Monday, September 16, 2019

Perjalanan Menyeramkan (Cirebon)

Hari itu kami sekeluarga mau mudik ke Semarang, bukan mudik lebaran sih, kami cuma mau melewatkan liburan sekolah kali ini buat anak-anak berlibur ke kota itu sekalian mengunjungi eyang mereka di Semarang. Sesuai rencana sebelumnya, Mas Hendra –suamiku, aku dan kedua anak kami Bagus dan Ayu serta Mbok Surti, pekerja rumah tangga kami akan bersama-sama meninggalkan Kota Jakarta menuju Semarang, hanya saja Mbok Surti akan turun di Cirebon ke rumah anaknya disana, jadi dia ikut menumpang dari Jakarta ke Cirebon saja, selanjutnya dia akan kembali ke Jakarta sendiri nanti. 

“Barang-barang sudah dibawa semua kan? Jangan ada yang tertinggal lho! Bisa repot nanti,” kata Mas Hendra mengingatkanku. 

Kuhitung lagi tas-tas besar kami, ada sejumlah tiga buah dan semua sudah tertata rapi berbaris di teras. Satu tas besar berisi pakaian dan perlengkapan kedua anak kami, satu lagi khusus buat aku dan suamiku sedang tas ketiga berisi oleh-oleh buat sanak saudara nanti di kampung. 

“Mbok Surti gimana, nggak ada yang dibawa nih?” tanyaku beralih ke padanya karena kulihat dia cuma membawa sebuah tas yang diselampirkan di pundaknya. 

“Ah satu tas saja cukup Bu, di rumah sudah ada pakaian kok!” jawabnya. 

“Nggak bawa oleh-oleh buat anak cucu di kampung?” tanyaku lagi. 

Mbok Surti menggeleng, “Enggak Bu, nanti bagi-bagi uang saja buat para cucu biar mereka memilih sendiri jajanan yang diinginkan!” ujarnya. 

“Ya sudah kalau begitu,“ ucapku lagi, “Bagus dan Ayu, ada yang mau dibawa lagi nggak?” tanyaku kepada kedua anakku, “Makanan, mainan!” 

“Sudah lengkap Bunda!” jawab Bagus. 

“Semua sudah masuk tas punggung kok!” tambah Ayu. Mereka masing-masing membawa tas punggung, bisa dipastikan isinya aneka makanan kecil dan mainan kesukaan mereka. Kuberi kebebasan bagi mereka untuk membawa barang-barang itu agar mereka tidak merasa bosan selama perjalanan. Bila mereka kurang nyaman biasanya akan rewel dan itu merepotkan sekali, namanya juga anak-anak.

“Oke kalau sudah lengkap semua, sekarang kita berangkat!” seru suamiku sambil membuka bagasi mobil, kami lalu memasukkan tas-tas besar itu ke dalamnya. 

“Mang Ujang, nitip rumah ya!” seruku kepada Ujang, tukang kebun kami. 

Mang Ujang yang sedari tadi berdiri di teras melihat kami sibuk, mengangguk, “Iya, Bu!” 

Setelah semua masuk mobil, kami berlima pun berangkat, keluar dari halaman rumah kulihat Mang Ujang mendorong kembali pagar besi agar tertutup. Mas Hendra duduk di belakang kemudi, di sampingnya ada aku, lalu di belakang ada Mbok Surti, Bagus dan Ayu. Anak-anak masih duduk di taman kanak-kanak jadi tempat duduk di belakang tidak terlalu sempit dipakai buat tiga orang karena perawakan mereka masih kecil, Mbok Surti sendiri juga punya bentuk tubuh kurus. 

“Nanti lewat mana, Mas?” tanyaku

“Ya lewat jalan dong!” selorohnya bergurau. 

“Masak lewat udara ya, Ayah?” Bagus menimpali, dia lalu tertawa. 

“Kalau lewat udara namanya naik pesawat terbang kan Bunda!” tambah Ayu ikutan bergabung. 

“Bisa aja kalian nih!” jawabku pendek.

“Rute kita nanti, dari Kebon Jeruk (Jakarta) – tol dalam kota – Cikampek. Dengan mengambil jalur Pantura (Pantai Utara), selepas tol Cikampek, mengambil arah Cirebon,” akhirnya Mas Hendra menguraikannya juga. 

“Nanti memasuki Kota Cirebon Mbok Surti yang jadi penunjuk jalannya, ya kan Mbok?” tanyanya sambil matanya melihat ke arah belakang lewat spion. 

“Nanti Mbok Surti kasih tahu ya? Hapal kan jalan dari Kota Cirebon ke kampung halaman Simbok?” aku menimpali perkataan suamiku. 

“Iya Bu, kalau sampai Kota Cirebon Simbok tahu jalannya!” jawabnya melegakan kami. 

Terus terang kami akan kerepotan kalau dia tidak tahu arah jalan, maklum kampungnya tidak tertera di peta. Katanya sih dari kota masih lumayan jauh bahkan mesti melewati areal persawahan segala. “Mbok, di kampung ada pohon buah nggak?” Bagus nimbrung. 

“Ada, banyak... ada pohon mangga, pohon rambutan, pohon jambu, pohon nangka, pohon sawo...” 

“Wah asyik tuh!” potong Bagus girang. Lanjutnya, “Bunda, nanti kalau sampai rumahnya simbok, Bagus mau memanjat pohon ah!” 

“Aku dipetikkan buahnya ya?” rengek Ayu. 

“Boleh kan, Bunda...” rayu kedua anakku. 

“Loh kok minta ke Bunda, yang punya pohon buah kan simbok, minta dong ke simbok!” jawabku geli. 

“Boleh kok, kalian boleh ambil buah sesuka kalian!” ucap Mbok Surti, dia memang akrab dengan anak-anak, mereka sudah dianggap anak sendiri olehnya. 

“Asyik... asyik... asyik!” celoteh kedua anakku gembira. 

Dalam perjalanan dari Jakarta menuju Kota Cirebon, kami benar-benar tidak bisa menahan kantuk, apalagi jalanan juga lumayan macet karena banyak orang yang bepergian keluar kota seperti kami. 

Awalnya Bagus dan Ayu ceria sekali sambil bermain-main dengan mainan yang mereka bawa, sesekali mereka mengambil makanan kecil dan memakannya. Tapi karena lelah dan mungkin agak bosan, mereka lalu jatuh tertidur. Selanjutnya Mbok Surti, lalu aku sendiri. 

“Bangun... ini sudah sampai Kota Cirebon!” kata Mas Hendra sambil mengguncangkan bahuku. 

Kubuka mata dengan berat, ternyata dia sudah parkir di pelataran sebuah rumah makan.

“Kita sampai mana nih, Mas?” tanyaku sambil menguap karena masih mengantuk.

“Sudah sampai Kota Cirebon, ini aku mampir dulu buat isi perut, lapar nih!” jawabnya. 

“Ok deh, aku bangunkan anak-anak dan Mbok Surti dulu!” ucapku. 

Setelah membangunkan mereka, kami berlima masuk ke dalam rumah makan, ada banyak pengunjung disitu padahal jam sudah menunjuk angka empat sore hari, sudah lewat jam makan siang. Tapi ternyata para pengunjung itu seperti halnya kita, yaitu rombongan para wisnu wisatawan nusantara.

Mendapat kursi di sisi sebelah samping ruangan, kami lalu memilih menu. Sambil menunggu masakan disajikan dimeja, Mas Hendra menanyakan rute dari Kota Cirebon ke kampung Mbok Surti. Aku bergegas mencatatnya dan menggambar peta dibantu oleh Mbok Surti. 

Menurut Mbok Surti, kampungnya terletak cukup jauh dari pusat kota. Tapi tak apalah bagi kami untuk mengantarnya sampai rumah, kasihan dia kalau harus ambil angkutan. Mbok Surti sudah tua, fisiknya lemah. Lagian kita juga tidak terburu waktu karena kami cuma mau berwisata saja. 

Selesai makan kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini kami semua terjaga karena sudah tidur panjang selama perjalanan dari Jakarta ke kota ini. Dengan kondisi perut kenyang dan suasana menjelang petang, membuat hawa tidak terlalu gerah karena panas matahari juga mulai berkurang kegarangannya, kami sungguh menikmati perjalanan itu. Keluar dari kota, dengan petunjuk Mbok Surti, kami melewati jalan yang tidak terlalu padat penduduk kemudian lama kelamaan pemukiman mulai jarang. 

“Bunda... lihat tuh, sawahnya luas sekali ya!” Bagus berteriak dengan girang, tangannya menunjuk keluar jendela mengarah ke persawahan yang terhampar dengan luas laksana permadani yang dibentangkan. 

“Iya Bunda... bagus sekali. Aku besok kalau menggambar pemandangan, mengambil alam itu saja!” celoteh Ayu menambah suasana menjadi semakin ceria. 

Kami memang sengaja membuka jendela mobil agar kami bisa menikmati alam pedesaan yang belum terjamah polusi. Jalan yang kami lewati sudah berupa jalan aspal meski tidak terlalu lebar, ada pohon-pohon besar di samping kanan dan kiri jalan, lalu areal persawahan yang terhampar luas, sungguh pemandangan yang sangat bagus. Ditambah semilir angin yang segar masuk ke dalam mobil... wah menyenangkan sekali. 

“Mhm... itu merupakan keagungan ciptaan Tuhan!” jawabku. 

Kami lalu asyik menikmati pemandangan petang hari itu, sedang Mas Hendra tetap konsentrasi dengan kemudinya. Hanya Mbok Surti yang tampak biasa-biasa saja, mungkin dia tidak merasakan perbedaan seperti halnya kami, maklum dia kecil dan besar di daerah itu, beda dengan Bagus dan Ayu yang besar di Jakarta, dimana-mana yang dilihat cuma bangunan saja, jarang sekali melihat pemandangan seperti ini. 

Cukup lama kami melewati jalan yang seperti membelah persawahan itu, sampai akhirnya kami memasuki daerah pemukiman yang tidak begitu padat. Rata-rata rumah yang ada disitu mempunyai halaman yang cukup luas, kami tidak menemukan pagar besi yang membatasi areal rumah mereka seperti terjadi di perumahan kami. 

“Itu rumah Simbok!” seru Mbok Surti, tangannya menunjuk sebuah rumah yang cukup layak huni. Dindingnya sudah terbuat dari batu bata dan atapnya memakai genting. Meski terlihat kusam karena termakan usia, bangunan rumah itu tampak kokoh berdiri. 

“Ada kebun di belakang rumah tempat menanam aneka tanaman buah!” lanjutnya sambil menengok ke arah anak-anak. Bagus dan Ayu tampak sangat gembira. 

Turun dari mobil, kami disambut Pak Sumarjono, anak Mbok Surti yang tinggal disitu. Setelah dipersilakan masuk untuk berbincang sejenak kami lalu menuju kebun halaman belakang, ternyata benar, disitu tumbuh aneka tanaman buah. Pohon mangga belum berbuah karena memang belum musimnya, begitupun pohon rambutan. Tapi kalau pohon sawo... wow... bergelantungan buahnya yang berwarna coklat muda. 

Bagus ingin memanjat dan memetik, tapi kami takut terjadi sesuatu semacam terjatuh atau tergelincir, maklum hari sudah mulai gelap, meski masih ada sinar matahari yang redup terbenam di ufuk timur tapi kami tetap khawatir. Bagus sedikit kecewa karena tidak diperkenankan memanjat, Ayu juga demikian, karena tidak bisa minta kakaknya memetikkan buah untuknya, tapi untunglah Pak Sumarjono sudah memetik sebagian buah sawo itu kemarin sore jadi dia memberikan buah-buah itu kepada anak-anak. 

“Ini buat Bagus dan Ayu!” begitu katanya sambil menyerahkan sebuah tas plastik berisi buah sawo. Anak-anak terlihat gembira saat menerimanya. 

“Masih mentah, nanti ditunggu semingguan pasti sudah masak!” kata Pak Sumardjono kemudian. 

Karena Mas Hendra kelelahan dia meminta waktu barang satu dua jam untuk istirahat tidur. Aku dan anak-anak bersantai di teras sambil ngobrol dan makan makanan yang disajikan oleh tuan rumah. Bahkan anak-anak lalu bermain main di halaman depannya yang cukup luas itu. Kami juga numpang mandi di rumahnya agar badan kami segar kembali. Kalau tidak mandi badan rasanya lengket dan gerah. 

Sekitar jam sepuluh malam, kami akhirnya meninggalkan rumah Mbok Surti untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang, sebenarnya Mbok Surti meminta kami menginap saja di rumahnya dan berangkat esok hari, toh jarak Cirebon ke Semarang tidak jauh-jauh amat dan bisa ditempuh dalam beberapa jam saja. Tapi Mas Hendra ingin kami segera berangkat, sampai di Semarang tidak apa dini hari, karena dia sudah telepon ke rumah orang tuanya alias eyangnya Bagus dan Ayu. Mereka siap menerima kedatangan kami jam berapa saja. Menurutnya kalau kita sudah sampai ke rumah eyang di Semarang kami masih bisa tidur dulu buat menghimpun energi, sehingga esoknya bisa digunakan untuk berwisata seharian penuh. Kami pikir benar juga, bisa menghemat waktu, apalagi kalau malam suasanan jalan juga sepi tentu lebih leluasa bagi kami untuk menjalankan mobil karena tidak terganggu macet. 

“Wah kalau malam sawahnya nggak terlihat ya!” celetuk Bagus. Matanya melihatnya dari jendela. 

Kali ini aku minta semua pintu dan jendela dikunci tidak boleh dibuka. Selain sudah malam untuk menjaga keamanan juga kalau malam hari ada binatang-binatang kecil yang beterbangan. 

“Hey tuh... ada kunang-kunang!” teriak Ayu, jarinya menunjuk ke arah samping, Bagus mengalihkan pandangan mengikuti perkataan Ayu. 

“Iya kunang-kunangnya ada lampunya tuh.” timpal Bagus.

“Kunang-kunang memang bisa memancarkan sinar di malam hari, jadi seperti lampu. Kerlap-kerlip cantik kan?” imbuhku menimpali obrolan mereka. 

Aku lalu menghadap kembali ke depan, kubiarkan anak-anak dengan celotehannya menikmati malam. Kulihat Mas Hendra serius mengemudi, dia harus konsentrasi penuh karena cahaya yang ada cuma dari sorot lampu mobil. 

Menatap ke arah depan tidak banyak yang bisa kulihat karena sorot lampu tidak bisa terlalu jauh, jadi pandanganku hanya sebatas sinar itu, aku jadi kurang hirau dengan pemandangan di depanku, hanya sekedar menatap saja tidak terlalu memperhatikan. 

Namun saat aku melewati areal persawahan itu tiba-tiba mataku menangkap sosok putih yang begitu saja melintas di depan mobil yang dijalankan oleh suamiku. 

“Awaaassss!” jeritku keras. 

Mas Hendra sampai mengerem mendadak, anak-anak juga kaget setengah mati. 

“Ada apa Bunda?” tanya Bagus ketakutan.

Ayu memegang erat bahuku. 

“Ada apa sih?” tanya Mas Hendra. 

“Tadi... tadi... kulihat ada seseorang melintas di depan kita, aku takut kita menabraknya!” jawabku dengan gugup.

“Menabrak? Ah yang bener, aku tidak merasakan apa-apa tuh!” seru suamiku tidak percaya, ”Biasanya kalau menabrak sesuatu apalagi orang tentu terasa... tapi tadi kayaknya lancar-lancar saja tuh!” tambahnya lagi heran. 

“Tapi...” Aku tidak melanjutkan ucapanku, aku ragu benarkah tadi aku melihatnya? Atau cuma lamunanku saja. 

“Ya sudah, kita cek saja keluar!” 

Dia lalu menghentikan mobil di pinggir jalan. Mesin dan lampu mobil tetap dibiarkan menyala. 

“Anak-anak di dalam saja ya!” pintanya, anak-anak pun menurut meski mereka tampak ketakutan. 

Kemudian kami turun dari mobil untuk melihat kondisi bagian depan. Dengan nyala senter yang diarahkan ke mobil bagian bawah aku bisa melihat bahwa tidak ada apa-apa disitu. 

“Tidak ada noda apapun kan? Apalagi noda darah segala?” ucapnya agak gusar. 

“Tadi paling kamu cuma melamun!” tambahnya. 

Aku diam. Aku berpikir juga demikian, “Ya sudahlah Mas... mungkin benar kata Mas Hendra, tadi cuma lamunanku saja!” 

Kami kemudian kembali ke dalam mobil, tentu saja kami mengambil arah yang berbeda, Mas Hendra berjalan ke arah sisi kemudi mobil sedang aku aku di sisi seberangnya. Dan saat itulah tiba-tiba aku merasa hawa jatuh menjadi dingin, hembusan angin seperti mengarah ke arahku. Bulu kudukku tiba-tiba meremang aku merasa ada seseorang yang mengiringiku dari belakang. Tergesa aku masuk ke dalam mobil dan menguncinya. 

 “Ada apa sih Bunda?” tanya Bagus ingin tahu. 

“Iya nih Ayu jadi takut,” tambah Ayu. 

“Ah nggak ada apa-apa kok!” jawabku pendek. Sengaja aku tidak menceritakan kejadian tadi kepada suamiku, takut terdengar anak-anak. Aku mencoba menenangkan mereka, apalagi saat aku mengarahkan mata di luar aku juga tidak mendapati apapun yang aneh atau mencurigakan.

Mas Hendra lalu melanjutkan menyetir. Lega rasanya kami segera meninggalkan tempat itu, tapi baru beberapa meter berjalan, jantungku seperti berhenti berdetak, karena tanpa sengaja saat aku melihat dari arah spion mobil ada sosok perempuan berbaju putih di belakang sana berdiri mematung. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena rambutnya dibiarkan tergerai di depan menutupi mukanya. Hanya hitungan detik saja karena sosok itu lalu menghilang. 

No comments:

Post a Comment

La Planchada