Thursday, October 22, 2020

Misteri Samurai Antik

Kuamati samurai itu, “Tidak ada istimewanya, malahan bisa dibilang rongsokan tua, gagangnya memang masih tampak kokoh meski noda kotor melingkupinya, sedang bilah pedang samurai sudah karatan.“

Aku menyesal mengapa membelinya, aku jadi ingat kejadian tadi pagi saat aku sarapan, waktu itu aku menikmati makan pagi di depan kamar hotel, disitu ada satu set meja dan dua kursi yang ditaruh di depan masing-masing kamar. Pelayan hotel biasa menaruh sarapan disitu bila pintu kamar tertutup. Maklum aku menginap di hotel kelas melati, tidak seperti hotel berbintang yang menyediakan fasilitas breakfast di ruangan tertentu dan bisa mengambil sendiri pula. Di tempatku menginap ini aku hanya mendapat sepiring nasi goreng dan satu gelas teh hangat, kadang-kadang nasi goreng diganti setangkup roti bakar. Di saat aku makan itulah  seorang lelaki tua datang menghampiriku. Dia langsung saja duduk di kursi sebelah meja tempat aku makan. Mulanya kupikir dia itu salah seorang penghuni kamar yang lain dan bermaksud mengajak ngobrol tapi dugaanku meleset.

“Menginap disini ya mas, ada urusan bisnis?” Tanyanya membuka pembicaraan.

“Iya, menginap di hotel kecil saja Pak, biar bisa berhemat.” Jawabku  sambil kemudian meminum teh hangat itu karena nasi goreng  yang aku santap juga sudah habis. Lanjutku lagi, “Bapak juga menginap disini? Ada bisnis juga ya?” Aku balik bertanya.

“Ah, enggak kok mas. Aku cuma sering kesini saja, petugas hotel juga sudah hapal semua!” 

Aku manggut-manggut, orang kurang kerjaan nih... Begitu pikirku.

“Mas ada bisnis ya disini?” Tanyanya lagi.

“Oh tidak kok, ini cuma perjalanan tugas kantor saja.” Jawabku.

“Maaf... Perkenalkan saya Mawardi!” Kata bapak itu sambil menyodorkan tangannya, aku segera menyambutnya, “Joko.” Aku menyebutkan namaku.

“Mas Joko kerja di perusahaan apa?” Tanya Pak Mawardi.

“Perusahaan penerbitan, sales buku-buku.” Jelasku pendek, ”Kalau pak Mawardi?” 

“Kerja sendiri mas.......” Jawabnya

“Wah wirausaha dong!”potongku cepat.

Ia tersenyum, “Wirausaha kecil kecilan kok..... Pedagang barang antik.” Lanjutnya

“Wah asyik tuh.... Barang antik! Saya baca di koran barang antik kan mahal harganya.” Ucapku sekenanya karena aku kurang tahu tentang barang antik.

“Mas Joko suka barang antik ya?” Serunya seperti senang.

“Wah..... Suka melihatnya saja, tapi kalau mau membeli kantong tidak bisa dikompromi!” Sergahku .

“Barang antik tidak selamanya mahal kok. Apalagi kalau pemiliknya lagi butuh uang, berapapun juga akan dilego. Contohnya ini nih... ” Tiba-tiba ia mengambil barang bawaannya yang terbungkus kertas koran berlapis lapis. Dibukanya kertas itu satu demi satu, ternyata ia membawa sebuah pedang panjang. “Ini samurai mas.” Lanjutnya. Ia lalu menyodorkannya kepadaku. Kuterima samurai itu dan kuamati sejenak. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan barang itu tapi aku pura-pura terpesona melihatnya. Membuat orang senang apa sih susahnya?

“Ini samurai asli dari Jepang lho...” Pak Mawardi mulai mengeluarkan jurus-jurus rayuannya.

Aku mulai paham, sebagai seorang sales aku sudah terbiasa.... Melakukan itu... Heheheh.

“Asli dari Jepang? Wouww.....” Aku pura-pura terkejut. Batinku berkata siapa pula yang tahu kalau ini asli sana? Banyak kan produk dalam negeri yang mirip dengan aslinya... Alias kw.... Hahahah, tapi tidak enaklah berkata demikian.

“Samurai ini juga sudah kuno..... Pemiliknya mendapat dari orang Jepang langsung!” Lanjut pak Mawardi

“Oh ya..... Bagaimana bisa?” Tanyaku  menyiratkan ketidak percayaanku. 

“Katanya sih saat pendudukan jaman Jepang dulu....” Tanpa kuminta ia mulai bercerita, “Ada orang  Jepang yang dibantai pejuang kita, maklumlah Jepang juga sudah mulai tersudut. Dia dibantai dengan samurai ini. Lalu samurai ini berpindah tangan......”

“Wah berhantu dong...” Potongku semaunya. Namanya juga pedagang, pasti  beriklan yang berbuih buih, mana ada kecap yang tidak nomor satu?

“Katanya sih.....”  Dia mengiyakan ucapakanku.

“Aduh... Maaf pak, aku tuh paling tidak suka dengan hal-hal yang berbau mistik.“ Aku menolak secara halus, aku mengembalikan samurai itu kepadanya. Kulihat sorot matanya yang menyiratkan kekecewaan, meski sekilas, lalu dia mulai nerocos lagi.

“Itu kan kata orang-orang... Tapi selama aku memilikinya gak pernah kok aku dihantui sesuatu!” Kali ini dia berbalik, katanya tadi berhantu eh sekarang malah dia sangkal sendiri.

“Maaf pak, aku tidak mengerti tentang barang antik. Jadi untuk apa aku mempunyai barang yang aku sendiri tidak memahami bahkan tidak suka?” Kali ini aku berkata jujur.

Dia menatapku sebentar, lalu berujar. ” Tapi mas Joko bisa menolongku kan?”

Aku menoleh ke arahnya, nada bicaranya sekarang terdengar menyedihkan.... Wah ada yang nggak beres nih.

“Aku perlu uang mas....”

“Tapi pak, aku tidak tertarik dengan samurai ini. Mungkin pak Mawardi bisa menawarkan  ke penghuni yang lain.” Aku mulai tidak nyaman dengan  kondisi ini.

“Berapa saja mas.... Asal bisa buat ongkos pulang!” Bujuknya lagi memelas.

Aku semakin jengah, aku bermaksud bangkit dari kursi tempat aku duduk dan mau menghentikan pembicaraan kami, tapi mendadak ia menahan tanganku sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya, ternyata ia menunjukkan identitas diri dan photo dia sekeluarga.

“Ini mas tempat asalku, dan ini keluargaku. Tolong mas... Benar saya perlu uang buat pulang.”

Kubaca alamat yang tertera di kartu pengenalnya, ia berasal dari sebuah kota di Jawa tengah. Meski  tadi aku sempat tidak percaya, tapi begitu melihat kartu itu aku jadi goyah, siapa tahu bapak itu memang perlu bantuan? Lagipula aku juga sudah bosan dengan omongannya, kupikir tidak salahnya sedikit membantu juga aku akan segera terbebas dengan bapak itu. Kukeluarkan uang selembar limapuluh ribuan lalu kusodorkan kepadanya.

“Ini pak, cukuplah kalau buat pulang.”

Kulihat bapak itu tampak senang, dia lalu menyerahkan samurai itu kepadaku. Sebetulnya aku bermaksud menolaknya, tapi selanjutnya aku terima saja, tidak ada salahnya juga punya samurai. Buat bahan cerita saja nanti sesampai di rumah.  Setelah menjabat tanganku dengan erat, Pak Mawardi pun pergi. Aku juga akan melanjutkan aktivitasku, setelah aku letakkan samurai itu di dalam almari, aku beringsut pergi meninggalkan hotel untuk melakukan tugas kantor.

Sore hari, sekembali dari aktivitas kerja aku rebahan di tempat tidur untuk istirahat sejenak, tapi kemudian aku teringat samurai yang aku taruh di dalam almari, kuambil dan kuamati. Saat itulah rasa sesalku timbul. “Samurai itu tidak ada  istimewanya, malahan bisa dibilang rongsokan tua, gagangnya memang masih tampak kokoh meski noda kotor melingkupinya, sedang bilah pedang samurai sudah karatan.“ 

Juga setelah kupikir pikir mestinya Pak mawardi itu bisa meminta bantuan kepada para petugas hotel yang katanya sudah banyak yang kenal baik dengannya, kenapa mesti pada diriku yang sama sekali belum dia kenal? Ah aku merasa begitu bodoh. Tapi sudahlah, daripada menyesali diri tidak ada gunanya lebih baik aku  ikhlaskan saja, anggap saja aku sudah membantu orang lain, toh juga cuma selembar uang lima puluh ribuan.

Handphone ku berbunyi. Kulihat nomor yang tertera milik Surya temanku. Surya adalah teman kerjaku, dia juga bekerja sebagai seorang  sales, tapi kali ini dia sedang cuti.

“Malam... Joko!” Suara dari seberang langsung terdengar begitu aku  membuka nya.

“Malam juga Surya! Liburan kemana aja nih?” Tanyaku.

“Hehehehe.” Dia cuma terkekeh, lanjutnya.” Aku sudah di depan hotel lho, kamu menginap di nomor berapa?”

“Haaaahhh? Di depan hotel? Yang benar?” Aku seperti tidak percaya dengan ucapannya...” Eeehh... Nomor  131.” Balasku .

“Aku kesitu ya.... Biar enak ngobrolnya!” Belum sempat aku menjawab dia sudah menutup telpon. Aku segera keluar kamar dan menunggunya di luar. Benar saja, beberapa saat kemudian aku melihat Surya tergopoh gopoh datang ke arahku.

“Hai  Joko...” Sapanya  senang.

“Katanya c-u-t-i...” Ucapku  sambil mengeja kata cuti untuk sekedar meledeknya.

“Iya sih..... Aku memang cuti. Aku sedang liburan ini.“ Jawabnya seraya mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang ternyata minuman kaleng dan makanan kecil. ”Oleh-oleh... Heheheh” 

Kami minum dan makan bersama, asyik juga punya teman kayak Surya.

“Terus kok bisa nyasar ke tempat ku menginap?” Tanyaku lagi.

“Anita –sekretaris kantor– telpon aku menanyakan laporan penjualanku karena aku lupa belum kasih ke dia. Kusuruh dia tanya ke kamu, eh dia bilang kalau kamu ada tugas keluar kota dan menginap di hotel ini.”

“Lha aku kan tidak tahu soal laporan penjualanmu....” Potongku.

“Bukan begitu sobat,“ Serunya sambil menepuk bahuku.” Aku kesini cuma numpang pinjam  laptopmu, aku mau mengirim laporan via email... Sekalian juga aku menginap semalam disini.. Lumayan kan tidak perlu bayar ongkos nginap... Hahahah!”

“Huuu... Dasar kamu tuh.” Ucapku bercanda sambil mengepalkan tinju. 

Dari cerita Surya, aku tahu kalau dia berlibur di kota yang sama dengan aku sekarang aku menginap. Sebenarnya ia mau bermaksud pulang tadi sore tapi karena Anita meminta laporan maka Surya datang ke hotel ini untuk pinjam laptopku, sekalian numpang menginap karena dia akan pulang esok pagi  saja.

Kami lalu masuk hotel, kukeluarkan laptopku dan kutaruh di atas meja agar Surya bisa mengirim email ke kantor.

“Eh apa ini?” Seru nya. Aku menoleh ke arahnya.

“Samurai.” Jawabku pendek.

“Samurai?” Ucapnya sambil mengamati samurai itu, dia seakan tidak percaya dengan yang ia lihat, maklum kami memang tidak tahu tentang hal-hal seperti itu. “Dari mana kamu dapatkan ini?” Tanyanya seraya memain mainkannya laksana ksatria dari Jepang.

“Dari seseorang...” Kataku, akupun lalu menceritakan kejadian tadi pagi saat aku menikmati sarapan.

“Hahahahah” Surya tertawa terbahak-bahak...

“Kenapa tertawa?” Seruku heran.

“Aduh  sobat... Kamu sudah tertipu... Hahahahaha!” Surya tertawa lagi.

“Iya... Iya... Aku tahu! kamu mau meledek aku kan?” Aku agak kesal juga, maklum aku sebenarnya menyesal  telah membeli samurai atau lebih tepatnya terpaksa membeli.

“Yaaa... Niatku bukan membeli kok tapi menolong pak tua itu.” Kilahku membela diri. Meskipun sebenarnya hati kecilku mengatakan kalau aku sudah tertipu.

“Iyalah... Beramal, kehilangan uang tapi  tetap mendapat pahala.” Ledeknya lagi.

Aku tersenyum kecut, “Tuh... Laptopnya sudah siap, kerja sono gih!” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Setelah Surya meletakkan samurai itu di atas kasur dan dia duduk di kursi buat mengerjakan tugas, aku segera membungkus samurai itu dan menyimpannya kembali di dalam almari.

“Aku menghidupkan TV nggak apa-apa kan?” Tanyaku kepada Surya.

“Tentu saja, yang numpang kan aku.... Heheheheh!” Balasnya sambil terus saja matanya menatap layar laptop.

Kucari saluran berita, lalu aku hanyut dengan program acara berita itu, sedang Surya larut dengan kesibukkanya di depan laptop. Tak terasa malam mulai merambat, rasa kantuk juga mulai menyerang.  Kulihat Surya masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Aku tidur duluan ya?” Ucapku sambil merebahkan badan di atas kasur, kuambil guling untuk menutupi kedua mataku. Aku memang tidak bisa tidur  dalam suasana kamar yang terang tapi aku juga mesti  toleransi dengan Surya yang masih berkutat dengan tugasnya. Surya cuma menggumam pendek tanda setuju, karena capek dan mengantuk berat akupun lalu jatuh tertidur pulas.

Dalam tidur aku bermimpi aku menjelma menjadi seorang ksatria dengan samurai di tangan. Aku seperti memakai pakaian ala kesatria Jepang dan bersiap bertempur. Aku melihat seorang musuh di hadapanku, lalu kami bertempur satu lawan satu. Aku tidak tahu senjata apa yang dipakai oleh lawanku, yang pasti aku menggunakan samurai . Pertempuran itu cukup seru, aku seperti mendapat lawan yang seimbang. Tapi mendadak aku terbangun. Ternyata Surya membangunkanku.

“Kamu kenapa?”  Tanyanya dengan cemas.

“Aku? Memang aku kenapa?” Aku balik bertanya,  sengaja aku tidak menceritakan mimpiku tadi... Kan malu... Masak tertipu membeli samurai sampai terbawa mimpi.

Surya bangkit dari tidurnya dan mengambil minuman di atas meja, selanjutnya ia menyodorkan ke arahku.

“Minum dulu... Biar tenang!” Ucapnya. Aku menyambutnya dan segera kuminum air mineral itu.

“Memang aku kenapa, kan aku tadi tidur.”  Elakku.

“Iya kamu tidur, tapi tadi kamu berkelakuan aneh, dalam tidur kamu teriak-teriak dengan bahasa yang tidak aku mengerti, sepertinya sih bahasa Jepang. “

Aku terdiam mendengar penjelasan Surya, “Aku kan tidak bisa berbahasa Jepang!” Sergahku mempertahankan diri.

“Iya... Makanya aku heran, kok kamu mengigau pakai bahasa Jepang... Dalam tidur pula! kamu mimpi apa sih?”  Tanyanya menyelidik.

“Enggak tuh, aku tidak bermimpi apa-apa!” Aku berbohong.

“Mmmh.....” Aku mengeryitkan dahi, lalu aku beranjak dari tidur menuju almari. Kubuka almari itu dan samurai itu kuambil.

“Gara-gara ini apa ya?”  Teriakku sambil membuka bungkusannya.

Tapi mendadak aku dan Surya tercengang, kami melihat bilah pedang samurai itu ada tetesan darah di atasnya. Padahal tadi sama sekali tidak ada, hanya ada karat saja. Namun itu tidak lama karena tetes darah itu tiba-tiba lenyap tak bersisa seakan terserap di bilah pedang itu. Karena takut, tak terasa genggaman tanganku di pegangan samurai itu merenggang, samurai itupun terjatuh di lantai. Bunyi melengking orang kesakitan terdengar sangat pilu.. Kemudian suara itu juga menghilang. Sepi malam kembali hadir. Aku dan Surya terpekur dalam diam. Tidak percaya dengan kejadian yang barusan kami alami.


No comments:

Post a Comment

La Planchada