Thursday, October 22, 2020

Hantu di Kereta Api

Malam itu Nina mengamati aku yang sedang berkemas, kuambil beberapa pakain dan menatanya di dalam koper.

“Baju  untuk test wawancaranya jangan lupa!” Nina mengingatkanku.

“Ya iyalah, nih...!” Kutunjukkan pakaian yang aku siapkan untuk itu, atasan putih tanpa lengan dari bahan katun, sebuah rok pendek selutut warna biru tua dan blaser warna biru laut.

“Wah sudah seperti karyawati tuh.” Nina meledekku.

Aku tertawa.” Katanya mesti memberi kesan yang bagus... Heheheh.” 

Pakaian yang aku punya untuk test wawancara  memang tidak banyak, hanya punya tiga pasang saja termasuk yang akan kubawa ini. Sayang saja kalau buang-buang uang buat membeli baju  yang jarang-jarang dipakai. Yang penting baju yang aku pakai rapi dan terkesan formal.

Aku dan Nina memang baru saja lulus kuliah, seperti fresh graduate lainnya, kamipun baru getol getolnya mencari pekerjaan. Sebenarnya kami juga merintis usaha kecil kecilan. Aku, Nina dan beberapa teman  mencoba merintis usaha  butik dan les privat anak-anak sekolah. Tapi hasilnya belum begitu kelihatan, ya namanya masih perjuangan. Tapi kami sudah sepakat bahwa bila ada yang mau meninggalkan usaha  ini  juga tidak apa-apa, pokoknya flexible saja.

Nina mengambil surat panggilan test  yang aku terima melalui email dan aku print.

“Kayaknya perusahaan besar dan bonafid tuh…” Ucapnya mantap, “Perusahaan asing ya?”  Tanyanya kemudian.

“Yup, perusahaan asing. Doakan ya semoga diterima?” Harapku, namun demikian aku tidak terlalu ngoyo, aku menyadari sainganku pasti banyak dan yang namanya menjalani test wawancara belum merupakan indikasi aku pasti diterima, tapi paling tidak lamaranku diperhitungkan.

“Pastinya lah.... Tapi ingat.. Kalau diterima jangan lupa syukurannya!” Kata Nina sambil tersenyum genit. Lalu kami berdua tertawa. Setelah selesai berkemas, aku  tidur.

Kuambil koper yang tadi malam kusiapkan. Kulihat lagi jam yang melingkar di tanganku, sudah menunjuk pukul enam sore. Berarti aku harus segera ke stasiun.

“Sudah jam enam nih, berangkat sekarang saja ya?” Kataku kepada Nina teman sekamarku. Aku dan Nina memang berbagi kamar kost. Karena aku mau ke Jakarta, kuminta Nina mengantarku sampai stasiun. Kali ini aku mau ke sana dengan menggunakan kereta api.

“Boleh, tapi dicek dulu jangan sampai ada yang tertinggal.” Ucap Nina mengingatkanku.

Kuraih tas satunya lagi, tas yang nanti akan kulingkarkan dibahuku. Kubuka kembali tas itu dan kuteliti sekali lagi. Dompet, handphone, novel, surat panggilan test wawancara, notes kecil, ticket, tissue, sisir kecil, semua sudah ada di dalamnya. Tas plastik yang berisi oleh-oleh buat tante Weni juga sudah aku siapkan. Sedang koper yang berisi pakaian, peralatan mandi dan rias sederhana tidak aku periksa lagi. Di koper  itu aku juga menyimpan sedikit uang yang aku taruh di dalamnya. Untuk jaga-jaga saja, siapa tahu terjadi sesuatu aku masih menyimpan uang di tempat lainya.  

“Sudah lengkap tuh!” Kataku.

“Beneran nih? Tuh lihat jaketnya ketinggalan!” Tangan Nina menunjuk jaket yang masih tersampir digantungan baju ditembok kamar kost.

“Oh iya.. Lupa... Heheheh!” Aku tertawa kecil lalu segera kusambar jaket itu dan memakainya.

“Di dalam kereta kan dingin, apalagi kamu pakai kereta  kelas eksekutif.“ Terang Nina Aku mengangguk setuju.  Setelah semua siap, Nina mengunci kamar kost. Kami berdua lalu beranjak ke luar menuju samping rumah tempat garasi tempat motor anak-anak  kost. Nina mengeluarkan motor sedang aku berdiri di luar pintu. Nina lalu menghidupkan mesin, selanjutnya aku  naik ke boncengan.

Jarak kost dengan stasiun kereta api tidak terlalu jauh, mungkin cuma tiga puluh menit dengan mengendarai motor. Sesampai disana kami memarkir motor dulu, lalu Nina membantuku membawakan tas ke dalam stasiun. Tak kusangka gerbong kereta yang akan membawaku ke Jakarta datang tepat waktu, kami tidak perlu menunggu lama. 

“Makasih ya Nina, sudah mengantarku!” Ucapku seraya merangkulnya sejenak.

“Sama-sama.... Hati-hati ya, nanti kirim sms, kasih kabar ya?” Pinta Nina.

Aku mengangguk, lalu aku beranjak menaiki  tangga kayu masuk ke gerbong. Kucari kursi yang sesuai dengan nomornya. Kumasukkan koper itu dibagasi atas, lalu  kuarahkan wajahku di depan jendela kereta melihat Nina di luar, kulihat ia melambaikan tangan, akupun membalasnya. Setelah dia pergi aku kembali duduk di kursi .

Kulihat tidak begitu banyak penumpang hari ini. Maklum bukan musim liburan ataupun akhir Minggu atau  tanggal merah. Biasanya kalau  pas hari-hari itu, kereta pasti penuh. Aku mau ke Jakarta karena ada panggilan test wawancara kerja.  Aku berencana akan menginap di rumah tante Weni, adik ibu yang tinggal di Jakarta.

Kudengar suara lokomotif yang berbunyi nyaring, lalu derap suara mesin berbunyi mengikuti deru kereta api yang mulai beranjak meninggalkan stasiun. Ada dua kursi di lajurku, tapi kursi di sebelahku kosong, maklum tidak banyak penumpang. Sedang deret kursi diseberang  lorong jalan tampak seorang ibu setengah baya yang juga duduk di samping jendela. Jadinya meski kami ada di satu baris, tapi kami masing-masing berada di sudut. Di gerbong ini mungkin hanya sepertiga nya saja yang terpenuhi dari seluruh kapastias yang ada.

Aku membayangkan rencana esok hari, kata tante Weni, dia akan menjemputku di stasiun Gambir.. Untuk berangkat ke tempat kerja, Anton- sepupuku yang akan mengantarku. Anton ada waktu luang karena tidak ada jam kuliah .

Sesaat kemudian pramugari kereta datang menawarkan  makan malam.

“Sendirian saja mbak?” Sapa sang pramugari ramah.

Aku mengangguk. Aku menolak makanan yang ia tawarkan karena aku sudah makan sebelum berangkat... Kulihat dia beranjak ke penumpang yang lain dan menawarkan  makanan. 

Aku  mengambil novel yang aku bawa dan membacanya. Lumayanlah buat mengisi waktu luang. Aku memang  selalu membawa novel bila aku bepergian, selain tidak terlalu berat untuk membawanya, juga bisa dimanfaatkan untuk  menghabiskan waktu daripada bengong. Kalau Nina sih kurang suka dengan novel, dia lebih suka komik bergambar ala Jepang. Beberapa buku komik bisa dia lahap beberapa saat saja. Sedang aku bisa semingguan untuk bisa menyelesaikan membaca satu buah novel. 

Aku membuka lembar demi lembar novel dan membacanya dengan santai, tak  terasa sudah beberapa bab aku lewati, mata pun lelah tergantikan rasa kantuk yang mulai menyerangku. Suara deru kereta api kudengar semakin melambat dan kemudian menghilang tak terdengar sama sekali.

Entah berapa lama aku tertidur, tapi yang jelas aku seperti melihat seorang gadis seusiaku duduk di sampingku. Lalu seperti tidak sadar aku dan gadis itu berbincang bincang.

“Mau ke Jakarta juga ya?”  Tanyaku kepadanya.

Dia tersenyum dan menoleh ke arahku.” Tidak juga.” Jawabnya pelan.

“Lha... Terus mau kemana?” Tanyaku lagi.

“Nggak kemana mana kok, aku memang tinggal disini!” Jawabnya pendek.

“Tinggal disini? Ah kayak hotel saja.... Ini kan kereta?”  Sergahku tidak percaya.

“Iya aku memang tinggal disini, aku tidak bisa kemana mana....”

Aku tertawa mendengarnya, tapi aku tidak melanjutkan lagi, biar saja dia mau bilang apa, kupikir dia bercanda.

“Aku Tasya.” Aku mengenalkan diri.

“Aku Lina.” Jawabnya sambil menerima uluran tanganku.

“Aku senang ada teman bicara seusia diriku.” Kata Lina tampak gembira, ”Aku kadang merasa sepi disini.” Lanjutnya lagi tampak muram. Aneh, raut mukanya begitu cepat berubah.

“Maukah kamu menemaniku disini?” Tanyanya  mengiba.

“Lha ini sudah aku temani, tapi nanti sesampai stasiun aku Gambir aku harus turun, tanteku sudah menungguku!” Jawabku.

Dia tampak sedih mendengar jawabanku, ujarnya kemudian, “Aku begitu kesepian disini, tidak ada teman.” Dia lalu terpekur menatap ke arah depan.

“Kenapa tidak ada teman?” Aku tiba-tiba juga merasakan kesedihannya.

“Karena mereka tidak pernah lama disini, mereka  selalu datang dan pergi... Begitu seterusnya.”  Lina  memberi alasan yang tidak aku mengerti.

“Kenapa kamu tidak ikutan pergi seperti mereka?”  Tanyaku.

“Aku tidak bisa, setiap kali aku turun mengikuti mereka, langkahku selalu kembali ke gerbong ini!” Ucap Lina menahan sedih.

Kupegang tangannya, lalu kubisikan bahwa meski tidak ada teman tapi Tuhan akan selalu bersama kita. Entah mengapa tiba-tiba Lina pergi meninggalkanku. Dia seperti hilang begitu saja.

Kemudian aku seperti tersadar dari tidurku, kulihat di sampingku tidak ada siapa-siapa, kutengok ke arah depan dan belakang. Situasi gerbong tampak sangat sepi. Hanya saja hidungku mencium bau bauan aneh yang asalnya dari sebelahku, tapi begitu aku tajamkan hidungku untuk mengenali bau apa itu tiba-tiba aroma itu juga menghilang. Aku berdiri dan menengok ke arah para penumpang, sepertinya tidak ada Lina diantara mereka. 

Untuk lebih meyakinkan diri, aku bangkit dari kursi dan melangkah dari arah depan menuju ke belakang  melihat para penumpang, beberapa dari mereka sudah tertidur lelap, beberapa lagi masih terjaga, namun dari baris pertama, kedua, ketiga, sampai dengan baris terakhir tidak ada sosok Lina disitu. Aku kembali ke tempatku semula untuk duduk, tapi ibu yang  duduk sebaris denganku  itu menghampiriku.

“Adik mencari siapa?”  Tanyanya heran.

“Ehh... enggak kok bu!” Aku gelagapan dibuatnya, aku tidak mau menceritakan kejadian tadi, takutnya dianggap mengada-ada. Kalau dinalar mana mungkin seseorang bisa pergi begitu saja di saat kereta sedang berjalan.

“Oh maaf, tapi aku tadi melihat adik ini sedang bercakap cakap sendiri.” Ucap ibu itu dengan mimik serius. Aku jadi tidak enak hati, wah bisa dikira orang gila aku.

“Mungkin tadi lagi mimpi bu, maklum terlalu pulas tidur.” Elakku dengan bercanda.

Kulihat ibu itu tersenyum, lalu katanya, “Aku sering naik kereta ini, paling tidak seminggu sekali. Kejadian yang adik alami tadi bukan sekali dua kali terjadi. Mereka bilang ada sosok gadis seusia adik ini yang mengajaknya berbincang bincang selama dalam perjalanan. Menurut rumor yang ibu dengar, dulu ada  seorang perempuan muda meninggal di kereta ini karena serangan jantung, sejak itu  kejadian-kejadian aneh seperti yang adik alami itu mulai terjadi.”

Aku diam mendengar penjelasan ibu itu, aku tidak bisa berpikir lagi, badanku tiba-tiba kurasakan dingin dan gemetaran. Tampaknya ibu itu melihat perubahan raut mukaku, lalu katanya,

“Tidak usah takut dik, tidak ada apa-apa yang terjadi kok.” Kemudian dia beranjak kembali ke kursinya.


No comments:

Post a Comment

La Planchada