Hari ini sekolahku ada rapat guru, jadi kami bisa pulang lebih awal. Jam sebelas kami sudah keluar kelas masing-masing. Aku dan tiga orang temanku duduk-duduk sebentar di bangku panjang dekat area parkir sekolah, kami memang paling malas kalau mesti berhimpit himpitan berebut ambil sepeda motor di tempat parkir yang terbatas itu. Lebih baik aku dan gank ku menunggu dulu sampai sebagian anak-anak yang lain keluar area parkir jadi kami leluasa mengeluarkan motor. Sambil menunggu kami berbincang bincang mengobrolkan hal -hal ringan.
“Baru jam sebelas, enaknya ngapain ya?” Ucap Agus membuka pembicaraan.
“Iya nih... Ngapain ya? Tanggung kalau mau pulang!” Timpal Budi.
“Jajan bakso aja di warung pak Kumis!” Seru Chandra dengan wajah bersinar. Anak itu memang suka sekali jajan, makanya dia gendut.
“Yaaach... Belum lapar, kan baru jam sebelas!” Tolakku halus.
“Trus... Mau ngapain coba?” Balas Chandra.
Aku mengangkat bahu, jawabku.” Terserah teman-teman aja gimana aku ngikut.” Lanjutku, ”hanya saja jangan ke warnet, jam-jam segini pasti padat. Apalagi pulang sekolah lebih awal kayak gini, yakin deh!”
“Betul, jangan ke warnet!” Tambah Agus mendukungku.
“Lha terus kemana dong?” Chandra bertanya lagi.
Kami diam sebentar memikirkan enaknya mau kemana untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan yang asyik.
“Nah... Gimana kalau kita main ke pasar loak?” Usul Budi seperti mendapat ide brillian. Kami saling berpandangan, sepertinya kami belum ada yang pernah main ke pasar loak sebelumnya. Lha ini Budi dapat ide kayak gitu apa dia pernah main kesana?
“Emang kamu pernah ke pasar loak? Cari apa disana?” Sahut Agus seperti tidak percaya dengan usulan Budi.
“Banyak....... Enggak hanya barang loakan kok. Barang baru dari kapal juga ada... Kata yang jual lho...” Kami tertawa mendengar ucapan Budi.
“Eh beneran ini... Beberapa minggu yang lalu aku diajak ayahku ke pasar loak. Ayah sih cari spion motor. Katanya harganya lebih miring. Nah disana aku lihat bukan hanya barang-barang loakan yang dijajakan... Memang sih sebagian lapak menjual aneka macam barang loakan, tapi di lapak yang lain ada yang jualan barang baru.” Jelas Budi panjang lebar.
“Wah, kayaknya asyik juga tuh.” Seru Chandra senang, “Tapi ada yang jualan makanan kan?”
“Huuuuuu...... Makan mulu yang dipikirkan!” seru Budi
Kami semua lalu tertawa. Akhirnya kami sepakat main dulu ke pasar loak. Meski tidak bermaksud membeli sesuatu, tapi paling tidak kami punya pengalaman baru tentang itu. Dengan mengendarai motor beramai ramai kami menuju ke pasar loak yang terletak di pinggiran kota. Pasar itu ternyata berupa bangunan yang masih lumayan baru, dari depan tidak terlihat seperti pasar yang kami bayangkan sebelumnya. Mungkin karena bangunan gedungnya yang tampak megah. Katanya sih ini untuk menampung para penjual barang loakan yang dulu tersebar di pusat kota, karena mereka berjualan di trotoar tempat para pejalan kaki - akhirnya jalan-jalan menjadi macet, disebabkan munculnya tempat parkir motor dadakan di pinggir jalan itu. Akhirnya sama pemerintah dibuatkan bangunan khusus untuk mereka.
“Kita mau kemana dulu nih?” Tanya Budi kepada kami semua.
“Ikut kamu aja gimana... Toh kita juga nggak akan beli apa-apa? Cuma pingin lihat - lihat saja!” jawab Agus kalem.
“Eh, siapa tahu nanti kalian lapar mata?” Sergah Budi.
“Ah... Kayak perempuan aja, lihat barang terus ngiler!” Balasku sambil mencibirkan bibir.
“Hahaha... Ya siapa tahu kan? Barang-barang disini kan murah-murah....” Balasnya lagi.
“Ah sudahlah nggak usah pada ribut, mending kita langsung jalan aja. Sekedar lihat-lihat saja, tapi kalau mau ada yang beli sesuatu ya silakan!” Chandra menengahi.
Akhirnya kami masuk ke gedung itu dan mulai berkeliling. Di dekat pintu masuk ada lapak yang menjual kaset-kaset lama, kami melihat sekilas saja karena kami kurang mengenal kaset, mungkin era orang tua kita dulu kali yaa. Selanjutnya kami melewati lapak yang berjualan aneka onderdil dan sparepart mobil dan motor. Wah lumayan juga kayaknya, mungkin kalau nanti perlu sesuatu dengan motor kami bisalah kesini, siapa tahu harganya bisa jauh daripada beli di toko. Masuk lebih ke dalam lagi, kami menemukan lapak yang berjualan aneka produk sandang, dari yang bekas sampai yang masih baru–baru turun dari kapal –begitu ucapan Budi eh penjual.... Heheheh. Di penjual aneka celana jins kami berhenti sebentar, sekedar bertanya harga dan melihat-lihat saja. Mana bisa kami membeli celana jins dengan uang saku kami, mesti tunggu dana turun dari orang tua kan. Setelah itu kami berjalan menuju ujung belakang bangunan pasar, ternyata disitu tempatnya orang jualan pernak pernik aneka barang-barang jadul. Ada piring, cangkir, teko bekas, setrika besi, uang lama dan banyak lagi. Bahkan kami juga melihat aneka radio tua.
“Emang radio ini masih bisa dibunyikan pak?” Tanyaku sekedarnya saja. Kulihat di hadapanku ada radio kecil dengan merek yang kurang kukenal, kuambil radio itu dan mengamatinya. Aku berlagak tertarik dengan radio itu.
“Wah, kalau sudah direparasi pasti bisa bunyi lagi!” Jawab si penjual, ”Maklum mas barang lama dan tidak terpakai lagi, jadi perlu perbaikan disana sini.” Lanjutnya sambil mengangkat radio itu yang barusan aku kembalikan ke tempat semula, dia mengambil batu batterai yang sesuai untuk radio itu dan mulai memutar mutar tombol pencarian gelombangnya, tapi hanya terdengar bunyi bunyian yang tidak jelas.” Nah ini ada suaranya... Meski tidak jelas tapi nanti setelah direparasi pasti bisalah!” Dia mencoba meyakinkanku.
“Emang gak bisa sekalian direparasi pak?” Chandra tiba-tiba saja nyelonong di hadapanku dan ikutan bertanya.
“Wah, kami hanya berjualan saja. Apa adanya barang saja. Kalau masalah reparasi ya silakan tukang service. Mereka lebih paham!” jawab si penjual dengan santai.
“Emang berapa sih harga radio ini?” Tanya Chandra lagi.
“Dua ratus ribu saja mas, murah kok!” Ujarnya seraya menyorongkan radio ke arah Chandra.” Kalau mau menawar juga boleh kok“ Bujuk si Penjual.
“Yaaahh..... Radio butut gitu dua ratus ribu, mana perlu reparasi lagi!’ ucapku agak sengit, “ Kalau boleh lima puluh ribu, ok lah....!” Aku berkata sekenanya saja.
”Ya sudah, khusus buat mas ini bolehlah limapuluh ribu... Hitung-hitung buat penglaris. Mas kan pembeli pertama yang beli barang saya. Lumayan uangnya bisa buat makan siang!” Ucap si penjual dengan tenang, tangannya langsung memasukkan radio itu ke kantong plastik. Lalu dia menyerahkan radio itu ke padaku. Aku tergagap sesaat, tak kusangka dia melepaskan dengan harga yang aku asal sebut itu. Terpaksalah aku membelinya. Sebenarnya berat juga membayar lima puluh ribu ke penjual itu, berarti uang sakuku selama seminggu hilang percuma... Tapi mau gimana lagi, salahku juga menawar meski sebenarnya cuma iseng. Akhirnya radio tua itu berpindah tangan. Selanjutnya kami meninggalkan lapak itu untuk berkeliling ke lapak-lapak yang lain. Kali ini aku berjanji tidak akan mencoba iseng menawar, cukup melihat sekilas saja. Selain uang sudah tak bersisa, kapok juga bila nanti kejadian tadi terulang.
“Wah lapar nih!” Seru Chandra begitu kami keluar dari pasar.
“Iya..... Aku juga lapar.” Agus menimpali.
“Enaknya mau makan apa?” Budi ikut ikutan .
Hanya aku seorang yang tersenyum kecut, wah mesti hutang dulu ke teman-teman kalau mau ikutan jajan. Tapi gimana lagi.. Aku juga lapar sih.
“Di depan itu ada warung tegal!” Teriak Chandra sambil menudingkan jarinya ke arah depan pasar ini. Ya, kami melihat warung tegal yang tidak terlalu besar tapi banyak pembeli. Biasanya kalau banyak yang makan disitu, makanannya bisa dipastikan lumayan.
“Boleh juga makan di warteg, gimana teman-teman?” Tanya Agus sambil memandang kami satu satu. Budi mengangguk tanda setuju, kalau Chandra jelaslah dia mau. Sedang aku...?
“Gimana Edi? Setuju nggak?” Tanya Agus seperti minta penegasan.
“Mau juga sih, aku kan juga lapar. Tapi.....” Lanjutku
“Nggak punya uang, karena sudah beli tuh radio!” Goda Budi sambil melirikku. Lirikan nakal seolah mengejekku. Aku cemberut saja. Sudah kecewa mesti membayar nih radio eh masih juga diledek.
“Edi, bisa hutang dulu ke aku.” Ucap Agus sambil menepuk bahuku.
Akhirnya kami sepakat makan di warung tegal itu. Dan aku terpaksa hutang kepada Agus.
Jam sudah menunjuk angka dua siang lebih beberapa menit, kamipun lalu berpamitan satu sama lain untuk pulang kembali ke rumah masing-masing.
Sampai rumah aku langsung masuk ke dalam kamar. Kuambil tas plastik hitam yang berisi radio tua itu dan kukeluarkan isinya. Sesaat aku memandangi radio, perasaan sesal melingkupiku. Radio itu sebenarnya kelihatan solid, mungkin dijamannya radio itu tergolong barang mahal dan hanya orang-orang kalangan tertentu saja yang bisa memilikinya. Jaman dulu kan radio tergolong barang mewah. Kuputar putar tombol pencari gelombang... Kali ini tidak ada suara sama sekali. Ketika kubalikkan ternyata batu baterai nya sudah tidak ada. Gila.... Penjualnya ternyata mengambil kembali batu batterainya. Aku bersungut sungut. Karena kecewa dan malu ketahuan aku menaruh radio itu di belakang tumpukan buku di rak dekat meja belajarku. Dari depan tidak ada yang menyadari ada radio di belakangnya karena sisi kiri kanan atas dan bawah tertutup kayu rak, sedang dari arah depan, buku-buku berjajar memenuhi rak. Aku tidak tahu mau diapakan radio itu, kalau mau jual juga mesti jual kemana? Mana ada teman temanku yang mau membelinya? Aku malah bisa diejek habis-habisan kan? Kalau ketahuan ibu juga nanti malah kerepotan sendiri, ibu pasti mengomel menyalahkanku yang hanya bisa menghambur hamburkan uang buat membeli barang yang tidak perlu. Ya sudahlah sementara aku taruh disitu, nanti bagaimana sajalah.
Aku segera keluar kamar begitu kudengar suara ibu memanggilku, ternyata ia memintaku mengantar Dewi adikku yang paling kecil les menari.
“Sudah dibawa semua kan? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya ibu kepada Dewi sambil membantunya naik ke atas sadel boncengan motor.
“Awas kalau ada yang ketinggalan, kakak tidak mau mengantar kamu lho...” Sambungku seperti mengancam.
“Ediiiii....” Omel ibuku pendek, sedang Dewi memukul punggungku. Dari spion motor kulihat Dewi cemberut.
“Nanti pulangnya sekalian kamu jemput ya? Karena ibu ada acara arisan!” Ujar ibu kepadaku.
“Iya... Iya....!” Jawabku pendek.
“Jangan terlambat lho kak...!” Rajuk Dewi. Kuakui aku kadang terlambat menjemputnya. Sebenarnya aku tahu pasti jam berapa dia akan selesai les menari tapi nggak tahulah rasa malas kadang mengalahkanku.
“Iya Edi, jangan terlambat. Kasihan adikmu menunggumu sendirian di sanggar itu!” Kata ibu datar, mungkin dia sudah hapal dengan watak anaknya... Hahahah.
Akhirnya aku mengantar Dewi ke sanggar tempat dia les menari, setelah itu aku kembali ke rumah, sebenarnya aku bisa mampir saja ke warnet sekalian menunggunya les, tapi aku sudah tidak punya uang, bahkan aku ada hutang dengan Agus temanku. Wah mesti berhemat sampai hari minggu nih.
Beberapa minggu kemudian aku sudah melupakan radio itu, ibu pun tampaknya tidak mengetahui kalau aku menyimpan barang loakan itu di balik buku-buku itu, hingga suatu ketika disuatu sore saat aku pulang dari rumah temanku buat belajar kelompok, aku mendapati Dewi adikku sedang bermain main dengan radio itu.
“Hei... Ngapain kamu?” Hardikku keras, kulihat tangan Dewi memutar mutar tombol dan kemudian menempelkan di telinganya seperti dia ingin mendengar sesuatu.
“Mencari gelombang dong kak!” Ucap nya santai saja sambil terus menggoyang goyangkan radio itu.
“Radio itu sudah rusak... Nggak bisa dibunyikan!” Teriakku sambil mencoba mengambil radio itu dari tangannya, tapi dia dengan kencang mempertahankannya. Saat aku juga ikutan lebih keras mengambilnya ia mulai menjerit-jerit, terpaksalah aku mengalah. Takutnya ibu mendengar dan datang kesini, bisa repot lah aku, pasti ibu akan bertanya banyak hal yang buntutnya aku akan diomeli.
“Ya sudahlah kalau mau main-main dengan radio itu.” Akhirnya kubiarkan dia, lalu aku rebahkan badanku di atas tempat tidur.
Kak, radionya kok nggak bunyi lagi sih......” Kata Dewi sambil mendekatiku.
Aku menoleh ke arahnya, seruku, ”Sudah dibilangin kalau radio itu rusak nggak bisa bunyi masih saja.....”
“Tapi beberapa malam yang lalu Dewi dengar kok.” Potongnya cepat.
“Ah.... Mimpi kali kamu...!” Jawabku seenaknya.
“Beneran kak, malam itu aku terbangun, aku dengar suara radio, kuikuti suara itu ternyata asalnya dari kamar kakak tepatnya di rak buku itu!”
Aku terkejut mendengar penjelasannya, kalau dia mendengar suara radio ini kenapa aku tidak dengar padahal jelas-jelas aku ada di dalam kamar yang berarti jarak telingaku lebih dekat daripada telinganya.
“Kamu bohong ya.... Kok kakak tidak mendengar nya?” Sergahku.
“Yaahhh.. Kakak kan kalau tidur kayak orang mati saja!” Balas adikku semaunya.
Jengkel mendengar ocehannya, kulemparkan guling kedirinya. Dia menangkis guling itu dengan melempar radio yang dia pegang ke arah guling. Akhirnya malahan radio dan guling itu yang sama-sama jatuh. Kalau gulingnya sih tidak apa-apa, namanya juga barang empuk, tapi radionya sedikit penyok karena membentur kaki tempat tidur yang terbuat dari besi. Sekilas aku melihat ada sedikit darah di radio itu, aku segera meraih Dewi dan mengamati tangannya.
“Kamu nggak apa-apa kan Wi.... Mana tanganmu yang berdarah?” Tanyaku sambil terus membolak-balik kedua tangannya meneliti bagian mana yang sekiranya berdarah.
Dewi malah tertawa terbahak bahak, katanya, ”Kakak ini aneh, yang jatuh kan radio... Masa Dewi yang berdarah?”
Aku tercenung mendengar ucapannya, akupun lalu mengambil radio itu dan mengamatinya, tapi ternyata tidak ada darah di radio itu. Aku masih tidak percaya, tadi aku merasa benar-benar melihat darah di radio itu yang kupikir berasal dari tangan Dewi. Tiba-tiba aku ketakutan karena aku merasa radio itu mengeluarkan energi yang seperti menyerangku. Tak terasa aku menjatuhkannya, aku hanya berusaha lepas dari radio itu, namun kali ini bukan darah yang kulihat, tapi suara aneh yang keluar dari radio itu meski cuma sebentar.
“Benar kan kak... Radio itu bisa berbunyi!” Teriak Dewi lantang.
Aku diam tanpa bisa berbicara apa-apa. Keringat dingin membasahi badanku. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.
No comments:
Post a Comment