Thursday, October 22, 2020

Pisau Misterius

Agus, Budi dan aku sendiri – Catur, sedang  berjalan melewati pematang sawah menuju sungai.  Kami memang berencana mau mandi bersama disungai. Sungai itu terletak di tengah-tengah area persawahan, laksana kepala manusia, sungai itu seperti garis rambut yang membelah area persawahan. Akhirnya kami sampai juga, sungai itu menjorok kebawah, pohon-pohon besar berdiri di samping sungai, seakan membentuk barisan tentara yang mengiringi alirannya, kalau dilihat dari persawahan tidak tampak adanya sungai karena selain tanah sawah terpaut lebih tinggi, juga pohon-pohon itu menutupi area pinggiran sungai. 

“Wah kayaknya asyik nih...!” Teriak Budi, sambil menuruni  tanah yang menjorok itu. 

“Panas-panas begini asyiknya memang mandi!” Balasku riang. 

“Betul... Betul.... Betul....!” Tambah Agus tak kalah senang.

Sebelum sampai di bibir sungai, kami meletakkan tas sekolah di atas bebatuan yang sekiranya tidak akan  terkena cipratan air bila kami mandi nanti. Selanjutnya kami melepaskan sepatu dan kaos kaki, juga pakaian seragam merah putih kami. Akhirnya cuma  celana dalam saja yang kami pakai. Tentu saja kami membawa bekal celana dalam lainnya sebagai ganti. Kami kan sudah merencanakan kalau akan mandi di sungai, karena sudah ada pemberitahuan sebelumnya kalau hari ini sekolah dipulangkan lebih awal sebab  akan ada rapat guru.

“Wah dingin lho airnya...” Seru Budi gembira. Ia duluan menceburkan badannya ke sungai. Sambil bermain air dia melempar kerikil-kerikil kecil ke arah kami  sebagai  pesan agar segera turun ke sungai. Kamipun segera mengikuti ajakannya.

“Oh iya... Dingin.” Teriakku tak kalah riang, maklum udara hari ini panas sekali. Dari sekolah ke sungai ini kami perlu jalan kaki sekitar satu kilometer. Bisa dibayangkan betapa gerahnya, sinar panas matahari mengiringi langkah kami sampai disini .

“Asyik... Asyik...” Agus menimpali.

Kami bermain-main air di sekitar bibir sungai saja, karena semakin ke tengah pasti semakin dalam. Kami belum begitu mahir berenang, hanya Budi yang pernah ikutan les renang. Saat kami ada acara mandi seperti ini, dia pasti mengajari kami berenang.

“Eh jadi belajar berenang nggak nih teman-teman?” Budi menawarkan diri.

“Boleh... Tapi entar dulu ya? Ini mau mandi dan main air dulu.” Jawabku

“Iya... Badan kita biar adem dulu.”  Agus menambahi.

“Ok lah... Santai saja... Kan waktunya masih panjang.” Ujar Budi. ”Nanti kalau pingin diajari bilang saja ya?” Begitu lanjutnya.

Kamipun asyik bermain main air, setelah puas kami lalu minta Budi mengajari berenang. Katanya cara  kami berenang gaya katak yang dulu pernah kita pelajari dari dia sudah cukup bagus, tinggal latihan  terus saja agar semakin terbiasa. Kamipun lalu berenang gaya katak dengan pengarahan Budi.

“Kira-kira kalian berani nggak berenang sampai tengah?” Tantang Budi kepada kami setelah beberapa saat kami berlatih berenang.

Aku dan Agus saling berpandangan, kalau di sepanjang bibir sungai yang tidak terlalu dalam sih kami berani, tapi kalau ke tengah?

“Ntar kalau nanti arusnya besar gimana? Kan bisa terbawa arus seperti yang ada di berita berita TV itu?”  Tolak Agus dengan memberi alasan itu.

“Mana bisa, ini kan musim kemarau. Lihat saja... Airnya aja surut begini, tidak seperti biasanya kan?” Jawab Budi sambil tangannya menunjuk mengarah ke  tanah pinggiran sungai, memang sih airnya tampak lebih rendah daripada biasanya.

“Tapi terserah kalian sajalah, aku juga takut kalau terjadi sesuatu kan hanya aku yang cukup mahir berenang.” Lanjut Budi tanpa bermaksud menyombongkan diri.

“Aku mau kok belajar berenang sampai ke tengah sungai, tapi sebentar saja.“ Ucapku membesarkan hati Budi. Meski sangat ingin bisa berenang, aku sedikit ragu alias takut juga mau sampai ketengah. Tapi kalau tidak berani mencoba... Tentu tidak akan pernah bisa kan?

Selanjutnya Budi mulai mengajariku, sedang Agus melihat dan mengamatinya dari jauh. Dari bibir sungai menuju ke tengah sungai, aku menggerak gerakkan kaki dan tangan seperti katak, sebentar wajahku  berada di dalam air lalu kusembulkan lagi untuk mengambil udara, begitu seterusnya sampai ke tengah.  Sampai di tengah, Budi mengajariku untuk berdiam di tempat tapi tetap bisa mengambang. Mengikuti arahannya aku pun bisa mengambang. Setelah beberapa saat kami memutuskan kembali ke bibir sungai untuk menemui Agus. Kasihan dia sendirian saja, tadi sempat kutengok dia dari tengah sungai, dia tampak ingin ikutan. Perlahan tapi pasti kami mulai meninggalkan sungai bagian tengah, tapi saat wajahku masuk ke dalam air aku melihat kilau sesuatu karena terkena sinar matahari. 

“Budi, “ Seruku, “ Ada sesuatu di bawah ini.”

“Apa sih? Coba ku lihat!” Budi lalu bergerak lebih dalam menembus air sungai. Aku memutuskan  untuk berenang menuju pinggiran, aku takut kelelahan dan tidak sempat  berpindah ke tempat yang lebih dangkal, kasihan Budi nanti jadi repot.

“Lho Budi mana?” Agus bertanya dengan sedikit cemas karena tidak mendapati Budi di sampingku.

“Dia menyelam ke dalam, tadi aku melihat sesuatu dan Budi mau memeriksanya..” Jawabanku beruntun.

“Aduh..... Tapi kok lama sih!” Nada bicara Agus seperti khawatir. Akupun ikut ikutan cemas. Kalau terjadi apa-apa dengan Budi bagaimana? Ngapain pula aku bilang ada sesuatu didasar sungai.... Aduh aku jadi takut sendiri.

Tapi ketakutan kami terpatahkan begitu melihat Budi muncul di permukaan, dia lalu berenang menuju ke arah kami berdua.

‘Kamu menemukan sesuatu?” Tanyaku tidak sabar.

“Iya, ada barang apa sih?” Tanya Agus penasaran.

“Aku menemukan ini!” Kata Budi sambil mengambil sesuatu dari balik punggungnya. Ternyata  sebuah pisau yang cukup besar menurut ukuran kami, melihat bentuknya mungkin itu pisau daging.

“Hah... Pisau?”  Teriak agus dan aku berbarengan.

“Kok disungai ada pisau?“ Ucap Agus seperti bertanya  kepada dirinya sendiri.

“Pisau siapa ya?  terjatuh apa sengaja dilempar ya?”  Tanyaku menimpali.

Budi mengangkat bahu, tanda dia juga tidak tahu. Untuk sementara  kami mengamati pisau itu dan saling berpandangan. Kita tidak tahu mau diapakan pisau itu.

“Gimana dong enaknya?” Budi bertanya, “Sebentar lagi kan mau pulang? Pisau ini mau diapakan?”

“Kita jual saja!” Usulku spontan. Pikirku kita akan dapat uang dari penjualan pisau ini dan uangnya bisa buat jajan ramai-ramai.

“Tapi dijual kemana? Ntar dikirain menjual hasil curian, bisa berabe kan?” Agus kurang setuju dengan ideku.

“Kalau menurutmu gimana Bud?” Aku berpaling ke arah Budi untuk minta pendapat.

“Aku belum ada ide nih. Mending kamu simpan saja.” Jawab Budi sambil menyerahkan pisau itu kepadaku.

“Kok aku yang mesti menyimpannya?” Elakku pelan, aku juga khawatir membawa barang yang bukan kepunyaan sendiri.

“Kamu kan yang lihat pertama kali, jadi kamu yang berhak!”  Ucap Budi dengan memberi alasan.

“Betul juga, kamu saja.” Agus menimpali.

 “Ntar kita pikirkan lagi mau diapakan dengan pisau ini. Nanti bisa lah gantian menyimpannya kalau memang belum ada ide yang cocok.” Budi menegaskan lagi .

Terpaksalah aku menerima nya, “Tapi beneran ya kita nanti gantian menyimpannya!” Seruku mengingatkan lagi kesepakatan itu.

Budi dan Agus mengangguk, setelah badan kami kering, kami berganti celana  dan kemudian memakai kembali seragam dan sepatu kami.  Aku membungkus pisau itu dengan kertas yang aku sobek dari buku, lalu aku ikat dengan keratan pelepah daun pisang yang pohonnya tumbuh disekitar pinggiran sawah, kemudian memasukkan ke dalam tas disela sela buku. 

Berjalan kaki kami pulang ke rumah dengan menyusuri pematang sawah, kali ini kami saling terdiam karena hati kami tidak karu karuan. Baru pertama kalinya kami mendapatkan benda yang menurut  kami aneh sebab menemukannya di dasar sungai. 

Sampai rumah kuletakkan tasku di atas meja, lalu aku berganti pakaian. Dengan kondisi perut lapar aku segera menuju arah meja makan. Kubuka tudung penutup makanan, kuamati sebentar makanan yang  telah disiapkan oleh Bunda. Ada nasi putih di magic com, semangkok besar sayur asem, ayam goreng beberapa potong, sambal terasi di atas cobek dan kerupuk di dalam toples kaca. Segera aku mengambil piring dan sendok lalu kuambil makanan itu secukupnya. Aku makan dengan lahap.

“Ayo dihabisin, biar cepet gede.“ Bunda meledekku, aku menengok ke arahnya yang ternyata sudah ada di belakangku. Beliau tersenyum melihatku makan dengan lahap, tangannya mengusap usap kepalaku.

“Bunda masuk kamar dulu berganti pakaian, nanti  menyusul kamu makan.” Ucapnya lagi sambil berjalan meninggalkanku. 

Bundaku itu bekerja sebagai seorang guru di sekolah menengah atas. Biasanya jam-jam segini memang sudah pulang. Ketika Bunda kembali ke ruang ini aku sudah selesai makan.

“Bunda, aku ke depan dulu mau nonton film kartun.” Aku pamit ke Bunda. 

“Iya.. Iya...” Jawab Bunda sambil duduk di kursi.

Sampai di kamar tengah, aku menghidupkan TV. Karena film kartunnya belum dimulai aku masuk ke kamarku sebentar mengambil bungkusan pisau itu dan mengamatinya. Aku bingung mau disembuyikan kemana enaknya agar tidak ketahuan. Setelah berpikir beberapa saat aku memutuskan menyimpannya  di kardus tempat aku menyimpan mainan. Aku meletakkannya di bagian paling bawah tertutup mainan-mainan lainnya. Sepertinya Bunda tidak pernah memeriksa kardus ini, asal terlihat rapi Bunda tidak akan hirau, beda dengan almari pakaian dan rak buku, beliau sering memeriksanya. Lalu aku kembali ke ruang tengah untuk meononton TV.

Malam itu aku tidur agak larut, maklum besok  hari libur, jadi aku bisa main game sepuasnya. Ayah dan Bunda selalu memberi kebebasan bila libur sekolah. Kami diperbolehkan tidur larut dan bangun kesiangan. Karena kelelahan, aku ketiduran di kursi di tempat aku main game.

Entah berapa lama aku tidur, yang jelas aku bermimpi  menakutkan. Aku melihat seorang perempuan yang  terluka dan berdarah-darah, dia  melambai lambaikan tangan ke arahku seperti minta pertolongan. Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhku. Aku gemetaran dan takut sekali, aku segera berlari ke arah kamar kak Rudi yang bersebelahan dengan kamarku. Kak Rudi ternyata belum tidur, dia asyik memainkan komputer. Dia memang selalu tidur larut, apalagi bila pas tidak ada jadwal kuliah, wah bisa semalaman. Kadang dia tidur esok pagi sampai menjelang siang, maklum malamnya begadang.

“Kak aku ikut tidur disini ya?” Aku minta ijin kepadanya meski aku langsung saja merebahkan badanku di tempat tidurnya.

Kak Rudi menengok ke arahku sebentar. Mmm... Begitu dia bergumam, lalu dia kembali melanjutkan aktivitasnya.  Aku memang kadang numpang tidur di kamar kak Rudi.

Esok harinya, aku main ke rumah Agus. Kuajak dia main ke rumah Budi  membahas mimpiku semalam.

“Tadi malam aku mimpi menakutkan.....” Aku membuka pembicaraan. 

Kami bertiga duduk di teras depan rumah Budi.  Kemudian aku menceritakan mimpiku itu kepada mereka. Agus dan Budi tampak serius mengikuti ceritaku. 

“Wah, pisau itu pasti pisau setan!” Agus tampak geram tapi juga terlihat kalau dia agak takut.

“Iya, mendingan pisau itu dikembalikan ke asalnya, ke sungai!” Seruku sengit.

“Bukannya dulu kita bermaksud menjualnya  saja?” Di luar dugaan Budi memberi alternatif yang sama sekali berbeda. Bukannya aku lupa dengan usulanku kemarin siang, tapi mengalami mimpi buruk membuatku takut  dengan pisau itu.

“Dijual...?” Aku dan Agus berteriak setengah tidak percaya.

“Mmmhmm..... Iya.” Gumam Budi pendek, tapi kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Kan tiap seminggu sekali ada tukang loak yang berkeliling kampung. Pisau itu kan masih bagus... Lumayan uangnya bisa buat jajan bareng-bareng.” 

Hehe, ternyata ideku dulu sama dengan idenya.

“Bisa juga sih... Tapi aku nggak mau menyimpannya. Kan dulu kita sepakat untuk bergiliran. Apalagi kita tidak tahu kapan kita bertemu tukang loak.” Sergahku memaksa mereka agar berganti menyimpannya.

“Aku tidak mau ah takut...” Kata Agus sambil menggeleng gelengkan kepala. Kulihat Budi terdiam seperti memikirkan sesuatu.

“Bagaimana Bud? Ada ide nggak?” Tanyaku tak sabar.

“Gini aja, pisau itu sementara kita simpan dulu di kebun buah milik eyangku.” Akhirnya Budi memberikan solusi. Eyang Budi memang punya kebun yang cukup luas, aneka pohon buah buahan ditanam di kebun itu, kami suka sekali main kesana bila pas musim buah tiba. Kami bisa pesta rujakan. Ada saung kecil disudut kebun. Kami biasa tiduran disana sehabis makan rujak. Akhirnya kami sepakat menyembunyikan pisau itu di situ. Kami bertiga  lalu berjalan ke rumahku, sampai di kamar aku menarik keluar  kardus mainanku yang aku letakkan di bawah tempat tidur, setelah membongkar sebentar dan mengambil pisau yang masih terbungkus itu kami bertiga lalu berlari kecil menuju rumah eyang Budi. Rumahnya sih masih satu kampung tapi beda pembagian wilayah rukun warga. Eyangnya sedang tiduran di kursi goyang saat kami tiba, akhirnya kami langsung menuju saung yang terletak di halaman belakang.

“Kita sembunyikan disini saja ya?” Tanya Budi mengusulkan. Dia menunjuk  kolong bawah saung.

“Disini? Ya kelihatan dong!” Seru Agus tidak setuju.

“Bukan diletakkan disitu, tapi kita kuburkan  di tanah di bawah saung ini. “ Jawab Budi agak jengkel.

“Oh iya.... Aku setuju, kan tidak ada orang yang  melihat bawah saung.” Aku  menambahkan penjelasan Budi. Kali ini Agus tampak manggut-manggut karena mulai mengerti. Sesaat kemudian kami sibuk membuat lobang di tanah yang ditunjuk oleh Budi. Karena kami masih anak SD dan badan kami masih tergolong kecil, kami tidak kesulitan merambat ke bawah kolong saung. Setelah menaruhnya di atas lobang yang sudah kami buat, selanjutnya kami menutupi dengan tanah dan rerumputan agar tidak kelihatan.

Berhubung tukang loak yang kita harapkan tidak pernah jumpa. Mungkin saja dia datang tapi kita pas pergi main atau sedang sekolah, akhirnya kami mulai melupakan pisau yang kita tanam itu. Apalagi mimpi ku yang dulu tidak pernah hadir lagi. 

Namun suatu ketika, kampungku heboh karena ada kabar ada korban pembunuhan yang  ditemukan  di sungai, pihak  kepolisian berhasil menemukan pembunuhnya. Dia seorang pedagang daging di pasar. Menurut kabar yang beredar, perempuan itu dibunuhnya karena dia gelap mata saat dimintai pertanggung jawaban karena perempuan itu hamil padahal pedagang itu sudah berkeluarga. Dengan pisau dia menghabisinya, lalu membuang mayat beserta pisau itu di sungai, berharap orang akan mengira perempuan itu tenggelam dan tidak  ada yang menemukannya, tapi pisau itu tidak pernah diketemukan meski polisi sudah mencarinya  di sungai yang ditunjukkannya.


No comments:

Post a Comment

La Planchada