Wednesday, October 21, 2020

Misteri Sebuah Lukisan

Kudengar suara pagar besi depan rumah digeser seseorang, segera aku beranjak dari ruang tengah tempat aku menonton TV dan pergi melangkah ke arah depan. Kusingkap sedikit tirai jendela ruang tamu, aku mengintip ada sebuah mobil masuk ke halaman teras depan, mobil itu bergerak perlahan masuk ke halaman  yang tidak terlalu luas itu, agak kesulitan memang untuk memarkirnya. Dengan lahan yang terbatas, perlu kepiawaian untuk bisa mengarahkan mobil itu. Aku belum berani keluar rumah karena aku belum tahu pasti siapa itu, aku sendirian di rumah ini, mas Pram –suamiku- sedang keluar kota mencari dagangan. Namun setelah kulihat seseorang yang keluar dari mobil, baru aku menyadari kalau orang itu tak lain mas Pram, syukurlah suamiku  sudah pulang. 

Aku memang kurang hapal dengan mobil yang digunakan olehnya, maklum mobil-mobil itu sewaan dan selalu berganti. Segera aku membuka pintu ruang tamu dan keluar menyambutnya.

“Katanya besok pagi baru pulang, tumben lebih awal, tapi dapat barang kan?” Tanyaku kepadanya, dia bilang rencana keluar kota sekitar tiga hari yang berarti baru akan kembali  besok, biasanya sih malah molor lebih lama dari perkiraan, maklum mencari barang dagangan juga tidak mudah.

“Iya nih, tumben aku mujur, dapat barang dalam waktu singkat!” Jawab suamiku sambil menyeka keringat di wajahnya. Aku melihat gurat kelelahan di mukanya. Pantaslah capai, dia pergi sendiri dan pegang kemudi juga sendiri.

Kuikuti langkah suamiku dari belakang, dia membuka  pintu belakang mobil itu dan kulihat tumpukan barang di dalamnya.

“Wah... Borong ya? Penuh tuh bagasinya!” Selorohku.

Suamiku tersenyum dan membalasnya. ”Ya iyalah... Mumpung ada barang bagus dan harga juga miring.”  Lanjutnya, ”Bantuin dong.”

Aku segera  mengeluarkan barang-barang yang  masih terbungkus itu. Sedang dia menutup pagar besi depan rumah dulu. Untuk barang-barang yang ringan aku segera memindahkannya ke ruang tengah, biasanya kami menumpuk dulu di ruang itu, setelah membuka bungkusnya dan mendata ulang, istilahnya tertib administrasi, kami baru memindahkannya di ruang kerja suamiku merangkap gallery kecilnya. Sebenarnya bukan gallery sih, terlalu mewah kedengarannya, mungkin lebih tepat ruang pamer dagangan kali yaa.

“Hati-hati loh dik!“ Teriak suamiku dari luar.” Banyak lukisan kacanya.” Lanjutnya lagi memberi alasan.

“Iya mas....” Seruku singkat. Dengan hati-hati kujajarkan bungkusan-bungkusan itu di lantai. Lalu aku kembali ke depan meneruskan membantu suamiku memindahkan barang. Kulihat dia membawa bungkusan barang yang besar, tapi bisa kupastikan itu lukisan.

Beberapa saat kemudian, kamipun selesai  memindahkan semua barang pembelian suamiku dari bagasi mobil ke ruang tengah di rumah kami. Setelah memastikan mobil terkunci, begitu juga pintu depan. Kami berdua melangkah ke ruang tengah untuk melakukan pekerjaan selanjutnya yaitu membuka bungkus masing-masing barang dan mendatanya.

“Dik, aku lelah sekali nih. Barang-barang ini biar ada disini dulu ya? Besok kita lanjutkan kerja kita. Daripada nanti malah beresiko pecah.” Kata suamiku sambil duduk di kursi dan  meluruskan kedua kakinya.

“Iyalah, besok juga tidak apa-apa.” Jawabku mengiyakan ucapannya, karena aku sendiri juga lelah setelah seharian bekerja. Apalagi besok kan hari minggu, kami punya waktu yang longgar .

“Mas, mau minum apa nih? Teh hangat mau?” Aku menawarkan membuatkan minuman. Tapi kulihat dia menggelengkan kepala.

“Tidak usah, tadi aku sudah minum air mineral yang cukup banyak dalam perjalanan pulang.” 

“Aku mau membasuh muka dulu lalu tidur, capai sekali.” Ucapnya terdengar letih seraya  bangkit dari kursi dan berjalan ke arah kamar mandi.

Aku sendiri lalu mengecek pintu dan jendela rumah untuk memastikan semua sudah terkunci, juga mematikan lampu yang tidak digunakan lagi, cukup beberapa lampu kecil untuk penerangan. Hemat listrik, mengikuti anjuran pemerintah... Hehehe... Agar hemat biaya. Setelah beres semuanya, aku menuju ke ruang tidur menemui mas Pram.... Wah dia sudah tertidur pulas rupanya. Akupun lalu merebahkan diri tidur di sampingnya. Karena aku juga lelah, akupun jatuh tertidur dengan cepat.

Suara adzan subuh membangunkan kami, setelah wudlu dan melaksanakan sholat subuh bersama,  kami duduk-duduk di ruang tengah mengamati barang-barang pembelian mas Pram yang berjajar rapi.

“Bisa kita mulai membuka bungkusan-bungkusan itu sekarang?” Tanyaku tidak sabar. Aku memang  ingin tahu seperti apa barang-barang pembelian suamiku kali ini.

“Boleh, sekalian kamu data ya?” Balasnya sambil mulai membuka tumpukan bungkusan yang ada di paling ujung.

Aku  menyadari untuk urusan administrasi  suamiku itu tidak suka, biasalah lelaki. Maka aku yang mengerjakannya, meski kuakui dia hapal benar dengan barang-barang yang dia beli, tapi kalau tidak ada catatan sama sekali mana bisa dipertanggung jawabkan dalam arti bagaimana bisa kami melihat apakah usaha ini punya prospek yang baik untuk ke depannya?

Barang yang pertama dibuka ternyata berisi lukisan kaca ukuran kecil. Gambar-gambar pewayangan terlukis di kaca itu, bingkainya sudah ada beberapa yang rusak. Kalau itu sih tidak terlalu masalah, kami bisa mengganti bingkainya, yang penting lukisan itu masih bagus dan utuh. Aku mencatat satu demi satu berikut harga pembeliannya, sedang mas Pram memindahkan barang-barang yang sudah aku catat di sisi sebelah kanan agar tidak bercampur.

Setelah kelompok lukisan kaca selesai, kami mulai membuka bungkusan yang besar yang kata suamiku berupa lukisan kanvas.  Cuma ada beberapa sih, ada lukisan pemandangan alam, rangkaian bunga dan lukisan diri. Aku agak kurang percaya dengan lukisan diri itu, biasanya suamiku tidak tertarik untuk membelinya karena agak sulit dalam hal penjualan, siapa sih yang mau memasang lukisan diri seseorang yang kita sendiri  tidak mengenalnya? Apalagi lukisan yang ada di depanku ini kondisinya jauh dari layak. Ada noda disana sini yang membuat lukisan itu tampak kotor dan tidak terawat.

“Tumben mas beli lukisan kayak gini?” Tanyaku sedikit memprotes secara halus, “Katanya agak sulit menjual lukisan beginian?”

“Mmmh..... Aku juga sebenarnya gak berniat beli...” Lanjutnya.” Tapi pemiliknya memaksa harus membeli semuanya atau tidak sama sekali, ya sudah aku ambil.... Anggap saja bonus! Harganya lumayan miring kok.... Ntar kalau tidak ada yang tertarik ya kita kasih saja  ke pembeli sebagai bonus.”  Terangnya panjang lebar dan terkesan seenaknya.

Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasannya, kuamati sejenak lukisan itu, lukisan diri seorang perempuan kulit putih dengan balutan pakaian masa lalu. Ia tergambar duduk di kursi dengan anggunnya, roknya yang menggelembung mengingatkan model pakaian jaman penjajahan dulu. Sebenarnya lukisan ini cukup cantik andai tidak ada noda disana sini. Namun aku jadi tertegun, semakin lama aku memandangnya semakin lukisan itu tampak hidup. Raut muka perempuan dalam lukisan itu menyiratkan kepedihan, sepertinya tidak rela untuk dilukis. Aku segera  kedip-kedipkan  mataku, aku tidak mau larut dengan keanehan ini. Pikirku itu cuma perasaanku saja melihat lukisan kuno macam begini. Kutaruh kembali lukisan itu ketempatnya. Selanjutnya aku beralih ke lukisan selanjutnya. Kamipun tenggelam dalam kegiatan kami.

“Selesai sudah semuanya....” Seruku sambil menutup buku administrasi pembelian.

“Yup.... Sekarang tinggal memindahkan barang-barang ini ke gallery... Hahahah.” Kata suamiku sambil tertawa.

“Gallery nih yeee...“ Ejekku  sambil mencibirkan bibir.

“Ya nggak apa-apa kan menyebut gallery... Siapa juga yang nglarang!” Balas suamiku seperti tidak rela.

“Canda aja lagiii.... Siapa tahu Tuhan mengabulkan keinginan kita... Punya g-a-l-l-e-r-y!” Selorohku sekenanya.  Mas Pram cuma tersenyum mendengarnya.

Sampai di ruang pamer dagangan yang dia sebut dengan gallery, kami menyusun lukisan-lukisan itu. Untuk yang perlu perbaikan kami taruh di sudut ruangan, sedang yang lumayan baik kami tempatkan di barisan depan.

“Loh... Lukisan diri itu kok ditaruh di depan mas? Kan kondisinya kurang baik?” Tanyaku  begitu melihat mas Pram menaruhnya di depan.

“Aku baru ingat kalau Pak Yudi –pelanggan kita itu- tertarik dengan lukisan diri ini. Dalam perjalanan pulang aku sempat telepon dia kalau aku bawa aneka lukisan. Dan dia akan mampir kesini dalam minggu ini, daripada repot-repot mencarinya mending aku tempatkan di depan sini saja.”  Terangnya kalem.

“Ya syukurlah kalau ada yang tertarik, siapa tahu mau membeli.”  Balasku senang, semoga saja lukisan ini cepat laku... Kalau tidak... Wah bisa lama banget nih bertahan disini karena tidak begitu banyak orang yang suka.

Setelah menata lukisan-lukisan itu, kami kembali ke rumah. Sebenarnya ruang pamer itu masih dalam satu halaman, hanya berjarak beberapa jengkal dari rumah. Kami memang sengaja membuat ruang pamer yang terpisah dari rumah tempat kami tinggal agar kami ada privasi untuk kehidupan kami, maklumlah yang namanya pembeli itu bisa datang kapan saja mereka mau. Kadang teman-teman suamiku juga main kesini, kadang mereka saling tukar lukisan. 

Sesampai di rumah, aku dan mas Pram duduk santai di teras depan, hari minggu begini paling nyaman memang bersantai ria, tidak terpaku jam kerja. Kalau mas Pram sih tidak ada jam kerja pasti, namanya juga wiraswasta, kerja untuk dirinya sendiri. Sedang aku, sebagai seorang karyawati perusahaan swasta jam kerjaku terbentang dari pagi sampai sore. Jadi kalau hari minggu begini rasanya seperti burung yang lepas dari sangkarnya... Hahahaha.

“Memang mas Pram dapat lukisan-lukisan itu dari mana? Kok disuruh memborong semuanya?”  Tanyaku membuka pembicaraan.

“Oh itu... Aku beli dari seorang lelaki tua di sebuah pedesaan. Katanya lukisan itu kepunyaan kakeknya yang dulu bekerja di sebuah keluarga asal belanda.....”

“Pantas... Lukisan perempuan itu memakai pakaian model jaman dulu.” Potongku, ”Tapi kok lukisan diri itu tidak dibawa ke Belanda ya? Atau disimpan keturunannya kali, biasanya kan lukisan diri itu seperti sebuah history... Untuk mengenang sesuatu di masa lalu, lha ini malah dikasihkan orang lain?” Lanjutku kemudian

“Yaach mana aku tahu?” Jawab nya santai.

“Mungkin karena lukisan itu sudah dalam kondisi yang kurang bagus, jadi keturunannya malas mengoleksinya.”  kataku seakan berargumen.

“Mungkin aja.... Kalau aku sih yang penting lukisan itu laku...!” 

Kami tertawa bersama, ya iyalah, sebagai pedagang memang yang utama ada perputaran uang segera. Semakin cepat laku semakin cepat pula uang berputar, suamiku bisa punya modal untuk membeli barang yang baru.

“Oh iya mas, besok aku pulang agak malam. Biasa akhir bulan... Mesti bikin laporan ini itu.”

“Yoi.... Santai sajalah.” Balasnya seakan maklum. Karena tiap akhir bulan aku memang selalu pulang malam, tapi aku tidak perlu khawatir karena sama perusahaan sudah disediakan sopir dan mobil yang siap mengantar para karyawan terutama yang wanita sampai rumah masing-masing. Kami jadi bisa bekerja dengan tenang, tidak perlu memikirkan bagaimana mau pulang.

Hari itu, seperti yang aku perkirakan sebelumnya, ada lembur. Aku dan teman-temanku satu divisi  bekerja lembur sampai malam. Kulihat Fitri dan Dina masih sibuk di depan komputer, begitu juga dengan diriku. Kami tenggelam dengan pekerjaan. Waktu berjalan seperti cepat sekali karena tertutup aktivitas.

“Masih lama gak nih?” Tanya Fitri kepada kami. Kulihat Fitri  sudah selesai dengan tugas tugasnya.

“Kurang sedikit.” Jawab Dina singkat, jari-jarinya terus saja memencet memasukkan data-data. 

“Aku juga... Sebentar juga selesai!” Ucapku  menimpali.

“Iya deh aku tunggu.” Kata Fitri. Dia lalu kembali duduk  di kursi meja kerjanya. Kulihat dia mengeluarkan HP dan mulai memainkan game.

Tak seberapa lama kami bertiga sudah selesai dengan tugas kami. Jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam lebih beberapa menit. Kami berjalan keluar ruang menuju area parkir depan. Pak Jono sopir kantor sudah siap siaga di depan. Kami sudah menelponnya tadi sesaat kami selesai.

“Wah, nanti sampai rumah jam berapa kamu Rina?”  Tanya Dina.

Rumahku memang paling jauh dibanding rumah Dina dan Fitri. Mungkin sekitar empat puluh lima menit dari kantor, tapi seperti biasa kami mengantar yang paling dekat dulu baru yang paling jauh belakangan. Jadi bisa lebih lama lagi.

“Ah nggak apa-apa kok... Kan diantar sama Pak Jono sampai rumah!” Jawabku tenang.

“Iyalah, tidak perlu khawatir!” Timpal Fitri menegaskan jawabanku.

Sampai depan kantor sudah ada tiga lagi karyawati dari divisi yang lain. Akhirnya kami berenam diantar pak Jono pulang. Dan seperti yang sudah aku duga sebelumnya akulah yang paling akhir diantar.

“Wah kok gelap-gelapan mbak?” Tanya Pak Jono begitu sampai depan rumahku. 

Aduh kemana nih mas Pram, tanyaku dalam hati, masak lampu belum dinyalakan?

“Sebentar ya pak? Aku telpon dulu?” Balasku sambil mengeluarkan HP dari tas kerjaku. Pak Jono  mengangguk.

“Halo... Mas Pram?” Seruku begitu aku mendengar ada suara diseberang telpon.

“Iya dik, ada apa?” Jawab mas Pram.

“Kok lampunya belum dinyalakan? Dimana nih?” Tanyaku lagi.

“Oh iya... Maaf kelupaan. Tadi sore aku diajak mas Danu ke rumah temannya di luar kota melihat lukisan-lukisan, ini masih dalam perjalanan. Mungkin baru besok aku pulang. Tidak apa-apa kan?” Suara suamiku terdengar menyesal. Mungkin dia merasa bersalah karena tidak menelepon sebelumnya memberitahuku.

“Tidak apa-apa kok mas, ini juga diantar sama Pak Jono.” Jawabku, “Maaf mas aku tutup dulu telponnya, kasihan Pak Jono menunggunya”

Dengan diantar Pak jono, aku berjalan menuju rumah. Selanjutnya Pak Jono duduk di teras menungguku menghidupkan lampu.

“Terima kasih pak sudah menunggu!” Kataku.” Apa mau minum dulu pak?” Aku menawarkan meski sebenarnya cuma berbasa basi.

“Wah, terima kasih mbak. Sudah malam, pingin segera pulang mbak.“ Pak Jono menolak dengan halus.

Aku tersenyum, memang itu yang aku inginkan, aku sudah capai dan ingin segera istirahat. Pak Jono pasti juga demikian. Aku mengantar Pak Jono sampai  pintu gerbang rumah. Setelah Pak Jono pergi dan gerbang besi depan rumah aku gembok aku berjalan menuju rumah. Tapi langkahku terhenti saat mataku melihat arah ruang pamer alias gallery di samping rumah. Lampu belum dinyalakan, pantas gelap sekali . Akupun mengalihkan langkah menuju ruang itu. Aku bermaksud menghidupkan lampu kecil yang menerangi bagian luar ruang agar tidak terlalu gelap. Tapi sebelum aku memencet tombol lampu yang terletak di tembok di bagian samping pintu itu hidungku mencium bau aneh, semacam bau anyir bercampur bau bangkai. Apa mungkin ada tikus mati? Namun ketika bau itu berubah menjadi aroma bunga melati yang sangat wangi, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Hawa dingin seperti menyergapku. Ada perasaan aneh yang menyelimutiku, aku merasa aku tidak sendirian, seperti ada orang lain di tempat ini. 

Takut ada sesuatu yang tidak diharapkan, segera aku memencet tombol lampu, sinar nyala lampu seketika memancar menerangi sekeliling. Kuawasi keadaan sekitar aku berdiri, tidak ada yang mencurigakan, hanya hembusan angin yang terasa begitu dingin, meski perasaan aneh masih tetap saja mengikutiku. Tapi begitu aku tanpa sengaja menatap pintu kaca yang ada di depanku, jantungku seakan berhenti berdetak, dari balik kaca aku  melihat lukisan diri itu, lukisan itu benar-benar seperti hidup. Sorot mata perempuan itu seakan tajam menatapku. Lukisan itu seperti memiliki roh yang menaunginya. Aku tidak bisa berucap kata-kata, mulutku seakan kelu, tubuhku seakan terpaku, segera aku berdoa dalam hati memohon kepada Tuhan untuk melindungiku, selanjutnya secepatnya aku berlari ke arah rumah, aku seperti tidak percaya dengan apa yang kulihat. 


No comments:

Post a Comment

La Planchada