“Bunda, uang sakunya dong... Yang banyak!“ Rengek Nina anakku sedikit manja, begitu ia melihatku membuka pintu kamarnya.
“Baru juga buka pintu, belum masuk... Sudah disambut dengan permintaan uang!” Ucapku kalem.
“Heheheh.... Cuma mengingatkan kok!’ jawabnya seenaknya. Kulihat dia sibuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa buat wisata esok pagi. Nina memang mau wisata ke Bali, acara yang diadakan oleh sekolahnya khusus untuk anak kelas dua SMU.
“Sudah lengkap belum perlengkapannya? Baju-baju... Alat mandi.... Apalagi?” Tanyaku sambil melihat-lihat Nina memasukkan barang ke dalam tas besar.
“Belum lengkap, cuma kurang uang sakunya....” Jawabnya sambil nyengir.
Aku tersenyum saja, lalu kukeluarkan sebuah amplop berisi beberapa lembar uang ratusan ribu.. ”Ini uang sakunya.”
Nina langsung menyambar amplop itu dan membukanya, sesaat dia menghitungnya lalu tertawa tawa senang.
”Makasih Bunda...... Mau dibeliin oleh-oleh apa bun?” Tanyanya ringan.
“Apa ya? Apa aja deh.... Yang penting bermanfaat!” Jawabku
“Ok... Ok...!” Ia menyahutnya dengan mimik kekanak-kanakannya. Lucu sekali.
Tak terasa Nina sudah sebesar ini, sudah kelas dua SMU, sepertinya baru kemarin dia belajar jalan, eh kini sudah menjelma jadi anak remaja, istilah jaman sekarang ABG. Ah waktu memang berputar begitu cepat.
“Hayooo... Bunda melamun ya?” Seru anakku mengagetkanku.
“Enggak sih... Cuma.... Yaach... Lihat kamu saja kok!” Elakku halus, malu dong ketahuan anak kalau lagi melamun. ”Eh kapan rencana pulangnya?” Lanjutku mengalihkan pembicaraan.
“Berdasarkan jadwal sih Jumat menjelang siang akan sampai di sekolah, ntar Nina telpon deh sebelum sampai, jadi Bunda nggak perlu buru-buru.”
“Oh ya Bunda, nanti sore tidak perlu mengantar Nina, karena Selvi temanku akan datang menjemputku, katanya sih sekalian jalan gitu....”
“Selvi.....” Aku diam sebentar untuk mengingat teman-teman anakku yang pernah main kesini.
”Oh ya... Ya Selvi anak yang manis dan modis itu ya?”
Aku ingat anak itu, sudah beberapa kali dia datang main kesini, tapi karena berombongan dengan teman-teman yang lain aku jadi kurang hapal orang perorangnya. Selvi, aku ingat anak itu paling modis diantara anak-anak yang lain, terlihat sekali dia berasal dari keluarga berada. Kadang kulihat dia membawa mobil sendiri menjemput Nina bepergian bersama teman-teman yang lain.
“Yup, Selvi itu memang paling kaya di kelompok kami, sudah gitu baik pula.. Heheh” Terang anakku sambil terkekeh.
“Ya baguslah, Bunda nggak perlu repot-repot mengantar kamu.” Kataku dengan lega, karena nanti sore ada acara arisan ibu-ibu kompleks.
”Sudah ya, Bunda mau memasak dulu buat makan siang nanti, dicek lagi tuh jangan sampai ada yang tertinggal!”
Nina mengangguk saja, lalu aku beranjak meninggalkan Nina yang mulai sibuk mengatur ini itu.
Berarti empat hari anakku berwisata ke Bali, ini kali pertama dia pergi kesana, jadi wajar saja kalau dia terlihat antusias sekali mengunjungi pulau dewata itu. Apalagi piknik beramai-ramai bersama teman-teman sekolahnya, tentu dia suka cita sekali. Aku jadi ingat dulu waktu masih sekolah seusia Nina, semalaman aku tidak bisa tidur membayangkan mau pergi berwisata ke Malang. Ah... Memang begitu masa remaja dulu, selalu senang dan penuh canda. Kuharap Nina juga menikmati acara berwisata itu, bisa menjadi kenangan manisnya nanti bila dia beranjak tua, karena waktu memang tidak diputar balik, masa muda tidak akan datang dua kali, biarlah Nina menikmatinya.
Sore itu cuaca agak sedikit mendung, memang sih sebentar lagi akan masuk ke musim penghujan, tapi kuharap cuaca cerah menaungi perjalanan anakku ke Bali, sehingga dia bisa menikmati nya.
Nina sudah bersiap di teras depan dengan tas besar yang akan dibawanya. Sebentar lagi Selvi pasti datang, kulihat tadi Nina asyik bertelepon ria dan sekarang sudah dimatikan. Betul juga suara deru mobil terdengar memasuki halaman depan kami. Aku melongok dari pintu depan, kulihat Selvi dan dua anak lainnya keluar dari mobil. Nina berlari kecil-kecil menyambut mereka, lalu mereka asyik mengobrol dan tertawa-tawa.
“Bunda, kita mau berangkat sekarang!” Kata Nina sambil meraih tanganku dan menciumnya.
“Lho, buru-buru amat?“ Tanyaku kepada mereka.
“Iya tante, mau ngumpul dulu di sekolah, takut terlambat nanti” Jawab Selvi sopan.
“Ya okelah... Hati-hati ya kalian! selamat berwisata deh!” Kataku sambil melambaikan tangan.
Kulihat Nina, Selvi, dan teman temannya yang lain memasuki mobil. Setelah itu mereka pergi meninggalkan rumah menuju sekolah.
Aku masuk kembali ke dalam rumah, setelah mengunci pintu depan aku berjalan ke arah kamar Nina, aku yakin kamarnya pasti berantakan. Nina memang agak ceroboh. Dia itu paling sulit untuk diajak rapi, benar saja, saat kubuka pintu kamarnya kulihat pakaian-pakaian yang tidak jadi dipilihnya berserakan di atas tempat tidur. Kuambil baju-baju itu dan kulipat dengan rapi, namun saat aku akan memasukkan ke dalam almari aku menyenggol sesuatu yang kemudian terjatuh, ternyata photo Nina. Photo yang terpasang dibingkai berukir dan berkaca itu jatuh, kacanya pecah berkeping keping, sedangkan bingkainya tidak apa-apa karena terbuat dari kuningan. Setelah aku menata baju-baju itu di lemari, aku bermaksud membersihkan pecahan kaca itu karena bisa berbahaya bila terinjak kaki. Kuambil photo dan bingkainya, aduh ternyata photo itu robek. Aku mengambil sapu dan menyapunya. Sedang photo itu aku isolasi di bagian belakangnya lalu kupasang lagi di bingkainya, biarlah nanti Nina maunya bagaimana. Dia juga sih menaruh photo berkaca di ujung almari, jadinya mudah terjatuh.
Tiba tiba telepon rumah berbunyi, aku segera berlari menuju meja telpon yang terletak di ruang tengah, kupikir Nina ketinggalan sesuatu eh ternyata mas Budi, suamiku.
“Nina sudah diantar ke sekolah?” Tanyanya dari seberang telepon.
“Oh tadi sudah berangkat bersama sama dengan teman temannya.... Selvi... Itu lho temannya yang pernah main kesini.... Dia diantar sopirnya, jadi Nina dan teman temannya yang lain sekalian ikut serta!” Terangku panjang lebar.
“Ya syukurlah kalau sudah berangkat.” Suara suamiku terdengar datar saja, lanjutnya.” Aku nanti pulang agak malam..... Ada lembur di kantor.”
“Ok mas, selamat lembur deh agar duitnya ngumpul banyak“ Candaku.
“Hehehe, bisa aja tuh kamu. Sudah dulu ya?” Suamiku berpamitan seraya mematikan handphone-nya.
Malam ini aku sendirian di rumah, mas Budi masih bekerja karena lembur, Nina pergi wisata ke Bali, sedang Nano anakku yang pertama sudah kost di lain kota menuntut ilmu di universitas. Sepi rasanya, rumah yang biasanya hidup karena suara renyah Nina seakan tenggelam dengan suasana malam yang hening.
Aku ambil handphone lalu sms suamiku apakah sudah bawa duplikat kunci rumah, sudah sering aku mengingatkan agar membawa kunci cadangan agar bila pulang malam bisa langsung membuka pintu sendiri, takutnya orang rumah sudah pada tidur kan repot. Kalau memang dia lupa membawanya, aku akan menunggunya, paling tidak aku sudah bersiap diri bila sewaktu waktu mesti bangun untuk membukakan pintu. Kalau sudah membawa sendiri sih aku lebih tenang, karena aku bisa tidur nyenyak tanpa beban. Syukurlah, mas Budi sms kalau dia sudah membawa kunci cadangan.
Kuambil majalah yang tadi sore aku baca, kubuka lembar demi lembar dimulai dengan artikel yang menurutku menarik, biasanya aku membaca kolom konsultasi dulu. Kolom itu mengulas permasalahan nyata seseorang dan solusi yang ditawarkan oleh pengasuh dari majalah ini. Menurutku itu bisa menambah wawasan kehidupan, kita bisa berkaca dengan kejadian-kejadian yang menimpa orang lain dan mencari hikmahnya.
Selanjutnya aku membaca berita peristiwa yang lagi hangat, karena ini adalah majalah wanita, maka topik peristiwa yang disajikan juga tidak jauh-jauh tentang kehidupan perempuan. Kubaca kisah seorang ibu yang tega menghabisi anak-anak kandungnya sendiri karena frustasi dengan cobaan hidup yang dia jalani, selain karena terhimpit masalah ekonomi karena suaminya kurang bertanggung jawab, dia juga mengalami KDRT. Ah... Aku jadi merasa sangat beruntung mempunyai suami yang baik dan bertanggung jawab macam mas Budi, juga anak-anak yang berbakti sama orang tuanya. Memang sih Nano dan Nina kadang menyebalkan juga, tapi masih dalam taraf wajar sebagai kenakalan anak remaja yang katanya masih sibuk mencari jati diri. Tapi secara keseluruhan mereka termasuk anak-anak yang baik dan berprestasi.
Tiba-tiba HP ku berbunyi, kupikir mas Budi yang sms, tapi ternyata Nina sms diriku. Di layar HP tertera tulisan kalau Nina sampai di rumah makan untuk makan malam dan kesempatan sholat bagi yang menunaikan. Tumben nih anak.... Nggak biasanya dia mengabarkan sesuatu yang sepele begini. Atau karena ini pertama kali dia pergi jauh apa ya. Kubalas smsnya agar tidak lupa sholat dan makan yang cukup, tidak ambil sambal banyak-banyak agar tidak sakit perut. Nina itu memang suka sekali sambal, tapi kalau kebanyakan kan bisa sakit perut. Bisa dibayangkan kalau sakit perut di dalam bus yang melaju... Gak nyaman kan. Eeh.... Nina membalas lagi, katanya dia kangen sama aku. Aduh ini anak, masak sih baru berapa jam meninggalkan rumah sudah kangen? Merajuk saja kali yaa.... Tapi senang juga sih dikangenin anak... Heheheh.
Selanjutnya aku melanjutkan membaca majalah, kubuka dan kubaca lembar demi lembar sampai mata ini terasa berat. Paling enak memang tidur dalam kondisi mengantuk. Akupun beranjak ke ruang tidur utama untuk merebahkan diri. Tadi aku sudah mengecek pintu dan jendela memastikan dalam keadaan terkunci, juga lampu-lampu sudah kumatikan, hanya beberapa lampu redup saja yang kuhidupkan sebagai penerangan. Malam itu akupun tidur dengan sangat nyenyak.
“Kenapa, ada apa kamu?” Seseorang mencoba membangunkanku dengan menggoncang goncangkan pundakku.
Dengan kondisi mata yang masih mengantuk, aku mencoba bangun, ternyata mas Budi sudah ada di sampingku.
“Ke... Kenapa sih?” Tanyaku bengong.
“Tadi kamu mengigau menyebut nyebut nama Nina, ada apa?” Tanya suamiku terdengar cemas.
Aku diam sejenak, memikirkan apa yang barusan terjadi. Oh ya aku ingat sekarang, aku tadi mimpi buruk.
“Oh.. Iya mas... Tadi aku mimpi... Mimpi yang aneh!” Seruku sambil mengusap kedua mataku, lanjutku lagi, “Aku tadi bermimpi.... Nina terjatuh ke jurang yang dalam sekali, aku mencoba meraih tangannya tapi tidak bisa, kupanggil panggil namanya..... Tapi tiba-tiba aku terbangun karena mas membangunkanku.”
“Oh ya sudahlah kalau cuma mimpi, mungkin karena Nina pergi jauh dan agak lama saja, kamu jadi cemas sendiri.... Tapi Nina kan pergi wisata dengan teman-temannya, juga acara itu yang mengadakan sekolah. Jadi tidak perlu cemas lah.“ Suamiku mencoba menenangkanku.
“Iya mas.... Paling cuma bunganya orang tidur.” Aku pikir mimpi itu hanya sebagai ekpresi perasaanku karena tidak biasanya Nina pergi untuk beberapa hari.
“Aku mau ke ruang tengah, haus nih!” Ucapku seraya bangkit dari tidur.
”Mas mau minum juga nggak?” Lanjutku menawarkan minum.
Mas Budi menggeleng, lalu katanya, “Aku ngantuk berat, pingin tidur saja.”
Lalu dia membetulkan selimutnya dan kembali tidur, sedang aku berjalan ke arah ruang tengah. Kuambil gelas dan ku tekan dispenser. Aku duduk sejenak di kursi dan meminum airnya. Aku heran kenapa aku bisa bermimpi konyol seperti itu. Setelah selesai, aku kembali ke ruang tidur untuk melanjutkan tidur yang tadi terputus. Tapi entah kenapa mata ini begitu sulit terpejam. Aku lalu kembali ke ruang tengah dan menghidupkan televisi, tapi beberapa saluran sudah tidak ada lagi. Ada sih yang masih tayang tapi acaranya tidak aku suka.
Akhirnya televisi itu aku matikan dan beralih ke majalah yang tadi aku baca. Masih banyak halaman yang belum kubaca karena tadi aku terlanjur tidur. Biasanya sih, dengan membaca, lama-lama aku juga akan tertidur sendiri. Apalagi aku membacanya sambil tiduran di sofa panjang depan televisi, klop lah nanti kalau mengantuk bisa langsung tidur. Sebelumnya kupasang dan kuatur bantal kecil untuk menahan kepalaku dengan posisi yang nyaman, lalu kuselonjorkan kedua kakiku... Wah nyaman sekali.
Entah berapa lama aku membaca, yang jelas seperti biasanya akupun lalu mengantuk. Kumatikan lampu ruangan ini dan kemudian aku tidur di sofa.
Aku tidak tahu apakah aku dalam kondisi tidur atau setengah sadar, tapi aku seperti melihat bayangan seseorang masuk ke rumah dan melewatiku. Aku seperti bangkit dari tidurku dan berjalan ke arah bayangan orang itu. Kulihat dia masuk ke dalam kamar Nina. Akupun juga ikutan masuk kekamarnya, aku memandang sosok orang itu mirip sekali dengan Nina, hanya saja dia tidur menelungkup sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku berjalan ke arah sosok itu dan mencoba membalikkan wajah nya, namun tiba-tiba aku terbangun. Keringat dingin membasahi badanku, aku gemetar membayangkan mimpi? Benarkah mimpi? Tadi tampak sangat nyata. Aku lalu duduk dan menenangkan diri.
Setelah sesaat mengatur nafas, kuputuskan untuk mengecek langsung ke kamar Nina. Kubuka pintu kamarnya pelan-pelan, lalu kuhidupkan lampunya. Kulihat kamar Nina sama seperti tadi saat aku membenahinya. Tempat tidurnya juga masih rapi, tidak terlihat bekas tidur seseorang. Kulihat photo Nina yang tadi jatuh juga masih di tempat semula. Semua tampak wajar-wajar saja. Ah... Mungkin aku bermimpi lagi. Begitu pikirku. Kuputuskan untuk tidur di kamar Nina.
“Bangun...!” Seseorang membangunkanku.
Samar-samar karena mataku masih mengantuk aku melihat mas Budi berdiri di hadapanku, cepat-cepat aku membuka mata.
“Ada apa mas?” Tanyaku sambil menguap, aku memang masih sangat mengantuk. Semalaman tidurku selalu terganggu dengan mimpi-mimpi aneh.
“Lihat sudah jam berapa?” Kata suamiku lagi.
Kulihat jam dinding di sisi kamar ini... Oops sudah jam enam lebih beberapa menit....
“Oops..... Kesiangan nih!” Teriakku seraya bangkit dari tidur, “Aduh aku belum menyiapkan sarapan!” Aku merasa tidak enak hati, biasanya mas Budi sarapan jam enam pagi lalu cepat-cepat pergi ke kantor agar tidak terlambat, maklum jarak rumah sama kantor lumayan jauh, apalagi macet sering terjadi di jam-jam orang berangkat kerja.
“Tidak perlu bikin sarapan, aku sudah membuatnya.... Sandwich isi telor dadar!” katanya sambil mengedipkan mata.
Aku tersenyum malu, memang mas Budi tidak pernah memaksaku menyiapkan sarapan, bila dalam keadaan darurat dia membuat sandwich isi telor dadar untuk makan pagi.
“Memang bikin berapa mas?” Candaku.
“Ya dua dong, buat kamu dan aku!” Jawabnya kalem.
Aku tersenyum lagi. Lalu kami berjalan ke arah ruang makan. Sebelumnya aku ke kamar mandi untuk membasuh muka.
“Wah enak juga sandwich bikinan mas Budi!” Pujiku setelah beberapa gigitan masuk ke dalam mulut.
“Ya iyalah.” Serunya singkat, dia sibuk makan untuk mempersingkat waktu karena mau berangkat kerja.
Belum selesai makan, kami mendengar telepon berdering. Aku segera berdiri bermaksud menerima telepon itu, tapi mas Budi lebih cepat. Dia melambaikan tangannya sebagai tanda dia saja yang mengangkatnya.
“Mungkin dari Pak Joni, kemarin dia bilang mau telpon pagi ini untuk memastikan jadi ketemu klien atau tidak!” Kata suamiku sambil terus berjalan ke arah telpon itu.
Aku kembali duduk dan meneruskan makan, tapi sejenak kemudian aku hentikan begitu mendengar suara mas Budi yang semakin keras dan menyebut nama Nina. Aku berlari ke arahnya, kulihat raut muka suamiku berubah menjadi mendung. Ada garis kecemasan yang sangat dalam yang terpancar dari wajahnya.
“Ada apa mas?” Tanyaku tak kalah cemas. Ia memandangku sejenak, gagang telpon masih dia pegang.
“Bis wisata Nina mengalami kecelakaan!” Ucapnya pendek tapi benar-benar menusuk jantungku yang paling dalam. Tiba-tiba aku merasa semua gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Beberapa hari kemudian aku membaca sebuah artikel peristiwa di majalah yang biasa aku beli, disitu diberitakan ada kecelakaan maut antara bus pariwisata yang membawa anak-anak sekolah dengan truk besar. Bus membelok ke arah kiri menerjang pagar pembatas dan jatuh ke jurang, sebagian besar anak-anak dan awak bus tewas!...... Termasuk Nina anakku.
No comments:
Post a Comment