(Gambar hanya ilustrasi, bukan lokasi sebenarnya)
Aku bertemu anak itu tanpa sengaja, di suatu malam saat aku pulang terlambat karena ada lembur di kantor. Saat aku membuka pagar depan dan mau memasukkan motor aku melihat seorang anak kecil yang berdiri menatap diriku dari arah pagar samping yang berdampingan dengan sebuah lahan kosong. Sebenarnya aku tidak terlalu hirau dengan anak itu, hanya saja ketika aku merasa ia seperti mengawasiku dari ketika masuk pagar sampai membuka pintu rumah aku jadi ingin menemuinya.
“Sudah malam kok masih main sayang!” Sapaku mendekatinya. Dia tersipu malu khas anak kecil yang lugu dikasih permen.
“Nanti mama bingung lho kalau adik nggak ada di rumah!” Ucapku sambil mengamati anak ini. Usianya mungkin sekitar empat tahun, wajahnya imut dan manis, rambutnya yang bergelombang sebahu dibiarkan tergerai dan menari nari tertiup angin. Matanya hitam bulat laksana boneka dari India, hidungnya mancung tidak seperti anak-anak produk lokal... hehehe.... aku berani bertaruh anak ini merupakan peranakan gabungan dari orang Indonesia dan timur tengah atau India atau Pakistan....
“Namanya siapa sayang?” Aku bertanya dan bermaksud membelai kepalanya. Tapi anak itu ngeloyor pergi sambil tertawa-tawa.
Ah anak-anak... begitu pikirku. Lalu aku kembali masuk ke dalam rumah. Kulihat mas Parto suamiku sedang asyik nonton berita di televisi.
“Sudah pulang jeng!” Sapanya tanpa matanya berpaling dari depan layar televisi.
“Iya nih, aku cuci muka dulu ya!” Seruku sambil terus berlalu menuju kamar kami. Setelah menaruh tas dan berganti pakaian aku berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan gosok gigi, lalu aku kembali menemui suamiku.
“Lembur lagi... lembur lagi... capek nih!” Gerutuku sambil duduk di sampingnya.
“Kalau lembur protes, kalau dapat uang tidak!” Gurau suamiku sambil tersenyum.
Aku cuma manyun, kucibirkan bibirku sebagai jawaban atas gurauannya.
“Sudah makan? ” Tanyanya kemudian. Aku tahu dia cuma berbasa basi saja atau malah mungkin mau minta dibuatin mie rebus. Biasanya suamiku itu kalau kelaparan di malam hari dan malas keluar rumah pasti buntutnya minta dibuatin mie instant rebus.
“Sudah kok, tadi disediakan sama kantor.” Jawabku pendek, “Aku mau tidur dulu ya mas.... pegel semua nih!” Aku berpamitan, memang aku merasakan capai diseluruh tubuhku, inginnya segera meringkuk di atas tempat tidur.
“MMhmmm...” Gumamnya singkat, tatapan matanya tetap saja ada di layar televisi.
“Oh ya mas.... aku tadi ketemu anak kecil di lahan kosong samping rumah kita, siapa ya dia? Masak malam-malam masih main?” Tanyaku sesaat aku bangkit dari sofa hendak pergi.
“Anak kurang kerjaan kali.” Jawabnya suamiku seenaknya.
“Huhh.....” Keluhku mendengar jawabannya, aku lalu berjalan menuju kamar tidur. Mas Parto memang kadang seperti itu, cuek dan semaunya. Kadang-kadang jengkel juga sih... tapi gimana lagi kalau itu memang watak dasarnya.
“Anak kurang kerjaan.” Aku bergumam sendiri mengulang ucapan suamiku. Aku tertawa kecil.
Pagi ini di hari Minggu aku bermaksud bersih-bersih rumah dan pekarangan. Kami belum lama tinggal di rumah ini, baru sekitar satu bulan lalu kami mengontraknya. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya ada satu kamar tamu, satu kamar tengah yang kami sulap jadi ruang keluarga – kami menempatkan televisi dan sebuah sofa panjang disitu, lalu dua kamar tidur, dapur, kamar mandi dan garasi kecil di samping yang bisa memuat sebuah mobil ukuran kecil saja. Tapi karena aku dan mas Parto mengandalkan sepeda motor untuk transportasi maka garasi itu terbilang cukup besar. Aku bisa menaruh dua motor dan beberapa barang yang tidak berguna... yach semacam gudang. Ada sedikit halaman di depan dan samping rumah.
Belakang rumah kami berbatasan dengan pagar tinggi sebuah pabrik kerupuk, samping kanan dan kiri masih berupa lahan kosong. Sedang bagian depan ada jalan menuju desa berbatasan dengan sawah yang terbentang. Jadi kami seperti terisolir tidak ada tetangga, karena tetangga terdekat sekitar lima puluh meter dari rumah kami. Pabrik kerupuk itu juga tutup kalau malam hari, katanya sih beberapa karyawan ada yang tidur disitu tapi kalau liburan tanggal merah dipastikan pabrik itu sepi karena mereka pada mudik.
Saat aku menyapu halaman samping aku jadi teringat anak kecil itu, dia berdiri sambil tangannya melingkar di pagar yang membatasi lahan kosong dan halaman kami. Siapa dia ya? Aku jadi bertanya tanya. Waktu aku pulang, jam sudah menunjukkan di atas jam sembilan malam, jarang bahkan aneh melihat seorang anak berkeliaran di lahan kosong untuk main-main, sendirian pula.
Aku teringat dulu saat aku masih kecil aku memang suka bermain main di malam hari, tapi itu kalau pas liburan sekolah dan berombongan dengan banyak anak. Kami biasanya mencari halaman atau pekarangan yang cukup luas untuk bermain. Kami memang kadang lupa waktu, apalagi kalau bulan dan bintang menerangi. Suasana malam yang cukup terang, banyak teman sebaya dan esoknya bisa bangun siang karena tidak ada tugas bersekolah membuat kami- anak anak kecil- betah bermain. Kami berhenti bermain bila ada orang tua yang menjemput kami untuk dibawa pulang.
“Hayooo... ngelamun ya!” Seru mas Parto membuatku terkejut. Kulihat dia dengan sebuah arit di tangannya, dia dan aku memang bersama sama membersihkan halaman. Aku kebagian menyapu dan mengumpulkan sampah, sedang dia bertugas menyiangi rumput yang sudah meninggi.
“Nggak melamun kok mas. Aku cuma teringat anak kecil yang kemaren malam aku ceritakan!”
“Kamu bertemu dia disini?” Tanyanya.
Aku mengangguk. ”Aneh kan mas? Masak anak kecil main di malam hari, masak gak dicari orang tuanya!”
“MMhmmm.... anak kurang.....”
“KERJAAN!” Belum selesai suamiku berucap aku sudah memotong demikian.
“Halah nggak usah dipikirin, anggap saja anak itu anak tetangga yang ingin tahu! Kan rumah ini sebelumnya kosong? Jadi sebagai anak yang selalu ingin tahu dia menyelinap dari rumah menuju kesini buat memata matai, kan bisa buat bahan obrolan dengan teman temannya?” Urai suamiku panjang lebar.
Kali ini aku setuju dengan pendapatnya, anak seusia dia memang keingintahuannya sangat besar, mungkin dia heran dengan rumah ini yang biasanya sepi dan gelap dimalam hari eh sekarang sudah terang karena sudah dihuni.
“Iya... betul juga!” Sahutku pendek, lalu aku melanjutkan tugasku menyapu halaman. Mas Parto juga kemudian menyelesaikan kewajibannya menyiangi rumput-rumput itu.
Di saat kami sibuk bekerja membenahi halaman ini, aku melihat seorang penjual dawet keliling lewat di depan rumah, wah kebetulan nih.... haus-haus begini minum es dawet.
“Bang..... dawetnya bang!” Teriakku sambil melambaikan tangan.
Penjual dawet ini membelokkan gerobagnya menuju halaman rumah kami.
“Mas Parto..... minum dawet dulu mas!” Teriakku menawarkan minum kepadanya. Dia mendongakkan kepalanya ke arahku lalu mengangguk.
“Es dawet dua bang. Gulanya sedikit saja!” Ucapku memesan minuman.
“Pakai tape ketan nggak bu?” Tanyanya sambil meracik es dawet pesananku.
“Iya bang!” Jawabku pendek sambil duduk di kursi taman dekat gerobag ini. Ada tiga kursi yang diatur melingkar dengan sebuah meja kecil di tengahnya. Meja kursi itu terbuat dari ban bekas yang secara kreative dibuat mebel. Dan itu sudah ada sejak kami mengontrak, peninggalan dari si pemilik. Kami tetap mempertahankan karena kami pikir daripada beli menghabiskan uang, juga karena kami cuma mengontrak maka lebih baik kami tidak usah membeli banyak perkakas agar kalau mau pindah tidak perlu repot-repot membawanya.
“Belum lama ya tinggal disini?“ Tanya si penjual dawet seraya menyerahkan sebuah baki dengan dua mangkok dawet dan sepiring tape ketan.
“Iya bang, baru sekitar satu bulan lah!” Jawabku sambil menerima baki itu. Kulihat suamiku berjalan ke arahku untuk bergabung minum es dawet.
“Wah segar nih....!” Seru suamiku senang, dia lalu duduk di salah satu kursi dan mulai minum es dawet.
“Senang rumah ini sudah ada penghuninya!” Kata si penjual dawet seakan mengajak ngobrol kami.
“Memang rumah ini sudah kosong berapa lama?” Tanya suamiku.
“Mungkin sekitar tiga tahunan pak! Wah dulu kalau lewat sini sepi.....!” Jawabnya
“Lhoh... kan ada pabrik kerupuk di belakang? Mestinya ramai dong! Kan para pekerja pasti haus ingin minum es dawet!” Selaku.
“Wah.. pabrik kerupuknya juga belum lama berdiri bu! Baru sekitar satu tahun kok. Dulu lokasi disini masih sepi sekali, hanya ada rumah ini saja. Itupun tidak lama dihuni, lalu dibiarkan kosong begitu saja, aku lewat sini juga cuma untuk mempersingkat jarak aja kok!” Terang si penjual dawet panjang lebar.
“Ooh... gitu ya, untunglah sekarang ada pabrik kerupuk, jadi luamayan ramailah!” Ujar suamiku santai.
“Iya, sudah ada pabrik kerupuk. Kerupuknya sendiri saja sudah ramai!” Timpalku dengan canda. Kami bertiga lalu tertawa.
“Pak, numpang tanya nih... apa ada tetangga sini yang punya anak kecil, yaaaa sepertinya peranakan timur tengah gitu?” Aku bertanya kepadanya, penjual dawet itu pasti sudah berkeliling dan hapal dengan orang-orang yang tinggal di sekitar sini, apalagi untuk anak-anak, biasanya mereka paling doyan jajan.
“Kamu kok terobsesi dengan anak itu sih?” Celetuk suamiku datar tanpa ada maksud apa-apa karena nada bicaranya juga terdengar anteng saja tidak dengan intonasi tinggi.
“Bukan terobsesi mas.... cuma pingin tahu aja, nggak salah kan ya bang?’ ucapku sambil mengarah ke si penjual mencoba meminta dukungan.
“Iya bu, kenal para tetangga kan itu perlu, termasuk anak-anak mereka!” Timpalnya sambil tersenyum, aku memonyongkan mulut ke arah mas Parto sebagai bukti aku ada pendukung.
“Tapi kayaknya tidak ada anak peranakan timur tengah di sekitar sini bu!” Jawabnya kemudian sambil mengeryitkan dahi seperti coba mengingat ingat.
“Nah loh.... anak siapa hayooooo!” Balas mas Parto seakan mau mengalahkanku.
“Mungkin saja anak saudaranya, kan bisa saja sanak keluarga berkunjung dengan membawa anak-anak mereka, kalau itu tentu aku tidak hapal.” Lanjut si penjual dawet.
“Ah sudahlah... kok jadi ribut soal anak kecil sih!” Aku mencoba menengahi. Malas juga meributkan hal yang tidak begitu penting. Mau anak tetangga kek... anak saudara tetangga kek asal tidak menimbulkan masalah saja.
Setelah selesai minum dan membayarnya, penjual es dawet itu lalu pergi melanjutkan berkeliling menjajakan dagangannya. Sedang aku dan suamiku setelah selesai membersihkan halaman dilanjutkan mau ke kota mencari tanaman hias untuk kita tanam di halaman ini, tentu saja kami membersihkan badan dulu sebelumnya.
Malam itu aku kembali pulang terlambat, sedikit agak larut jadi aku tidak membawa motor sendiri karena bila pulang di atas jam sembilan malam sama kantor disediakan mobil dan sopir untuk mengantar para karyawan terutama karyawan putri.
“Terima kasih pak!” Ucapku kepada pak Jono, sopir perusahaan yang mengantarkanku pulang.
Aku selalu yang paling belakangan diantar karena rumahku paling jauh diantara teman-teman yang lain. Biasanya mengantar rekan yang dekat dulu baru ke yang agak jauh dan yang paling akhir ya yang terjauh yaitu diriku.
“Sama-sama bu, perlu diantar sampai rumah nggak bu?” Tawarnya sopan. Mungkin karena melihat suasana sekitar yang sepi dan tetangga juga agak jauh, makanya dia menawarkan diri.
Sebenarnya aku ingin diantar sampai pintu depan, tapi ketika kudengar suara televisi dari arah rumahku, aku urungkan keinginanku itu karena mas Parto sudah ada di rumah, jadi amanlah.
“Nggak perlu pak, tuh suamiku sudah ada di rumah... sedang nonton televisi!” Jawabku sambil menutup pintu mobil.
“Ya sudah bu, aku cabut dulu bu!” Pak Jono lalu membelokkan mobil mengambil arah jalan yang tadi dilalui. Kutunggui dia dari depan pagar rumah sampai dia menghilang dari hadapanku, selanjutnya aku berbalik untuk masuk ke dalam rumah, tapi tiba-tiba tanpa sengaja mataku melihat seorang anak kecil di pagar samping, dia berdiri dengan melingkarkan tangan di pagar itu.
“Siapa ya dia?” Aku bertanya dalam hati, kulihat jam yang melingkar di tanganku, sudah menunjuk pukul sebelas malam lebih. Masak anak kecil main sampai malam begini? Sendirian pula tanpa ada temannya. Aku lalu berjalan menemuinya.
“Adik... kan sudah malam? Nanti mama cemas lho!” Sapaku lembut.
Anak itu tidak menjawab, dia cuma tersenyum malu-malu, saat aku mau meraih tangannya yang menempel di pagar dia menghindarinya dengan menjauhkan tangannya dari pagar.
“Rumah adik dimana? Nanti biar tante antar!” Tawarku kepadanya.
Tapi dia tetap saja tidak menjawabnya, hanya menggeleng gelengkan kepalanya saja sambil terus tersenyum malu-malu kucing. Aku jadi gemas melihatnya. Aku memang belum punya anak karena aku dan mas Parto memang berencana menundanya dulu, kami sama-sama masih muda dan sedang meniti karier, mungkin dua tiga tahun lagi kami siap untuk memiliki keturunan.
“Nama adik siapa? Tante meski memanggil......” Belum selesai aku bicara, suara dari arah depan mengagetkanku, refleks aku memalingkan muka ke arah suara itu, oh ternyata mas Parto suamiku. Dia berdiri di samping rumah menatapku dengan heran, dia kemudian berjalan ke arahku.
“Kamu ngapain jeng?” Tanyanya dengan muka kebingungan.
“Oh cuma ngobrol sedikit dengan anak kecil ini...” Aku terkejut karena anak itu sudah tidak ada, padahal baru sesaat aku mengubah arah pandangan eh.. dianya sudah kabur.
“Anak kecil siapa sih?” Tanyanya lagi terdengar bingung dan penasaran.
“Tadi ada anak kecil disini mas!” Jawabku yakin.
“Ahhh..... aku cuma lihat kamu saja sedari tadi, berbincang sendiri di pagar ini!” Bantah suamiku keras.
“Tidak mungkin, tadi aku ngobrol dengan seorang anak kecil kok!” Balasku tidak mau kalah. Sebab aku memang melihat dengan mata kepalaku sendiri. Jadi aku yakin sekali.
“Ah sudahlah... sudah malam, kita masuk saja!” Akhirnya suamiku mengalah, tidak mau memperpanjang debat kusir ini. Dia lalu merangkul bahuku dan membimbingkan berjalan menuju arah depan rumah, sesaat aku memalingkan wajah ke arah pagar dimana aku bertemu anak kecil tadi. Ada perasaan aneh dan ganjil di hatiku.
Waktu berlalu dan aku mulai melupakan si anak kecil itu, apalagi bulan ini aku jarang ada lembur jadi aku tidak pulang malam, sampai di suatu pagi saat aku mau berangkat kerja aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Saat aku mengeluarkan motor dari garasi dan bersiap menghidupkan mesin aku melihat seorang ibu tua yang duduk berjongkok di lahan kosong persis dimana aku bertemu dengan anak kecil itu. Aku penasaran ingin tahu, akupun lalu berjalan ke arahnya.
“Maaf bu? ada yang bisa saya bantu bu?” sapaku kepadanya. Ibu itu mendongakkan kepala dan kami saling bertatap. Kulihat raut muka ibu itu tampak sedih, guratan ujian-ujian kehidupan tergambar jelas disitu. Dia tersenyum ke arahku, akupun membalasnya.
“Ah, cuma nyekar saja mbak!” Jawabnya pelan dan datar tapi sangat mengagetkanku.
“Nyekar?” Aku tidak percaya dengan omongan ibu itu, pekarangan sebelah rumahku ini kan bukan pekuburan hanya sebuah lahan kosong saja.
Sepertinya ibu itu tahu kebinguanganku, dia lalu beringsut dari tempat dimana ia tadi jongkok. Aku bisa melihat di tanah itu telah disiram air dan ditaburi sedikit bunga setaman, ada mawar, melati dan kenanga. Juga dupa kecil yang tersematkan dan menyala, baunyapun kemudian menyeruak.
“Maaf mbak, ibu cuma napak tilas saja kok!” Jawabnya lagi.
“Maksudnya apa bu? Tolong cerita bu, kan nggak enak kalau penasaran terus!” Pintaku setengah menghiba.
Ibu itu seakan merasakan kebingunganku, lalu mengalirlah cerita darinya.
“Aku punya putri yang bekerja sebagai TKW di timur tengah, putriku itu anak yang baik dan berbakti sama orang tua. Hasil kerjanya ia kirimkan ke kami orang tuanya yang di kampung untuk meningkatkan taraf kehidupan kami dan juga untuk menyekolahkan adik adiknya.” Dia berhenti sesaat, wajahnya kemudian berubah menjadi mendung, lanjutnya.
”Sayangnya putriku bernasib malang, dia dihamili sama orang sana. Karena kalut dan bingung dia mengambil jalan pintas dengan menggugurkannya. Tapi Tuhan berkehendak lain, bukan hanya calon bayinya yang meninggal putriku juga demikian setelah mengalami pendarahan hebat selama beberapa hari, nyawanya tidak tertolong. Tapi kami sudah menguburkan di kampung kami kok.”
“Tapi... mengapa ibu menabur bunga disini?” Aku bertanya dengan sedikit bergetar.
Ibu itu mengerti rasa cemasku, dia lalu berucap. ”Cuma napak tilas saja mbak, putriku memang menguburkan si calon bayi disini tapi kami sudah mengambil dan memindahkannya. Kami menguburkan di tempat yang sama di kampung kami. Ibu menabur bunga disini cuma... ya..... cuma buat napak tilas saja dan berdoa.”
Aku terdiam mendengar penjelasannya yang panjang lebar itu. Tiba-tiba aku menggigil, aku teringat anak kecil yang pernah aku lihat dulu, wajahnya seperti peranakan orang Indonesia dengan orang timur tengah. Mungkinkah anak itu....... hiiiiii... aku jadi ngeri sendiri.