Wednesday, January 20, 2021

TEMAN SEPERJALANAN

 (Gambar Ini Hanya Ilustrasi)

Rasanya belum lama aku meninggalkan kampung halaman untuk merantau mengais rejeki di negeri orang, eh ternyata sudah hampir sepuluh tahun meninggalkan tanah air. Sudah tiga kali aku melanjutkan kontrak dan sekarang aku berencana kembali ke desa untuk mencoba peruntungan lain. Kepingin juga bekerja dinegeri sendiri, dengan modal yang sudah aku kumpulkan aku berencana berwirausaha kecil kecilan untuk melanjutkan hidup, siapa tahu berhasil. Apalagi usiaku juga mulai beranjak tua, kalau tidak mulai sekarang mencoba bekerja di tanah air sendiri mau kapan lagi? Karena biasanya ada batasan usia untuk bekerja ikut orang. Sepertinya sih enak bisa kerja buat diri sendiri, bisa bebas membuat aturan main sendiri walaupun resikonya juga mesti ditanggung sendiri hehehe.

Saat ini aku masih berada di pesawat yang sama bersama Sundari teman ku sesama TKW yang sudah habis masa kontrak nya dan bermaksud pulang kembali. Pesawat dari Jakarta yang membawa kami ke Jogjakarta.

“Beneran nih kamu nggak mau lagi kerja di luar negeri?” Tanya Sundari seperti tidak percaya.

“Iya.” Jawabku.” Pingin kerja di tempat kelahiranku saja.” Lanjutku lagi.

“Halah... mau kerja apa? Di kampung mah kesempatan kerja terbatas!” Ucapnya dengan mimik serius. Memang kuakui mencari kerja di dalam negeri susahnya setengah mati, kalau dapat tentunya aku nggak sampai hengkang keluar negeri. Seperti pepatah bilang, hujan emas dinegeri orang lebih bermakna hujan batu dinegeri sendiri. Kalau bisa mendapatkan rejeki di tanah airku tentu aku lebih memilih kerja disini.

“Aku mau berwiraswasta kecil kecilan, doanya ya?” Jawabku datar saja.

“Mau wirausaha apa nih kamu?” Tanyanya menyelidik. 

Aku tahu dia setengah tidak percaya dengan pilihan ku untuk mencoba peruntungan dengan usaha sendiri, mungkin dia mengira aku akan mencari kerja di kota.

“Aku belum tahu sih.... lihat dulu kondisi kampung bagaimana, apa yang sekiranya bisa dicari celahnya untuk kegiatan ekonomi!” Jawabku lagi dengan ragu-ragu, memang kuakui aku belum menemukan ide yang meyakinkan untuk berwirausaha, coba nanti aku lihat kondisi dulu.

“Yaaahhhh.......!” Serunya kecewa.

“Kenapa emang?” Tanyaku ingin tahu, kenapa Sundari terlihat kecewa.

“Bukan apa-apa non, mesti hati-hati saja, karena kalau nggak bagus prospeknya.. bisa bisa modalmu habis kegerus.. nah kalau sudah gitu? Mau makan apa coba... kan malu mesti nebeng orang tua terus!” Nasehat Sundari panjang lebar, tapi memang benar juga ucapannya, aku mesti mempersiapkan dengan cermat agar usahaku bisa berjalan lancar kalau perlu bisa berkembang, sebab kalau tidak tabunganku bisa habis untuk menambal usaha.

“Aku sudah memperhitungkan kok, makanya aku tidak memasukkan semua tabungan ke usaha yang belum tentu berhasil, seperti kata pepatah.. jangan menaruh telur.....”

Belum selesai aku berucap, Sundari sudah meneruskannya. ”.... di dalam satu keranjang!”

Kami tertawa bersama sama. Kami sudah mendengar kalimat bijak itu, dan memang benar adanya, kita mesti berinvestasi dibanyak bidang yang berbeda jadi bila ada satu atau dua yang gagal kita masih bisa mengandalkan yang lain.

“Eh, nanti sesampai bandara Adisucipto kamu mau naik apa untuk sampai ke rumahmu..... desa Wulungsari ya?” Tanyaku kepada Sundari, mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku mau pakai taksi saja, biar sekali jalan!” Jawabnya tenang dan yakin.

“Woooww.... nggak kemahalan tuh?” Tanyaku mencoba mengingatkan berapa banyak uang yang mesti dia keluarkan bila mau naik taksi dari bandara sampai rumahnya.

“Yaaah.. non... sesekali memanjakan diri kenapa? Buat apa kerja kalau bukan untuk diri kita sendiri? Apalagi kita masih single! So what gitu loh....” Ucapnya membela diri. Kupikir pikir benar juga kata katanya.

“Apalagi barang bawaanku banyak, kalau mesti berganti transportasi bisa repot!” Lanjutnya lagi dengan nada sungguh-sungguh.

“Tapi kamu nggak bawa uang tunai banyak-banyak kan?” Aku mencoba mengingatkan lagi.

“Ya iyalah... hari gini.... bawa uang tunai banyak-banyak berbahaya. Aku sudah transfer di rekeningku, hanya sebagian saja yang aku bawa asal cukup untuk biaya perjalanan dan biaya hidup sementara.” Urainya panjang lebar, “Kalau kamu sendiri bagaimana?” Ucapnya balik bertanya.

“Aku naik angkutan saja, tidak banyak barang yang aku bawa, hanya tas ini!” Kataku sambil menunjukkan tas yang aku dudukan di atas pangkuanku.

“Masak kamu tidak bawa barang-barang lainnya?” Kilahnya tidak percaya.

“Sudah aku kirimkan jauh hari sebelumnya! Aku memang sudah merencakan demikian. Dari bandara aku akan berjalan sebentar menuju jalan utama lalu aku akan ambil angkutan umum menuju terminal. Dari situ aku ambil angkutan lagi menuju kampungku selanjutnya aku akan naik becak atau jalan kaki saja, tidak jauh kok. Sekalian melihat perubahan yang terjadi!” Ulasku terperinci. Sundari manggut-manggut tanda mengerti keinginanku.

“Rumahmu tidak jauh sih, beda dengan aku. Paling sore atau petang sudah nyampai ya?” Ucapnya.

“Ya.” Jawabku pendek.

Percakapan kami terhenti ketika pramugari membagikan makanan dan minuman, kami menikmati sajian itu. Sambil makan aku menerawang ke masa dulu saat aku masih tinggal di kampung. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tuaku cuma petani kecil dengan lahan persawahan yang tidak terlalu luas. Bisa sekolah sampai lulus SMU saja aku sudah sangat bersyukur. Mulanya aku berharap mendapat pekerjaan dengan ijasah sekolahku itu, kenyataan persaingan kerja yang ketat membuatku kesulitan mendapatkan pekerjaan yang menurutku layak. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW. Sebenarnya was-was juga sih, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan seperti berita-berita penganiayaan TKW yang aku dengar selama ini. Tapi syukur Alhamdulilah aku bisa bekerja dengan tenang, majikanku rata-rata baik dan aku jadi betah. Aku bahkan bisa mengirim sejumlah uang untuk keluarga di kampung, adik adikku juga bisa bersekolah dengan uang yang aku kirim. Dwi –adikku nomor dua sudah menjadi tentara, selepas SMK dia mencoba ikut test penerimaan tentara, syukurlah berhasil. Dari cerita ibu, Dwi sekarang ditugaskan di Kalimantan. Sedang Tri -adikku yang terkecil, dia sekarang kuliah di sebuah universitas negeri dan hampir lulus, dia terpaksa kost di kota karena jarak antara kampus dengan rumah kami di kampung lumayan jauh. Jadi, sekarang, di rumah hanya ada bapak dan ibu. 

Namun aku juga mesti memikirkan masa depanku, tidak mungkinlah aku terus terusan bekerja, Manusia pasti akan beranjak tua dan kesempatan kerja juga semakin tipis, aku sendiri tidak mau menghabiskan seluruh usiaku dengan bekerja ikut orang. Pinginnya bila sudah berkeluarga, aku akan menjadi ibu rumah tangga yang fokus dengan suami dan anak -anak, kalaupun bekerja itu bukan karena kewajiban utama. 

“Nyampai juga akhirnya.” Seruku dalam hati sambil memasang sabuk pengaman seperti yang diarahkan, pesawat sebentar lagi akan mendarat. Kulihat Sundari juga bersiap memasangnya.

Setelah pesawat mendarat, kami keluar menuju pengambilan bagasi.

“Terima kasih Eka sudah menemaniku mengantri bagasi!” Ucapnya sambil tersenyum.

“Sama-sama, yuk kita keluar bareng!” Ajakku sambil membantunya membawakan sebagian tas bawaannya.

“Kita berpisah disini ya, salam buat keluarga!” Ucapku sambil menjabat tangan temanku itu. Dia menyambutnya dan kami saling berpelukan sesaat. Selanjutnya dia berjalan menuju layanan taksi yang ada di bandara, sedang aku berjalan santai menuju luar bandara. Memang sih ada yang menawari menggunakan mobil sewaan, tapi aku sudah memutuskan untuk naik angkutan saja, bukan pelit mau berhemat tapi aku ingin kembali ke masa lalu, bernostalgia naik angkutan umum yang padat berpeluh keringat dengan bau yang aneka macam. Juga kemudian akan naik becak sambil melihat pemandangan yang dilalui. 

Ternyata angkutan umum di jaman sekarang tidak sebanyak di jaman dulu, cukup lama aku berdiri di pinggir jalan menunggunya tapi angkutan umum kecil yang akan membawaku dari sini menuju terminal tidak juga kunjung tiba, karena capek menunggu akhirnya aku menyetop taksi dan memintanya mengantar ke terminal. Sampai disana aku mencari armada bus kecil yang melayani trayek terminal jogja menuju kota kelahiranku. Eh lagi-lagi aku mendapati bus yang aku tumpangi itu sepi penumpang. Beruntung juga sih, jadinya aku tidak perlu berdesakan seperti dulu. Aku memilih duduk dekat jendela dan pintu bus agar nanti kalau mau turun lebih mudah dan aku bisa melihat pemandangan alam yang aku lalui.

“Berhenti pak!” Seruku begitu sampai di sebuah pertigaan.

Setelah bus itu berhenti aku segera turun, lalu bus itupun melanjutkan perjalanan. Aku putar kepalaku kekanan dan kekiri, kok tidak ada becak atau ojek ya? Begitu pikirku, dulu di tempat ini banyak. 

Ketika kulihat sebuah sepeda motor berhenti di pertigaan ini karena akan menyeberang, segera aku menghampiri mereka untuk sekedar bertanya.

“Maaf Bu, kok tidak ada becak atau ojek ya?”  Tanyaku dengan sopan. Ibu dan anaknya yang membonceng di belakang menoleh ke arahku.

“Wah sudah pindah lokasi mbak, tuh... di dekat toko bangunan!” Tunjuknya. aku mengikuti arah tangannya.

“Kalau dari sini tidak kelihatan mbak, mungkin sekitar satu kilometeran dari sini. Memang mbak ini mau kemana?” Lanjutnya dengan bertanya.

“Ke dusun Gambangan!” Jawabku.

“‘Dusun gambangan tidak jauh dari sini mbak!” 

“Terima kasih Bu.” Kataku sambil meminta diri untuk melanjutkan perjalanan. Aku memutuskan berjalan kaki saja dari sini menuju kampung. Dari jalan dimana aku melangkahkan kaki aku melihat pemandangan sekeliling, tidak banyak perubahan. Di sepanjang jalan yang aku lalui tumbuh pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanan jalan. Di sebelahnya terhampar lahan persawahan. Sungguh pemandangan alam yang sangat cantik yang sudah tahunan tidak aku lihat. 

Di negara lain tempat aku bekerja tidak pernah kutemui pemandangan seperti ini, hanya bangunan-bangunan tinggi yang menghiasi kota. Udaranya juga tercemar polusi, beda dengan disini sangat alami dan hawanya yang segar. Apalagi saat ini sudah mulai masuk musim penghujan, sehingga tidak terlalu panas karena matahari tidak menampakkan diri, angin berhembus dengan kencang menerbangkan daun-daun, awan yang hitam gelap memayungi langkah perjalananku. Tapi aku tidak perlu khawatir, aku sudah mempersiapkan sebuah payung lipat kecil di dalam tas, jadi bila nanti sewaktu waktu hujan turun aku tinggal mengambil dan membuka payung. Aneh jalan ini kok sepi ya? Dulu biasanya ramai lho, apa mungkin karena sudah petang dan hampir turun hujan ya sehingga orang-orang malas keluar rumah? Kutengok jam yang melingkar di tangan kiriku baru menunjuk pukul enam sore lebih beberapa menit, paling setengah jam lagi aku akan nyampai rumah. 

Meski mendung menggelayut di langit dan hawa dingin mulai terasa karena angin berhembus dengan lebih kencang, aku tetap berjalan pelan dan santai. Aku benar-benar menikmati perjalanan ini. Namun ketika rintik hujan mulai jatuh menetes, aku segera bergegas lari di bawah pohon besar di pinggir jalan. Aku lalu mengambil payung dan membukanya, di bawah lindungan payung aku kembali melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan pulang.

Benar saja, hujan turun dengan cepat dari yang tadi rintik-rintik begitu saja berlanjut dengan derai hujan yang cukup deras. Payung yang aku pakai memang bisa melindungi dari arah atas, tapi dari arah samping, depan dan belakang, tidak mampu lagi karena angin kencang meniup dari segala arah. Tetes air hujan pun dengan leluasa membasahi kaki dan pakaianku. Tapi tak apalah, sudah lama aku tidak terkena tetesan air hujan... heheheh.

Tiba-tiba aku merasa ada seseorang di belakangku. Kuhentikan langkahku dan kutengok ke belakang, benar saja, aku melihat seorang perempuan berjalan di belakangku. Dia juga menggunakan payung seperti diriku, tapi payungnya lumayan besar sehingga aku tidak begitu jelas melihat wajahnya, selain karena payung yang melengkung itu, suasana yang cukup gelap karena tidak ada penerangan di sepanjang jalan ini membuatku kesulitan mengenalinya. Tapi aku tidak begitu peduli dengan itu semua, toh kami asing satu sama lain alias tidak saling kenal. Akupun melanjutkan jalan.

Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres. Bulu kudukku berdiri - karena kedinginan disebabkan hujan deras atau karena hal yang lain ya? Juga hatiku menangkap sesuatu yang ganjil meski aku tidak bisa menyebutkan itu apa. Kulambatkan langkah kakiku agar aku dan perempuan itu bisa berjalan seiring, siapa tahu kami bisa mengobrol bersama sehingga bila ada teman akan terasa tidak menjemukan.

“Mau ke dusun gambangan juga mbak?” Sapaku membuka percakapan begitu perempuan itu sudah berjajar dengan diriku. Perempuan itu berhenti sejenak, lalu menengok ke arahku, dia lalu menaikkan payungnya sedikit, kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Kulihat wajahnya yang pucat mungkin dia agak sakit. Aku yakin dia bukan warga asli dusun Gambangan, kalau dari kecil tinggal disini pastilah hapal wajah orang orangnya, apalagi bila kami sepantaran. Kalaupun ada perubahan paling cuma ukuran badan saja kalau tidak menggemuk yang mengurus... heheheh... kalau wajah.... biasanya tidak banyak perubahan, kami pasti bisa saling mengenali. Mungkin saja dia itu pendatang.

“Kebetulan, aku juga mau ke dusun Gambangan. Jalan sama-sama saja ya?” Pintaku dengan sopan. Dia diam saja tidak menjawab permintaanku, hanya saja dia memang berjalan perlahan mengikuti langkahku. Aneh, aku mencium bau bunga melati yang sangat tajam, mungkinkah dia memakai pewangian aroma melati? Aku mencoba mengajaknya berbicara tapi entahlah dia seperti tidak tertarik, karena dia cuma diam saja. Akhirnya aku juga tidak enak sendiri, siapa tahu dia itu tunawicara, begitu pikirku. Mau bertanya langsung tentang itu juga tidak etis rasanya. 

Terpaksalah selama dalam perjalanan itu kami saling berdiam diri. Tapi aku cukup senang karena ada teman. Diperjalanan dengan pesawat aku ketemu Sundari yang menemaniku dari Jakarta sampai Jogja. Eh disini aku juga ada teman seperjalanan meski aku tidak tahu pasti siapa dia. Sesampai di pintu gerbang menuju kampung aku menghentikan langkahku.

“Aku sudah sampai mbak, aku tinggal di RT 7, jadi aku akan berbelok ke kiri.” Di depan pintu gerbang ini memang ada dua jalan, yang menuju belokan ke arah kiri dan yang menuju belokan sebelah kanan. Perempuan itu juga ikutan berhenti. 

“Mbak mau belok ke kiri apa kekanan?” Tanyaku kepadanya, tapi diam saja.

“Ya sudah mbak aku duluan ya, silakan kalau mau belok ke kanan!” Seruku dengan perasaan sedikit aneh. Kok dia diam saja ya sedari tadi. 

Aku lalu berjalan ke arah kiri. Namun hidungku tetap mencium bau bunga melati itu, kutengok ke arah belakang, tapi perempuan itu sudah tidak ada. Mungkin dia berbelok ke arah kanan, dan baunya masih menempel didiriku karena tadi kami berdua sempat berjalan berdampingan.

Tak seberapa lama, sampai juga aku ke rumah orang tuaku. Kulihat rumah yang berwarna hijau muda itu, sekarang tampak kokoh berdiri dan lumayan bagus tidak kalah dengan rumah tetangga di sebelahnya. Mendadak mataku melihat pemandangan berbeda di rumah tetanggaku. Ada banyak orang disitu, sepertinya ada orang yang meninggal. Aku lalu bergegas masuk ke rumah.

“Bu, Eka pulang bu!” Seruku sambil membuka pintu depan. Kulepas sepatuku dan aku berjalan masuk ke dalam.

“Eka!” Sahut ibuku terdengar riang. Dari arah ruang makan dia setengah berlari menyambutku.

Kami berangkulan, tak terasa air mata meleleh dipipi, sudah lama kami tidak saling bersua, hanya surat dan suara lewat telepon saja.

“Kenapa tidak mau dijemput sih? Nih lihat sampai rumah hampir malam. Mana kamu kehujanan lagi!” Suara ibu begitu lembut, selama ini aku merindukan suara itu.

“Ah... pingin bernostalgia saja kok bu.” Jawabku riang, “Eh, bapak mana?” Tanyaku sambil celingukan kesana sini.

“Bapakmu lagi di rumah pak Wiryo tetangga kita di sebelah. Ada lelayu disitu! Besok kamu ikut ibu melayat ya? Katanya besok pagi sekitar jam sepuluh mau dimakamkan.!” Ucap ibu sambil membimbingku menuju ruang makan.

“Makan dulu! Ini Ibu sudah membuatkan masakan kesukaanmu!” Katanya sambil membuka tudung penutupnya. Kulihat ada sayur asam kesukaanku, komplit dengan sambal terasi dan ikan pindang goreng, juga kerupuk di dalam toples kaca.

“Asyik!” Teriakku senang. ”Tapi Eka mau berganti baju dulu bu, dan membasuh muka!” 

Ibu mengangguk gembira, selanjutnya aku masuk ke kamar dan meletakkan tas disana, kubuka almari dan kucari pakaian yang cocok, setelah itu aku beranjak ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Lalu aku kembali ke meja makan untuk menyantap masakan ibu yang sudah dipersiapkan. Selesai makan, Ibu menyaranku untuk istirahat, ikut melayat besok pagi saja. Malam ini biar ayah dan ibu yang bertandang ke rumah Pak Wiryo.

Paginya ibu dan aku menuju ke rumah pak Wiryo, sedang ayah sudah duluan tadi. 

“Ini Eka anakku yang baru pulang luar negeri!” Kata ibuku kepada bu Wiryo, aku menjulurkan tangan dan menjabat tangan bu Wiryo.

“Oh nak Eka ya, terima kasih nak, silakan duduk!” Jawabnya dengan suara yang parau karena sedang berduka.

Aku dan ibu kemudian mencari tempat duduk di rombongan perempuan. Dari pembicaraan mereka aku bisa menangkap bahwa ternyata yang meninggal itu menantu Bu Wiryo yang menikah dengan Budi anaknya yang nomor dua. Kabarnya menantunya itu meninggal karena sakit nelangsa dan stress karena kondisi ekonominya yang sulit, selain suaminya tidak ada pekerjaan tetap, Budi itu juga seringkali ringan tangan. 

Aku kurang begitu hirau dengan cerita bisik-bisik mereka, karena aku tidak mengenal perempuan itu, juga aku masih larut dengan nostalgia masa lalu, aku lebih tertarik untuk melihat orang-orang di sekitarku, banyak dari mereka yang sudah aku kenal. Juga pemandangan sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri tidak begitu banyak perubahan.

“Kamu ingin lihat jenazahnya nggak?” Seru ibu mengagetkanku. Ternyata ada pengumuman bila ada yang mau melihat jenazah diperbolehkan. Aku mengangguk dan mengikuti langkah ibu.

Di ruang tengah, kulihat peti jenazah dari kayu berada di atas meja panjang. Peti itu masih dalam kondisi terbuka untuk memberi kesempatan para pelayat untuk melihatnya. Karena ada beberapa orang yang melihatnya aku jadi tidak bisa melihat dari dekat. Aku hanya menangkap bahwa perempuan itu mengenakan pakaian warna hijau, katanya sih itu pakaian kesayangannya saat dia hidup. Untunglah akhirnya aku bisa melihat dengan lebih dekat karena beberapa wanita yang tadi di depanku beringsut dari kerumunan untuk kembali ke kursi masing-masing. 

Namun diriku terhenyak begitu aku melihat wajah jenazah itu, aku ingat betul wajah itu, dia yang menemaniku jalan kaki menuju desa Gambangan kemaren petang. Tiba-tiba kedua kakiku terasa lemas, keringat mengucur begitu deras, jantungku berdetak keras. Aku menggigil ketakutan.


No comments:

Post a Comment

La Planchada