Aku sebenarnya tidak bermaksud menginap di hotel ini, karena hanya akan menambah pengeluaran saja, tapi mau bagaimana lagi? Rencana yang aku siapkan sebelumnya ternyata berubah haluan, mobil yang kubawa sebagai alat transportasi mengalami kerusakan dan harus dibawa ke bengkel di kota ini. Karena hari sudah sore dan akupun kelelahan terpaksa aku memutuskan untuk menginap saja barang semalam, pikirku itu akan lebih baik mengingat kalau mau memaksakan diri melanjutkan perjalanan dengan kondisi fisik yang terbatas akan sangat beresiko.
Aku baru sadar kalau hari itu adalah musim libur anak sekolah, pantas saja beberapa hotel yang aku datangi menyatakan penuh, tidak ada kamar yang kosong. Setelah kesana kemari mencari akhirnya aku dapat juga kamar di sebuah hotel dekat bekas terminal. Dulu wilayah itu ada terminal bus sehingga banyak hotel yang berdiri di sekitarnya, tapi karena pemerintah merelokasi terminal itu ke tempat lain yang lebih luas dan berada di pinggiran kota, jadilah hotel-hotel kesulitan untuk bertahan. Sudah banyak hotel yang berdiri di sepanjang jalan dekat terminal itu berhenti beroperasi. Aku menemukan satu yang masih buka dari beberapa saja yang tersisa.
“Ada kamar kosong mbak?” Tanyaku pada resepsionis kala itu.
“Ada pak, tapi hanya yang di lantai dua. Lantai satu sudah penuh!” Jawab resepsionis itu dengan ramah.
“Nggak apa-apa lah.” Jawabku pendek, menurutku tidak masalah untuk naik tangga lebih dahulu, yang penting aku dapat kamar dan bisa untuk istirahat.
“Maaf sebelumnya pak, lantai dua baru ada sedikit perbaikan, mungkin membuat bapak kurang nyaman, tapi hanya siang hari saja kok, kalau malam tidak ada kegiatan perbaikan” Terangnya sopan, memang seharusnya begitu memberi tahu keadaan sebenarnya daripada nanti dikomplain penyewa. Melihatku mengangguk tanda aku tidak berkeberatan, ia lalu bertanya, “Baru ada dua kamar yang bisa di tempati yaitu nomor 211 yang di dekat tangga dan yang nomor 212 yang terletak di sebelahnya. Bapak mau memilih yang mana?”
“Nomor 212 saja mbak!” Jawabku cepat, aku memang kurang suka menginap di kamar yang dekat tangga karena biasanya berisik, maklum untuk lalu lalang orang-orang. Suara-suara sepatu kadang terdengar dari kamar. Maklum ini bukan hotel besar, hanya masuk kategori hotel kelas melati. Setelah menyerahkan kartu pengenal diri dan mengisi daftar semacam formulir, aku mendapat kunci kamar.
“Perlu dibantu membawa barang?” Tanyanya lagi. Tapi ketika melihatku menggelengkan kepala, ia lalu tersenyum sambil berucap selamat beristirahat kepadaku.
Kubawa satu satunya koper kecil itu. Aku lalu berjalan perlahan meninggalkan meja resepsionis menuju ke lantai dua, tapi sebelumnya aku harus melewati kamar-kamar yang terletak di lantai satu, memang seluruh kamar telah terisi, suara berisik anak-anak terdengar dari luar. Musim liburan, pastinya banyak orang yang bepergian dengan keluarganya. Aku tidak tahu kalau hari itu sudah memasuki musim liburan, maklum aku belum berkeluarga dan waktuku habis untuk bekerja. Saat ini aku baru mengambil cuti dan aku gunakan untuk pulang mudik untuk mengikuti acara pernikahan adik perempuanku yang akan dilangsungkan di kampung, sekalian nyekar ke makam leluhur.
Di ujung kamar di lantai satu terdapat tangga yang menghubungkan lantai dua. Aku berjalan menaikinya, sesampai di lantai dua aku memandang sekeliling, deretan kamar saling berhadapan dengan nomor ganjil dideretan sebelah kiri dan nomor genap di sebelah kanan. Karena hari sudah menjelang petang, tidak terlihat kesibukan perbaikan kamar-kamar seperti yang resepsionis bilang tadi. Kulihat nomor 211 dan nomor 212 yang saling berhadapan itu, lalu aku segera beranjak menuju kamar 212, kubuka pintunya lalu kututup kembali.
Setelah aku masuk aku segera meletakkan koper kecil itu di atas meja, lalu aku rebahan di tempat tidur. Kulihat kondisi kamar ini, tidak terlalu bagus. Hanya ada satu tempat tidur ukuran double, lalu sebuah almari kayu di sisi kiri kamar dan sebuah meja kursi di sebelahnya. Terus di depan tempat tidur terdapat sebuah televisi kecil yang tertanam di kotak besi yang menempel tembok, aku jadi bisa melihat televisi itu sambil tiduran. Di sebelah kiri terdapat ruang kosong, hanya ada sebuah rak besi kecil tempat menaruh handuk yang berhadapan dengan pintu kamar mandi. Belum selesai aku memandang sekeliling, suara ketukan di pintu terdengar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu, ternyata seorang room boy yang membawakan handuk dan baki berisi gelas kosong dan satu teko minuman.
“Terimakasih mas.” Ucapku begitu aku menerimanya. Room boy itu tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Mas, di lantai dua ini apa hanya kamar ini yang terisi?” Tanyaku berbasa basi.
“Iya mas, hanya ada dua kamar tapi baru satu yang terisi, ya kamar ini. Kamar lainnya masih dalam proses perbaikan ringan.“ Jawabnya sambil permisi mau kembali ke tempat kerjanya.
Setelah aku meletakkan baki minuman di atas meja dan handuk di rak besi di depan kamar mandi aku membuka pintu kamar untuk melihat sekeliling. Suasana sepi melingkupi lantai dua, maklum hanya satu kamar saja yang terisi yaitu kamar tempat aku menginap. Kebetulan begitu pikirku, aku jadi bisa tidur dengan tenang, aku bisa membayangkan bila suasana kamar di lantai dua seperti yang ada di lantai satu, pasti berisik sekali, karena banyak yang menginap dengan keluarga dan anak-anak kecil.
Kututup kembali pintunya, setelah aku kunci, aku ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Aku berencana meluangkan waktu untuk ke pusat kota mencari oleh-oleh bagi sanak saudara di kampung. Khusus adikku yang mau menikah lebih baik aku memberi hadiah uang tunai saja, lebih bermanfaat dan flexible.
Selepas sholat Isya aku beranjak meninggalkan kamar untuk menuju kota. Kutitipkan kunci kamar ke resepsionis lalu aku berjalan ke arah mobil yang aku parkir di depan hotel. Kunyalakan mesinnya lalu aku membawanya ke pusat kota.
Ternyata di kota suasananya sangat padat, mall yang aku kunjungi ramai dengan orang-orang yang berwisata. Momen itu dimanfaatkan oleh Mall dengan memberi diskon barang gede-gedean. Aku memutuskan membeli beberapa pasang kaos untuk oleh-oleh kemenakanku nanti, selanjutnya aku pergi ke gerai makanan untuk menikmati makan malam. Jadi nanti aku bisa langsung pulang tanpa perlu mampir dulu ke warung makan.
Sekembali dari mall di pusat kota, aku langsung menuju kamar. Setelah memarkir mobil di depan hotel dan meminta kunci kamar aku berlalu menuju tangga. Di lantai satu masih berisik dengan aktivitas para penghuninya, terutama yang membawa keluarga. Kulangkahkan kakiku setingkat demi setingkat dianak tangga, dan akhirnya sampailah di lantai dua. Suasana hening langsung menyergapku, berbeda sekali jika dibandingkan suasana di lantai satu. Kamar-kamar yang saling berhadapan seakan membisu mengikuti keheningan yang ada. Tidak ada seorangpun di lantai ini kecuali diriku. Kubuka pintunya lalu aku kunci dari dalam.
Setelah berganti pakaian dan membasuh muka serta menggosok gigi, kurebahkan diriku di atas tempat tidur. Remote televisi yang ada di atas meja aku ambil, lalu kuhidupkan televisi dan mencari saluran yang sekiranya menyajikan acara yang menarik bagiku. Aku mencari saluran yang menayangkan berita atau olah raga. Saat aku melihat acara berita di televisi mendadak handphone berbunyi. Aku segera mengecilkan suara televisi dan meraih handphone, sebuah nomor yang sudah sangat aku hapal muncul dilayar.
“Hallo, malam!” Aku membuka percakapan.
“Malam juga mas Nono!” Suara seseorang diseberang terdengar suka cita.
“Nina ya?” Seruku, aku hapal betul dengan suara itu. Itu suara Nina adikku yang akan menikah itu.
“Iya mas, dimana nih? Katanya petang tadi sampai rumah?” Tanyanya penuh harap.
“Oh maaf Nin, aku lupa memberi tahu, mobilku mengalami kerusakan terpaksa aku membawanya ke bengkel dan sore tadi baru selesai. Aku lelah sekali jadi kuputuskan menginap dulu buat semalam, besok pagi aku melanjutkan perjalanan, mungkin sore aku sudah nyampai kok. Nggak apa-apa kan? Belum terlambat kan?” Terangku panjang lebar.
“Oh, tidak apa apa mas, upacara pernikahannya kan juga masih tiga hari lagi. Nggak terlambat lah. Aku senang sekali mas Nono bisa hadir di pernikahanku!” Seru adikku itu tampak gembira, lalu lanjutnya. ” Ya sudah mas kalau masih capai, istirahat saja dulu jadi besok pagi bisa langsung jalan.”
“Ok deh, daaaa... Nina!” Aku lalu menutup handphoneku, selanjutnya aku kembali mengeraskan volume televisi dan melihat berita.
Pelan tapi pasti rasa kantuk mulai menyerangku, aku matikan televisi dan berusaha untuk tidur, dengan kondisi badan lelah dan keheningan yang ada cukuplah membuatku segera tertidur.
Entah jam berapa aku kurang begitu tahu pasti, dalam rasa kantuk yang masih menggelanyut aku seperti mendengar suara gaduh yang berasal dari kamar luar. Ah mungkin ada penghuni di kamar depanku, begitu pikirku. Biasa lah kalau baru masuk kamar, pasti bikin keributan. Makanya aku acuh saja dan melanjutkan tidurku.
Tapi kemudian aku dikejutkan dengan suara yang menggedor gedor pintu kamarku, aku segera terbangun dan mataku langsung mengarah ke pintu, kulihat gagang pintu yang seperti mau dibuka dari luar. Belum lepas rasa terkejutku tiba-tiba suara suara gaduh itu menghilang. Gagang pintu juga kembali seperti semula. Apa mungkin orang itu mengira kamar ini yang kosong dan mau menempati? Tapi kayaknya tidak mungkin, aku yakin tiap kamar cuma ada ada dua kunci, satu untuk kunci para penghuni dan satu lagi kunci utama yang disimpan. Karena suasana kembali hening, akupun berusaha melanjutkan tidurku. Pasti tadi orang yang keliru kamar, tidak melihat nomor yang tertera, begitu aku menyimpulkan. Karena masih mengantuk akupun dengan cepat kembali tertidur. Tapi belum lama aku memejamkan mata, kejadian tadi terulang kembali, aku mendengar suara gaduh dari kamar lain, juga gagang pintu yang digerak gerakkan dari luar bermaksud mau membuka paksa pintu kamarku.
“Wah ini tidak bisa dibiarkan!” Aku berkata dalam hati. Lalu aku mengambil kunci kamar yang tadi aku letakkan di atas meja dan berusaha membukanya, aku akan mengatakan pada orang itu bahwa kamar ini sudah ada yang menempati, dan aku sangat terganggu dengan kegaduhan yang telah dibuatnya. Tapi sesaat kemudian aku berpikir tentu tidak pantas bagiku untuk menegurnya karena kita sama-sama penyewa. Yang lebih berhak untuk mengatakan itu tentu pengelola hotel ini lewat karyawan yang bekerja.
Keluar dari kamar aku bermaksud langsung turun ke bawah menuju bagian resepsionis untuk melaporkan hal itu, namun aku terhenyak ketika tanpa sengaja mataku menoleh ke arah kamar depan samping nomor 211 yaitu yang bernomor 213 itu, kamar itu tampak sedikit terbuka dan suara gaduh kembali aku dengar. Hati yang jengkel karena sejak tadi diganggu, aku langsung melangkah ke kamar itu dan membuka pintunya lebih lebar, aku akan bilang kalau aku terganggu dengan kegaduhan yang mereka bikin, bila mereka tidak peduli dengan keluhanku... ya terpaksa aku harus mengadu ke resepsionis.
Tapi ketika pintu itu terbuka lebar, aku melihat pemandangan yang sangat mengagetkan dan sangat mengenaskan. Di hadapanku kulihat seorang lelaki yang menghajar seorang perempuan. Darah bercucuran membasahi tubuh si perempuan.
“Hai pak.... tolong hentikan!” Hardikku keras. Aku tidak tega melihat perempuan itu.
Lelaki itu menoleh ke arahku begitu aku berkata dengan keras tadi, kulihat matanya yang merah laksana api yang menyala karena kemarahan yang meluap luap, dia tampak sangat mengerikan. Ternyata dia membawa pisau yang berlumuran darah di tangan kanannya. Melihat gelagat yang kurang baik aku segera mengambil langkah seribu untuk meminta pertolongan.
Kuturuni tangga itu dengan tergesa, begitu sampai lantai satu aku bergegas berlari ke meja resepsionis untuk melaporkan kejadian tadi.
“Pak... pak... tolong... tolong...!” Teriakku.
“Ada apa pak?” Tanya resepsionis pria yang ada di depanku dengan wajah bingung.
“Ada... ada.... ada penganiayaan...... di kamar depan.... di sebelahnya.... bahkan sampai... sampai berdarah darah! Kita mesti lapor polisi!” Seruku terbata bata.
“Maaf pak.... mmhmm... mari bapak duduk dulu!” Kata pria itu sambil menuntunku duduk di kursi, lalu dia mengambilkanku segelas air putih.
“Sebentar ya pak!” Katanya seraya menyerahkan gelas itu kepadaku. Kulihat ia tergesa berjalan ke arah security di depan, lalu mereka datang menghampiriku.
“Maaf pak, bisa menceritakan lagi kejadiannya seperti apa?” Tanyanya sambil duduk di hadapanku berdampingan dengan satpam.
“Aku melihat orang dianiaya di kamar 213! Seorang perempuan dihajar lelaki!” Begitu aku menjawab dengan lugas. Kulihat mereka melongo mendengar penjelasanku, lalu mereka saling menatap penuh keheranan.
“Maaf pak... di lantai dua cuma kamar bapak yang dihuni... lainnya masih kosong!” Ucapnya terkesan hati-hati.
“Tapi.....” Aku berhenti sebentar, “Aku tadi benar-benar melihatnya!”
Kali ini aku melihat mereka seperti ketakutan, maka aku segera melanjutkan kata kataku, “Tolong.... mari kita keatas segera. Kasihan perempuan itu. Atau kalau perlu aku akan telpon kantor polisi saja agar....”
Belum selesai aku berkata, satpam segera memotongnya, “Iya pak.... kita lihat saja langsung! Bila memang ada penganiayaan tentu kita akan mencoba menghentikannya, kalau perlu kita lapor polisi!” Resepsionis tampak ragu-ragu mengikuti ucapan si satpam, tapi kemudian ia mengikuti kami berdiri dan berjalan menuju lantai dua. Ia juga membawa kunci cadangan seperti permintaan si satpam.
Sesampai di lantai dua kami mendapati kamar 213 tertutup rapat, aku mencoba membukanya tapi tampaknya terkunci. Lalu si satpam meminta kunci yang dibawa temannya tadi dan membukanya. Setelah terbuka dan lampu dinyalakan aku melihat situasi dalam kamar yang benar-benar berbeda. Kamar itu tampak rapi dan bersih, tidak ada bekas-bekas telah terjadi penganiayaan di kamar itu. Aku heran campur bingung dengan apa yang di hadapanku.
“Bapak lihat sendiri... tidak ada apa-apa kan disini?” Ucap si satpam sopan. Aku tergagap mendengar ucapannya, karena aku benar-benar yakin dengan apa yang kulihat sebelumnya karena aku dalam kondisi terjaga. Aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri.
“Mmhmmm...... maaf tadi..... aduh... aku... ach.. maaf!” Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Maaf pak, kalau memang tidak ada masalah kami mau kembali ke tempat kerja kami!” Kata si pria resepsionis diikuti anggukan kepala si satpam.
“Mmh.. tunggu sebentar! Kita ke bawah sama-sama!” Seruku sambil segera masuk ke kamar mengambil dompet. Lalu kami berjalan bersama menuju lantai satu.
“Bapak mau kemana?” Tanyanya heran ketika aku menyerahkan kunci kamar.
“Ah cuma mau mencari angin saja dan menjernihkan pikiran. Mungkin tadi aku bermimpi atau berhalusinasi!” Jawabku tidak bersemangat. Kulihat dia tampak sedikit gugup, aku menduga ada sesuatu yang dia sembunyikan tapi aku tidak terlalu peduli, aku hanya ingin keluar menenangkan pikiran dan menunggu pagi datang. Keluar dari hotel aku berjalan menuju warung angkringan di pinggiran jalan yang tidak terlalu jauh dari hotel. Aku mendapati ada dua pria lainnya yang juga sedang jajan disitu. Mereka tampak asyik menikmati nasi yang dibungkus kecil-kecil itu.
“Jahe hangat satu pak!” Ucapku memesan jenis minuman hangat itu.
Si penjual melayaninya dengan cekatan. Aku meneguk minuman itu pelan-pelan sambil membayangkan kejadian yang tadi aku alami. Agaknya si penjual tahu kalau aku lagi gundah.
“Tinggal dimana mas? Kok tidak pernah terlihat!” Tanyanya memancing.
“Ooh.... aku tinggal di hotel itu... tuh!” Jawabku sambil menunjukkan jari ke arah hotel yang dari tempat aku minum ini terlihat jelas.
“Oh.. hotel yang direnovasi itu ya?” Sambung pembeli di sebelahku. Aku mengangguk pelan.
“Hati-hati mas, disitu ada hantunya!” Terang pria satunya lagi. Aku terkejut mendengar ucapannya, lalu aku berkata, “Masa sih? Kayaknya tenang-tenang saja tuh!”
“Beneran mas.“ Timpal si penjual, tanpa aku minta dia lalu bercerita. ”Beberapa bulan yang lalu ada pembunuhan di kamar atas di hotel itu, kabarnya seorang perempuan dihabisi oleh pria yang jadi pacarnya. Katanya sih cemburu! Lalu pria itu juga ikutan mati bunuh diri.”
“Gila... cinta sampai segitunya!” Seru salah satu pembeli sambil geleng-geleng kepala.
“Bukan cinta.. tapi cemburunya itu yang bikin masalah!” Sambung teman di sebelahnya.
“Makanya roh mereka tidak tenang..... jadi hantu... hiiiiii!” Tambah si penjual.
Aku terpana mendengar perkataan mereka. Kalau memang benar yang di katakan..... mungkin yang aku lihat itu hantu kedua orang itu yang mati nelangsa karena belum waktunya. Tak terasa keringat dingin mengucur membasahi mukaku, badanku pun menggigil karena ngeri. Dalam hati aku berucap aku akan menunggu pagi menjelang dan aku akan langsung check out segera.
No comments:
Post a Comment