Hendra menguraikannya juga. 

“Nanti memasuki Kota Cirebon Mbok Surti yang jadi penunjuk jalannya, ya kan Mbok?” tanyanya sambil matanya melihat ke arah belakang lewat spion. 

“Nanti Mbok Surti kasih tahu ya? Hapal kan jalan dari Kota Cirebon ke kampung halaman Simbok?” aku menimpali perkataan suamiku. 

“Iya Bu, kalau sampai Kota Cirebon Simbok tahu jalannya!” jawabnya melegakan kami. 

Terus terang kami akan kerepotan kalau dia tidak tahu arah jalan, maklum kampungnya tidak tertera di peta. Katanya sih dari kota masih lumayan jauh bahkan mesti melewati areal persawahan segala. “Mbok, di kampung ada pohon buah nggak?” Bagus nimbrung. 

“Ada, banyak... ada pohon mangga, pohon rambutan, pohon jambu, pohon nangka, pohon sawo...” 

“Wah asyik tuh!” potong Bagus girang. Lanjutnya, “Bunda, nanti kalau sampai rumahnya simbok, Bagus mau memanjat pohon ah!” 

“Aku dipetikkan buahnya ya?” rengek Ayu. 

“Boleh kan, Bunda...” rayu kedua anakku. 

“Loh kok minta ke Bunda, yang punya pohon buah kan simbok, minta dong ke simbok!” jawabku geli. 

“Boleh kok, kalian boleh ambil buah sesuka kalian!” ucap Mbok Surti, dia memang akrab dengan anak-anak, mereka sudah dianggap anak sendiri olehnya. 

“Asyik... asyik... asyik!” celoteh kedua anakku gembira. 

Dalam perjalanan dari Jakarta menuju Kota Cirebon, kami benar-benar tidak bisa menahan kantuk, apalagi jalanan juga lumayan macet karena banyak orang yang bepergian keluar kota seperti kami. 

Awalnya Bagus dan Ayu ceria sekali sambil bermain-main dengan mainan yang mereka bawa, sesekali mereka mengambil makanan kecil dan memakannya. Tapi karena lelah dan mungkin agak bosan, mereka lalu jatuh tertidur. Selanjutnya Mbok Surti, lalu aku sendiri. 

“Bangun... ini sudah sampai Kota Cirebon!” kata Mas Hendra sambil mengguncangkan bahuku. 

Kubuka mata dengan berat, ternyata dia sudah parkir di pelataran sebuah rumah makan.

“Kita sampai mana nih, Mas?” tanyaku sambil menguap karena masih mengantuk.

“Sudah sampai Kota Cirebon, ini aku mampir dulu buat isi perut, lapar nih!” jawabnya. 

“Ok deh, aku bangunkan anak-anak dan Mbok Surti dulu!” ucapku. 

Setelah membangunkan mereka, kami berlima masuk ke dalam rumah makan, ada banyak pengunjung disitu padahal jam sudah menunjuk angka empat sore hari, sudah lewat jam makan siang. Tapi ternyata para pengunjung itu seperti halnya kita, yaitu rombongan para wisnu wisatawan nusantara.

Mendapat kursi di sisi sebelah samping ruangan, kami lalu memilih menu. Sambil menunggu masakan disajikan dimeja, Mas Hendra menanyakan rute dari Kota Cirebon ke kampung Mbok Surti. Aku bergegas mencatatnya dan menggambar peta dibantu oleh Mbok Surti. 

Menurut Mbok Surti, kampungnya terletak cukup jauh dari pusat kota. Tapi tak apalah bagi kami untuk mengantarnya sampai rumah, kasihan dia kalau harus ambil angkutan. Mbok Surti sudah tua, fisiknya lemah. Lagian kita juga tidak terburu waktu karena kami cuma mau berwisata saja. 

Selesai makan kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini kami semua terjaga karena sudah tidur panjang selama perjalanan dari Jakarta ke kota ini. Dengan kondisi perut kenyang dan suasana menjelang petang, membuat hawa tidak terlalu gerah karena panas matahari juga mulai berkurang kegarangannya, kami sungguh menikmati perjalanan itu. Keluar dari kota, dengan petunjuk Mbok Surti, kami melewati jalan yang tidak terlalu padat penduduk kemudian lama kelamaan pemukiman mulai jarang. 

“Bunda... lihat tuh, sawahnya luas sekali ya!” Bagus berteriak dengan girang, tangannya menunjuk keluar jendela mengarah ke persawahan yang terhampar dengan luas laksana permadani yang dibentangkan. 

“Iya Bunda... bagus sekali. Aku besok kalau menggambar pemandangan, mengambil alam itu saja!” celoteh Ayu menambah suasana menjadi semakin ceria. 

Kami memang sengaja membuka jendela mobil agar kami bisa menikmati alam pedesaan yang belum terjamah polusi. Jalan yang kami lewati sudah berupa jalan aspal meski tidak terlalu lebar, ada pohon-pohon besar di samping kanan dan kiri jalan, lalu areal persawahan yang terhampar luas, sungguh pemandangan yang sangat bagus. Ditambah semilir angin yang segar masuk ke dalam mobil... wah menyenangkan sekali. 

“Mhm... itu merupakan keagungan ciptaan Tuhan!” jawabku. 

Kami lalu asyik menikmati pemandangan petang hari itu, sedang Mas Hendra tetap konsentrasi dengan kemudinya. Hanya Mbok Surti yang tampak biasa-biasa saja, mungkin dia tidak merasakan perbedaan seperti halnya kami, maklum dia kecil dan besar di daerah itu, beda dengan Bagus dan Ayu yang besar di Jakarta, dimana-mana yang dilihat cuma bangunan saja, jarang sekali melihat pemandangan seperti ini. 

Cukup lama kami melewati jalan yang seperti membelah persawahan itu, sampai akhirnya kami memasuki daerah pemukiman yang tidak begitu padat. Rata-rata rumah yang ada disitu mempunyai halaman yang cukup luas, kami tidak menemukan pagar besi yang membatasi areal rumah mereka seperti terjadi di perumahan kami. 

“Itu rumah Simbok!” seru Mbok Surti, tangannya menunjuk sebuah rumah yang cukup layak huni. Dindingnya sudah terbuat dari batu bata dan atapnya memakai genting. Meski terlihat kusam karena termakan usia, bangunan rumah itu tampak kokoh berdiri. 

“Ada kebun di belakang rumah tempat menanam aneka tanaman buah!” lanjutnya sambil menengok ke arah anak-anak. Bagus dan Ayu tampak sangat gembira. 

Turun dari mobil, kami disambut Pak Sumarjono, anak Mbok Surti yang tinggal disitu. Setelah dipersilakan masuk untuk berbincang sejenak kami lalu menuju kebun halaman belakang, ternyata benar, disitu tumbuh aneka tanaman buah. Pohon mangga belum berbuah karena memang belum musimnya, begitupun pohon rambutan. Tapi kalau pohon sawo... wow... bergelantungan buahnya yang berwarna coklat muda. 

Bagus ingin memanjat dan memetik, tapi kami takut terjadi sesuatu semacam terjatuh atau tergelincir, maklum hari sudah mulai gelap, meski masih ada sinar matahari yang redup terbenam di ufuk timur tapi kami tetap khawatir. Bagus sedikit kecewa karena tidak diperkenankan memanjat, Ayu juga demikian, karena tidak bisa minta kakaknya memetikkan buah untuknya, tapi untunglah Pak Sumarjono sudah memetik sebagian buah sawo itu kemarin sore jadi dia memberikan buah-buah itu kepada anak-anak. 

“Ini buat Bagus dan Ayu!” begitu katanya sambil menyerahkan sebuah tas plastik berisi buah sawo. Anak-anak terlihat gembira saat menerimanya. 

“Masih mentah, nanti ditunggu semingguan pasti sudah masak!” kata Pak Sumardjono kemudian. 

Karena Mas Hendra kelelahan dia meminta waktu barang satu dua jam untuk istirahat tidur. Aku dan anak-anak bersantai di teras sambil ngobrol dan makan makanan yang disajikan oleh tuan rumah. Bahkan anak-anak lalu bermain main di halaman depannya yang cukup luas itu. Kami juga numpang mandi di rumahnya agar badan kami segar kembali. Kalau tidak mandi badan rasanya lengket dan gerah. 

Sekitar jam sepuluh malam, kami akhirnya meninggalkan rumah Mbok Surti untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang, sebenarnya Mbok Surti meminta kami menginap saja di rumahnya dan berangkat esok hari, toh jarak Cirebon ke Semarang tidak jauh-jauh amat dan bisa ditempuh dalam beberapa jam saja. Tapi Mas Hendra ingin kami segera berangkat, sampai di Semarang tidak apa dini hari, karena dia sudah telepon ke rumah orang tuanya alias eyangnya Bagus dan Ayu. Mereka siap menerima kedatangan kami jam berapa saja. Menurutnya kalau kita sudah sampai ke rumah eyang di Semarang kami masih bisa tidur dulu buat menghimpun energi, sehingga esoknya bisa digunakan untuk berwisata seharian penuh. Kami pikir benar juga, bisa menghemat waktu, apalagi kalau malam suasanan jalan juga sepi tentu lebih leluasa bagi kami untuk menjalankan mobil karena tidak terganggu macet. 

“Wah kalau malam sawahnya nggak terlihat ya!” celetuk Bagus. Matanya melihatnya dari jendela. 

Kali ini aku minta semua pintu dan jendela dikunci tidak boleh dibuka. Selain sudah malam untuk menjaga keamanan juga kalau malam hari ada binatang-binatang kecil yang beterbangan. 

“Hey tuh... ada kunang-kunang!” teriak Ayu, jarinya menunjuk ke arah samping, Bagus mengalihkan pandangan mengikuti perkataan Ayu. 

“Iya kunang-kunangnya ada lampunya tuh.” timpal Bagus.

“Kunang-kunang memang bisa memancarkan sinar di malam hari, jadi seperti lampu. Kerlap-kerlip cantik kan?” imbuhku menimpali obrolan mereka. 

Aku lalu menghadap kembali ke depan, kubiarkan anak-anak dengan celotehannya menikmati malam. Kulihat Mas Hendra serius mengemudi, dia harus konsentrasi penuh karena cahaya yang ada cuma dari sorot lampu mobil. 

Menatap ke arah depan tidak banyak yang bisa kulihat karena sorot lampu tidak bisa terlalu jauh, jadi pandanganku hanya sebatas sinar itu, aku jadi kurang hirau dengan pemandangan di depanku, hanya sekedar menatap saja tidak terlalu memperhatikan. 

Namun saat aku melewati areal persawahan itu tiba-tiba mataku menangkap sosok putih yang begitu saja melintas di depan mobil yang dijalankan oleh suamiku. 

“Awaaassss!” jeritku keras. 

Mas Hendra sampai mengerem mendadak, anak-anak juga kaget setengah mati. 

“Ada apa Bunda?” tanya Bagus ketakutan.

Ayu memegang erat bahuku. 

“Ada apa sih?” tanya Mas Hendra. 

“Tadi... tadi... kulihat ada seseorang melintas di depan kita, aku takut kita menabraknya!” jawabku dengan gugup.

“Menabrak? Ah yang bener, aku tidak merasakan apa-apa tuh!” seru suamiku tidak percaya, ”Biasanya kalau menabrak sesuatu apalagi orang tentu terasa... tapi tadi kayaknya lancar-lancar saja tuh!” tambahnya lagi heran. 

“Tapi...” Aku tidak melanjutkan ucapanku, aku ragu benarkah tadi aku melihatnya? Atau cuma lamunanku saja. 

“Ya sudah, kita cek saja keluar!” 

Dia lalu menghentikan mobil di pinggir jalan. Mesin dan lampu mobil tetap dibiarkan menyala. 

“Anak-anak di dalam saja ya!” pintanya, anak-anak pun menurut meski mereka tampak ketakutan. 

Kemudian kami turun dari mobil untuk melihat kondisi bagian depan. Dengan nyala senter yang diarahkan ke mobil bagian bawah aku bisa melihat bahwa tidak ada apa-apa disitu. 

“Tidak ada noda apapun kan? Apalagi noda darah segala?” ucapnya agak gusar. 

“Tadi paling kamu cuma melamun!” tambahnya. 

Aku diam. Aku berpikir juga demikian, “Ya sudahlah Mas... mungkin benar kata Mas Hendra, tadi cuma lamunanku saja!” 

Kami kemudian kembali ke dalam mobil, tentu saja kami mengambil arah yang berbeda, Mas Hendra berjalan ke arah sisi kemudi mobil sedang aku aku di sisi seberangnya. Dan saat itulah tiba-tiba aku merasa hawa jatuh menjadi dingin, hembusan angin seperti mengarah ke arahku. Bulu kudukku tiba-tiba meremang aku merasa ada seseorang yang mengiringiku dari belakang. Tergesa aku masuk ke dalam mobil dan menguncinya. 

 “Ada apa sih Bunda?” tanya Bagus ingin tahu. 

“Iya nih Ayu jadi takut,” tambah Ayu. 

“Ah nggak ada apa-apa kok!” jawabku pendek. Sengaja aku tidak menceritakan kejadian tadi kepada suamiku, takut terdengar anak-anak. Aku mencoba menenangkan mereka, apalagi saat aku mengarahkan mata di luar aku juga tidak mendapati apapun yang aneh atau mencurigakan.

Mas Hendra lalu melanjutkan menyetir. Lega rasanya kami segera meninggalkan tempat itu, tapi baru beberapa meter berjalan, jantungku seperti berhenti berdetak, karena tanpa sengaja saat aku melihat dari arah spion mobil ada sosok perempuan berbaju putih di belakang sana berdiri mematung. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena rambutnya dibiarkan tergerai di depan menutupi mukanya. Hanya hitungan detik saja karena sosok itu lalu menghilang. 

Thursday, September 12, 2019

Penampakan Di Gedung Beringin (Batam)



Gedung Beringin adalah sebuah bangunan yang dibangun dengan tujuan sebagai gedung kesenian Melayu dan juga sarana serbaguna. Gedung ini masih terbilang baru karena didirikan pada tahun 1986 oleh Otorita Batam dengan mengambil lokasi di wilayah Sekupang. Akan tetapi, ketika Batam masuk di dalam Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2004, gedung ini tak lagi digunakan. Padahal dulunya gedung tersebut merupakan tempat pertemuan para pejabat pusat di era masa Persiden Soeharto. Namun bangunan ini dibiarkan dan tak terawat. Penampakannya pun rusak, kotor dan kumuh.

Gedung Beringin masuk dalam tempat angker di Batam karena menurut masyarakat disana sering muncul penampakan atau kejadian yang di luar nalar manusia. Pernah petugas keamanan gedung melihat sosok penampakan wanita cantik jelita berbaju putih yang keluar dari gedung saat tengah malam. Terlepas dari itu, entah apa yang ada di dalamnya, setiap orang yang masuk ke dalam akan timbul perasaan ketakutan serta panik berlebihan.

Asiyah, seorang perempuan paruh baya yang sering dipanggil Bude dan pernah menjadi pegawai yang dipasrahkan untuk menjaga aset bangunan itu, mengaku pernah beberapa kali melihat penampakan. “Banyak terjadi kejadian yang aneh semenjak gedung ini tak terpakai,” ucapnya.

Sebelum ibukota provinsi Kepulauan Riau pindah ke Tanjung Pinang dan kantor gubernur di Batam, dan sebelum ini masuk dalam status cagar budaya, Gedung Beringin sangat terlantar dan sering membuat orang di sekitarnya ketakutan dan panik. “Terakhir digunakan sewaktu ada pentas seni kebudayaan Melayu, lalu ada seorang gadis yang kesurupan sesudah acara  pentas dan kemudian pingsan,” ujar Bude.

Bude menuturkan, kata orang pintar yang menolong gadis tersebut, katanya gadis itu mati suri karena ada yang mengajaknya main ke dunia lain. “Sering juga terdengar suara-suara aneh menjelang tengah malam kadang di malam Jum’at atau malam Selasa. Kadang kalau tengah malam pas bangun terdengar dendang gong, musik irama Melayu kadang samar, kadang jelas,” terang dia.

Padahal kata Bude, di dalam gedung sudah tidak ada apa-apa lagi. Semua alat-alat musik sudah dibawa oleh pemiliknya ke tempat lain. “Ya tapi selama nggak mengganggu, ya nggak apa-apa,” ucap Bude.

Berbeda dengan Sarkoni, yang selama setahun telah menjadi satpam Gedung Beringin. Ia mengaku pernah melihat sesosok perempuan cantik dengan rambut terurai dengan busana Melayu berwarna putih keluar dari gedung bagian belakang. “Pada saat keliling sekitar pukul 2 dini hari saya pernah melihat sosok perempuan cantik keluar dari gedung bagian belakang,” kata Sarkoni.

Menurut pengakuan Sarkoni, dirinya tidak merasa takut atau kaget saat melihat penampakan itu, tapi sesudah penampakan itu menghilang, baru dia merasa takut dan merinding. Diakui Sarkoni, setelah Otorita Batam berganti status Menjadi Badan Pengusahaan (BP) Batam banyak aset-aset negara yang menjadi terbengkalai karena tak terurus.

Sunday, September 8, 2019

Suara Rintihan Korban Kecelakaan (Ngawi)

Bagi kalian yang sering melakukang perjalanan antarkota, terutama yang melewati jalur Yogyakarta-Surabaya pastinya sudah tidak asing dengan bagaimana peliknya jalan tersebut. Terlebih lagi bagi kalian yang melakukan perjalanan di malam hari. Banyak bus-bus besar berlalu lalang seolah tanpa memperhatikan rambu lalu lintas di jalanan. Acuhnya para pengemudi itulah kemudian yang menyebabkan banyak kecelakaan terjadi. Dan dari situlah muncul banyak cerita horor yang santer di telinga para pengguna jalan ini.
Ada satu cerita menyeramkan yang beberapa waktu lalu sempat dibicarakan banyak orang. Cerita horor itu adalah dari bus Mira dengan pelat nomor polisi S-7186-US yang telah mengalami kecelakaan di jalur maut Yogyakarta-Surabaya tersebut. Kecelakaan naas bus Mira itu terjadi sekitar tahun 2012 dengan korban jiwa yang meninggal sekitar 5 orang. Beberapa korban lain mengalami luka yang cukup parah hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Kecelakaan yang menyedihkan ini menyisakan trauma yang mendalam, bukan hanya pada para penumpangnya, namun juga para warga di sekitar Dusun Tempuran, Ngawi yang merupakan tempat kejadian kecelakaan hebat tersebut. Bermula dari kecelakaan ini, berbagai cerita horor mulai terjadi disana.
Beberapa waga menuturkan bahwa semenjak kejadian malang yang menewaskan 5 orang itu, warga yang tinggal di lokasi yang tidak jauh dari tempat kejadian sering terjaga di tengah malam karena mendengar suara rintih kesakitan. Salah satu warga yang bernama Yanto menuturkan bahwa suara jeritan minta tolong dan rintihan yang memilukan tersebut biasa terdengar di atas tengah malam.

“Yang jelas setelah kecelakaan itu, warga diresahkan dengan suara-suara misterius yang menjerit dan meminta tolong. Terlebih lagi munculnya cuma di malam hari ketika keadaan jalan benar-benar sunyi senyap. Ya jelas kita khawatir dan ketakutan,” kata Yanto.

Suara-suara jeritan itu terdengar sangat jelas di telinga warga sekitar. Hal itu karena biasanya suara itu mulai muncul setelah tengah malam dimana jalan sangat sepi dan tingkat keramaian jalan sangatlah sengap. Bahkan warga yang sering meronda malam atau pulang malam seolah sudah bisa dipastikan akan mendengar suara-suara itu.

Cerita horor tentang suara hantu minta tolong dan rintih kesakitan tersebut terus tersebar tak hanya di penjuru Kampung Tempuran, namun juga sampai terdengar di desa tetangga. Warga yang memiliki lokasi tempat tinggal di sekitar tempat kecelakaan tersebut semakin diresahkan pula dengan suara-suara menyeramkan yang semakin menjadi-jadi. Oleh karenanya, warga Dusun Tempuran dan sekitarnya kemudian menggelar satu acara doa bersama di lokasi kejadian kecelakaan naas tersebut. 

Beberapa minggu setelah kecelakaan tersebut, warga kemudian berkumpul untuk bersama-sama melaksanakan tahlilan. Acara ini digelar dengan harapan warga tidak akan terganggu lagi dengan suara-suara hantu menyeramkan itu serta arwah-arwah korban kecelakaan bus Mira tersebut bisa beristirahat dengan tenang.

Thursday, September 5, 2019

Camp Sinam Pulau Galang yang Angker (Batam)


Lokasi bekas pengungsian manusia perahu dari Vietnam atau yang dikenal dengan Camp Sinam Pulau Galang banyak menyimpan cerita misteri. Beberapa cerita mengerikan bermunculan sepeninggal para pengungsi Vietnam yang pergi ke negara ketiga dan kembali ke negaranya. Saat ini sejumlah kenangan, seperti bangunan-bangunan rumah, sekolah, rumah sakit, serta tempat ibadahnya masih bisa dilihat disini. Beberapa bangunan yang kini masih terawat diantaranya Vihara Quan Am Tu, Gereja Katholik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, Gereja Protestan, dan juga mushola. Selain itu Vihara Quan Am dan bangunan yang lain seperti tempat tinggal pengungsi, rumah sakit, dan kantor UNHCR sudah terlihat hancur. 

Orang Vietnam mengungsi ke Camp Sinam yang terletak di Pulau Galang, Kepulauan Riau sekitar tahun 1979. Pada saat itu tengah berkecamuk perang saudara di negera mereka. Dari pusat Kota Batam, lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi, butuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai kesana. Kini lokasi tersebut dikelola oleh BP Batam dan dijadikan situs bersejarah. Hampir setiap pekan Camp Vietnam  kerap dikunjungi warga Batam maupun luar Batam bahkan wisatawan asing. Untuk masuk ke lokasi, para pengunjung biasanya harus membayar uang sejumlah Rp 10.000 untuk mobil dan Rp 5.000 untuk motor.

Seorang penduduk setempat bernama Sumardi yang bekerja di bekas pengungsian itu bercerita kalau banyak kejadian aneh yang ia temui sejak bekerja disana. Terutama semenjak lokasi tersebut tak lagi ditinggali oleh pengungsi dan ditinggalkan. Pernah ada kejadian mistis, seorang pengunjung yang sedang berswafoto di salah satu bangunan tempat terjadinya peristiwa pemerkosaan, tiba-tiba di kamera ponselnya muncul sosok penampakan yang diduga makhluk halus.

“Ada salah seorang pengunjung pengungsian yang tiba-tiba sakit setelah berswafoto di monumen kemanusiaan itu,” ujar Sumardi. Selain pengunjung, ia juga mengaku melihat hal yang mistis saat piket. Ia pernah melihat bayangan banyak orang, suara, rintihan, tangisan, tawa. “Tapi saya tidak terlalu memperdulikan hal tersebut,” katanya.

Sumardi mengatakan, di lokasi tersebut memang banyak cerita miris para pengungsi. Ia menambahkan, di lokasi tersebut terdapat 503 kuburan pengungsi Vietnam yang meninggal akibat wabah penyakit bawaan, dan tidak sedikit pula yang bunuh diri akibat depresi. “Tekanan kejiwaan, kriminalitas antar pengungsi sangat tinggi, seperti pemerkosaan, penyiksaan dan meninggal karena bunuh diri akibat depresi,” ungkap Sumardi.
Pada waktu itu, sambung Sumardi, hidup di pengungsian bagi mereka seperti hidup di neraka. Banyak yang tak tahan dan bahkan bunuh diri atau saling bunuh. Selain itu ada yang lebih miris. Di sekitar monumen yang dibuat UNHCR (United Nation High Commission for Refugees), terdapat patung kemanusian. Konon disana ada seorang pengungsi perempuan Vietnam (Tinhnhan Loai), yang nekat mengakhiri hidupnya setelah diperkosa oleh 7 orang pengungsi pria.

Sumardi menambahkan, ada juga kisah bunuh diri dengan cara membakar dirinya setelah ditolak sebagai pengungsi. Hal yang sama juga terjadi pada seorang Kopral Vietnam Selatan (Pokong), ia melakukan gantung diri setelah status pengungsi dan permohonan peninjauan ulang ditolak dan ada yang juga membakar dirinya di depan kantor UNHCR, menyabet perutnya dan membakar dirinya. “Macam-macam kisah pilu yang dialami ‘manusia perahu’ dulu. Dan dulu masyarakat di sekitar sini dilarang berinteraksi dengan pengungsi,” kata Sumardi.

Tuesday, September 3, 2019

Keangkeran Politeknik Caltex Riau



Di Politeknik Caltex Riau ini sering dengar ada kejadian-kejadian mistis yang bisa membuat kita merinding. Salah satunya adalah di laboratorium lantai dua, pada malam-malam tertentu sering ada penampakan seorang gadis yang melayang-layang dari luar jendela. Dari pengakuan staff yang ada disana, penjaga kampus juga sering kali kabur karena melihat sosok kuntilanak dengan suara tertawa yang sangat menyeramkan itu. 

Pernah juga saat itu sedang ada acara natal di kampus saat malam di audiitoorium lantai 3. Seorang panitia laki-laki keluar dari auditorium dan berdiri di teras, tiba-tiba dari atas ia mendengar suara perempuan memanggil namanya. Namun begitu ditengok di atas, ia melihat kuntilanak menyeramkan sedang melihatnya dari lantai atas. Karena ketakutan, panitia itu langsung masuk kembali ke auditorium.

Dua mahasiswi juga pernah mengalami kejadian mistis saat berada di toilet. Setelah keduanya keluar dari bilik toilet tiba-tiba mereka mendengar bantingan tutup closet di salah satu bilik toilet, padahal saat itu hanya ada mereka berdua di toilet itu. Keduanya langsung kabur dan kembali ke kelas karena ketakutan.

Setiap ada kegiatan ospek di kampus, pasti ada saja mahasiswa baru yang mengalami kesurupan. Konon hal ini karena lokasi kampus yang dulunya merupakan hutan lebat dan banyak ditemukan mayat disana. Entah benar atau tidak, yang jelas Politeknik Caltex Riau ini masih menjadi salah satu tempat paling angker di Pekanbaru.

Monday, September 2, 2019

Hantu Tanpa Kepala (Sampit)


Malam itu aku duduk santai di depan teras rumah Pakdhe Kartolo, baru tiga hari yang lalu aku tinggal disini, di sebuah kota yang jauh dari tempat tinggalku sebelumnya bahkan beda pulau. Aku dulu tinggal di Pulau Jawa, selepas menyelesaikan sekolah di sebuah sekolah menengah atas aku tidak bisa melanjutkan kuliah sebab orang tua tidak mampu membiayai, aku terpaksa mencari pekerjaan agar aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sayangnya aku kesulitan mendapatkan pekerjaan. 

Aku menyadari dengan kepandaianku yang cuma rata-rata dan tidak ada pengalaman kerja apapun tentu sulit menembus dunia kerja, atau mungkin keberuntungan belum berpihak kepadaku. Oleh orang tua aku diminta ikut tinggal dengan Pakdhe Kartolo di Sampit, Kalimantan Tengah. Siapa tahu bisa mendapatkan pekerjaan disana, buat pengalaman dulu tidak apa-apa sambil terus mencari kesempatan kerja yang lain. Intinya aku harus mulai menancapkan perekonomian untuk kelangsungan hidupku selanjutnya. 

“Kamu disini rupanya!” seru pakdhe mengagetkanku. “Kamu lagi melamun ya?” 

Aku tergagap, “Ah... eh... enggak kok... aku!” 

“Rachmat, aku memahami kalau kamu belum sepenuhnya senang tinggal disini, maklum masih baru. Belum ada teman, belum tahu mana-mana. Tapi yakinlah nanti kamu akan bisa beradaptasi sendiri dan kelak akan kerasan. Pakdhemu ini sudah dua puluhan tahun disini lho!” sambil duduk di sampingku, dia berkata panjang lebar. 

“Iya Pakdhe, minta doanya saja agar segera dapat pekerjaan.” jawabku dengan sopan, sebenarnya aku tidak masalah kerja dimanapun asal kerja halal dan aku nyaman dengan pekerjaan itu. 

“Yang sabar dan banyak berdoa, pasti Tuhan akan mengabulkan!” balas pakdhe.

“Sebenarnya aku ingin mencoba jadi TKI di Malaysia seperti beberapa temanku, tapi ayah dan ibu tidak memperbolehkan!” imbuhku sedikit curhat menyampaikan keinginanku yang kandas. 

“Kalau orang tua tidak mengijinkan lebih baik jangan lakukan. Restu itu penting, laksana lentera yang menerangi jalanmu. Kita coba dulu mencari peruntungan di kota ini, siapa tahu kamu berhasil!” jawabnya menasehatiku. 

Pakdhe Kartolo adalah kakak lelaki ibu, dia sudah cukup lama merantau, dia berwiraswasta sebagai seorang distributor barang-barang kebutuhan rumah tangga. Dulu kupikir dia punya semacam kantor dan ada banyak karyawan, maklum waktu mudik ke Jawa aku melihat kehidupannya terkesan serba lebih. Dia membawakan banyak oleh-oleh dan membagikan uang kepada para keponakannya. Ternyata setelah aku ada disini baru aku tahu kalau ternyata pakdhe juga tidak seberhasil bayanganku. Dia bekerja sendiri dibantu anak lelakinya yang tertua, usahanya adalah menyalurkan barang di pasar-pasar tradisional. Kemarin aku diajak olehnya, dengan naik mobil pick up butut kami berkeliling menyambangi para pedagang di pasar-pasar itu. Saat itu Rusli, anak lelakinya, sedang demam, makanya aku diajak untuk menggantikannya. 

“Kak Rusli masih sakit, Pakdhe?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. 

“Masih demam dia. Semoga besok dia sudah baikan!” jawabnya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, “Kalau besok belum sehat betul, kamu mau kan membantu Pakdhe?” tanyanya, kepulan asap mulai menghiasi udara. 

“Iya Pakdhe, aku malah senang kok karena ada kegiatan, bengong saja di rumah juga tidak nyaman,” jawabku berterus terang. 

Kuakui aku lebih senang melakukan aktivitas membantu pakdhe daripada hanya diam di rumah, memang sih aku bisa membantu budhe dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam menyapu, membersihkan kamar mandi dan lainnya, tapi jenuh juga terus-terusan ada di rumah. Beda kalau aku diajak keliling pasar, aku bisa mendapatkan pengalaman baru, berinterkasi dengan orang-orang dan yang utama aku bisa melihat keadaan kota. 

Pakdhe tertawa, lalu katanya, “Ya syukurlah kalau kamu senang, eh... Pakdhe mau nonton bola dulu di televisi, kamu mau ikut?” 

Aku menggeleng, “Aku disini dulu saja, Pakdhe,” jawabku pendek.

Kulihat dia bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam rumah, tak seberapa lama suara televisi terdengar, acara pertandingan bola itu terdengar sampai telingaku. 

Kualihkan pandanganku ke depan, dalam kesendirian aku memikirkan kehidupanku kelak. Meski belum ada rencana pasti tapi aku sudah memutuskan kalau aku tidak mau berlama-lama tinggal disini, aku ingin mandiri. Apalagi kehidupan pakdhe sekeluarga juga tidak secemerlang yang aku duga. Dengan seorang istri dan tiga orang anak tentu sulit baginya untuk menjalankan perekonomian keluarga karena pekerjaan pakdhe yang belum begitu mapan. Kak Rusli saja tidak bisa melanjutkan kuliah, satu adiknya masih duduk di sekolah menengah atas dan satunya lagi masih di sekolah dasar. Kak Rusli juga harus membantu pekerjaan ayahnya selama belum mendapatkan pekerjaan pasti. Dan kini aku bernasib sama dengannya. 

Tak terasa malam mulai menjelang, aku lalu masuk ke dalam rumah. Kulihat Pakdhe masih asyik menonton televisi. 

“Pakdhe, Rachmat tidur dulu ya!” sapaku kepadanya. 

“Emh... ya!” gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi. 

Aku lalu masuk ke sebuah kamar yang diperuntukkan bagi aku dan Kak Rusli. Kamar itu kecil saja, hanya berukuran dua setengah kali dua setengah meter. Hanya ada sebuah tempat tidur tingkat, Kak Rusli tidur di tempat tidur bawah dan aku di tingkat atasnya. Juga ada sebuah almari serta satu set meja kursi. 

Kami juga berbagi almari, aku mendapat satu sap di paling bawah untuk sekedar menaruh barang-barangku disitu. Tidak banyak barang yang aku bawa, hanya satu tas besar berisi beberapa helai pakaian dan surat-surat penting untuk tujuan mencari pekerjaan, jadi tidak masalah bagiku mendapatkan satu sap almari karena lumayan masih lapang. Hanya saja tas besarku tidak bisa kujejalkan di dalamnya karena tidak muat, aku lalu siasati dengan menaruhnya di atas almari sehingga tidak membuat kamar ini terlihat sempit. 

Kulihat Kak Rusli tidur dengan pulas, selimut membungkus tubuhnya dengan erat. Aku naik tangga tempat tidur pelan-pelan agar tidak membuat gaduh dan membangunkannya. Aku membaringkan badanku yang kurasa cukup lelah di atas kasur. Kutatap genting di atasku yang jaraknya hanya satu meter dariku, lewat kaca kecil yang ada diantara sisipan genting-genting itu aku bisa mengintip langit malam yang cukup cerah dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Sesaat kemudian akupun tertidur. 

Pagi-pagi setelah sholat Subuh, pakdhe mengajakku mulai bekerja karena Kak Rusli belum sehat benar. Budhe memberi bekal minuman dan makanan kecil. Budhe adalah seorang istri yang baik, dia seorang ibu rumah tangga biasa. Dimulai dengan memasukkan aneka barang dagangan ke atas mobil di bak belakang, lalu aku menutupinya dengan terpal agar barang aman terjaga tidak tercecer. 

“Pergi dulu Budhe,” aku pamit sambil mencium tangannya. 

“Iya Rachmat, hati-hati Nak!” jawabnya, dia lalu melambaikan tangan ke arah kami. 

Setelah aku masuk dan duduk di sampingnya, pakdhe lalu menjalankan mobil. Deru mobil pick up butut itu terdengar memecah kesunyian, rupanya para tetangga masih banyak yang tidur. Kurapatkan jaketku untuk mengusir hawa dingin yang mulai mengganggu, meski jendela mobil masih dalam keadaan tertutup tapi udara masih bisa masuk ke sela-selanya, apalagi saat mobil melaju, udara pun terasa bertiup kencang. 

“Rutinitas kerja kita memang seperti ini, mulai dari pagi-pagi buta sampai menjelang sore. Beda dengan karyawan kantor!” ucapnya sambil mengemudikan mobil. ”Yang penting halal, pasti akan diberkati oleh Tuhan!” 

“Iya Pakdhe!” jawabku, “Kak Rusli nggak ingin kerja kantoran?” tanyaku kemudian. 

Pakdhe tertawa, lalu jawabnya, “Tentu saja dia ingin. Tapi apa mau dikata kalau kesempatan itu belum menghampirinya. Sekarang bantu-bantu ayahnya dulu sambil terus berusaha.”

“Nggak ingin melanjutkan kuliah saja?” tanyaku lagi. 

Pakdhe menghela napas panjang, “Aku tahu Rusli ingin kuliah tapi Pakdhe tidak punya uang untuk itu. Kamu pasti mengerti kalau biaya kuliah itu mahal sekali!”

“Iya Pakdhe!” kataku pendek. Aku bisa merasakan karena nasibku hampir sama dengan Kak Rusli. Aku berusaha tidak menanyakannya lagi, khawatir pakdhe gundah. 

“Katanya dulu ada kerusuhan di Sampit ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. ”Ada banyak korban!” 

“Sudahlah... itu masa lalu, sekarang kita menatap masa depan!” elak pakdhe seperti enggan membicarakannya. 

Aku diam saja, pikiranku kembali ke masa dulu saat kerusuhan Sampit terjadi, dari koran yang aku baca dan berita di televisi, ada banyak korban di konflik itu. Tapi karena pakdhe malas membahasnya akupun tidak memperpanjang. Apalagi dia mengalihkan obrolan dengan topik terkini tentang korupsi, aku pun terhanyut dengan membahasnya bersama-sama. 

Seharian kami melakukan pekerjaan dengan memasok barang di pasar-pasar. Pakdhe sudah punya langganan tersendiri jadi dia seperti biasa dengan rutinitasnya, beda dengan aku yang masih kebingungan dengan jenis-jenis barang. Sering aku keliru mengambil barang yang dimaksud, tapi untunglah pakdhe termasuk orang yang sabar. Dia menganggapku masih belajar jadi tidak mempermasalahkannya, para pedagang langganannya tampaknya juga tahu kalau aku masih anak baru, sebagian dari mereka bahkan menanyakan perihal Rusli yang tidak nampak mendampinginya seperti biasa. Pakdhe menerangkan kepada mereka kalau Kak Rusli sedang sakit dan aku adalah keponakannya yang dari Jawa. 

Menjelang sore, pekerjaan mendistribusikan barang selesai sudah, kupikir kami akan langsung pulang, ternyata pakdhe mengajakku ke rumah salah seorang temannya. 

“Kita ke rumah Pak Solihin dulu, dia ada bisnis untuk kita,” ucapnya datar. 

Setelah sampai di sebuah rumah yang terletak di perkampungan penduduk, pakdhe memarkir mobil di jalan di depan rumah itu karena tidak ada halaman yang cukup untuk menampung mobil. Aku keluar mobil dan mengikuti langkah pakdhe memasuki halaman itu. 

“Hei... Kartolo, sudah datang rupanya!” suara seseorang dengan aksen Madura terdengar keras. Kulihat dia menepuk bahu pakdhe, mereka tampak akrab satu sama lain.

“Solihin, kenalkan ini Rachmat keponakanku dari Jawa!” 

Aku menjulurkan tangan untuk menyalami Pak Solihin, dia menyambut jabatanku dengan hangat. 

“Rusli mana?” tanya Pak Solihin. 

“Dia lagi sakit!” jawab pakdhe singkat. 

Kami bertiga lalu masuk ke dalam rumahnya, ternyata ada banyak barang disitu dan sebagian besar sudah terbungkus rapi. Rupanya pakdhe diminta mengirim barang-barang dari Pak Solihin ke koleganya di lain kota. 

“Ini daftar barang-barangnya. Kamu tinggal mengirim saja!” ucap Pak Solihin sambil menyerahkan beberapa lembar kertas berisi nota pengantar barang untuk orang yang berbeda satu sama lain. 

Pakdhe menerima dan melihatnya sekilas. “Seperti biasa kan?” tanyanya kemudian. 

“Ya!” jawab Pak Solihin singkat. 

Kami bertiga lalu sibuk memasukkan barang-barang yang sudah terbungkus rapi itu ke dalam bak belakang mobil, dan aku menutupinya dengan terpal. Setelah berpamitan, kami berdua lalu pulang ke rumah. Menurut Pakdhe, lebih nyaman berangkat malam hari sehingga kami akan sampai di kolega Pak Solihin pada pagi hari, siangnya diharapkan semua selesai dan kami bisa pulang kembali. 

“Pakdhe tidak takut berangkat malam hari?” tanyaku. 

“Sekarang sudah aman kok. Tidak masalah berangkat malam hari, jalanan juga tidak padat, kita lebih leluasa!” jawabnya. 

“Maksudku, Pakdhe tidak takut ketemu hantu?” tanyaku lagi. 

Pakdhe tertawa terbahak, “Hantu?“ teriaknya keras, lalu lanjutnya, “Aku tidak takut ketemu hantu, yang perlu dikhawatirkan kalau kita bertemu orang jahat yang mau merampok, itu yang berbahaya.” 

“Tapi alhamdulilah selama ini aku tidak mengalami hal-hal seperti itu!” imbuhnya menenangkan diriku. 

Sesampai di rumah, aku mandi dan makan malam. Sehabis itu aku diminta pakdhe untuk beristirahat dulu, nanti aku akan dibangunkan olehnya bila hendak berangkat. 

Menjelang malam aku sudah siap bersamanya untuk mengirim barang-barang dari Pak Solihin. Aku sudah mengenakan jaket dan membawa sarung, kalau malam pasti dingin. Pakdhe juga demikian. 

“Dingin ya!” serunya membuka pembicaraan. 

“Iya Pakdhe!” jawabku pendek sambil merapatkan jaket di tubuh serta mengalungkan sarung di leherku. 

“Namanya juga cari uang. Tidak mudah!” timpalnya. 

“Kalau kamu mengantuk ya tidur saja!” tambahnya. 

Aku mengangguk, tapi aku belum mengantuk, karena pakdhe konsentrasi dengan kemudinya aku pun mengarahkan pandangan keluar melihat alam sekitar. Malam itu sangat gelap karena mendung menghiasi langit, tidak ada kerlap kerlip bintang disana, jalanan pun tampak sepi, kami hanya bertemu satu dua kendaraan saja selebihnya senyap. Apalagi jalan ini jauh dari perkampungan penduduk, jadilah suasana lengang begitu terasa bercampur kesenyapan malam. 

“Sepi sekali jalannya ya Pakdhe?” seruku. 

“Mhmmm!” gumamnya. 

“Kamu nggak ingin belajar nyetir?” pakdhe balik bertanya padaku. 

“Pingin sih, Kak Rusli juga bisa nyetir kan? Aku belajar ke dia atau Pakdhe saja?” ucapku dengan senang. Aku memang ingin bisa menyetir sendiri, kuharap dengan bisa menyetir aku bisa meringankan beban pakdhe dan itu juga sebuah ketrampilan buatku, tidak ada salahnya bahkan sangat bermanfaat. 

“Aku saja yang mengajarimu nanti,” jawabnya, “Rusli memang bisa menyetir tapi belum mahir betul, kalau mengajarimu nanti malah beresiko!” 

“Besok kalau ada waktu longgar aku akan ajari kamu!” imbuhnya. 

“Terima kasih, Pakdhe!” jawabku lega. 

Kupikir lebih nyaman belajar dengan pakdhe, karena dia bisa mengatur emosinya. Tidak mudah tentu mengajari orang yang sama sekali belum bisa. Butuh kesabaran dan ketelatenan. Biasanya anak muda tidak akan sesabar orang tua yang notabene sudah kenyang asam garam kehidupan serta lebih bijaksana dalam memandang banyak hal. 

“Pakdhe, aku tidur ya... nggak tahu kok mengantuk begini!” ucapku seraya menguap. 

“Ya tidur saja!” jawabnya. 

Aku pun lalu mencoba tidur, meski kurang nyaman karena seringkali terganggu dengan kondisi jalan yang tidak mulus, tapi cukuplah bagiku untuk memejamkan mata. Apalagi dengan hawa dingin yang melingkupinya, wah cocok sekali. 

Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba aku mendengar ketukan kecil dari arah jendela kaca mobil. Sebenarnya aku kurang peduli dengan itu, kupikir itu suara ranting yang terlepas atau apalah, lagian aku masih mengantuk berat, rasanya malas mau membuka mata. Tapi suara ketukan terdengar terus, meski pelan tapi beruntun. Setengah sadar aku mencoba membuka mata, kulihat meski samar ada seseorang di balik kaca mobil itu. Kualihkan pandanganku ke arah samping tempat pakdhe duduk di depan kemudi, ternyata tidak ada pakdhe disitu, namun kulihat kunci mobil masih tertancap di tempatnya. Aku kembali menatap ke arah suara tadi, tapi tidak nampak ada orang, mungkinkah dia sudah pergi?

Karena penasaran akupun keluar mobil, kutengok ke kanan kiri tidak ada seorang pun disitu. Kulihat suasana malam yang gelap gulita karena mendung, angin dingin bertiup sangat terasa, belum lagi suara daun-daunan yang tertiup angin, benar-benar membuat suasana menjadi mencekam, terlebih tidak ada pakdhe. Dimana dia? Kenapa meninggalkanku sendirian? Tapi kok kuncinya masih menempel di mobil? Tak mungkin pakdhe pergi jauh, kupikir dia keluar buat buang air kecil saja. 

Aku memutuskan untuk keluar mobil dan melihat keadaan sekeliling. Kulangkahkan kaki mengitari mobil, kulayangkan pandangan mata di sekitarnya. Begitu sepi. Sesaat aku mendengar bunyi langkah kaki dari arah samping tersembunyi di balik pepohonan, mungkinkah itu pakdhe? Atau orang yang tadi mengetuk jendela mobil? Akupun lalu berjalan menuju suara itu, ingin tahu juga sebenarnya ada apa. 

Di rerimbunan pohon di samping jalan itu ternyata tidak ada apapun, akupun bermaksud kembali ke dalam mobil. Namun suara seseorang dari arah belakang mengagetkanku, suara itu terdengar memelas, ”Tolong saya Dik!” begitu ucapnya. 

“Tolong apa Mas?” jawabku sambil mencari arah suara itu. Karena malam yang gelap aku agak kesulitan melihat dengan jelas. 

“Tolong carikan kepala saya!” jawabnya penuh iba.

Aku terhenyak mendengar perkataannya, meski sedikit geli aku juga merasa heran, apa mungkin orang itu orang gila ya? Namun mataku tiba-tiba tertahan di pemandangan yang ada di depanku, meski kondisi gelap aku bisa melihat dengan samar sosok seorang berbadan layaknya lelaki, untuk lebih meyakinkan aku pun menatap dari bawah ke atas, dia hanya bersandal jepit, lalu ke atas lagi ternyata dia mengenakan celana panjang yang sobek disana-sini kemudian naik lagi ke atas dia memakai kemeja yang kumal, tapi ketika kulihat di bagian atasnya lagi, lelaki itu tidak ada kepalanya. Kupejam-pejamkan mataku dan kuusap-usap, bahkan aku mencubit kulitku sendiri karena tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tapi ternyata benar yang aku lihat, spontan aku lalu menjerit dan lari terbirit-birit menuju mobil. 

“Hei kamu kenapa?” tanya pakdhe menangkapku. 

“Eh... anu... aku... Pakdhe darimana?” Aku balik bertanya dengan terbata-bata. 

“Tadi Pakdhe buang air kecil sebentar. Sebenarnya aku mau bilang tapi karena kamu tertidur pulas aku jadi mengurungkan niat membangunkanmu, toh cuma sebentar!” jawabnya tenang sambil membimbingku ke dalam mobil. 

“Kamu dari mana tadi? Kok menjerit ketakutan sih?” tanyanya lagi setelah dia masuk dan duduk di sebelahku, dia lalu menghidupkan mesin mobil.

“Aku... aku!” Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku, kejadian tadi membuatku terguncang, jantungku masih berdetak dengan kencang. 

“Kenapa? Lihat hantu?” seloroh Pakdhe tanpa maksud menertawakanku, “Kan sudah kubilang hantu itu tidak berbahaya, tinggal dilawan dengan doa pasti juga akan beres!” 

Aku diam, dalam hati aku memanjatkan doa-doa semampuku. Memang terasa lebih tenang akhirnya. Saat mobil melaju aku melirik dari spion kaca mobil, tapi tidak kulihat siapapun. 

La Planchada