Usia Arini sepantaran denganku, hanya saja dia mempunyai sifat yang berbeda, kata orang aku ini pendiam dan pemalu, sedangkan Arini itu seorang gadis yang ceria dan ramai. Dia mempunyai bentuk tubuh yang ideal, tinggi sekitar seratus enam puluh lima centimeter dan berat sekitar lima puluh lima kilogram. Wajahnya cantik berbentuk bulat telor, hidungnya lumayan mancung, bibirnya tipis, matanya sedikit sipit khas mata seorang peranakan tionghoa dan alis mata yang membingkainya. Kulit tubuhnya putih mulus, rambutnya panjang lurus sebahu dengan pewarnaan sedikit pirang. Arini benar-benar seperti bintang pop Korea yang sekarang lagi naik daun. Sungguh sempurna dan sesuai kriteria jaman. Aku ingin sekali seperti Arini.
“Arini, darimana saja kamu?” Tanyaku begitu melihatnya muncul di hadapanku. Seperti biasa dia memakai pakaian ala korea yang girly dan manis kayak permen. Rambutnya dikuncir di belakang dengan pita warna pink ngejreng. Sepatunya mirip sepatu penyanyi papan atas yang lagi naik daun, berhak tinggi dengan sol bagian depan yang juga tinggi. Warna sepatunya juga pink, selaras dengan pita rambut dan aksesoris yang dipakainya. Kalung yang melingkar di lehernya berwarna putih, seperti mutiara yang berjajar dengan diselingi pita kecil yang juga berwarna putih, gelang juga cincin yang dikenakannya juga tampak senada. Arini... kamu benar-benar cantik sekali.
“Aku dari mall... biasa shopping!” Begitu ia menjawab dengan sedikit sombong. Ah... kenapa dia punya uang banyak sekali? Seperti air, selalu saja mengalir tidak pernah ada kata kekeringan di kamusmu.
“Nih... lihat nih!” Ucapnya bangga. Dia lalu mengeluarkan tas-tas belanjaan yang tadi ia tenteng di tangan kanan dan kirinya. Ada sekitar tujuh tas belanjaan. Tas pertama, kedua dan ketiga ternyata berisi pakaian yang lagi trend dimasa sekarang, trus tas keempat dan kelima berisi sepatu dan sisanya berisi aneka aksesoris bling - bling yang meriah.
“Kamu belanja terus! Enak ya punya uang banyak!” Kataku iri, dalam hati aku menggerutu, kapan aku bisa seperti Arini?
“Orang tuamu kaya ya?” Tanyaku kemudian.
“Papaku pengusaha yang sukses, Mamaku juga wanita karier yang melejit jabatannya!” Jawabnya.
Ah Arini, senangnya punya orang tua yang kaya raya kayak gitu, uang selalu ada. Beda dengan diriku, orang tuaku orang yang tidak berpunya. Ayahku juga seorang pengusaha, tapi masih dalam skala kecil. Ia berjualan aneka kebutuhan rumah tangga yang dijual kreditan. Kata ayahku dia sering pusing dengan kredit macet yang mesti dihadapi. Pas mau ambil barang saja orang begitu manis dan mudah, tapi saat pembayaran... wadalah sulit sekali ditemui. Kalau sudah begini, ayahku sering uring uringan tidak menentu, akhirnya aku dan ibuku juga yang kena semprot. Mungkin sebagai pelampiasan kekesalannya.
Kalau ibuku, dia juga wanita karier lho, tapi masih dalam posisi rendahan.. hehehe... dia itu kerja sebagai buruh di pabrik sepatu yang ada di pinggiran kota tempat kami tinggal. Biasanya jam enam pagi dia sudah bersiap berangkat kerja, seperti mamamu yang memakai mobil waktu berangkat kerja, ibuku juga demikian, hanya saja dia berangkat kolektif dengan teman temannya yang selalu janjian di halte untuk naik bus bersama sama.
“Papa dan mama mu selalu sibuk ya?” Tanyaku lagi.
Arini mengangguk, “Aku kesepian, di rumah cuma sendirian. Aku kan anak tunggal!” Ucapnya sendu.
Aku juga demikian, aku juga anak tunggal. Kedua orang tuaku juga sibuk bekerja. Lihat saja ibuku berangkat jam enam pagi lalu baru pulang sekitar maghrib, begitu seterusnya dari senin sampai sabtu, hari minggunya dia sibuk dengan pekerjaan rumah tangga yang menggunung karena ditahan selama seminggu semacam seterika dan bersih-bersih rumah. Ayahku sama juga. Dia bahkan sering tidak pulang karena mesti mencari barang dagangan di luar kota, juga waktunya habis untuk menagih cicilan kreditan para kliennya. Orang tua kita sama-sama sibuk, tapi nasibnya berbeda ya...
“Kalau di rumah kamu ngapain aja?” Tanyaku menyelidik.
“Ya... gitu deh....! “ jawabnya pendek dan tampak semaunya.
“Gitu gimana sih? Menyapu kah? Mencuci kah? Memasak kah?”
“Hahaha.....” Arini tertawa terbahak, “Ihhh..... itu mah pekerjaan pembantu!”
Aku terdiam, itu pekerjaanku sehari hari, aku ditugaskan ibu untuk membersihkan rumah seperti menyapu, juga mencuci baju-baju kami. Untuk tugas menyeterika ibu yang akan melakukan tiap hari minggu. Juga aku mesti memasak untuk makan kami sekeluarga, masak makanan yang sederhana saja, itu bukan karena aku malas tapi karena memang tidak ada pilihan. Sayuran dan lauk yang cuma itu-itu saja. Memang sih pedagang sayuran keliling yang mangkal tiap pagi di pos ronda itu membawa aneka jenis sayuran, telor, daging, ikan dan banyak lagi. Namun kami tidak ada dana untuk membeli itu, uang kami hanya cukup buat beli sayuran seadanya dan lauk pauk sekelas tempe tahu saja.
“Kerjaanku menonton televisi, kan banyak sinetron bagus-bagus tuh! Membaca majalah dan novel! Kalau bosan aku keluar diantar sopir keliling mall.... belanja ini belanja itu sambil ngeceng.” Jawabnya
Wah enak sekali, selalu senang-senang!
“Kalau mau keluar, aku akan berdandan secantik mungkin juga memakai pakaian yang lagi tren saat ini, pokoknya kita mesti gaul.. jangan sampai dibilang ketinggalan jaman, cewek kampungan... iiihh... enggak lah yau.” Lanjutnya genit
Aku manggut-manggut, aku juga ingin jadi cewek masa kini yang selalu tampil trendy dan memikat hati. Siapa tahu ada cowok yang kepincut denganku?
“Eh kamu sudah ada cowok belom?” Aku bertanya dengan penasaran.
“Pacar?... huuh......!” Jawabnya sambil tangannya menyentuh jidat.
“Kenapa? Kok huuuu...?” Tanyaku lagi, “Kan asyik tuh kalau ada pacar? Yang..... kayak bintang film atau artis sinetron gitu.... kan bikin orang iri?”
“Betul juga ya? Kalau punya pacar yang keren gitu bisalah buat trophy yang bisa dipamerkan kemana mana! Arini.... cewek trendy masa kini punya kekasih seorang aktor muda yang sering nongol di televisi.... wah... asyik tuh, briliian juga idemu!”
Kulihat Arini tersenyum senyum sendiri, lalu dia ngeloyor dari hadapanku menuju cermin di samping almari, lalu dia mematut diri.
“Hei, kenalin... ini nih pacarku yang baru, bintang sinetron yang diputar tiap jumat malam itu lho, nggak usah aku sebutkan nama kalian sudah tahu kan?” Arini berkata penuh kebanggaan di depan cermin.
Kamu memang pantas bila berdampingan dengan artis sinetron muda yang ganteng-ganteng itu, kamunya cantik, tinggi semampai, trendy kayak bintang pop korea dan cowok di sampingmu juga tampan, gagah, modis... wah orang-orang pasti terkagum kagum melihat kalian.
Belum lama aku mengagumi dirimu bila kamu berdampingan dengan cowok ganteng, tiba-tiba handphone berbunyi, aku segera mengambilnya dan membukanya. Ternyata ada sms dari ibu... ”Jangan lupa memasak buat nanti malam ya!” Begitu bunyi sms yang aku terima, mengingatkanku untuk menyiapkan hidangan makan malam.
“Ya bu....” Aku membalas pendek saja. Malas rasanya.
Aku ingin seperti Arini, aku tidak ingin seperti pembantu yang harus kerja ini itu. Kulihat handphone-ku, model jadul dan sudah jauh ketinggalan jaman, mungkin sudah tidak keluar lagi modelnya. Handphone itu juga hanya untuk sms saja karena pulsanya tidak pernah cukup. Bisa juga buat telepon tapi aku mesti perhitungan agar jangan sampai kehabisan pulsa, makanya aku sukanya sms saja, biar si pulsa awet.
“Disuruh menyapu ya? Atau memasak?” Tanya Arini mencibir.
Aku tersenyum kecut, “Ah enggak kok, ibuku nanti sepulang kerja mau sekalian membeli makanan. Kita ngobrol aja, nggak ada yang mesti dikerjakan kok!” Aku berbohong.
“Eh, sampai dimana tadi?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Arini bersungut sungut sambil mengingat percakapan kami yang terakhir, lalu dia berseru dengan keras seakan memenangkan undian.
”Ahaaa..... aku ingat! Kita tadi membicarakan cowok ganteng yang akan jadi pacarku. Mmmm..... siapa yah. Kalau si A cocok nggak nih?”
Si A....oh iya, si A itu cowok ganteng yang sering muncul di televisi, dia itu bintang sinetron yang lagi bersinar. Juga kadang dia jadi bintang tamu di acara-acara televisi. Gila, aku membayangkan si Arini jalan bareng si A ke mall... wah para paparazi akan berebut mengambil photo dan menampilkannya di tayangan-tayangan infotainment. Mungkin mereka akan berujar : “Bintang sinetron kita yang lagi berkibar kepergok jalan bareng dengan seorang gadis muda putri seorang konglomerat. Disinyalir mereka menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman.”
“Iya.. iya Arini... cocok banget tuh! Siapa tahu kamu ikutan masuk televisi lalu dilirik produser. Kamu kan bisa ikutan numpang main sinetron. Kamu kan cantik, semampai, putih... memenuhi syarat kok jadi bintang film... meski cuma numpang lewat saja!”
“Hei, enak aja... dibilang numpang lewat. Aku juga bisa akting tahu!” Arini tampak tidak senang dengan ledekanku tadi. Dia kemudian bergaya bak bintang film yang memerankan tokoh antagonis. Wajahnya dibuat manyun dan judes, lalu dia teriak-teriak seperti akting seorang ibu tiri yang memarahai anak-anak tirinya. Hahahaha... marah kok begitu, meski berusaha manyun dan judes aku tetap bisa menangkap kalau dia itu berusaha keras tampil cantik, dia tidak mau kejudesannya menyamarkan pesona kecantikannya. Jadinya aktingnya kelihatan kaku dan lucu.
“Kamu nggak pantas jadi orang judes, biasanya orang galak tuh jelek, kamu terlalu cantik untuk menjadi ibu tiri yang galak!” Lalu aku menawarkan dia untuk berakting jadi orang miskin yang merana. Eh tetap saja tidak cocok.
“Eh, kamu juga nggak pantas jadi orang miskin. Lihat tuh penampilanmu yang heboh. Masak orang miskin bisa pakai baju bagus, tangan dan wajah mulus kayak barusan keluar dari salon. Kamu juga terlalu cantik untuk jadi miskin.”
“Terus aku jadi siapa dong...!” Suara Arini yang terdengar manja meminta pendapat.
“Anak orang kaya yang manja tapi baik hati dan tidak sombong!” Ucapku lugas. Dapat peran seperti itu pasti enak tuh, karena tidak jauh dari kesehariannya.
“Maaf, ada orang ketuk-ketuk pintu! Aku ke depan dulu ya?” Aku pamit sama Arini kalau mau membuka pintu dulu.
“Eh bu Darmi, ada apa bu?” Tanyaku begitu aku melihat bu Darmi yang berdiri di depan pintu yang barusan aku buka.
“Ibumu belum pulang ya?” Ujarnya dengan nada tinggi. Wah pasti ada yang tidak beres.
“Belum bu, biasanya sih selepas Maghrib baru pulang. Nanti saja bu Darmi kesini lagi, langsung ketemu ibu.“ Jawabku malas, sebenarnya aku bermaksud mengusirnya dengan halus. Aku paling sebal kalau ada tamu yang uring-uringan gitu, karena itu bukan urusanku, aku tidak ada permasalahan dengan mereka, tapi kenapa mesti diriku yang dimarahi?
“Iya, nanti aku kesini. Bilang sama ibumu, hutang yang dua bulan lalu harus lunas hari ini juga!” Hardik bu Darmi galak. Dia lalu membalikkan badan terus ngeloyor pergi. Tapi baru beberapa langkah dia meninggalkan rumah ini ia berhenti lalu menengok ke arahku.
“Kamu tadi ngobrol sama siapa sih?“ Tanyanya dengan nada yang keras dan tidak enak didengar.
“Ach..... anu.... ehm..... teman!” Jawabku gelagapan. Aku tidak mau bu Darmi tahu kalau aku punya teman yang cantik dan anak orang kaya, dia pasti tidak percaya dan iri kepadaku.
“Teman.....?” Serunya keras seperti tidak percaya, lalu di luar dugaan dia berjalan kembali ke arah pintu tempat aku berdiri.
“Kenalin dong, siapa temanmu?” Pintanya dengan sedikit memaksa, wajahnya celingak-celinguk mencuri pandangan di ruang tamu.
“Tidak ada siapa-siapa? Dimana temanmu itu?” Hardiknya lagi,
“Udah pulang, sungkan kali lihat bu Darmi!” Sahutku seenaknya.
“Huuhh....” Kata bu Darmi kesal. Lalu dia ngeloyor pergi meninggalkanku.
Dalam hati aku tertawa cekikikan, aku segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam, lalu aku beranjak menuju kamarku untuk bertemu dengan Arini lagi. Kulihat dia tidak ada di kamar, lalu aku beranjak keruang tengah ternyata dia ada disitu.
“Rumahmu kecil sekali?” Ujar Arini sambil melihat lihat sekeliling.
Memang aku sekeluarga tinggal di rumah yang sangat sempit, hanya ada tiga ruangan di rumah ini, satu ruangan di depan sebagai ruang tamu merangkap garasi motor bapak bila malam tiba, terus ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang makan dan dapur sekaligus dan satu kamar lagi tempat kamar tidur kami, kamar itu ada almari sebagai sekat. Sehingga kamar itu terbelah menjadi dua, sebelah kiri merupakan tempat tidur ayah dan ibuku dan sebelah kanan yang dekat pintu sebagai kamar tidurku. Namun aku lebih sering memindahkan busa lipat tempat aku merebahkan diri diruang depan. Bila malam tiba dan dipastikan tidak ada tamu lagi, aku segera berpindah. Di kamar tamu aku bisa leluasa tiduran sambil menonton televisi. Ayah dan ibuku sudah pulang dalam keadaan lelah dan mereka selalu tidur mendengkur membuatku kesulitan tidur karena terganggu.
“Apakah rumahmu besar seperti yang di sinetron-sinetron itu?” Tanyaku ingin tahu.
“Ya iyalah..... rumahku besar. Rumahmu ini sama kamarku saja besaran kamarku!”
“Ada kolam renangnya ya?’ tanyaku lagi.
“Ya iyalah...... pokoknya seperti di film-film itu!” Jawabnya kalem.
Aku jadi ingat sebuah sinetron yang aku lihat, disitu ditampilkan sebuah potret keluarga yang kaya raya, rumahnya.... ampun besaaaaar sekali, ada tangga melingkar yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan yang ada di atasnya. Bahkan ruang makannya juga besar sekali berkali lipat dengan rumahku ini, ruang makan itu bisa menampung meja yang panjang dan besar yang ada banyak kursi di sekelilingnya. Juga ada kolam renang bagi para penghuninya. Hebohnya lagi mobil-mobil mewah berjajar terparkir di garasi. Pasti rumah Arini seperti yang ada di sinetron itu, besar dan mewah. Ah aku ingin seperti dia, punya rumah bak istana.
“Apakah kamu juga punya mobil Arini?”
“Ya iyalah...... kami punya banyak mobil. Papaku ada mobil sendiri, mamaku juga, aku juga dikasih mobil plus sopir yang mengantarku kemana saja!”
“Mobilmu seperti yang di film-film itu ya?” Tanyaku kagum.
Arini mengangguk bangga. Lalu kami terhanyut dengan percakapan tentang kemewahan yang sering hadir di televisi lewat sinetron-sinetron itu. Rasanya asyik sekali dan membuat diriku berbunga bunga. Berharap bisa hidup seperti Arini, laksana putri dalam kisah dongeng. Pasti menyenangkan punya kehidupan seperti itu.
Tak terasa sore tergantikan dengan petang, suara Adzan terdengar merdu dari arah surau di kampung padat kami. Tapi aku tetap bercengkerama dengan Arini, mengurai mimpi dan menempelkan di khayalan kehidupan kami.
“Surtiiiiiiiiii...............” Tiba-tiba suara lengkingan keras dan panjang mengagetkanku. Aku segera beranjak dari tempat tidurku menuju arah depan. Ternyata ibu sudah pulang dari tempatnya bekerja. Ibu membawa kunci sendiri jadi dia bisa leluasa membuka pintu depan.
“Ada apa bu?” Tanyaku bengong.
“Aduuuuhhhh....... pusssiiiiiing!!!! Ngapain aja kamu di rumah? Lihat rumah kotor begini! Pasti kamu juga belum memasak kan?“ Hardik ibu galak seperti nada ucapan bu Darmi tadi.
“Aku tadi lagi ada tamu bu, temanku main kesini!” Jawabku kalem.
“Siapa pula temanmu itu? Dewi si anak penyanyi terkenal, Bertha si bintang film terkenal atau Vivi si model terkenal?” Teriak ibu geregetan.
“Bukan bu, Arini yang datang bu. Arini itu putri seorang konglomerat.... dia......”
“Halah... capek.. capek... sadar Surti... sadar!!!” Sungut ibuku sambil berlalu menuju ke dalam.
Aku melongo, aku ingin sekali bercerita kenapa ibu bahwa sekarang ini aku ingin seperti Arini. Kemaren sih memang aku ingin seperti Vivi, dan kemarennya dulu ingin seperti Bertha.... tapi sekarang ini aku ingin seperti temanku yang baru : ARINI... temanku yang cantik dan seperti di sinetron-sinetron itu.
No comments:
Post a Comment