(Gambar ini hanya ilustrasi)
Aku sedang sibuk menata dagangan bakso, saat Tarjo teman satu kost-ku pulang dari tempat kerjanya. Tarjo melihatku sejenak, kemudian ia masuk ke dalam kamar kost untuk berganti pakaian dan menaruh sepatu. Tak seberapa lama dia lalu keluar kamar menemaniku.
“Baru pulang Jo?” Sapaku melirik ke arahnya sebentar, lalu aku kembali melanjutkan menata dagangan bakso.
“Iya nih, tadi ada lembur!” Jawabnya pendek, sambil duduk di bangku kecil dekat gerobak baksoku.
“Wah enak ya kamu, tiap minggu dapat upah, apalagi bila lembur... wah duit ngumpul tuh!” Aku bercanda dengan sedikit iri.
Tarjo itu seumuran anakku yang kutinggal di kampung, dia baru lulus sekolah menengah atas setahun yang lalu, masih muda. Tenaganya masih laku di dunia kerja. Meski sebagai buruh penghasilannya juga pas pasan, tapi tiap minggu masih ada yang bisa diharapkan. Beda dengan aku yang cuma penjual bakso keliling, penghasilan tidak pernah tentu, kadang sudah semalaman jalan tidak banyak pembeli, kalau sudah begini tabunganku yang aku simpan di almari terpaksa diambil buat modal selanjutnya. Kadang memang ramai juga sih, apalagi bila ada yang pesan untuk hajatan atau acara tertentu. Lumayanlah kalau itu.
“Wah pak Pono ini.... aku cuma buruh pabrik pak, upah juga mepet!” Ucap Tarjo merendah, “Kalau lagi laris baksonya, duit Pak Pono juga banyak kan?” Gantian dia meledek aku.
“Hahaha...” Aku tertawa sambil geleng-geleng kepala.” Kalau laris manis ya duitnya ngumpul, tapi kalau sepi... ya... gitu deh!” Lanjutku.
“Kok jualan malam hari pak? Kalau siang kan banyak orang, kemungkinan orang beli juga tentu lebih banyak daripada malam hari?” Tanya Tarjo lagi.
“Wah kalau siang tuh banyak saingan, banyak pedagang makanan. Pernah dulu aku jualan siang, tapi ternyata hasilnya lebih banyak pas jualan malam hari.” Jawabku datar.
Aku jadi ingat dulu waktu aku pertama kali datang ke kota ini, harapan membuncah untuk mencari rejeki, apalagi ada tanggungan di kampung yang mesti kuhidupi. Seumuran Tarjo, teman kost ku itu, aku diterima kerja di pabrik sepatu. Hari-hari kulalui dengan rutinitas yang pasti juga penghasilan yang pasti pula. Tapi itu tidak berlangsung lama, saat krisis melanda negara ini pabrik tempatku bernaung ternyata tidak mampu bertahan. Jadilah pemutusan kerja besar besaran. Bahkan pabrik kemudian ditutup.
Banyak sekali pengangguran kala itu dengan kondisi kenaikan harga yang gila gilaan. Mau tak mau aku harus banting stir mencari lahan ekonomi yang lain, untuk mencari pekerjaan sudah sangat sulit. Di usia yang tidak lagi muda juga kondisi ekonomi negara yang tidak menentu lapangan kerja jadi seperti menciut. Terpaksalah aku kerja serabutan, apa saja asal halal dan menghasilkan. Dan jadilah aku pedagang bakso keliling. Awalnya aku jualan disiang hari, pikirku banyak orang yang beraktivitas dan membutuhkan makanan, tapi ternyata saingannya banyak sekali. Akhirnya aku memutuskan berdagang di malam hari, lumayanlah, saingan tidak banyak dan aku bisa memutar modal.
“Memang nggak takut sama hantu pak?” Tanya Tarjo dengan polosnya.
Dia belum lama menginjakkan kaki di kota ini, katanya sih selepas SMA dia diajak kerabatnya untuk bekerja di pabrik mebel sebagai tenaga mengamplas.
“Kalau hantu sih.... dirapal doa juga ngacir!” Jawabku sekenanya.
“Emang pernah ketemu sama hantu ya?” Tanyanya lagi seperti tertarik.
“Ah itu sudah lama sekali..... aku juga sudah agak lupa!”
“Cerita dong....!”Pintanya serius.
“Tapi seingatku saja ya?” Kulihat Tarjo mengangguk setuju.
“Duluuuu sekaliiiii aku pernah jualan di dekat kuburan, terus ada perempuan membeli semangkok bakso. Dia itu cantik dan wangi sekali, cuma bajunya itu lho.... putih panjang kayak kuntilanak.... eh ternyata beneran. Setelah dia pergi uang yang tadi buat membayar bakso berubah jadi daun... ya rugilah aku!”
“Kok kayak cerita di film-film itu ya?” Ucap Tarjo sambil mengeryitkan dahi. Ternyata dia pintar juga. Sebenarnya aku belum pernah ketemu hantu, cuma mencuplik dari film yang pernah aku tonton dulu.
“Film kan juga idenya dari kejadian yang pernah terjadi.” Elakku dengan nada suara agak tinggi, maklum... kan malu kalau ketahuan bohong... hehhehe.
Tarjo mengangguk angguk, entah dia percaya omonganku atau dia menyerah untuk tidak berdebat denganku yang jauh lebih tua ini.
“Seperti yang aku katakan tadi Jo.... kalau hantu mah bisa diusir pakai rapalan doa -doa.... yang paling aku takutkan sebenarnya kalau ketemu orang jahat! Itu yang berbahaya.”
“Orang jahat?” Tarjo membelalakkan mata.” Padahal kita ini termasuk orang tidak mampu.....”
Belum selesai Tarjo bicara aku memotongnya. ”D. U. I. T.” Ejaku huruf per huruf.
“Duit tidak mengenal orang mampu atau tidak mampu. Duit bisa bikin orang silau. “Lanjutku
“Pak Pono pernah mengalami ya?” Tanya Tarjo lagi.
“Ya pernah...” Kali ini aku berkata jujur. ”Dulu aku pernah dipalak preman, udah minta bakso gratisan eh merampok uang pula.”
Kulihat Tarjo menggeleng gelengkan kepala.
“Makanya aku selalu menaruh uang nominal besar di tempat yang berbeda, jadi kalau ada kejadian seperti itu, masih ada yang buat modal besok.”
“Wah beresiko juga ya!” Seru Tarjo.
“Semua pekerjaan ada resikonya Jo... yang penting kita kerja di jalan yang direstui Tuhan alias halal, Insya Allah akan dimudahkan.” Ucapku setengah menasehati.
Tarjo mengangguk angguk lagi.
“Aku mau mandi dulu Pak Pono, hampir Maghrib nih!” Ucapnya sambil bangkit dari kursi untuk selanjutnya menuju kamar mandi di ujung baris kamar kost ini.
Sederet kamar kost berjumlah sepuluh dengan satu kamar mandi dan WC di ujungnya. Bisa dibayangkan kami mesti antri. Kamar kostku dan Tarjo berada di nomor empat, ruangan kecil saja ukuran dua setengah kali tiga meter. Untuk menyiasati agar tidak terlalu penuh, pemilik kost menempatkan sebuah tempat tidur tingkat. Tapi dengan jam kerja yang berbeda antara Aku dan Tarjo, ruang itu jadi lebih plong. Tarjo bekerja dari pagi sampai sore bahkan petang atau malam kalau pas lembur, sedang aku dari selepas Maghrib sampai dini hari. Kami berdua jadi jarang bertemu, layaknya punya kamar kost sendiri saja. Selepas Maghrib aku mulai menjajakan daganganku. Dimulai dari daerah sekitar tempatku tinggal lalu menjauh mengikuti rute yang biasa aku jalankan.
“Banggg... baksooooo!” Suara seorang ibu dengan kerasnya sambil bertepuk tangan dan lalu melambaikan tangan. Aku segera berbalik arah untuk menemui ibu itu.
“Beli dua pak, nggak pakai irisan tahu dan seledri!” Pesan ibu itu.
Aku segera melayaninya, selanjutnya ibu itu membawa dua mangkok bakso ke dalam. Aku diam berdiri disitu menunggu mangkok itu dikembalikan. Aku membunyikan mangkok kosong untuk memberi tanda kepada orang-orang agar tahu kalau ada penjual bakso. Sesaat kemudian ibu itu keluar rumah dan menemuiku.
“Ini pak mangkok dan uangnya!” Seru ibu tadi sambil menyerahkan mangkok kosong dan beberapa lembar uang.
“Di lapangan kampung Madusari ada acara pameran lho Pak!” Ucapnya sesaat aku menerima uang dan mangkok.
“Pameran apa bu?” Tanyaku, dalam hati aku berterima kasih karena ibu itu sudah memberitahuku.
“Pameran tanaman hias, ramai pak!” Jawabnya bersemangat,
“Aku sudah lihat kemaren, penjual dadakan juga banyak tuh!” Lanjutnya tanpa bermaksud beriklan.
“Wah terima kasih bu, siapa tahu rejeki ya!” Aku berkata dengan suka cita, boleh juga tuh informasinya.
Ibu itu mengangguk dan tersenyum, selanjutnya aku meninggalkan rumah itu menuju lapangan di kampung Madusari. Kampung itu tidak terlalu jauh, berbatasan dengan kompleks perumahan yang terhitung belum lama berdiri. Sesampai disana, kulihat suasana lapangan yang sangat ramai. Stan tanaman hias berdiri berjajar dengan aneka tanaman hias yang cantik, beberapa jenis tanaman hias yang baru populer di tengah masyarakat tampak ada disetiap stan. Lalu ada penjual dadakan seperti aku ini yang berbaris di sepanjang batas lapangan.
“Baksonya pak lima.” Ucap seorang pemuda sepantaran Tarjo.
”Yudi, kamu beli minuman sana!” Suruhnya kepada salah seorang temannya.
Aku segera melayani pesanan mereka.
“Pak, kita duduk disitu ya!” Ucap pemuda itu sambil menunjukkan jarinya ke arah rerumputan yang masih kosong.
“Silakan dik!” Jawabku pendek.
Kulihat mereka duduk melingkar di rerumputan lapangan ini. Temannya yang tadi membeli minuman turut bergabung.
Sambil menunggu mereka, aku melayani pembeli lain. Di saat longgar tidak ada pembeli, aku melayangkan pandangan di sekitar pameran. Banyak orang berlalu lalang dan melihat lihat tanaman yang dipamerkan. Beberapa dari mereka membeli tanaman hias itu dan membawanya sambil berkeliling di stan yang lain.
“Pameran tanaman ini berapa lama ya?” Tanyaku kepada seorang pembeli yang menenteng tanaman hias di tangannya.
Dia membeli tiga porsi bakso dan minta dibungkus plastik untuk dibawa pulang.
“Ini hari terakhir pak!” Jawabnya pendek.
“Oh, pantas ramai sekali.” Selaku sambil menuang kuah bakso ke dalam plastik.
“Hehe.... iya pak, biasanya memang gitu, ramai nya ya pas hari terakhir.” Lanjutnya lagi.
Malam semakin larut, pameran sudah selesai sejak jam sebelas malam tadi, tapi karena masih ada orang yang berlalu lalang dan membeli makanan, kami para pedagang pun siap melayani. Sesaat setelah waktu menunjuk dini hari dan sebagian besar bakso sudah terjual, aku memutuskan untuk pulang, apalagi pembeli juga mulai menyurut. Aku sudah lelah dan uang yang ada juga sudah mencukupi
Tapi dalam perjalanan pulang aku lewat jalan tembus agar lebih cepat. Antara kompleks perumahan dan perkampungan penduduk ada jalan tembus. Kalau melalui jalan yang biasanya aku mesti jalan melingkar, tapi kalau melewati jalan tembus itu bisa hanya seperempat saja jaraknya. Dulu aku pernah melewatinya sih, tapi saat pembangunan kompleks perumahan ini, jalan tembus itu tertutup untuk sementara waktu. Sebetulnya itu bukanlah jalan umum, tapi lahan kosong yang sering dilalui karena memperpendek jarak. Konon kabarnya lahan itu milik seorang pengusaha kaya, meski dibangun sebuah kompleks perumahan, dia menyisakan sedikit untuk jalan tembus, makanya kadang orang menyebutnya dengan jalan belakang perumahan.
Aku berjalan perlahan menyusuri pagar tembok perumahan yang tinggi, jalan ini cukup sepi karena sebelahnya terhampar kebun kosong yang berdekatan dengan sungai, dipertengahan jalan ini ada jembatan kecil yang membentang di atas sungai yang menjorok itu. Jembatan itu sederhana saja, terbuat dari batang-batang kayu yang disusun berjajar dengan tali sebagai pegangan tangan, jembatan itu juga hanya muat untuk dua orang dewasa yang berjajar, saat aku berjalan melewatinya dulu, lebarnya cukup pas untuk gerobagku. Jembatan itulah yang memperpendek jarak tempuh. Dulu saat aku melewati jembatan itu belum selarut ini, masih banyak orang yang berlalu lalang, sebagian besar mereka para pekerja yang baru pulang dari kerja, mungkin lembur atau mendapat jatah shift kerja.
Entah mengapa malam ini suasana sekitar aku berjalan sangat sepi. Sejak meninggalkan ujung tembok kompleks ini aku tidak bertemu seorangpun. Mungkin karena sudah menjelang dini hari apa ya? Orang-orang pasti sudah tidur lelap.
“Bang... bakso bang!”
Aku mendengar seseorang memanggilku... pelan saja sampai aku nyaris tidak terlalu mendengar, tapi karena malam yang sepi suara itu cukup nyampai di telingaku, kuputar kepalaku mengikuti arah suara itu, kulihat seorang perempuan muda berdiri beberapa meter di belakangku. Dia sendirian saja. Aku agak tidak percaya juga, masak perempuan malam malam begini pergi sendirian? Apa mungkin dia perempuan nakal yang sering mangkal itu ya? Tapi aku coba enyahkan prasangkaku, tidak baiklah, siapapun dia tetaplah pembeli yang harus dilayani dengan baik. Lalu aku memutar arah gerobakku menuju perempuan itu.
“Dari pulang lihat pameran mbak?” Sapaku kepadanya sekedar berbasa basi.
Dia tersenyum saja tidak menjawabnya, lalu dia mengacungkan jarinya sebagai tanda dia memesan satu mangkok bakso.
“Dibungkus atau.....” Belum selesai aku mengucapkan kalimat, dia sudah memotongnya.
“Makan disini saja Bang!”
Aku segera melayaninya dan menyerahkan baki berisi semangkok bakso dan perlengkapannya semacam sambal, saus dan kecap. Dia menerima baki itu dan membawanya ke tembok perumahan, dia lalu berdiri bersandar sambil makan bakso itu. Kuamati perempuan itu, dia memakai celana panjang dan kaos yang tertutup jaket. Rambutnya tergerai melayang layang tertiup angin. Parasnya cukup manis dengan bibir tipis menghiasi bulat telor mukanya. Hanya saja aku tidak bisa menangkap matanya, dia selalu saja menunduk. Bahkan saat ia mengembalikan mangkok dan membayarnya, dia tetap saja menunduk.
“Hati-hati sudah malam!” Ucapku kepadanya tanpa maksud menggurui.
Dia menganggukkan kepalanya saja lalu berbalik arah berjalan meninggalkanku. Akupun lalu berjalan berganti arah menuju jembatan. Sesampai di ujung jembatan aku sempat menengok ke arah dia yang mungkin masih berjalan, tapi sosok perempuan itu tidak terlihat, aneh... masak secepat itu ia meninggalkan jalan setapak ini? Tanyaku dalam hati. Tapi aku tidak terlalu peduli, yang kuinginkan sekarang adalah segera sampai kost dan tidur.
Aku terbangun ketika suara gaduh hinggap di telingaku, ternyata Tarjo sedang bersiap siap untuk berangkat kerja. Jam dinding yang ada di hadapanku menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.
“Berangkat dulu pak Pono!” Ucapnya sambil melangkah menuju pintu kamar kost.
“Mmhmmm... yaa.. ya!!!” Jawabku masih mengantuk.
Sesaat aku diam tiduran di atas tempat tidur, setelah itu aku bangun dan berjalan ke arah kamar mandi untuk cuci muka, selanjutnya aku kembali ke kamar untuk menghitung hasil jualanku semalam. Kututup pintu kamar itu dan kukunci dari dalam, aku tidak mau penghuni kamar kost yang lain melihatku menghitung uang, bukan apa-apa, cuma aku paling malas kalau ada yang mau meminjam uang. Kalau mau nggak dipinjami nyatanya aku ada uang, kalau aku meminjami aku sendiri bakalan yang repot apalagi bila orang itu tergolong bandel dan cuek, kalau nggak ditagih tidak mau membayar.
Kusibakkan kasur tempat aku tidur semalam, lalu kuambil kantong kain yang aku simpan di bawah tikar alas kasur, aku biasanya memasukkan semua hasil berdagang ke dalam kantong itu lalu aku sembunyikan di bawah situ. Keesokan harinya saat Tarjo berangkat kerja barulah aku membongkar dan menghitungnya, setelah dikurangi pangkal modal untuk membeli bahan-bahan pembuatan bakso, sisanya aku simpan didompet dan kutaruh di dalam almari pakaian. Sebagian uang yang terkumpul nantinya akan aku kirim ke keluarga di kampung., sebagian lagi untuk membeli keperluanku sehari hari.
Lembar demi lembar, koin demi koin aku mulai menghitung. Tapi tiba-tiba mataku tertahan pada pemandangan yang tidak biasanya, aku melihat dua lembar daun ada diantara uang-uang itu. Kuambil daun-daun itu dan kuamati. Perasaan aku tidak pernah menaruh apapun di kantong ini kecuali uang hasil aku berdagang? Kok ini ada daun? Selanjutnya pikiranku kembali ke peristiwa tadi malam saat aku menerima pembayaran dari perempuan itu, dia menyerahkan dua lembar uang kertas, dan saat aku menerima, aku melihat itu benar-benar uang kertas. Aku tertegun, tidak mengerti dengan ini semua. Kalaupun aku nanti cerita ke Tarjo, mungkinkah dia percaya?
No comments:
Post a Comment