Wednesday, October 21, 2020

Hantu Rumah Sakit

 

Baru saja aku menerima telpon dari kak Tari yang mengabarkan bahwa ibu masuk rumah sakit dan harus opname karena sakit tekanan darah tinggi, kak Tari memintaku bisa pulang nanti sore karena akan ada rapat keluarga. Aku menyanggupinya karena meski aku tinggal di luar kota, tapi jarak kostku dan rumah orang tuaku di kampung cuma perlu sekitar dua jam bila naik sepeda motor. Katanya semua akan datang dan berkumpul di rumah selepas maghrib, kecuali kak Wanda yang bekerja di luar pulau, ia jelas tidak bisa pulang. Santi, adikku terkecil yang juga kost di luar kota karena kuliah disana juga akan datang.

Hari itu aku ijin setengah hari kerja, setelah melapor ke bagian HRD aku keluar menuju ruang parkir sepeda motor, aku memang akan langsung pulang mudik, beberapa pakaian sudah aku siapkan dan aku masukkan ke dalam tas besar yang sekarang ini aku bawa serta. Setelah memakai jaket, kaos tangan dan helm akupun keluar area parkir.

Cuaca sangat panas saat itu, sinar matahari seakan dimuntahkan, sehingga baju dan jaketku basah karena keringat, tapi karena  sepeda motor melaju cukup kencang, hembusan angin pun begitu terasa, sehingga rasa panas tersapu oleh angin meski tetap saja membuatku berkeringat.

Jam dua siang lebih sedikit aku sampai di rumah yang tampak sangat sepi. Aku memarkir motor di depan halaman yang luas ini. Lalu aku mengetuk pintu depan, tapi tidak ada jawaban. Akupun lalu menelpon kak Tari.

“Hallo kak Tari...!” Sapaku .

“ Oh... Endah ya!” Serunya.

“Iya kak, ini aku sudah ada di rumah... Kok sepi sih. Mbok Darmi mana ya?” Tanyaku kepadanya. 

“Oh, mbok Darmi ada di rumah sakit menjaga ibu. Aku hanya bisa menjaga di sore dan malam hari!” Lanjut kak Tari.”  Tapi kamu bawa kunci sendiri kan?”

“Yoi, aku bawa kok. Ya sudah... Kakak masih bekerja kan? Aku tunggu di rumah saja ya!”

Kami lalu berhenti bertelepon. Aku ambil kunci di dalam tasku lalu aku membuka pintu depan, setelah aku masuk, pintu itu aku kunci kembali, maklum hanya ada aku seorang di rumah itu.  Kutaruh tas besar yang berisi pakaian itu di dalam kamar tempat aku dan Santi berbagi. Dulu saat aku masih sekolah kamar ini untuk aku dan Santi. Sekarang setelah kami berpisah dan kost di kota yang berbeda, kamar itu tetap untuk kami, kata Ibu biar kalau pada mudik tidak repot memilah milah kamar lagi. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur, rasa penat setelah mengendarai motor membuatku terasa nyaman untuk tiduran.

Di rumah ini hanya tinggal tiga orang perempuan yaitu Ibu, kak Tari dan mbok Darmi. Ibu punya  empat orang anak yang semuanya perempuan. Yang tertua -kak Wanda– dia sudah bekerja dan berkeluarga, dia tinggal bersama suami dan dua anaknya di luar pulau tepatnya di kota Samarinda. Kemudian kak Tari, dia kerja di sebuah perusahaan penerbitan di kota kami. Dia belum berkeluarga jadi dia tetap tinggal di rumah sekalian menemani ibu. Selanjutnya aku sendiri – Endah – juga belum menikah. 

Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta dan terpaksa kost karena jarak dari rumah menuju kantor lumayan jauh, dulu sih pernah aku mencoba untuk melajo, tapi ternyata fisikku tidak kuat. Aku jadi sering sakit karena kelelahan. Meski demikian, aku selalu menyempatkan pulang ke rumah setiap satu atau dua minggu sekali. Kalau libur tanggal merah dan tidak ada acara aku juga pasti mudik. Selanjutnya yang terkecil Santi. Dia juga terpaksa kost karena kuliah di lain kota.

Sebenarnya aku mau tidur tapi aku mendengar suara ketukan pintu di depan, aku beranjak menuju kesana. Setelah kubuka ternyata Santi adikku sudah datang. “Loh Santi nggak kuliah?” Tanyaku begitu aku berhadapan muka dengannya.

“Enggak kak, jam kuliah sudah habis dan aku langsung mudik. Lagipula besok kosong tidak ada jadwal kuliah, makanya aku pulang saja!”  Terang Santi seraya melangkahkan kaki ke dalam. Aku mengikutinya. Di dalam kamar, Santi meletakkan tasnya kemudian duduk di kursi.

“Busnya penuh ya?” Tanyaku, kulihat dia tampak lelah.

“Tidak juga sih, tadi juga dapat tempat duduk kok. Tapi itu lho panasnya... Ampun deh!” Jawabnya sambil geleng-geleng kepala.

“Iya memang panas sekali.” Lanjutku, ”Kita ke kamar makan saja yuk, siapa tahu ada makanan, juga sekalian minum... Haus nih!” 

Santi mengangguk menerima ajakanku. Kami lalu pindah ke kamar makan, kubuka almari es dan kuambil botol yang berisi air putih. Santi membuka almari makan mencoba mencari cari siapa tahu ada makanan, tapi kayaknya tidak ada. Setelah kutuang di dua buah gelas aku memberikan satu ke Santi, kami lalu minum bersama.

“Oh ya kak Tari bilang mau ada rapat keluarga nanti malam.” Ucap Santi sesaat setelah meneguk air itu.

“Iya nanti setelah maghrib.” Jawabku, ”Aku juga belum tahu agendanya sih. Tapi pasti soal giliran jaga dan dana!”

“Mm... Kalau soal giliran jaga sih bisa diatur, tapi soal dana.... Yaaaa tahu sendiri kan?” Celetuk Santi.

“Iya aku ngerti, kamu kan belum bekerja.” 

Setelah berbincang sebentar kami memutuskan istirahat dulu karena kami berdua sama sama lelah. Toh kak Tari pulangnya juga sekitar jam lima sore.

Seperti yang kami sepakati sebelumnya, setelah sholat maghrib kami bertiga berkumpul di ruang depan sekalian menunggu  Mang Sardi yang biasa jualan nasi goreng lewat depan rumah. Lebih baik kami jajan saja karena semua kelelahan dan mbok Darmi juga lagi menunggu di rumah sakit.

“Aku sudah telpon kak Wanda, jelas dia tidak bisa langsung datang. Katanya dia mesti cuti ijin dulu. Tapi aku sudah bilang kedia tidak perlu terburu karena kami adik adiknya dan mbok Darmi siap menjaga ibu, hanya aku minta tolong dia bisa menstransfer dulu sejumlah dana untuk persiapan biaya yang dibutuhkan.” Kak Tari membuka pembicaraan.

“Terus aku mesti menyumbang dana berapa?” Tanyaku.

“Bebas saja, semampunya. Nanti setelah terkumpul akan aku catat, jadi bisa ditelusur. Ntar nanti kalau ada kekurangan atau perlu biaya lagi kita bisa saling telepon. Tidak perlu lah terlalu ketat soal iuran dana.” Jawab kak Tari.

“Terus untuk giliran jaga bagaimana? Aku kan cuma bisa ikutan jaga?” Sela Santi.

“Dibikin santai saja, siapa yang ada waktu luang  bisalah menjaga. Mbok Darmi bilang siap menjaga ibu kok.......”

“Tapi kan mbok Darmi juga perlu istirahat.” Potongku.

“Iya pasti, makanya hari ini kita bikin jadwal giliran jaga, kan kalian yang paling tahu kapan waktu luang kalian. Kalau aku kan sudah pasti hanya bisa sore dan malam hari kecuali Minggu bisa non stop.”  Terang kak Tari sambil mengambil kertas dan pena.

Setelah berdiskusi, kak Tari menuliskan jadwal jaga. Malam ini jadwalku menjaga ibu, sebenarnya Santi juga mau ikutan menjaga. Tapi pikirku lebih baik tidak usah karena dia bisa melakukannya esok pagi buat menggantikanku, karena aku akan langsung berangkat kerja. Aku meminta dia mengantarku ke rumah sakit dengan mengendarai motor, jadi dia dan mbok Darmi bisa pulang sama-sama. Besok pagi-pagi sekali  dia bisa datang sehingga aku ada cukup waktu dan tidak terlambat masuk kerja.

Sesampai di rumah sakit, aku dan Santi segera menuju ruang inap ibu. Menurut cerita kak Tari, ruangan kelas satu dan kelas dua penuh semua, jadi terpaksa ibu ditempatkan di ruang kelas ekonomi. Nanti kalau kelas satu ada yang kosong, bisalah ibu pindah ruang. Kak Tari sudah antri pendaftaran pindah ruang. Iyalah kalau ada dana tentu lebih baik menginap di ruang kelas satu, jadi  nyaman buat si sakit dan juga buat yang menjaga. 

Sampai di bangsal melati aku dan Santi mencari nomor urutan tempat dimana ibu opname. Kulihat mbok Darmi terkantuk kantuk di kursi  di samping tempat tidur, sedang ibu tampak terlelap tidur.

“Mbok.” Sapaku sambil menggoyangkan bahunya.

“Eh nak Endah dan nak Santi!” Seru mbok Darmi.

“Mbok Darmi sekarang pulang dulu aja bersama Santi, biar aku yang gantian menjaganya. Besok Pagi Santi akan datang kesini menggantikanku. Mbok Darmi istirahat dulu di rumah!” 

Mbok Darmi mengangguk angguk, dia kelihatan sangat lelah. Agak lama kami bersama sama menunggu ibu sambil berbincang bincang, berharap ibu bangun dan turut bercerita. Tapi setelah sampai jam besuk habis dan ibu masih terlelap akhirnya mbok Darmi dan Santi memutuskan pulang duluan. Sebelumnya mbok Darmi memberiku penjelasan mengenai segala sesuatunya.

Setelah mereka pulang, aku duduk di kursi yang tadi diduduki mbok Darmi. Kulihat sekeliling, wah bangsal kelas ekonomi memang tidak nyaman. Berderet tempat tidur pasien dengan masing-masing satu kursi buat para penjaga.  Bangsal ini penuh, tidak ada tempat tidur yang kosong. Para penjaga pasien terpaksa membawa tikar sendiri untuk tempat tidur mereka. 

Udara yang pengap karena jendela-jendela ditutup karna sudah malam membuatku agak kesulitan bernapas, bukan apa-apa aku memang tidak kuat bila berada di tempat yang kurasa pengap. Kebetulan tempat tidur ibu terletak di paling ujung ruang  sehingga agak dekat dengan pintu keluar dan ruang jaga perawat. Jadi masih lumayanlah.

“Gantian jaga ya?” Tanya seorang perempuan setengah baya yang menunggui pasien di sebelah ibu.

“Iya, ini ibu saya yang sakit, tekanan darah tinggi.” Jawabku, ”Kalau Ibu......”

“Oh, namaku Yati.” Potong ibu itu memperkenalkan diri.

“Aku Endah.” Ucapku sambil menyorongkan tangan ke arah dia, kami lalu berjabat tangan.

“Yang sakit siapa bu Yati?” Aku balik bertanya, “Sakit apa?” Lanjutku lagi.

“Wah gak beda jauh, ibu kita sama-sama masuk rumah sakit.  Tapi  Ibu  saya sakit  radang pernapasan.”

“Mau sakit apa saja namanya juga tetap sakit, tidak enak!” Timpalku. Kulihat dia tersenyum mendengar ucapanku.

“Apalagi buat si “Kantong” Lebih tidak enak lagi, uang seperti tidak ada nilainya.” Balasnya.

“Makanya ada pepatah : orang miskin dilarang sakit.” Aku menambahkan.

“Yaaa, tapi mau bagaimana lagi. Kita kan tidak pernah tahu kalau akan sakit, pinginnya ya sehat terus. Namun mau apa lagi, tetap harus dihadapi kan!” Kata  bu Yati bijak. Aku mengangguk setuju.

“Kalau malam para penjaga tidur disini ya?”  Tanyaku  sambil mataku celingak celinguk melihat sekeliling. Kulihat beberapa penjaga tidur di tikar yang mereka bawa sendiri. Mereka menggelar tikarnya di lantai di samping masing-masing ranjang pasien yang mereka jaga.

“Kebanyakan sih begitu, tapi sebagian lagi lebih memilih tidur di luar. Maklum disini ruangannya terasa pengap.  Maklum saja satu bangsal berisi banyak orang, jendela juga mesti ditutup karena sudah malam. Di luar ruang di sepanjang koridor  ada bangku-bangku yang ditempatkan di dekat taman, biasanya mereka tidur disitu. Dingin sih kalau malam hari karena berada di ruang terbuka.” Bu Yati menjelaskan kepadaku.

Aku manggut-manggut, kualihkan pandanganku ke arah ibuku yang tertidur pulas. Mungkin pengaruh obat-obatan yang diminumnya sehingga beliau tidur dengan nyenyaknya. Sebenarnya aku ingin tidur di luar saja, karena disini pengap. Tapi nanti bagaimana dengan ibu bila beliau tiba-tiba terbangun dan membutuhkan sesuatu?

“Mbak Endah mau tidur di luar ya?” Tiba-tiba bu Yati bertanya kepadaku, aku gelagapan dibuatnya, mungkinkah dia tahu apa yang kurasakan?

“Iya sih.... Tapi gimana ya...” Aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikannya.

“Ah itu sih mudah saja. Mbak Endah bisa kok tidur di luar, nanti kalau ada apa-apa aku hubungi. Ada handphone kan?”  Tanyanya lagi seakan tahu jalan pikiranku.

“Mmhmmm..... Beneran nih bu, tidak apa-apa? Tidak merepotkan ibu? Kan ibu juga perlu istirahat.” 

Bu Yati tersenyum, “Wah mana bisa tidur nyenyak disini... Makanya aku selalu tidur siang bila mesti berjaga di malam hari.”

Akhirnya kami bertukar nomor handphone. Bu Yati akan sms atau miscall aku bila ada apa-apa dengan ibuku. Aku membawa jaket dan bantal kecil. Setelah berpamitan, aku keluar dari bangsal ini. Keluar dari pintu utama bangsal aku bisa melihat koridor memanjang di sisi kiri, kanan, dan depan. Di setiap sisi masing-masing koridor yang beratap itu terdapat taman terbuka. Kususuri koridor ini untuk mencari bangku yang kosong. Sambil berjalan kuhirup udara malam yang begitu segar. Saat kuhirup udaranya yang sejuk, dadaku terasa lapang. 

Setelah beberapa saat aku berkeliling, akhirnya aku menemukan bangku kosong juga. Sebenarnya ada beberapa bangku yang ada di dekat bangsal ibuku sakit, tapi bangku-bangku itu sudah terisi. Ternyata beberapa orang lebih memilih tidur di luar, termasuk diriku.

Kuusap perlahan kayu bangku itu, kayaknya bersih. Jadi aku tidak perlu mengelapnya. Setelah menempatkan bantal kecil di atasnya akupun lalu merebahkan diri. Kepala aku taruh di atas bantal, lalu aku ambil saputangan di saku celana panjangku buat menutup wajah. Handphone dan dompet kecil aku taruh disaku jaket bagian dalam. Jadi nanti kalau ada sms atau telpon masuk bisa segera aku ambil. Karena lelah, dan ditambah hawa dingin dan suasana yang lengang membuatku jatuh tertidur.

Entah jam berapa, tiba-tiba angin dingin berhembus di mukaku, aku terbangun dari tidur. Kusadari ternyata sapu tangan penutup wajahku sudah terjatuh di lantai. Dengan mata yang masih terasa berat, aku bangkit dari tidur bermaksud mengambil sapu tangan itu. Namun saat aku membungkuk, mataku melihat di samping sapu tangan itu ada sepasang kaki. Secara refleks kepalaku mendongak ke atas. Aku melihat seorang perempuan  berdiri membelakangiku. 

“Malam bu...” Sapaku kepadanya, bukan apa apa, cuma sebatas basa - basi saja. Tapi perempuan itu diam saja. Jangan-jangan dia mau ikutan duduk di bangku nih... Begitu pikirku. Wah gimana dong... Aku jadi tidak ada tempat buat tidur.

“Ibu mau duduk ya?”  tanyaku sambil berharap dia bilang tidak... Heheheh

Lagi-lagi perempuan itu diam dan tetap berdiri mematung.

Setelah mengambil sapu tangan, aku bermaksud memutar agar bisa bertatap muka dengannya, kan tidak sopan berbicara di belakang punggung seseorang. Namun belum sempat aku melangkah, perempuan itu tiba-tiba berjalan meninggalkanku. Yah, dia langsung ngeloyor pergi tanpa berucap sepatah katapun. Percuma tadi aku mengajak nya berbincang. Tapi tak apalah daripada dia nanti bilang mau numpang duduk, repotlah aku.

Dari tempatku duduk kupandangi punggung sosok perempuan itu yang berjalan perlahan menjauhiku, eh baru beberapa meter  dia menghentikan langkahnya. Dia tahu apa ya kalau aku melihatnya? Hehehehe..... Aku tertawa dalam hati. Sesaat dia berdiri mematung, aku juga diam saja sambil terus menatapnya. Namun tiba-tiba perempuan itu  menoleh ke arahku.... Dan aku benar benar terkejut dibuatnya.  Meski pendar sinar lampu di sepanjang koridor ini tidak begitu terang  tapi aku masih bisa melihat dengan jelas, wajah perempuan itu rusak berat, darah bercucuran membasahi  mukanya. Aku merasakan badanku gemetar, jantungku berdegup kencang. Namun selang beberapa detik sosok itu menghilang. Segera kusambar bantal kecilku dan aku langsung berlari menuju bangsal. Lebih baik aku tidur di dalam sajalah daripada ketakutan begini. Hiiiii........


No comments:

Post a Comment

La Planchada