Setelah beberapa lama aku berjalan menyusuri lorong ini aku akhirnya bertemu seseorang juga, dia seorang perempuan tua yang duduk terpekur di sebuah kursi panjang, dia sendirian saja. Tatapannya kosong seakan tidak ada yang diinginkannya dalam hidup ini. Kuhampiri dia dan aku mencoba untuk berbincang dengannya.
“Maaf bu, sekarang ini kita dimana ya?“ Tanyaku dengan sopan.
Perempuan itu memalingkan muka sejenak ke arahku lalu tersenyum getir, “Aku juga tidak tahu nak, kita sekarang ada dimana ya?”
Aku terdiam mendengar jawabannya, berarti dia seperti aku, tersesat entah dimana.
“Boleh aku duduk disini bu?” Tanyaku lagi. Perempuan itu mengangguk pelan. Setelah itu akupun duduk di sampingnya, senang rasanya ada orang yang bisa diajak bicara.
“Namaku Wati, nama ibu siapa?“ Aku mengenalkan diri seraya menyorongkan tangan ke arahnya bermaksud berjabat tangan. Aneh... Perempuan itu diam saja seperti tidak mendengar ucapanku, matanya terus saja menatap tembok putih di depan kami duduk.
“Bu.... Bu...!” Seruku sambil menyentuh pundaknya dan sedikit menggoyangkannya, tapi ibu itu tidak bergeming. Dia tetap saja diam membisu.
Agak lama kami saling berdiam diri, sampai kemudian ibu itu berdiri dan berjalan ke depan meninggalkanku tanpa berucap sepatah katapun.
“Ibu mau kemana?” Seruku seraya bangkit dari duduk, tapi ibu itu tidak menjawab, dia tetap saja melangkah, seakan aku ini tidak ada. Aku bengong dengan keadaan ini. Kupandang sekeliling, hanya ada tembok berwarna putih dan lorong-lorong yang membelah tembok-tembok itu. Suasana hening begitu mencekam. Rasa takut mulai menyergapku, akupun memutuskan mengikuti langkah ibu itu, siapa tahu nanti ketemu orang-orang yang bisa diajak berbincang.
“Bu.... Ibu mau kemana? Wati ikut ya? Nggak enak rasanya sendirian begini... Hanya ibu yang aku temui....” Aku mencoba terus berbincang kepadanya meski tidak ada respon sama sekali dari ibu itu, dia terus saja berjalan tanpa menghiraukanku. Akupun juga terus saja mengekor langkahnya dari belakang. Namun tiba-tiba dia membelokkan langkah menuju sebuah ruangan yang seakan akan muncul begitu saja dari barisan tembok putih yang memagari lorong ini. Belum sempat aku mengikutinya masuk, pintu itu sudah tertutup, atau memang ibu itu sengaja menutupnya agar aku tetap di luar?
“Ibu... Bolehkan Wati masuk?” Tanyaku dengan sedikit gusar, sudah dicuekin gitu, masih saja dia menutup pintu tepat di depan hidungku. Kutarik-tarik handel pintu itu tapi tidak bisa dibuka, sepertinya terkunci dari dalam. Akupun lalu mengetuk pintunya, tapi tetap saja tidak ada respon. Aku berdiri mematung di depan pintu itu, berharap pintu itu akan terbuka dan ia membiarkanku masuk. Tapi setelah sekian lama berdiri akupun mulai bosan, pikirku lebih baik aku meneruskan langkah mencari bantuan kepada orang–orang yang mungkin nanti aku temui.
Aku bermaksud berbalik, tapi belum sempat kaki ini digerakkan tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari dalam ruang itu, aku merasa ada beberapa orang yang ada disitu, meski suara-suara mereka terdengar samar tapi dari suara yang beraneka macam aku bisa memastikan tidak hanya dua atau tiga orang. Secercah harapan menghampiriku, siapa tahu mereka yang di dalam mendengarnya dan membuka pintu ini. Dengar bersemangat kugedor gedor pintunya, dan kuteriakkan namaku serta permintaanku pada mereka untuk membiarkanku masuk.
“Aduh... Masak mereka tidak mendengarnya sih?” Gerutuku dalam hati, aku terus saja menggedor, tapi setelah sekian lama tidak ada jawaban akupun berhenti, apalagi tidak kudengar lagi suara-suara dari arah kamar itu, suasana sepi kembali mendera. Aneh.... Siapa orang-orang di dalam ruang itu, terus siapa ibu tua tadi?
Akupun kembali meneruskan langkah menyusuri koridor, tapi tidak juga bertemu dengan orang-orang. Keheningan yang mencekam begitu terasa.... Juga tembok putih yang aku lewati selangkah demi selangkah seperti menelanku pelan-pelan. Setelah sekian lama aku berjalan aku merasa sangat lelah, kuputuskan duduk di sebuah kursi panjang yang aku temui, tapi....... Mengapa kursi ini sama persis dengan yang tadi aku duduki? Tak mau pusing memikirnya aku terus saja duduk dan tak seberapa lama akupun tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba aku merasakan ada hembusan angin di wajahku yang membuatku terbangun. Dengan mata yang yang masih terasa lengket aku mencoba membuka kelopak mataku, samar-samar kulihat seseorang ada di hadapanku. Kemudian aku terbelalak begitu tahu kalau orang itu adalah perempuan tua tadi, yang pergi meninggalkanku begitu saja dan tidak memperdulikanku sama sekali. Kuhembuskan napas yang mencerminkan kekesalanku.
“Ada apa bu? Kenapa tadi meninggalkanku?’ tanyaku bersungut sungut.
“Kamu siapa? Apa aku mengenalmu?“ Kata dia balik bertanya, kulihat wajahnya yang terlihat bingung. Dia seperti belum pernah berjumpa denganku.
“Lho.... Ibu itu gimana sih?” Aku mulai kesal“ Tadi kan kita sempat duduk bersama di kursi, lalu tiba-tiba ibu pergi begitu saja, masuk ruangan dan dikunci dari dalam. Ibu membiarkanku seorang diri di luar, padahal aku sudah menggedor pintunya minta dibukakan, kini ibu bilang tidak mengenalku... Gimana sih?” Aku menerocos saja menumpahkan kekesalanku.
Tapi wajah ibu itu tetap menunjukkan ekspresi kebingungan, dia seperti benar-benar tidak mengenalku. Dia lalu memandangku dengan penuh tanda tanya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Tangannya menyentuh dahinya.
“Ah.... Kenapa semua jadi aneh begini?” Ucap ibu itu dengan suara tertahan. Dan tiba-tiba ibu itu berbalik langkah dan pergi meninggalkanku. Kali ini aku tidak mengikuti langkahnya, kubiarkan saja dia pergi menjauh dariku. Aku sudah tidak perduli. Meski sebenarnya aku juga merasa ganjil dengan keadaan ini, tapi aku sudah kesal dengannya. Makanya aku tidak mengekor lagi, daripada nanti malah sakit hati karena tidak dipedulikan dan dianggap tidak ada. Ya sudahlah daripada sewot sendiri mending aku melanjutkan tidurku yang tadi terpotong dengan kehadiran ibu itu. Apalagi rasa lelah juga masih terasa. Akupun kembali tidur dengan posisi duduk karena kalau mau tidur dalam keadaan membujur kursi itu tidak cukup. Kursi itu hanya cukup untuk dua orang dewasa saja.
Aku tidak tahu berapa lama aku tidur, namun begitu aku bangun aku merasakan hal yang aneh lagi, kulihat di sampingku duduk ibu tua tadi, dia diam dengan tatapan kosong, dia menatap tembok di depan kursi kami, dia tidak menatapku sama sekali.
“Kenapa dengan ibu yang satu ini ya? Seperti cuek kepadaku tapi kok selalu ada di sampingku? Pergi lalu datang lagi....!” Aku bertanya tanya dalam hati. Cukup lama kami saling berdiam diri, tapi kemudian aku memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu, yah anggap saja aku yang lebih muda ini mesti menghormati orang yang lebih tua. Tapi kali ini aku sudah bersiap untuk tidak kecewa lagi alias seandainya ibu nanti tidak hirau padaku aku mesti siap mental.
“Sudah lama ibu duduk disini? Maaf bu tadi aku tertidur!” Sapaku memulai pembicaraan.
Di luar dugaan ibu itu memalingkan muka ke arahku lalu tersenyum.
“Ya sudah lama.... Lamaaa sekaliiii!” Jawabnya dengan suara yang tenang tapi mebuatku terkejut.
“Lama?” Aku seperti tidak percaya, bukankah tadi kami sempat berjumpa dua kali? Pertama dia meninggalkanku dan aku ikuti. Lalu kemudian dia pergi lagi tapi aku tidak lagi mengekornya. Dalam sehari sudah jumpa dua kali masak dibilang lamaaa sekaliiii.
“Emang berapa lama sih bu, kita duduk di kursi ini?” Tanyaku memancing, aku ingin tahu lebih banyak tentang ibu yang aneh itu, mungkin dia sedang sakit atau apalah sehingga dia kurang hirau dengan semuanya. Tapi ibu itu diam saja.
“Kenapa bu? Apa ada yang menyinggung perasaan ibu? Maaf deh kalau begitu!” Kataku sambil mengalihkan pandangan ke depan, yaitu ke tembok berwarna putih itu. Aku tidak ingin merusak suasana, meski ibu itu ganjil aku merasa lebih tenang ada seseorang yang menemaniku, walaupun terasa asing satu sama lain, juga pembicaraan ini tidak pernah nyambung tapi cukuplah membuatku sedikit nyaman. Paling tidak aku tidak sendirian lagi.
“Nak Wati...” Tiba-tiba ibu itu memanggil namaku.
Aku kaget dan menoleh ke arahnya, beneran nih dia menyebut namaku? Percaya nggak percaya aja, karena dia sebelumnya pernah bilang tidak mengenalku kok sekarang menyebut namaku? Aneh ini orang! jangan-jangan dia lagi depresi apa ya?
“Ya bu... Maaf Wati mesti memanggil nama ibu siapa ya?” Tanyaku berharap ibu itu mau menyebutkan namanya.
“Oh... Sumarsih, tapi cukup dipanggil ibu Arsih!” Jawabnya dengan ramah.
Aku hampir tidak percaya bahwa ibu itu berubah begitu cepat, sekarang ibu itu maksudku bu Arsih begitu ramah dan bersahabat. Senang rasanya ada teman berbicara.
“Bu Arsih sudah berapa lama kita disini? Kok tadi ibu bilang sudah lamaaa sekaliiii?” Tanyaku memancingnya, aku harap dia bisa memberi penjelasan mengenai tempat ini dan keberadaan kami disini. Aku benar-benar heran dan bingung dengan tempat ini, seperti sebuah labirin yang tiada berujung. Lorong-lorong yang tadi kulewati seperti tidak ada putusnya, dan tembok-tembok warna putih itu membuatku sesak ditambah kesunyian dan keheningan yang melingkupinya membuat suasana ganjil begitu terasa. Tidak ada yang aku temui kecuali ibu itu, mengapa hanya ada kami berdua? Lalu bagaimana dengan suara –suara orang-orang yang aku dengar tadi? Benarkah yang aku dengar? Atau cuma ilusi semata? Mengapa ibu itu kembali kesini? Sendirian pula? Berjuta pertanyaan memenuhi kepalaku, sungguh aku ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi.
Kulihat ibu itu menghela napas panjang, dia lalu menggeleng gelengkan kepala.
“Aku juga bingung nak Wati…. Waktu bertemu dengan kamu, aku seperti tidak yakin. Aku takut itu tidak nyata, hanya bayangan saja. Sudah beberapa kali aku bertemu orang-orang… Tapi…” Bu Arsih tidak melanjutkan ucapannya. Aku semakin penasaran dibuatnya.
“Ketemu orang-orang? Siapa mereka bu? Kok aku hanya ketemu ibu saja? Memangnya ada apa?” Tanyaku beruntun.
Bu Arsih memandangku dengan sedih, katanya lagi, “Aku lupa nak Wati, mereka datang silih berganti, datang dan lalu pergi meninggalkanku sendirian disini.”
Aku tercenung mendengar penjelasan bu Arsih, seakan tidak percaya atau malah mungkin curiga? Bagaimana mungkin orang-orang bisa datang dan pergi begitu saja tanpa jejak. Kalau menilik tempat seperti ini, pastilah sebuah gedung yang besar, yang pembangunannya tidak main-main karena menelan biaya yang sangat banyak. Tapi... Kenapa pula bangunan itu tidak ada aktivitas sama sekali? Percuma saja kan membangun gedung yang demikian besar tapi tidak digunakan.
“Maaf bu…. Tapi di perjumpaan pertama aku mengikuti bu Arsih yang masuk sebuah ruangan. Aku mendengar ada suara-suara disitu. Mereka siapa bu?” aku mencoba mengingatkan ibu Arsih.
Kembali bu Arsih menghela napas panjang, lalu lanjutnya “Aku tidak tahu nak, aku merasa ada suara-suara yang memanggil namaku dan seperti sudah terbiasa di telinga, tapi mereka tidak pernah ada. Aku mencoba mencari arah suara-suara itu, tapi seperti orang-orang itu, suara-suara itu juga datang dan pergi begitu saja.”
Aku terdiam mendengar penjelasannya, tiba-tiba aku merasa sangat takut. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa hal ini menimpa kami?
“Tapi mengapa ibu mengunci pintu kamar itu? Kalau saja aku bisa masuk tentu aku akan membantu Bu Arsih mencari arah suara-suara itu, siapa tahu kalau.....” Belum selesai aku berkata, bu Arsih memotongnya.
“Mengunci pintu? Aku tidak pernah mengunci pintu. Memangnya kamar itu ada dimana?” Serunya dengan wajah keheranan.
Aku semakin bingung dengan sikapnya, ini beneran atau cuma mengada–ada saja? Jelas-jelas tadi aku mengikuti dia, mengajaknya berbincang dan menggedor pintu berulang kali. Kalau tidak terkunci bagaimana aku tidak bisa membukanya? Tapi sudahlah aku tidak mau berdebat dengannya, mungkin lebih baik aku ikuti semua ucapannya, mencerna nya dengan baik dan memilah-milah mana yang mungkin benar.
“Maaf bu, mungkin tadi Wati keliru.” Kataku berusaha membuat suasana menjadi netral, aku tak ingin ibu itu berpikir yang tidak-tidak mengenai diriku, meskipun hati kecilku mengatakan aku mesti waspada terhadapnya.
“Bu...” Aku ingin mengutarakan sesuatu kepadanya, namun tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang sepertinya aku kenal, meski samar-samar.
“Ibu dengar suara-suara?” Tanyaku sambil menajamkan telinga.
“Tidak.... Kenapa?” Tanyanya dengan keheranan.
Aku semakin menajamkan lagi, yaaa aku dengar suara-suara itu. Aku seperti tersihir untuk mengikuti arah suara itu. Aku bangkit dari kursi tempat kami duduk lalu berjalan mengikuti nya, aku seperti ditarik tarik sesuatu untuk terus mengikutinya. Aku menjadi tidak hirau dengan bu Arsih, memang aku mendengar bu Arsih memanggil namaku tapi entahlah aku seperti terfokus dengan suara itu.
Beberapa saat kemudian kutemukan sebuah kamar dengan pintu yang terbuka, aku segera memasukinya, namun tiba-tiba ada cahaya terang yang menyilaukan mata begitu saja hadir di hadapanku, aku tidak kuat dengan silaunya…. Aku menutup mataku. Namun saat aku membuka mataku kembali meski begitu berat dan sangat sulit, aku melihat kalau aku ada di sebuah ruangan yang serba putih, tapi tidak begitu jelas, hanya semacam bayang bayang.
Entah berapa lama, suatu ketika aku akhirnya bisa melihat sekeliling dengan lumayan jelas. Ternyata aku terbaring di rumah sakit. Ada ayah dan ibu yang menungguiku.
“Wati…. Wati…. Pak… pak lihat! Wati sudah bangun!” Ibu berteriak dengan girang, dia mengusap pipiku. Kupandangi wajah kedua orang tuaku, mereka tampak sangat senang. Ingin rasanya aku berbicara tapi mulut ini tidak bisa digerakkan. Beberapa saat kemudian kulihat dokter dan perawat datang memeriksaku.
Selang beberapa hari aku sudah bisa menggerakkan anggota badanku seperti tangan dan kaki, akupun juga sudah bisa berbicara. Dari penjelasan orang tuaku ternyata aku mengalami kecelakaan. Motorku rusak berat ditabrak bus yang melaju dengan kencang. Aku tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Tapi syukurlah aku sekarang sudah siuman dan kesehatan juga membaik. Kata ibu besok sudah bisa kembali ke rumah, tentu saja masih perlu menjalani perawatan jalan dan kontrol-kontrol.
Hari yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Aku sudah diperbolehkan pulang. Aku duduk di kursi roda, ayah mendorong kursi itu, ibu berdiri di samping ayah, sedang kakak-kakakku membantu membawakan tas-tas besar dan berat berisi perlengkapan selama mereka menungguiku di rumah sakit.
Kami berhenti sejenak sebelum meninggalkan kamar ini. Kulihat ayah dan ibu berjalan menemui orang-orang yang menunggui seorang pasien. Aku menyadari di kamar ini ada dua orang pasien, tapi aku tidak tahu sama sekali karena ada tirai pembatas agar ada privasi untuk masing-masing pasien. Juga saat aku ada di rumah sakit aku tidak bisa meninggalkan tempat tidur.
Sesaat kemudian ayah ibu berjalan kembali ke arah ku dengan diantar orang-orang yang tadi ditemuinya.
“Sudah sembuh ya mbak? Syukurlah!” Ucap seorang perempuan setengah baya sambil menepuk pelan bahuku. Aku tercengang melihatnya, wajah itu seperti mirip dengan wajah yang aku impikan dalam tidurku. Hanya saja wajah ini terlihat lebih muda.
“Terima kasih, memangnya siapa yang sakit?” Tanyaku kepadanya.
“Ibuku, beliau koma cukup lama. Sudahlah, tolong doanya saja agar segera bisa pulih dan segera pulang seperti mbak ya?” Pintanya dengan sedih.
Aku mengangguk pelan.” Bolehkah aku melihat nya?” Tanyaku lagi meminta ijin.
Dia mengangguk, lalu ayah mendorong kursi rodaku menuju pasien yang berbagi ruang denganku. Begitu aku melihat perempuan tua itu aku terkejut setengah mati, dia adalah bu Arsih.... Ibu yang hadir di saat aku mengalami koma. Kulihat ibu itu kurus kering, matanya terpejam. Aku tak kuasa menahan tangis, seperti baru kemaren aku berjumpa dengannya, ternyata kondisinya jauh lebih buruk dari pada aku.
Ayah segera mendorong kursi menjauhi tempat tidur bu Arsih, mungkin orang tuaku takut melihatku menangis, mungkin mereka mengira mentalku belum stabil. Setelah berpamitan kami lalu keluar ruangan. Kulihat papan di samping pintu, ada dua nama tertera disitu : INDRAWATI dan satunya lagi SUMARSIH. Aku berdoa dalam hati semoga bu Arsih segera sembuh.
No comments:
Post a Comment