Dua bulan yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Alas Ketonggo atau Alas Srigati di Paron, Ngawi, Jawa Timur. Saya dan dua teman saya berangkat dengan mobil menuju lokasi, yang jarak tempuhnya sekitar 5 jam dari rumah kami di Tuban. Perjalanan melewati jalan-jalan kota dan jalan raya provinsi tidaklah terlalu istimewa. Namun ketika memasuki pedesaan wilayah Padangan, Bojonegoro suasana mulai terasa berbeda. Hawa lumayan sejuk memasuki anggota tubuh kami. Di pinggir kanan kiri jalan, tampak rimbunnya hutan jati yang tertimpa cahaya senja.
Sekitar jam 5 sore kami baru tiba di lokasi Alas Ketonggo. Karena baru pertama kali kesana, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil gambar di sekitar lokasi pintu masuk Alas Ketonggo. Setelah merasa cukup kami melapor kepada juru kunci perihal kedatangan kami. Kami melepas penat sejenak karena semenjak berangkat dari Tuban menuju ke Alas Ketonggo ini kami tanpa istirahat. Kami sempatkan juga untuk mengisi perut karena memang banyak warung di dekat pintu masuk ini.
Alas Ketonggo ini konon kabarnya dulu merupakan tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari Kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Disini, terdapat Palenggahan Agung yang banyak dijadikan sebagai tempat bermeditasi bagi mereka yang ingin ngalap berkah dalam usaha. Masyarakat sekitar percaya bahwa Palenggahan Agung tersebut merupakan tempat dimana Raden Wijaya bertapa mencari petunjuk sebelum membangun Kerajaan Majapahit.
Di Alas Srigati juga terdapat sebuah batu besar yang biasa disebut Watu Gede atau Batu Besar, konon disini merupakan pintu gerbang kerajaan dunia lain yang ada disana. Selain itu disini ada sebuah tempat bertemunya dua muara sungai yang disebut Kali Tempuk yang sering digunakan untuk mandi bagi mereka yang mendalami ilmu kekebalan, agar awet muda, dan berbagai tujuan lainnya.
Setelah menikmati mie rebus dan segelas kopi di warung, waktu sudah menujukkan pukul 18:30. Seperti petunjuk Pak Marji sang juru kunci, waktu itu adalah waktu yang tepat untuk mandi di Kali Tempuk. Mudah saja jalan menuju ke lokasi Kali Tempuk ini karena ada papan petunjuknya. Sampai di Kali Tempuk terlihat masih ada banyak peritual yang sedang bertapa berendam disana sambil menyulut dupa. Karena menunggu terlalu lama peritual yang lain naik, akhirnya saya putuskan untuk mandi juga dan tak berapa lama kemudian peritual lain selain kami bertiga sudah naik. Akhirnya tinggal kami bertiga yang ada disana.
Salah satu hal yang membuat hati diselimuti rasa takut disini adalah ketika kita melihat orang-orang yang sedang melakukan ritual. Ada yang bertapa di pinggir kali, nyekar bunga di bawah pohon, bahkan ada yang rela tinggal disitu mengabdikan dirinya untuk terus bertapa di hutan ini. Memasuki Palenggahan Agung, yang nampak adalah kain putih sebagai simbol kesucian yang semakin menambah hawa mistis disini. Tak lebih dari satu jam kami bertiga berendam di Kali Tempuk itu, selain karena banyak nyamuk ternyata airnya juga lumayan dingin. Setelah mengobrol sejenak dan menikmati nuansa malam dengan berendam di sungai yang terbalut mistis, kami bertiga pun beranjak naik untuk melewatkan malam di Palenggahan Agung.
Anehnya, saat kami akan menuju ke Kali Tempuk tadi seingat saya tidak ada jalan bercabang. Namun begitu kami mau ke Palenggahan Agung, kami lihat ada jalan bercabang. “Ah… barangkali tadi kami kurang jeli,” pikir saya. Tapi hati kecil saya sangat yakin kalau jalan setapak ini tunggal, yang harusnya menikung ke kiri kalau dari atas. Karena bingung, saya minta seorang teman yang paling depan untuk berhenti sejenak dan meminta pertimbangan pilih yang mana, kiri atau ke kanan. Karena dua teman sepakat yakin yang kiri ya sudah saya ikut saja. Tapi sejujurnya saya yakin arah yang kanan adalah jalan menuju ke Palenggahan Agung.
Beberapa menit perjalanan, saya mulai melihat keanehan yang tidak kami alami saat akan menuju ke Kali Tempuk tadi. Di arah depan ada kabut yang amat tebal, entah ini fenomena alam biasa atau bukan. Kira-kira semenit perjalanan kami menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut mulai menipis. Setelah itu kami memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagi saya. Karena seingat saya tak ada kampung selain deretan warung penyedia makanan dan minuman di Alas Ketonggo ini. Saya mulai tersadar kalau kami memang tersesat.
“Kayaknya, kita salah jalan ya, Kang!” kata seorang teman yang berjalan paling depan. Saya kemudian mengajak dua teman saya untuk berhenti berjalan.
“Wah, kalau begitu kita tanya saja ke orang-orang itu,” ujar teman saya yang lain. Ketika itu memang terlihat beberapa orang tengah berjalan searah dengan kami atau sebaliknya. Sangat aneh!
“Sebentar dulu, kita jalan saja dulu pelan-pelan. Coba perhatikan ada yang aneh nggak dengan suasana di kampung ini. Perasaanku mengatakan, kampung ini memang aneh,” kataku setengah berbisik.
Kami berjalan pelan dan sesekali berhenti. Kami perhatikan kampung itu dengan hati yang kian tak menentu. Hal utama yang menarik perhatian saya adalah ketika saya melihat banyak sekali jagung yang sudah dikupas dibiarkan begitu saja di pinggir jalan perkampungan. Beberapa orang laki-laki juga terlihat berdiri di depan pintu pagar rumahnya masing-masing. Terlihat juga wanita-wanita yang menggendong anak-anaknya dengan kain batik. Saya lihat juga ada orang sedang membuat perapian di halaman rumahnya. Dari semua yang kami perhatikan itu, untuk sementara kami belum menyadari adanya keanehan dari orang-orang itu.
“Kita berhenti saja Kang di depan warung itu. Kita coba tanya saja jalan ke Palenggahan Agung!” pinta teman saya sambil menunjuk ke arah sebuah kedai yang ada di pinggir jalan. Dan saya menyepakatinya. Ternyata pemilik warungnya adalah seorang wanita. Namun sebelum bertanya, saya bisikkan pada teman saya untuk membaca bismillah. Wanita pemilik warung itu terlihat sedang sibuk menyapu lantai warungnya, “Barangkali menjelang tutup,” pikir saya. Saya memperhatikan warung kecil itu. Warung itu terlihat menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari seperti sabun, odol, kue-kue kecil, aneka gorengan, beras, kopi sachet, sapu lidi, dll.
Kemudian saya perhatikan wanita pemilik warung itu. Saya coba mengenali wajahnya. Tapi tak bisa. Rambutnya panjang terurai kira-kira sebatas punggung. Seolah mengerti kalau sedang saya perhatikan, dia hanya menunduk sambil tangannya terus menyapu-nyapu lantai di tempat yang sama. Saya lihat teman saya bertanya padanya. Tapi anehnya wanita pemilik warung itu tidak terlihat mengangkat wajahnya. Dia seperti tidak ingin kalau parasnya diketahui oleh orang lain. Sesaat kemudian, teman saya yang bertanya itu kembali ke arah kami berdua.
“Gimana?” tanyaku.
“Katanya, terus saja jalan. Nanti juga sampai!” jawab teman saya. Dia lalu menggumam. “Perempuan itu aneh sekali. Dia mau bicara dengan saya, tapi mukanya menunduk terus.”
“Saya juga lihat kok!” kata saya. Lalu saya berinisiatif, “Sebentar ya. Saya mau beli gorengan dulu!”
Karena rasa penasaran, saya mencari alasan agar bisa mendekati wanita itu. Ketika itu, spontan terlintas dalam pikiran saya hendak membeli gorengan. Di samping untuk melihat lebih dekat si pemilik warung, setidaknya gorengan itu lumayan juga untuk pengganjal perut.
“Assalamu’alaikum!” saya memberi salam padanya. Tanpa menjawab salam saya, kali ini dia berhenti menyapu tapi tetap menundukkan wajahnya.
Lalu katanya dengan ketus, “Ada apa lagi, Mas!”
“Saya mau membeli pisang gorengnya, Bu!” jawabku.
Wanita itu diam sejenak, lalu jarinya menunjuk ke arah plastik pembungkus, sambil katanya lagi, “Silahkan pilih saja… itu kantongnya!”
Saya mengambil kantung plastik di dekat gorengan pisang itu. Lalu saya masukkan 10 buah ke dalamnya. “Sepuluh biji saja, Bu. Berapa harganya?” tanyaku.
“Berapa saja, Mas…” jawabnya datar.
Saya sebenarnya bingung, tapi cepat-cepat saya buang kebingungan itu lalu merogoh saku. Saya ambil selembar 5 ribuan, dan ingin saya berikan langsung padanya. Tapi sebelum uang saya berikan, si pemilik warung berkata lagi, “Uangnya ditaruh di atas situ saja, Mas…” sambil menunjuk dagangan gorengannya.
Kini perempuan itu berdiri di belakang tumpukan karung beras setinggi perutnya, dengan kepalanya terus menunduk. Saya taruh selembar uang 5 ribuan itu, lalu segera permisi pergi. Tak lupa saya ucapkan terima kasih pada wanita itu, meski dia tetap diam tak menjawab.
Selepas dari warung tak sengaja saya lemparkan pandangan pada sekeliling. Ketika saya perhatikan jalan, orang-orang yang tadi kami lewati, semua tidak kelihatan wajahnya alias kepala mereka semua tertunduk. Barulah kami menyadari keanehan yang tadi belum terpikirkan, yakni semua orang di kampung ini menundukkan kepalanya seolah menyembunyikan wajah mereka. Dan anehnya lagi, kami tidak merasa merinding atau takut meski kami sudah mengerti kalau sedang berada di dunia lain.
Akhirnya, kami pun melanjutkan jalan mengikuti jalan kecil. Sampai kemudian, kampung aneh itu terlewati dan kami bertemu jalan yang mengarah ke Kali Tempuk, dan benar kali ini tidak lagi bercabang alias jalan tunggal. Lega rasanya karena yang tampak di depan adalah deretan warung-warung meski sudah tutup. Setelah sampai pada Palenggahan Agung kami langsung ke mobil mengambil HP yang sengaja tidak kami bawa kecuali kamera digital saja untuk mengambil gambar di Kali Tempuk tersebut. Keanehan kembali membuat kami saling berpandangan setelah tahu dari HP bahwa waktu sudah menujukkan pukul 03:40 WIB. Berarti sudah lama sekali kami berada di kampung aneh itu. Kami semakin pening memikirkan kejadian yang baru saja kami alami ini.
Sambil duduk-duduk di pinggir mobil, saya membuka ransel dan bermaksud untuk mencari bungkusan pisang goreng yang tadi saya masukkan kesitu. Anehnya, saya tidak menemukan plastik bungkusan pisang goreng tadi, yang ada hanyalah bungkusan daun jati. Saat saya buka bungkusan itu, ternyata di dalamnya ada 10 lembar daun kering dan selembar uang 5 ribuan yang tadi saya bayarkan di warung wanita aneh itu.
Saya ceritakan pengalaman yang aneh itu kepada Pak Marji, sang kuncen Alas Ketonggo. Dia mengeryitkan dahi kemudian mengatakan. “Kalian sudah tersesat di kampung jin, untungnya jin-jin di kampung itu jarang mencelakai manusia, atau mungkin kalian tadi masih bisa menjaga adab di Alas Ketonggo ini, makanya kalian tidak dicelakai,” kata Pak Marji. Kami bertiga hanya bisa saling pandang mendengarnya.
No comments:
Post a Comment