Tuesday, January 26, 2021

MOGOK DI TENGAH KUBURAN

(Gambar hanya sekedar ilustrasi, bukan lokasi sebenarnya)

Malam itu, aku dan suami hendak berangkat ke resepsi pernikahan teman kami. Dalam undangan tersebut, kami dapat undangan yang jam 20.00 – 21.00. Jadi, dari rumah kami berangkat jam 19.30 dengan mengendarai mobil pribadi. Dalam perjalanan, tiba-tiba handphone-ku berbunyi...

“Halo... dik Rini ya?“Sapaku. 

Rini adalah anak tetanggaku yang malam itu aku mintai tolong untuk menjaga Dhoni, anakku satu-satunya yang baru berumur 5 tahun. Sebenarnya tadi mau aku ajak ke acara resepsi, tapi karena acaranya malam hari dan dia baru saja sembuh dari sakit panas makanya aku tinggal di rumah.

“Iya... tante, ini Rini... “Belum selesai Rini menjawab, aku sudah memotongnya.... 

“Ada apa dik Rini? Dhoni rewel ya?“ Tanyaku agak khawatir

“Enggak kok tante, Dhoni baik-baik aja. Dia sudah tidur di kamarnya tante...” Jawab Rini

“Oh iya syukurlah kalau begitu....” Lanjutku dengan perasaan lega.

“Begini tante.... ntar tante pulangnya jam berapa ya? Soalnya barusan ibu Rini kesini kasih kabar kalau bisa ntar sebelum jam 22.00 Rini bisa pulang, karena tadi ada kabar dari kampung kalau nenek meninggal. Dan rencana kami mau pulang kampung naik bis malam yang berangkat jam 22.00 malam ini tante....” Tanya Rini penuh harap

“Oh... iya dik Rini, tante usahakan. Ini dah nyampe kok di tempat resepsi. Ntar tante kasih ucapan selamat pada kedua mempelai terus langsung pamit pulang aja biar dik Rini punya waktu untuk bersiap-siap.” Jawabku.

Sesampai di pesta resepsi kami pun segera menuju ke tempat kedua mempelai dan mengucapkan selamat sekalian berpamitan untuk segera pulang dengan alasan Dhoni di rumah sendirian.

Di perjalanan pulang, agar cepat sampai rumah kami pun memilih lewat jalan pintas yang melalui dua pemakaman umum. Sebenarnya waktu pulang suamiku sudah putuskan ingin lewat jalan raya, tetapi aku membujuk suamiku agar lewat jalan pintas karena aku takut terlambat sampai rumah karena sudah janji dengan Rini. Jauh sebelum kami melewati kuburan itu mobil sudah mogok entah kenapa tapi syukurnya ada warga yang mau membantu mendorong mobil kami sehingga perjalanan pun dapat di teruskan.

Dalam perjalanan aku terus baca-baca doa dalam hati karena takut mobilku macet lagi dan terlambat sampai rumah. Namun, dalam jarak 50 meter dari arah kuburan tiba-tiba badanku terasa lemas banget pertanda ada kejadian yang tidak kami inginkan akan terjadi. Benar juga, sesampai di jalan yang ada kuburannya tiba-tiba mesin mobil pun mati mendadak. Tapi mobil tetap melaju karena suamiku sengaja meng-kopling agar melaju terus melawati jalan tersebut tanpa turun. Tapi apa yang terjadi? 

Mobil kami pun berhenti di tengah-tengah jalan yang di pinggirnya langsung kuburan. Aku pun merasa ketakutan, karena pemakaman disini memang terkenal angker. Tiba-tiba suamiku menyuruhku agar tetap berada dalam mobil, karena suami akan mendorong mobil ke pemukiman warga terdekat untuk minta bantuan.

Ketika suamiku turun dari mobil untuk mendorong mobil, pada saat membuka pintu mobil tiba-tiba tercium bau anyir campur aroma bunga-bunga kamboja dan kemenyan.

“Tunggu mas.... mas merasa mencium bau-bau aneh tidak?“ Tanyaku dengan penuh ketakutan

“Tidak tuh... ah sudahlah Ma. Jangan berpikiran yang bermacam-macam. Tidak ada apa-apa kok. Mama tunggu aja di dalam dan aku akan mendorong mobil sampai pemukiman situ...” Kata suamiku mencoba menenangkanku.

Kegiatan dorong mendorong mobilpun dilakukan suamiku sendirian dan aku di dalam mobil terus membaca baca doa, berharap tidak ada makhluk yang akan menampakkan diri. Perasaanku pun semakin takut teringat cerita-cerita seram tentang kuburan tersebut dari ayahku dan teman-temannya yang dulu sering lewat sini kalau malam. Keringat pun bercucuran kayak orang sedang mandi. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara-suara aneh, wah pikiranku jadi semakin tidak karuan. Aku mencoba melirik suamiku dari spion. Aku melihat suamiku sedang susah payah mendorong mobil. 

“Ah kasihan juga suamiku....” Pikirku.

Beberapa saat kemudian aku merasa mobil tidak bergerak lagi. Aku mencoba menengok ke belakang. 

“Lho mana suamiku.” Kataku dalam hati. “Apa mas Anto baru istirahat ya...” Lanjutku dalam hati. Kulihat sekeliling, sangat sepi. 

“Mas... mas.... dimana kamu.” Teriakku memanggil suamiku..

“Aku disini, di belakang... tunggu istirahat dulu bentar.” Teriak suamiku dari luar dengan suara yang agak terengah-engah.

“Syukurlah....” Kataku dalam hati. 

Tidak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara kaca mobil belakang diketuk-ketuk.

“Ah mungkin suamiku butuh sesuatu.” Pikirku sambil menengok ke arah belakang.

Begitu aku menengok ke belakang.... alangkah terkejutnya diriku...

Kulihat wajah suamiku rusak berat penuh darah, matanya melotot ke arahku dan bajunya terlihat compang camping... Saat itu pun juga aku tak sadarkan diri....


ANAK KECIL DI PINGGIR PAGAR SAMPING RUMAH

(Gambar hanya ilustrasi, bukan lokasi sebenarnya)

Aku bertemu anak itu tanpa sengaja, di suatu malam saat aku pulang terlambat karena ada lembur di kantor. Saat aku membuka pagar depan dan mau memasukkan motor aku melihat seorang anak kecil yang berdiri menatap diriku dari arah pagar samping yang berdampingan dengan sebuah lahan kosong. Sebenarnya aku tidak terlalu hirau dengan anak itu, hanya saja ketika aku merasa ia seperti mengawasiku dari ketika masuk pagar sampai membuka pintu rumah aku jadi ingin menemuinya. 

“Sudah malam kok masih main sayang!” Sapaku mendekatinya. Dia tersipu malu khas anak kecil yang lugu dikasih permen.

“Nanti mama bingung lho kalau adik nggak ada di rumah!” Ucapku sambil mengamati anak ini. Usianya mungkin sekitar empat tahun, wajahnya imut dan manis, rambutnya yang bergelombang sebahu dibiarkan tergerai dan menari nari tertiup angin. Matanya hitam bulat laksana boneka dari India, hidungnya mancung tidak seperti anak-anak produk lokal... hehehe.... aku berani bertaruh anak ini merupakan peranakan gabungan dari orang Indonesia dan timur tengah atau India atau Pakistan....

“Namanya siapa sayang?” Aku bertanya dan bermaksud membelai kepalanya. Tapi anak itu ngeloyor pergi sambil tertawa-tawa.

Ah anak-anak... begitu pikirku. Lalu aku kembali masuk ke dalam rumah. Kulihat mas Parto suamiku sedang asyik nonton berita di televisi.

“Sudah pulang jeng!” Sapanya tanpa matanya berpaling dari depan layar televisi.

“Iya nih, aku cuci muka dulu ya!” Seruku sambil terus berlalu menuju kamar kami. Setelah menaruh tas dan berganti pakaian aku berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan gosok gigi, lalu aku kembali menemui suamiku.

“Lembur lagi... lembur lagi... capek nih!” Gerutuku sambil duduk di sampingnya.

“Kalau lembur protes, kalau dapat uang tidak!” Gurau suamiku sambil tersenyum.

Aku cuma manyun, kucibirkan bibirku sebagai jawaban atas gurauannya.

“Sudah makan? ” Tanyanya kemudian. Aku tahu dia cuma berbasa basi saja atau malah mungkin mau minta dibuatin mie rebus. Biasanya suamiku itu kalau kelaparan di malam hari dan malas keluar rumah pasti buntutnya minta dibuatin mie instant rebus.

“Sudah kok, tadi disediakan sama kantor.” Jawabku pendek, “Aku mau tidur dulu ya mas.... pegel semua nih!” Aku berpamitan, memang aku merasakan capai diseluruh tubuhku, inginnya segera meringkuk di atas tempat tidur.

“MMhmmm...” Gumamnya singkat, tatapan matanya tetap saja ada di layar televisi.

“Oh ya mas.... aku tadi ketemu anak kecil di lahan kosong samping rumah kita, siapa ya dia? Masak malam-malam masih main?” Tanyaku sesaat aku bangkit dari sofa hendak pergi.

“Anak kurang kerjaan kali.” Jawabnya suamiku seenaknya.

“Huhh.....” Keluhku mendengar jawabannya, aku lalu berjalan menuju kamar tidur. Mas Parto memang kadang seperti itu, cuek dan semaunya. Kadang-kadang jengkel juga sih... tapi gimana lagi kalau itu memang watak dasarnya.

“Anak kurang kerjaan.” Aku bergumam sendiri mengulang ucapan suamiku. Aku tertawa kecil.

Pagi ini di hari Minggu aku bermaksud bersih-bersih rumah dan pekarangan. Kami belum lama tinggal di rumah ini, baru sekitar satu bulan lalu kami mengontraknya. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya ada satu kamar tamu, satu kamar tengah yang kami sulap jadi ruang keluarga – kami menempatkan televisi dan sebuah sofa panjang disitu, lalu dua kamar tidur, dapur, kamar mandi dan garasi kecil di samping yang bisa memuat sebuah mobil ukuran kecil saja. Tapi karena aku dan mas Parto mengandalkan sepeda motor untuk transportasi maka garasi itu terbilang cukup besar. Aku bisa menaruh dua motor dan beberapa barang yang tidak berguna... yach semacam gudang. Ada sedikit halaman di depan dan samping rumah. 

Belakang rumah kami berbatasan dengan pagar tinggi sebuah pabrik kerupuk, samping kanan dan kiri masih berupa lahan kosong. Sedang bagian depan ada jalan menuju desa berbatasan dengan sawah yang terbentang. Jadi kami seperti terisolir tidak ada tetangga, karena tetangga terdekat sekitar lima puluh meter dari rumah kami. Pabrik kerupuk itu juga tutup kalau malam hari, katanya sih beberapa karyawan ada yang tidur disitu tapi kalau liburan tanggal merah dipastikan pabrik itu sepi karena mereka pada mudik.

Saat aku menyapu halaman samping aku jadi teringat anak kecil itu, dia berdiri sambil tangannya melingkar di pagar yang membatasi lahan kosong dan halaman kami. Siapa dia ya? Aku jadi bertanya tanya. Waktu aku pulang, jam sudah menunjukkan di atas jam sembilan malam, jarang bahkan aneh melihat seorang anak berkeliaran di lahan kosong untuk main-main, sendirian pula. 

Aku teringat dulu saat aku masih kecil aku memang suka bermain main di malam hari, tapi itu kalau pas liburan sekolah dan berombongan dengan banyak anak. Kami biasanya mencari halaman atau pekarangan yang cukup luas untuk bermain. Kami memang kadang lupa waktu, apalagi kalau bulan dan bintang menerangi. Suasana malam yang cukup terang, banyak teman sebaya dan esoknya bisa bangun siang karena tidak ada tugas bersekolah membuat kami- anak anak kecil- betah bermain. Kami berhenti bermain bila ada orang tua yang menjemput kami untuk dibawa pulang.

“Hayooo... ngelamun ya!” Seru mas Parto membuatku terkejut. Kulihat dia dengan sebuah arit di tangannya, dia dan aku memang bersama sama membersihkan halaman. Aku kebagian menyapu dan mengumpulkan sampah, sedang dia bertugas menyiangi rumput yang sudah meninggi.

“Nggak melamun kok mas. Aku cuma teringat anak kecil yang kemaren malam aku ceritakan!”

“Kamu bertemu dia disini?” Tanyanya.

Aku mengangguk. ”Aneh kan mas? Masak anak kecil main di malam hari, masak gak dicari orang tuanya!”

“MMhmmm.... anak kurang.....”

“KERJAAN!” Belum selesai suamiku berucap aku sudah memotong demikian.

“Halah nggak usah dipikirin, anggap saja anak itu anak tetangga yang ingin tahu! Kan rumah ini sebelumnya kosong? Jadi sebagai anak yang selalu ingin tahu dia menyelinap dari rumah menuju kesini buat memata matai, kan bisa buat bahan obrolan dengan teman temannya?” Urai suamiku panjang lebar.

Kali ini aku setuju dengan pendapatnya, anak seusia dia memang keingintahuannya sangat besar, mungkin dia heran dengan rumah ini yang biasanya sepi dan gelap dimalam hari eh sekarang sudah terang karena sudah dihuni.

“Iya... betul juga!” Sahutku pendek, lalu aku melanjutkan tugasku menyapu halaman. Mas Parto juga kemudian menyelesaikan kewajibannya menyiangi rumput-rumput itu.

Di saat kami sibuk bekerja membenahi halaman ini, aku melihat seorang penjual dawet keliling lewat di depan rumah, wah kebetulan nih.... haus-haus begini minum es dawet.

“Bang..... dawetnya bang!” Teriakku sambil melambaikan tangan.

Penjual dawet ini membelokkan gerobagnya menuju halaman rumah kami.

“Mas Parto..... minum dawet dulu mas!” Teriakku menawarkan minum kepadanya. Dia mendongakkan kepalanya ke arahku lalu mengangguk.

“Es dawet dua bang. Gulanya sedikit saja!” Ucapku memesan minuman.

“Pakai tape ketan nggak bu?” Tanyanya sambil meracik es dawet pesananku.

“Iya bang!” Jawabku pendek sambil duduk di kursi taman dekat gerobag ini. Ada tiga kursi yang diatur melingkar dengan sebuah meja kecil di tengahnya. Meja kursi itu terbuat dari ban bekas yang secara kreative dibuat mebel. Dan itu sudah ada sejak kami mengontrak, peninggalan dari si pemilik. Kami tetap mempertahankan karena kami pikir daripada beli menghabiskan uang, juga karena kami cuma mengontrak maka lebih baik kami tidak usah membeli banyak perkakas agar kalau mau pindah tidak perlu repot-repot membawanya.

“Belum lama ya tinggal disini?“ Tanya si penjual dawet seraya menyerahkan sebuah baki dengan dua mangkok dawet dan sepiring tape ketan.

“Iya bang, baru sekitar satu bulan lah!” Jawabku sambil menerima baki itu. Kulihat suamiku berjalan ke arahku untuk bergabung minum es dawet.

“Wah segar nih....!” Seru suamiku senang, dia lalu duduk di salah satu kursi dan mulai minum es dawet.

“Senang rumah ini sudah ada penghuninya!” Kata si penjual dawet seakan mengajak ngobrol kami.

“Memang rumah ini sudah kosong berapa lama?”  Tanya suamiku.

“Mungkin sekitar tiga tahunan pak! Wah dulu kalau lewat sini sepi.....!” Jawabnya

“Lhoh... kan ada pabrik kerupuk di belakang? Mestinya ramai dong! Kan para pekerja pasti haus ingin minum es dawet!” Selaku.

“Wah.. pabrik kerupuknya juga belum lama berdiri bu! Baru sekitar satu tahun kok. Dulu lokasi disini masih sepi sekali, hanya ada rumah ini saja. Itupun tidak lama dihuni, lalu dibiarkan kosong begitu saja, aku lewat sini juga cuma untuk mempersingkat jarak aja kok!” Terang si penjual dawet panjang lebar.

“Ooh... gitu ya, untunglah sekarang ada pabrik kerupuk, jadi luamayan ramailah!” Ujar suamiku santai.

“Iya, sudah ada pabrik kerupuk. Kerupuknya sendiri saja sudah ramai!” Timpalku dengan canda. Kami bertiga lalu tertawa.

“Pak, numpang tanya nih... apa ada tetangga sini yang punya anak kecil, yaaaa sepertinya peranakan timur tengah gitu?” Aku bertanya kepadanya, penjual dawet itu pasti sudah berkeliling dan hapal dengan orang-orang yang tinggal di sekitar sini, apalagi untuk  anak-anak, biasanya mereka paling doyan jajan.

“Kamu kok terobsesi dengan anak itu sih?” Celetuk suamiku datar tanpa ada maksud apa-apa karena nada bicaranya juga terdengar anteng saja tidak dengan intonasi tinggi.

“Bukan terobsesi mas.... cuma pingin tahu aja, nggak salah kan ya bang?’ ucapku sambil mengarah ke si penjual mencoba meminta dukungan.

“Iya bu, kenal para tetangga kan itu perlu, termasuk anak-anak mereka!” Timpalnya sambil tersenyum, aku memonyongkan mulut ke arah mas Parto sebagai bukti aku ada pendukung.

“Tapi kayaknya tidak ada anak peranakan timur tengah di sekitar sini bu!” Jawabnya kemudian sambil mengeryitkan dahi seperti coba mengingat ingat.

“Nah loh.... anak siapa hayooooo!” Balas mas Parto seakan mau mengalahkanku.

“Mungkin saja anak saudaranya, kan bisa saja sanak keluarga berkunjung dengan membawa anak-anak mereka, kalau itu tentu aku tidak hapal.” Lanjut si penjual dawet.

“Ah sudahlah... kok jadi ribut soal anak kecil sih!” Aku mencoba menengahi. Malas juga meributkan hal yang tidak begitu penting. Mau anak tetangga kek... anak saudara tetangga kek asal tidak menimbulkan masalah saja. 

Setelah selesai minum dan membayarnya, penjual es dawet itu lalu pergi melanjutkan berkeliling menjajakan dagangannya. Sedang aku dan suamiku setelah selesai membersihkan halaman dilanjutkan mau ke kota mencari tanaman hias untuk kita tanam di halaman ini, tentu saja kami membersihkan badan dulu sebelumnya.

Malam itu aku kembali pulang terlambat, sedikit agak larut jadi aku tidak membawa motor sendiri karena bila pulang di atas jam sembilan malam sama kantor disediakan mobil dan sopir untuk mengantar para karyawan terutama karyawan putri.

“Terima kasih pak!” Ucapku kepada pak Jono, sopir perusahaan yang mengantarkanku pulang. 

Aku selalu yang paling belakangan diantar karena rumahku paling jauh diantara teman-teman yang lain. Biasanya mengantar rekan yang dekat dulu baru ke yang agak jauh dan yang paling akhir ya yang terjauh yaitu diriku.

“Sama-sama bu, perlu diantar sampai rumah nggak bu?” Tawarnya sopan. Mungkin karena melihat suasana sekitar yang sepi dan tetangga juga agak jauh, makanya dia menawarkan diri. 

Sebenarnya aku ingin diantar sampai pintu depan, tapi ketika kudengar suara televisi dari arah rumahku, aku urungkan keinginanku itu karena mas Parto sudah ada di rumah, jadi amanlah.

“Nggak perlu pak, tuh suamiku sudah ada di rumah... sedang nonton televisi!” Jawabku sambil menutup pintu mobil.

“Ya sudah bu, aku cabut dulu bu!” Pak Jono lalu membelokkan mobil mengambil arah jalan yang tadi dilalui. Kutunggui dia dari depan pagar rumah sampai dia menghilang dari hadapanku, selanjutnya aku berbalik untuk masuk ke dalam rumah, tapi tiba-tiba tanpa sengaja mataku melihat seorang anak kecil di pagar samping, dia berdiri dengan melingkarkan tangan di pagar itu. 

“Siapa ya dia?” Aku bertanya dalam hati, kulihat jam yang melingkar di tanganku, sudah menunjuk pukul sebelas malam lebih. Masak anak kecil main sampai malam begini? Sendirian pula tanpa ada temannya. Aku lalu berjalan menemuinya.

“Adik... kan sudah malam? Nanti mama cemas lho!” Sapaku lembut.

Anak itu tidak menjawab, dia cuma tersenyum malu-malu, saat aku mau meraih tangannya yang menempel di pagar dia menghindarinya dengan menjauhkan tangannya dari pagar.

“Rumah adik dimana? Nanti biar tante antar!”  Tawarku kepadanya. 

Tapi dia tetap saja tidak menjawabnya, hanya menggeleng gelengkan kepalanya saja sambil terus tersenyum malu-malu kucing. Aku jadi gemas melihatnya. Aku memang belum punya anak karena aku dan mas Parto memang berencana menundanya dulu, kami sama-sama masih muda dan sedang meniti karier, mungkin dua tiga tahun lagi kami siap untuk memiliki keturunan.

“Nama adik siapa? Tante meski memanggil......” Belum selesai aku bicara, suara dari arah depan mengagetkanku, refleks aku memalingkan muka ke arah suara itu, oh ternyata mas Parto suamiku. Dia berdiri di samping rumah menatapku dengan heran, dia kemudian berjalan ke arahku.

“Kamu ngapain jeng?” Tanyanya dengan muka kebingungan.

“Oh cuma ngobrol sedikit dengan anak kecil ini...” Aku terkejut karena anak itu sudah tidak ada, padahal baru sesaat aku mengubah arah pandangan eh.. dianya sudah kabur.

“Anak kecil siapa sih?” Tanyanya lagi terdengar bingung dan penasaran.

“Tadi ada anak kecil disini mas!” Jawabku yakin.

“Ahhh..... aku cuma lihat kamu saja sedari tadi, berbincang sendiri di pagar ini!” Bantah suamiku keras.

“Tidak mungkin, tadi aku ngobrol dengan seorang anak kecil kok!” Balasku tidak mau kalah. Sebab aku memang melihat dengan mata kepalaku sendiri. Jadi aku yakin sekali.

“Ah sudahlah... sudah malam, kita masuk saja!” Akhirnya suamiku mengalah, tidak mau memperpanjang debat kusir ini. Dia lalu merangkul bahuku dan membimbingkan berjalan menuju arah depan rumah, sesaat aku memalingkan wajah ke arah pagar dimana aku bertemu anak kecil tadi. Ada perasaan aneh dan ganjil di hatiku.

Waktu berlalu dan aku mulai melupakan si anak kecil itu, apalagi bulan ini aku jarang ada lembur jadi aku tidak pulang malam, sampai di suatu pagi saat aku mau berangkat kerja aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Saat aku mengeluarkan motor dari garasi dan bersiap menghidupkan mesin aku melihat seorang ibu tua yang duduk berjongkok di lahan kosong persis dimana aku bertemu dengan anak kecil itu. Aku penasaran ingin tahu, akupun lalu berjalan ke arahnya.

“Maaf bu? ada yang bisa saya bantu bu?” sapaku kepadanya. Ibu itu mendongakkan kepala dan kami saling bertatap. Kulihat raut muka ibu itu tampak sedih, guratan ujian-ujian kehidupan tergambar jelas disitu. Dia tersenyum ke arahku, akupun membalasnya.

“Ah, cuma nyekar saja mbak!” Jawabnya pelan dan datar tapi sangat mengagetkanku.

“Nyekar?” Aku tidak percaya dengan omongan ibu itu, pekarangan sebelah rumahku ini kan bukan pekuburan hanya sebuah lahan kosong saja.

Sepertinya ibu itu tahu kebinguanganku, dia lalu beringsut dari tempat dimana ia tadi jongkok. Aku bisa melihat di tanah itu telah disiram air dan ditaburi sedikit bunga setaman, ada mawar, melati dan kenanga. Juga dupa kecil yang tersematkan dan menyala, baunyapun kemudian menyeruak.

“Maaf mbak, ibu cuma napak tilas saja kok!” Jawabnya lagi.

“Maksudnya apa bu? Tolong cerita bu, kan nggak enak kalau penasaran terus!” Pintaku setengah menghiba.

Ibu itu seakan merasakan kebingunganku, lalu mengalirlah cerita darinya. 

“Aku punya putri yang bekerja sebagai TKW di timur tengah, putriku itu anak yang baik dan berbakti sama orang tua. Hasil kerjanya ia kirimkan ke kami orang tuanya yang di kampung untuk meningkatkan taraf kehidupan kami dan juga untuk menyekolahkan adik adiknya.” Dia berhenti sesaat, wajahnya kemudian berubah menjadi mendung, lanjutnya.

”Sayangnya putriku bernasib malang, dia dihamili sama orang sana. Karena kalut dan bingung dia mengambil jalan pintas dengan menggugurkannya. Tapi Tuhan berkehendak lain, bukan hanya calon bayinya yang meninggal putriku juga demikian setelah mengalami pendarahan hebat selama beberapa hari, nyawanya tidak tertolong. Tapi kami sudah menguburkan di kampung kami kok.”

“Tapi... mengapa ibu menabur bunga disini?” Aku bertanya dengan sedikit bergetar.

Ibu itu mengerti rasa cemasku, dia lalu berucap. ”Cuma napak tilas saja mbak, putriku memang menguburkan si calon bayi disini tapi kami sudah mengambil dan memindahkannya. Kami menguburkan di tempat yang sama di kampung kami. Ibu menabur bunga disini cuma... ya..... cuma buat napak tilas saja dan berdoa.”

Aku terdiam mendengar penjelasannya yang panjang lebar itu. Tiba-tiba aku menggigil, aku teringat anak kecil yang pernah aku lihat dulu, wajahnya seperti peranakan orang Indonesia dengan orang timur tengah. Mungkinkah anak itu....... hiiiiii... aku jadi ngeri sendiri.


KISAH PENJAGA WARNET

(Gambar hanya ilustrasi, bukan lokasi sesungguhnya)

Senangnya hatiku, hari ini aku dah mulai bekerja. Meskipun cuma sebagai penjaga warnet yang kerjanya tidak full, tapi hasilnya cukup lumayanlah buat tambah-tambah uang saku. Pekerjaan ini memang cocok denganku yang berstatus mahasiswa akhir, karena tinggal mengerjakan skripsi saja sehingga banyak waktu luang. Apalagi sambil jaga warnet, aku bisa mengerjakan skripsiku dengan browsing literatur yang mendukung atau sekedar mengetik beberapa alinea. Yaah... ibarat peribahasa, sambil menyelam minum air.

Sudah tiga hari ini, aku menjalani profesi baruku sebagai operator warnet. Dan hari ini aku kejatah shift malam. Warnet tempat aku bekerja ini terletak di kompleks perumahan baru dimana kanan kiri nya masih terhampar persawahan. Dan tak jauh dari kompleks perumahan terdapat sebuah pemakaman kampung. Sehingga kalau malam hari suasananya agak sepi dan terasa dingin.

Malam ini adalah malam pertama aku mendapat jatah shift malam. Aku berangkat dari rumah sekitar jam 19.30. Jarak rumahku dengan warnet memang tidak begitu jauh, hanya sekitar 15 menit bila ditempuh dengan sepeda ontel. Aku memang masih begitu semangat-semangatnya bekerja, maklum ini pertama kali aku bekerja sehingga sejak jam 19.00 sebenarnya aku dah siap segalanya. 

Dan tepat pukul 19.30 aku mulai mengayuh sepedaku menuju warnet. Keluar dari kampung jalanan masih agak ramai kendaraan lalu lalang, meskipun kanan kiri berupa persawahan. Setelah melewati 4 – 5 petak sawah kini aku melewati sebuah kuburan dan tak berapa lama lagi aku akan sampai di kompleks perumahan dimana warnet tempat bekerjaku berada. Pada saat aku melewati kuburan, kebetulan jalanan pas sepi. Tiba-tiba aku mencium bau aroma bunga setaman dan aroma kemenyan yang dinyalakan. 

“Ah mungkin ini karena jenazah yang dikubur sore tadi.” Pikirku. Memang tadi siang ada layatan di kampung sebelahku dan kabarnya dimakamkan di kuburan ini. Waktu itu aku memang tidak begitu merasa ada yang aneh ataupun perasaan takut. Aku terus saja mengayuh sepedaku sambil bersiul untuk menghilangkan rasa sepi. Dan tak berapa lama kemudian sampailah aku di warnet.

“Malam Gus...” Sapaku pada Agus, petugas operator warnet yang akan aku gantikan shiftnya. “Ramai ya malam ini.... banyak kendaraan parkir di luar.” Lanjutku

“Malam juga... iya nih, tumben tidak seperti malam-malam sebelumnya. Hari ini sangat ramai pengunjungnya. Bahkan tadi sempat ada beberapa yang kembali pulang karena sudah penuh.” Jawabnya.

Setelah serah terima tugas, beberapa saat kemudian Agus pamit pulang.

“Ton... aku pulang sekarang ya...” Pamit Agus. ” Oh, iya tadi pak Tarno telpon kalau malam ini kemungkinan tidak dapat datang karena anaknya demam. Ntar kalau anaknya dah turun demamnya, mungkin ia akan datang.” Lanjut Agus sambil berjalan keluar. 

Pak Tarno adalah penjaga malam warnet ini. Rumahnya tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan ini. Ia memang terkenal rajin, meskipun ada halangan pasti ia sempatkan menengok warnet meskipun hanya beberapa saat sebagai rasa tanggung jawabnya.

“Okelah.. no problem.. hati-hati di jalan.” Jawabku sambil melambaikan tangan pada Agus.

Waktu terus berjalan..... malam pun semakin larut. Bersamaan itu pula satu pengunjung warnet mulai meninggalkan warnet. Tepat jam 00.30, masih ada 3 – 5 pengunjung warnet yang masih asyik main game on line, chating atau hanya sekedar browsing. Dan aku pun asyik mengetik skripsiku yang tadi sudah aku siapkan dari rumah. Lumayan lah kalau semalam dapat ketikan setengah atau satu bab hehehe...

Tepat pukul 01.30 warnet mulai sepi, sisa pengunjung warnet satu per satu mulai pulang hingga tak tersisa dan tinggal aku sendirian di warnet itu. Namun aku masih asyik juga mengetik skripsiku dan untuk mengusir rasa sepi aku sengaja menyalakan musik yang agak rancak.

Beberapa saat kemudian, datang seorang perempuan pengunjung warnet. Begitu terkejutnya aku... karena perempuan tersebut begitu tergesa-gesa langsung masuk ke bilik nomor tiga seolah-olah buru-buru mau mengerjakan tugas. Memang sih penampilannya seperti seorang mahasiswi.

“Wah malam-malam... berani bener nih cewek.” Gumamku dalam hati.” Ah.. mungkin karena ada tugas yang harus dikumpulin besok pagi, kok sampai di bela-belain datang ke warnet tengah malam begini.” Pikirku. “Mungkin juga tadi kesininya di antar bapa atau saudaranya.” Pikirku lagi sambil melongok keluar melihat siapa yang mengantarnya. Tapi di luar tampak sepi.

Lalu aku cek billing perempuan itu,

 “Lho kok? Kok tidak ada nyala bilingnya?” Gumamku dalam hati.

Aku pun lalu pergi ke bilik komputer di mana perempuan tadi masuk untuk mengeceknya. Kulihat perempuan tersebut sedang asyik membolak balik buku dan sepertinya sedang menyiapkan diri menyalakan komputernya.

“Ada masalah dengan komputernya mbak?“ Tanyaku

Namun tak ada jawaban dari nya, dan kulihat perempuan tadi mulai menyalakan komputer. “Mungkin tadi lagi mempersiapkan segalanya.” Pikirku. Kemudian aku kembali ke meja operator. Dan beberapa saat kemudian aku cek lagi biling perempuan itu, “Lho kok bilingnya ndak nyala juga ya?“Lalu aku pun pergi ke bilik komputer untuk mengeceknya. Tiba-tiba.”Lho mana perempuan yang tadi? Perasaan dia masuk di sini. Ndak mungkin dia keluar karena cuma ada 1 pintu dan itu dekat tempat operator". 

Perasaanku bercampur aduk antara cemas dan takut. Lalu aku kembali ke meja operator, tapi aneh sekali ada bau yang menyengat, bau wangi bunga yang sangat menyengat. Perasaanku jadi tidak karuan, bulu kudukku mulai berdiri. Sambil ketakutan aku membaca doa-doa yang kubisa. Lalu tiba-tiba kudengar suara ”gubrak" di bilik nomor 3 tempat perempuan tadi.

"Suara apa itu?" sebaiknya aku liat deh". Setelah aku cek ternyata tidak ada apa-apa. Lalu aku kembali lagi ke meja operator. Baru aku jalan 2 langkah, suara itu muncul lagi tapi lebih keras ”gubraak". Lalu aku kembali dan melihat di bilik itu. Dan apa yang terjadi???

Kulihat ada sesosok wanita di bilik itu dengan rambut putih panjang, muka hancur dan berdarah, kuku yang panjang, dan berpakaian serba putih yang dihiasi bercak-bercak noda darah. Serasa mati tubuhku tidak bisa bergerak, ingin kubaca doa-doa tapi apa daya suaraku tidak bisa keluar. Sekitar beberapa menit aku bertatap muka dengan mahkluk itu dan seakan tubuhku kehilangan fungsinya dan akhirnya aku terjatuh tak sadarkan diri.

Saat aku sadar, kulihat ada Pak Tarno di dekatku bersamaan dengan pemilik warnetnya. Dan saat itu pula aku minta ijin untuk mengundurkan diri.


Thursday, January 21, 2021

ARINI TEMANKU YANG CANTIK

Usia Arini sepantaran denganku, hanya saja dia mempunyai sifat yang berbeda, kata orang aku ini pendiam dan pemalu, sedangkan Arini itu seorang gadis yang ceria dan ramai. Dia mempunyai bentuk tubuh yang ideal, tinggi sekitar seratus enam puluh lima centimeter dan berat sekitar lima puluh lima kilogram. Wajahnya cantik berbentuk bulat telor, hidungnya lumayan mancung, bibirnya tipis, matanya sedikit sipit khas mata seorang peranakan tionghoa dan alis mata yang membingkainya. Kulit tubuhnya putih mulus, rambutnya panjang lurus sebahu dengan pewarnaan sedikit pirang. Arini benar-benar seperti bintang pop Korea yang sekarang lagi naik daun. Sungguh sempurna dan sesuai kriteria jaman. Aku ingin sekali seperti Arini.

“Arini, darimana saja kamu?”  Tanyaku begitu melihatnya muncul di hadapanku. Seperti biasa dia memakai pakaian ala korea yang girly dan manis kayak permen. Rambutnya dikuncir di belakang dengan pita warna pink ngejreng. Sepatunya mirip sepatu penyanyi papan atas yang lagi naik daun, berhak tinggi dengan sol bagian depan yang juga tinggi. Warna sepatunya juga pink, selaras dengan pita rambut dan aksesoris yang dipakainya. Kalung yang melingkar di lehernya berwarna putih, seperti mutiara yang berjajar dengan diselingi pita kecil yang juga berwarna putih, gelang juga cincin yang dikenakannya juga tampak senada. Arini... kamu benar-benar cantik sekali.

“Aku dari mall... biasa shopping!” Begitu ia menjawab dengan sedikit sombong. Ah... kenapa dia punya uang banyak sekali? Seperti air, selalu saja mengalir tidak pernah ada kata kekeringan di kamusmu.

“Nih... lihat nih!” Ucapnya bangga. Dia lalu mengeluarkan tas-tas belanjaan yang tadi ia tenteng di tangan kanan dan kirinya. Ada sekitar tujuh tas belanjaan. Tas pertama, kedua dan ketiga ternyata berisi pakaian yang lagi trend dimasa sekarang, trus tas keempat dan kelima berisi sepatu dan sisanya berisi aneka aksesoris bling - bling yang meriah.

“Kamu belanja terus! Enak ya punya uang banyak!” Kataku iri, dalam hati aku menggerutu, kapan aku bisa seperti Arini?

“Orang tuamu kaya ya?” Tanyaku kemudian.

“Papaku pengusaha yang sukses, Mamaku juga wanita karier yang melejit jabatannya!” Jawabnya.

Ah Arini, senangnya punya orang tua yang kaya raya kayak gitu, uang selalu ada. Beda dengan diriku, orang tuaku orang yang tidak berpunya. Ayahku juga seorang pengusaha, tapi masih dalam skala kecil. Ia berjualan aneka kebutuhan rumah tangga yang dijual kreditan. Kata ayahku dia sering pusing dengan kredit macet yang mesti dihadapi. Pas mau ambil barang saja orang begitu manis dan mudah, tapi saat pembayaran... wadalah sulit sekali ditemui. Kalau sudah begini, ayahku sering uring uringan tidak menentu, akhirnya aku dan ibuku juga yang kena semprot. Mungkin sebagai pelampiasan kekesalannya. 

Kalau ibuku, dia juga wanita karier lho, tapi masih dalam posisi rendahan.. hehehe... dia itu kerja sebagai buruh di pabrik sepatu yang ada di pinggiran kota tempat kami tinggal. Biasanya jam enam pagi dia sudah bersiap berangkat kerja, seperti mamamu yang memakai mobil waktu berangkat kerja, ibuku juga demikian, hanya saja dia berangkat kolektif dengan teman temannya yang selalu janjian di halte untuk naik bus bersama sama.

“Papa dan mama mu selalu sibuk ya?” Tanyaku lagi.

Arini mengangguk, “Aku kesepian, di rumah cuma sendirian. Aku kan anak tunggal!” Ucapnya sendu.

Aku juga demikian, aku juga anak tunggal. Kedua orang tuaku juga sibuk bekerja. Lihat saja ibuku berangkat jam enam pagi lalu baru pulang sekitar maghrib, begitu seterusnya dari senin sampai sabtu, hari minggunya dia sibuk dengan pekerjaan rumah tangga yang menggunung karena ditahan selama seminggu semacam seterika dan bersih-bersih rumah. Ayahku sama juga. Dia bahkan sering tidak pulang karena mesti mencari barang dagangan di luar kota, juga waktunya habis untuk menagih cicilan kreditan para kliennya. Orang tua kita sama-sama sibuk, tapi nasibnya berbeda ya...

“Kalau di rumah kamu ngapain aja?” Tanyaku menyelidik.

“Ya... gitu deh....! “ jawabnya pendek dan tampak semaunya.

“Gitu gimana sih? Menyapu kah? Mencuci kah? Memasak kah?” 

“Hahaha.....” Arini tertawa terbahak, “Ihhh..... itu mah pekerjaan pembantu!”

Aku terdiam, itu pekerjaanku sehari hari, aku ditugaskan ibu untuk membersihkan rumah seperti menyapu, juga mencuci baju-baju kami. Untuk tugas menyeterika ibu yang akan melakukan tiap hari minggu. Juga aku mesti memasak untuk makan kami sekeluarga, masak makanan yang sederhana saja, itu bukan karena aku malas tapi karena memang tidak ada pilihan. Sayuran dan lauk yang cuma itu-itu saja. Memang sih pedagang sayuran keliling yang mangkal tiap pagi di pos ronda itu membawa aneka jenis sayuran, telor, daging, ikan dan banyak lagi. Namun kami tidak ada dana untuk membeli itu, uang kami hanya cukup buat beli sayuran seadanya dan lauk pauk sekelas tempe tahu saja.

“Kerjaanku menonton televisi, kan banyak sinetron bagus-bagus tuh! Membaca majalah dan novel! Kalau bosan aku keluar diantar sopir keliling mall.... belanja ini belanja itu sambil ngeceng.” Jawabnya 

Wah enak sekali, selalu senang-senang! 

“Kalau mau keluar, aku akan berdandan secantik mungkin juga memakai pakaian yang lagi tren saat ini, pokoknya kita mesti gaul.. jangan sampai dibilang ketinggalan jaman, cewek kampungan... iiihh... enggak lah yau.” Lanjutnya genit

Aku manggut-manggut, aku juga ingin jadi cewek masa kini yang selalu tampil trendy dan memikat hati. Siapa tahu ada cowok yang kepincut denganku?

“Eh kamu sudah ada cowok belom?” Aku bertanya dengan penasaran.

“Pacar?... huuh......!” Jawabnya sambil tangannya menyentuh jidat.

“Kenapa? Kok huuuu...?” Tanyaku lagi, “Kan asyik tuh kalau ada pacar? Yang..... kayak bintang film atau artis sinetron gitu.... kan bikin orang iri?”

“Betul juga ya? Kalau punya pacar yang keren gitu bisalah buat trophy yang bisa dipamerkan kemana mana! Arini.... cewek trendy masa kini punya kekasih seorang aktor muda yang sering nongol di televisi.... wah... asyik tuh, briliian juga idemu!” 

Kulihat Arini tersenyum senyum sendiri, lalu dia ngeloyor dari hadapanku menuju cermin di samping almari, lalu dia mematut diri.

“Hei, kenalin... ini nih pacarku yang baru, bintang sinetron yang diputar tiap jumat malam itu lho, nggak usah aku sebutkan nama kalian sudah tahu kan?” Arini berkata penuh kebanggaan di depan cermin.

Kamu memang pantas bila berdampingan dengan artis sinetron muda yang ganteng-ganteng itu, kamunya cantik, tinggi semampai, trendy kayak bintang pop korea dan cowok di sampingmu juga tampan, gagah, modis... wah orang-orang pasti terkagum kagum melihat kalian.

Belum lama aku mengagumi dirimu bila kamu berdampingan dengan cowok ganteng, tiba-tiba handphone berbunyi, aku segera mengambilnya dan membukanya. Ternyata ada sms dari ibu... ”Jangan lupa memasak buat nanti malam ya!” Begitu bunyi sms yang aku terima, mengingatkanku untuk menyiapkan hidangan makan malam. 

“Ya bu....” Aku membalas pendek saja. Malas rasanya. 

Aku ingin seperti Arini, aku tidak ingin seperti pembantu yang harus kerja ini itu. Kulihat handphone-ku, model jadul dan sudah jauh ketinggalan jaman, mungkin sudah tidak keluar lagi modelnya. Handphone itu juga hanya untuk sms saja karena pulsanya tidak pernah cukup. Bisa juga buat telepon tapi aku mesti perhitungan agar jangan sampai kehabisan pulsa, makanya aku sukanya sms saja, biar si pulsa awet.

“Disuruh menyapu ya? Atau memasak?” Tanya Arini mencibir.

Aku tersenyum kecut, “Ah enggak kok, ibuku nanti sepulang kerja mau sekalian membeli makanan. Kita ngobrol aja, nggak ada yang mesti dikerjakan kok!” Aku berbohong.

“Eh, sampai dimana tadi?”  Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Arini bersungut sungut sambil mengingat percakapan kami yang terakhir, lalu dia berseru dengan keras seakan memenangkan undian. 

”Ahaaa..... aku ingat! Kita tadi membicarakan cowok ganteng yang akan jadi pacarku. Mmmm..... siapa yah. Kalau si A cocok nggak nih?”

Si A....oh iya, si A itu cowok ganteng yang sering muncul di televisi, dia itu bintang sinetron yang lagi bersinar. Juga kadang dia jadi bintang tamu di acara-acara televisi. Gila, aku membayangkan si Arini jalan bareng si A ke mall... wah para paparazi akan berebut mengambil photo dan menampilkannya di tayangan-tayangan infotainment. Mungkin mereka akan berujar : “Bintang sinetron kita yang lagi berkibar kepergok jalan bareng dengan seorang gadis muda putri seorang konglomerat. Disinyalir mereka menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman.”

“Iya.. iya Arini... cocok banget tuh! Siapa tahu kamu ikutan masuk televisi lalu dilirik produser. Kamu kan bisa ikutan numpang main sinetron. Kamu kan cantik, semampai, putih... memenuhi syarat kok jadi bintang film... meski cuma numpang lewat saja!” 

“Hei, enak aja... dibilang numpang lewat. Aku juga bisa akting tahu!” Arini tampak tidak senang dengan ledekanku tadi. Dia kemudian bergaya bak bintang film yang memerankan tokoh antagonis. Wajahnya dibuat manyun dan judes, lalu dia teriak-teriak seperti akting seorang ibu tiri yang memarahai anak-anak tirinya. Hahahaha... marah kok begitu, meski berusaha manyun dan judes aku tetap bisa menangkap kalau dia itu berusaha keras tampil cantik, dia tidak mau kejudesannya menyamarkan pesona kecantikannya. Jadinya aktingnya kelihatan kaku dan lucu.

“Kamu nggak pantas jadi orang judes, biasanya orang galak tuh jelek, kamu terlalu cantik untuk menjadi ibu tiri yang galak!” Lalu aku menawarkan dia untuk berakting jadi orang miskin yang merana. Eh tetap saja tidak cocok.

“Eh, kamu juga nggak pantas jadi orang miskin. Lihat tuh penampilanmu yang heboh. Masak orang miskin bisa pakai baju bagus, tangan dan wajah mulus kayak barusan keluar dari salon. Kamu juga terlalu cantik untuk jadi miskin.”

“Terus aku jadi siapa dong...!” Suara Arini yang terdengar manja meminta pendapat.

“Anak orang kaya yang manja tapi baik hati dan tidak sombong!” Ucapku lugas. Dapat peran seperti itu pasti enak tuh, karena tidak jauh dari kesehariannya. 

“Maaf, ada orang ketuk-ketuk pintu! Aku ke depan dulu ya?” Aku pamit sama Arini kalau mau membuka pintu dulu. 

“Eh bu Darmi, ada apa bu?” Tanyaku begitu aku melihat bu Darmi yang berdiri di depan pintu yang barusan aku buka.

“Ibumu belum pulang ya?” Ujarnya dengan nada tinggi. Wah pasti ada yang tidak beres.

“Belum bu, biasanya sih selepas Maghrib baru pulang. Nanti saja bu Darmi kesini lagi, langsung ketemu ibu.“ Jawabku malas, sebenarnya aku bermaksud mengusirnya dengan halus. Aku paling sebal kalau ada tamu yang uring-uringan gitu, karena itu bukan urusanku, aku tidak ada permasalahan dengan mereka, tapi kenapa mesti diriku yang dimarahi?

“Iya, nanti aku kesini. Bilang sama ibumu, hutang yang dua bulan lalu harus lunas hari ini juga!” Hardik bu Darmi galak. Dia lalu membalikkan badan terus ngeloyor pergi. Tapi baru beberapa langkah dia meninggalkan rumah ini ia berhenti lalu menengok ke arahku.

“Kamu tadi ngobrol sama siapa sih?“ Tanyanya dengan nada yang keras dan tidak enak didengar.

“Ach..... anu.... ehm..... teman!” Jawabku gelagapan. Aku tidak mau bu Darmi tahu kalau aku punya teman yang cantik dan anak orang kaya, dia pasti tidak percaya dan iri kepadaku.

“Teman.....?” Serunya keras seperti tidak percaya, lalu di luar dugaan dia berjalan kembali ke arah pintu tempat aku berdiri.

“Kenalin dong, siapa temanmu?” Pintanya dengan sedikit memaksa, wajahnya celingak-celinguk mencuri pandangan di ruang tamu.

“Tidak ada siapa-siapa? Dimana temanmu itu?” Hardiknya lagi,

“Udah pulang, sungkan kali lihat bu Darmi!” Sahutku seenaknya.

“Huuhh....” Kata bu Darmi kesal. Lalu dia ngeloyor pergi meninggalkanku.

Dalam hati aku tertawa cekikikan, aku segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam, lalu aku beranjak menuju kamarku untuk bertemu dengan Arini lagi. Kulihat dia tidak ada di kamar, lalu aku beranjak keruang tengah ternyata dia ada disitu.

“Rumahmu kecil sekali?” Ujar Arini sambil melihat lihat sekeliling.

Memang aku sekeluarga tinggal di rumah yang sangat sempit, hanya ada tiga ruangan di rumah ini, satu ruangan di depan sebagai ruang tamu merangkap garasi motor bapak bila malam tiba, terus ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang makan dan dapur sekaligus dan satu kamar lagi tempat kamar tidur kami, kamar itu ada almari sebagai sekat. Sehingga kamar itu terbelah menjadi dua, sebelah kiri merupakan tempat tidur ayah dan ibuku dan sebelah kanan yang dekat pintu sebagai kamar tidurku. Namun aku lebih sering memindahkan busa lipat tempat aku merebahkan diri diruang depan. Bila malam tiba dan dipastikan tidak ada tamu lagi, aku segera berpindah. Di kamar tamu aku bisa leluasa tiduran sambil menonton televisi. Ayah dan ibuku sudah pulang dalam keadaan lelah dan mereka selalu tidur mendengkur membuatku kesulitan tidur karena terganggu.

“Apakah rumahmu besar seperti yang di sinetron-sinetron itu?”  Tanyaku ingin tahu.

“Ya iyalah..... rumahku besar. Rumahmu ini sama kamarku saja besaran kamarku!”

“Ada kolam renangnya ya?’ tanyaku lagi.

“Ya iyalah...... pokoknya seperti di film-film itu!” Jawabnya kalem.

Aku jadi ingat sebuah sinetron yang aku lihat, disitu ditampilkan sebuah potret keluarga yang kaya raya, rumahnya.... ampun besaaaaar sekali, ada tangga melingkar yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan yang ada di atasnya. Bahkan ruang makannya juga besar sekali berkali lipat dengan rumahku ini, ruang makan itu bisa menampung meja yang panjang dan besar yang ada banyak kursi di sekelilingnya. Juga ada kolam renang bagi para penghuninya. Hebohnya lagi mobil-mobil mewah berjajar terparkir di garasi. Pasti rumah Arini seperti yang ada di sinetron itu, besar dan mewah. Ah aku ingin seperti dia, punya rumah bak istana.

“Apakah kamu juga punya mobil Arini?”

“Ya iyalah...... kami punya banyak mobil. Papaku ada mobil sendiri, mamaku juga, aku juga dikasih mobil plus sopir yang mengantarku kemana saja!”

“Mobilmu seperti yang di film-film itu ya?” Tanyaku kagum.

Arini mengangguk bangga. Lalu kami terhanyut dengan percakapan tentang kemewahan yang sering hadir di televisi lewat sinetron-sinetron itu. Rasanya asyik sekali dan membuat diriku berbunga bunga. Berharap bisa hidup seperti Arini, laksana putri dalam kisah dongeng. Pasti menyenangkan punya kehidupan seperti itu.

Tak terasa sore tergantikan dengan petang, suara Adzan terdengar merdu dari arah surau di kampung padat kami. Tapi aku tetap bercengkerama dengan Arini, mengurai mimpi dan menempelkan di khayalan kehidupan kami.

“Surtiiiiiiiiii...............” Tiba-tiba suara lengkingan keras dan panjang mengagetkanku. Aku segera beranjak dari tempat tidurku menuju arah depan. Ternyata ibu sudah pulang dari tempatnya bekerja. Ibu membawa kunci sendiri jadi dia bisa leluasa membuka pintu depan.

“Ada apa bu?”  Tanyaku bengong.

“Aduuuuhhhh....... pusssiiiiiing!!!! Ngapain aja kamu di rumah? Lihat rumah kotor begini! Pasti kamu juga belum memasak kan?“ Hardik ibu galak seperti nada ucapan bu Darmi tadi.

“Aku tadi lagi ada tamu bu, temanku main kesini!” Jawabku kalem.

“Siapa pula temanmu itu? Dewi si anak penyanyi terkenal, Bertha si bintang film terkenal atau Vivi si model terkenal?” Teriak ibu geregetan.

“Bukan bu, Arini yang datang bu. Arini itu putri seorang konglomerat.... dia......”

“Halah... capek.. capek... sadar Surti... sadar!!!” Sungut ibuku sambil berlalu menuju ke dalam.

Aku melongo, aku ingin sekali bercerita kenapa ibu bahwa sekarang ini aku ingin seperti Arini. Kemaren sih memang aku ingin seperti Vivi, dan kemarennya dulu ingin seperti Bertha.... tapi sekarang ini aku ingin seperti temanku yang baru : ARINI... temanku yang cantik dan seperti di sinetron-sinetron itu.


ARWAH SANG PENGANTIN

(Gambar Hanya Ilustrasi siambil dari Film Corpse Bride)

Seperti biasa setiap malam minggu, aku dan beberapa teman-teman kampungku selalu nongkrong di warung angkringan di perempatan jalan kemudian dilanjutkan main gitar dan nyanyi-nyanyi di bawah pohon besar dekat angkringan tersebut hingga dini hari.

Suatu malam terjadi tragedi dimana sepasang kekasih tertabrak motor ketika sedang menyeberang di perempatan jalan. Mereka barusan membeli makanan dan ketika mau pulang saat menyeberang tiba-tiba ada motor dengan kecepatan tinggi langsung menabrak pasangan itu. 

Spontan saja semua pengunjung warung angkringan termasuk diriku berhamburan keluar untuk menyaksikan kejadian tersebut. Si pengemudi motor hanya mengalami lecet-lecet di tubuhnya. Sedangkan si perempuan yang ditabrak langsung tewas di TKP karena kepalanya luka parah dan yang laki-laki juga luka parah hingga tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke rumah sakit.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, di suatu malam minggu seperti biasa aku dan teman-teman kampungku ngumpul di warung angkringan dan dilanjutkan nongkrong di bawah pohon besar sambil bermain gitar dan nyanyi-nyanyi bersama. Di sela-sela kami bermain gitar, tiba-tiba Anton menceritakan tentang sepasang kekasih yang mengalami kecelakaan tempo hari.

“Wah.... kasihan sekali nasib orang yang ketabrak kemarin. Hingga saat ini, laki-laki tersebut belum sadarkan diri..” Cerita Anton dengan mimik serius.

“Lho kok kamu tahu, memangnya kamu kenal orang itu?“ Tanya Andi.

“Iya kenal... orang kampung sebelah dan ternyata dia adalah teman sekantornya adikku. Namanya Rudi, tadi siang aku dimintai tolong adikku untuk menemani membesuknya di rumah sakit.” Jawabnya. ”Sedihnya lagi, ternyata ia baru saja melangsungkan pernikahannya dua hari sebelum terjadi tragedi kecelakaan itu....” Lanjutnya.

“Hhhmmm.... sungguh kasihan nasibnya...” Gumamku lirih.

Kemudian kami melanjutkan bermain gitar hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Tiba-tiba saja hujan gerimis sehingga banyak pedagang yang memutuskan untuk memberesi dagangannya dan pulang. Padahal biasanya mereka berjualan hingga dini hari menjelang subuh.

Ketika itu, tinggal kami berempat –Anton, Andi, Hendra, dan aku sendiri (Agus)- yang masih nongkrong di pohon besar itu. Dan hujan gerimis pun kin lama berubah menjadi agak deras dan deras. Akhirnya aku dan ketiga temanku berteduh sambil main gitar di depan warung makan di pinggir jalan dekat perempatan itu. 

“Wah.... kayaknya hujannya lama nih...” Seru Anton.

“Iya nih... mana udah malam lagi... jadi tambah dingin...” Sahut Hendra.

“Hhmmm bagaimana kalau kita pulang sekarang bonceng Agus secara bergantian... gimana Gus? Usul Andi sambil melirikku.

Saat itu aku memang membawa motor, karena sebelum nongkrong di warung angkringan aku diminta ibuku mengantarnya di rumah Budhe Dharmi.

“ Ya... ayo, siapa dulu nih.” Jawabku.

“Bagaimana kalau Anton dan Andi kamu antar duluan Gus, aku tunggu disini..” Usul Hendra.

“Bener nih Ndra... kamu nggak takut sendirian nunggu disini.” Sahut Anton.

“Nggak papa Ton... lagian kan rumah kalian berdekatan dan jaraknya paling dekat dari sini.” Lanjut Hendra

“Okelah kalau begitu... ayo Gus kita cabut sekarang.” Seru Andi

Akhirnya aku mengantar Anton dan Andi pulang duluan dengan naik motor bertiga. Sesampainya Anton dan Andi sampai rumahnya masing-masing, aku kembali lagi untuk menjemput Hendra. 

Dari seberang jalan nampak Hendra sedang menungguku sambil bermain gitar, dan ada seseorang wanita berdiri tak jauh di sebelahnya.

“Wah beruntung sekali nih Hendra... ditinggal sendirian malah dapet cewek..” Gumamku sambil lanjut menyeberang menuju ke tempat Hendra. 

Begitu aku tiba di tempat Hendra, pada saat yang bersamaan muncul seorang laki-laki dengan mengendarai motor menuju tempat kami. Dan ternyata laki-laki itu adalah adik Hendra yang baru pulang shift malam. 

“Wah kebetulan nih.... Aku bonceng adikku aja Gus.” Kata Hendra sambil langsung naik ke boncengan motor adiknya.

“Lho.... lalu bagaimana dengan...” Belum selesai aku bicara, Hendra sudah memotongnya..

“ Yuk kita pulang sekarang Gus... dah kedinginan berat nih” Teriak Hendra sambil menyuruh adiknya segera menstarter motornya.

Tinggallah aku sendiri yang masih duduk di atas motorku. Ingin pulang sekarang tapi aku tak tega melihat cewek itu sendirian disitu. Kulihat cewek yang sedari tadi bersama Hendra. Wajahnya pucat pasi dengan rambut panjang terurai agak basah terkena hujan.

“Payah... nih Hendra, ada cewek malam-malam dibiarkan dan ditinggal sendirian begitu saja, benar-benar tidak punya perasaan nih Hendra.” Gumamku dalam hati.

“Mbak lagi nunggu siapa? Sudah malam mbak, atau mari saya antar saja?“ Tanyaku sambil menawarkan bantuan.

“Nunggu ojek mas, tapi tidak ada yang lewat. Mas, bisa tolong antar saya ke rumah sakit?“ 

“Oo... iya.. iya bisa mari silakan bonceng.” Jawabku sambil menyuruhnya segera membonceng. Setelah perempuan itu naik di motorku, aku segera menstarter motorku dan menuju ke rumah sakit. Untung saja hujan sudah reda, sehingga aku tidak perlu menggunakan mantel. Di tengah perjalanan tiba-tiba tercium harum bunga melati yang biasanya buat orang pas kawin. Dan tiba-tiba saja bulu kudukku terasa berdiri. Entah karena kedinginan atau ketakutan aku tidak bisa membedakannya. Untuk menghilangkan rasa itu, aku berusaha sok akrab dengan perempuan itu.

“Siapa yang sakit mbak?“ Tanyaku. 

“Suami saya mas.” Jawabnya datar

“Oooo... kenapa nggak siang-siangan aja to mbak, malam-malam begini apa diijinkan sama rumah sakit?“Lanjutku

“Nggak papa kok mas. Kami dah janjian mau menjemputnya mas. Petugas rumah sakit pasti maklum mas.” Jawabnya

Beberapa saat kemudian, sampailah kami di rumah sakit. Begitu turun wanita itu berkata kepadaku.

“Mas bisa minta tolong lagi?“ Tanyanya

“Apa mbak?“ jawabku singkat

“Bisa antar saya sampai ke dalam ruangan suami saya dirawat?“Pintanya

“Oh.... ya nggak apa-apa... mari.”

Akhirnya sebelum aku pulang, aku mengantar perempuan itu terlebih dahulu masuk ke dalam rumah sakit. Aneh sekali suasana rumah sakit saat itu. Sangat sepi sekali, tidak ada satpam, perawat jaga, maupun penunggu pasien yang biasa tidur di lorong-lorong rumah sakit. “Aneh... pada kemana ya... kok sepi sekali.” Pikirku.

Beberapa saat kemudian, sampailah kami disebuah kamar no 3 di ruangan Cendana. Sekilas aku membaca nama identitas pasien yang terpampang di depan pintu. Disitu tertulis nama pasien.” Rudi Baskara.” Kemudian perempuan itu membuka pintu dan berkata padaku.

“Terimakasih mas sudah mengantar saya, hati-hati pulangnya.” Kata perempuan itu sambil menutup pintu tanpa mempersilakan aku masuk. Aku pun segera memutuskan untuk segera pulang karena waktu juga sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari.

Sampai di rumah aku segera bergegas ke kamar mandi cuci muka dan langsung ganti baju karena bajuku yang tadi agak basah kena hujan. Dan lanjut ke kamar untuk segera tidur karena besok harus bangun pagi karena ada gotong royong menyambut tujuh belasan.

Paginya saat bergotong royong, aku bertemu dengan Anton, dan Hendra. Sambil membersihkan selokan rame-rame, aku bertanya pada Hendra.

“Ndra... tega sekali sih kamu semalam... masak ada cewek sendirian kamu tinggal begitu saja.” Tanyaku penasaran pada Hendra. Tidak biasanya sih Hendra berperilaku sama cewek. Soalnya dia kan agak-agak play boy hehehe.

“Cewek yang mana? Semalam kita kan nongkrong di warung angkringan terus kehujanan. Semalaman aku tidak ketemu cewek bro.... kecuali ibuku ama mbah putri heheh.” Jawabnya sambil bercanda.

“Lalu... cewek semalam itu...” Tanyaku sambil menceritakan kejadian semalam. Di tengah-tengah ceritaku, pada saat aku berkata tentang nama pasiennya adalah Rudi baskara... spontan Anton yang dari tadi tidak begitu menyimak ceritaku tiba-tiba berseru.

“Haaaa....... apa??....... Rudi Baskara?? Bagaimana kabarnya, apa jenazahnya sudah dibawa pulang?“ 

Begitu aku mendengar teriakan Anton, aku menjadi tambah bingung dan linglung. Kemudian Anton bercerita, kalau tadi malam sekitar pukul 02.00 adiknya mendapat kabar kalau temannya Rudi yang tidak sadarkan diri setelah mengalami kecelakaan di perempatan itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tadi malam tepat jam 01.30.

“Jadi.... wanita yang semalam itu....”  Tanyaku penasaran dalam hati


Wednesday, January 20, 2021

TEMAN SEPERJALANAN

 (Gambar Ini Hanya Ilustrasi)

Rasanya belum lama aku meninggalkan kampung halaman untuk merantau mengais rejeki di negeri orang, eh ternyata sudah hampir sepuluh tahun meninggalkan tanah air. Sudah tiga kali aku melanjutkan kontrak dan sekarang aku berencana kembali ke desa untuk mencoba peruntungan lain. Kepingin juga bekerja dinegeri sendiri, dengan modal yang sudah aku kumpulkan aku berencana berwirausaha kecil kecilan untuk melanjutkan hidup, siapa tahu berhasil. Apalagi usiaku juga mulai beranjak tua, kalau tidak mulai sekarang mencoba bekerja di tanah air sendiri mau kapan lagi? Karena biasanya ada batasan usia untuk bekerja ikut orang. Sepertinya sih enak bisa kerja buat diri sendiri, bisa bebas membuat aturan main sendiri walaupun resikonya juga mesti ditanggung sendiri hehehe.

Saat ini aku masih berada di pesawat yang sama bersama Sundari teman ku sesama TKW yang sudah habis masa kontrak nya dan bermaksud pulang kembali. Pesawat dari Jakarta yang membawa kami ke Jogjakarta.

“Beneran nih kamu nggak mau lagi kerja di luar negeri?” Tanya Sundari seperti tidak percaya.

“Iya.” Jawabku.” Pingin kerja di tempat kelahiranku saja.” Lanjutku lagi.

“Halah... mau kerja apa? Di kampung mah kesempatan kerja terbatas!” Ucapnya dengan mimik serius. Memang kuakui mencari kerja di dalam negeri susahnya setengah mati, kalau dapat tentunya aku nggak sampai hengkang keluar negeri. Seperti pepatah bilang, hujan emas dinegeri orang lebih bermakna hujan batu dinegeri sendiri. Kalau bisa mendapatkan rejeki di tanah airku tentu aku lebih memilih kerja disini.

“Aku mau berwiraswasta kecil kecilan, doanya ya?” Jawabku datar saja.

“Mau wirausaha apa nih kamu?” Tanyanya menyelidik. 

Aku tahu dia setengah tidak percaya dengan pilihan ku untuk mencoba peruntungan dengan usaha sendiri, mungkin dia mengira aku akan mencari kerja di kota.

“Aku belum tahu sih.... lihat dulu kondisi kampung bagaimana, apa yang sekiranya bisa dicari celahnya untuk kegiatan ekonomi!” Jawabku lagi dengan ragu-ragu, memang kuakui aku belum menemukan ide yang meyakinkan untuk berwirausaha, coba nanti aku lihat kondisi dulu.

“Yaaahhhh.......!” Serunya kecewa.

“Kenapa emang?” Tanyaku ingin tahu, kenapa Sundari terlihat kecewa.

“Bukan apa-apa non, mesti hati-hati saja, karena kalau nggak bagus prospeknya.. bisa bisa modalmu habis kegerus.. nah kalau sudah gitu? Mau makan apa coba... kan malu mesti nebeng orang tua terus!” Nasehat Sundari panjang lebar, tapi memang benar juga ucapannya, aku mesti mempersiapkan dengan cermat agar usahaku bisa berjalan lancar kalau perlu bisa berkembang, sebab kalau tidak tabunganku bisa habis untuk menambal usaha.

“Aku sudah memperhitungkan kok, makanya aku tidak memasukkan semua tabungan ke usaha yang belum tentu berhasil, seperti kata pepatah.. jangan menaruh telur.....”

Belum selesai aku berucap, Sundari sudah meneruskannya. ”.... di dalam satu keranjang!”

Kami tertawa bersama sama. Kami sudah mendengar kalimat bijak itu, dan memang benar adanya, kita mesti berinvestasi dibanyak bidang yang berbeda jadi bila ada satu atau dua yang gagal kita masih bisa mengandalkan yang lain.

“Eh, nanti sesampai bandara Adisucipto kamu mau naik apa untuk sampai ke rumahmu..... desa Wulungsari ya?” Tanyaku kepada Sundari, mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku mau pakai taksi saja, biar sekali jalan!” Jawabnya tenang dan yakin.

“Woooww.... nggak kemahalan tuh?” Tanyaku mencoba mengingatkan berapa banyak uang yang mesti dia keluarkan bila mau naik taksi dari bandara sampai rumahnya.

“Yaaah.. non... sesekali memanjakan diri kenapa? Buat apa kerja kalau bukan untuk diri kita sendiri? Apalagi kita masih single! So what gitu loh....” Ucapnya membela diri. Kupikir pikir benar juga kata katanya.

“Apalagi barang bawaanku banyak, kalau mesti berganti transportasi bisa repot!” Lanjutnya lagi dengan nada sungguh-sungguh.

“Tapi kamu nggak bawa uang tunai banyak-banyak kan?” Aku mencoba mengingatkan lagi.

“Ya iyalah... hari gini.... bawa uang tunai banyak-banyak berbahaya. Aku sudah transfer di rekeningku, hanya sebagian saja yang aku bawa asal cukup untuk biaya perjalanan dan biaya hidup sementara.” Urainya panjang lebar, “Kalau kamu sendiri bagaimana?” Ucapnya balik bertanya.

“Aku naik angkutan saja, tidak banyak barang yang aku bawa, hanya tas ini!” Kataku sambil menunjukkan tas yang aku dudukan di atas pangkuanku.

“Masak kamu tidak bawa barang-barang lainnya?” Kilahnya tidak percaya.

“Sudah aku kirimkan jauh hari sebelumnya! Aku memang sudah merencakan demikian. Dari bandara aku akan berjalan sebentar menuju jalan utama lalu aku akan ambil angkutan umum menuju terminal. Dari situ aku ambil angkutan lagi menuju kampungku selanjutnya aku akan naik becak atau jalan kaki saja, tidak jauh kok. Sekalian melihat perubahan yang terjadi!” Ulasku terperinci. Sundari manggut-manggut tanda mengerti keinginanku.

“Rumahmu tidak jauh sih, beda dengan aku. Paling sore atau petang sudah nyampai ya?” Ucapnya.

“Ya.” Jawabku pendek.

Percakapan kami terhenti ketika pramugari membagikan makanan dan minuman, kami menikmati sajian itu. Sambil makan aku menerawang ke masa dulu saat aku masih tinggal di kampung. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tuaku cuma petani kecil dengan lahan persawahan yang tidak terlalu luas. Bisa sekolah sampai lulus SMU saja aku sudah sangat bersyukur. Mulanya aku berharap mendapat pekerjaan dengan ijasah sekolahku itu, kenyataan persaingan kerja yang ketat membuatku kesulitan mendapatkan pekerjaan yang menurutku layak. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW. Sebenarnya was-was juga sih, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan seperti berita-berita penganiayaan TKW yang aku dengar selama ini. Tapi syukur Alhamdulilah aku bisa bekerja dengan tenang, majikanku rata-rata baik dan aku jadi betah. Aku bahkan bisa mengirim sejumlah uang untuk keluarga di kampung, adik adikku juga bisa bersekolah dengan uang yang aku kirim. Dwi –adikku nomor dua sudah menjadi tentara, selepas SMK dia mencoba ikut test penerimaan tentara, syukurlah berhasil. Dari cerita ibu, Dwi sekarang ditugaskan di Kalimantan. Sedang Tri -adikku yang terkecil, dia sekarang kuliah di sebuah universitas negeri dan hampir lulus, dia terpaksa kost di kota karena jarak antara kampus dengan rumah kami di kampung lumayan jauh. Jadi, sekarang, di rumah hanya ada bapak dan ibu. 

Namun aku juga mesti memikirkan masa depanku, tidak mungkinlah aku terus terusan bekerja, Manusia pasti akan beranjak tua dan kesempatan kerja juga semakin tipis, aku sendiri tidak mau menghabiskan seluruh usiaku dengan bekerja ikut orang. Pinginnya bila sudah berkeluarga, aku akan menjadi ibu rumah tangga yang fokus dengan suami dan anak -anak, kalaupun bekerja itu bukan karena kewajiban utama. 

“Nyampai juga akhirnya.” Seruku dalam hati sambil memasang sabuk pengaman seperti yang diarahkan, pesawat sebentar lagi akan mendarat. Kulihat Sundari juga bersiap memasangnya.

Setelah pesawat mendarat, kami keluar menuju pengambilan bagasi.

“Terima kasih Eka sudah menemaniku mengantri bagasi!” Ucapnya sambil tersenyum.

“Sama-sama, yuk kita keluar bareng!” Ajakku sambil membantunya membawakan sebagian tas bawaannya.

“Kita berpisah disini ya, salam buat keluarga!” Ucapku sambil menjabat tangan temanku itu. Dia menyambutnya dan kami saling berpelukan sesaat. Selanjutnya dia berjalan menuju layanan taksi yang ada di bandara, sedang aku berjalan santai menuju luar bandara. Memang sih ada yang menawari menggunakan mobil sewaan, tapi aku sudah memutuskan untuk naik angkutan saja, bukan pelit mau berhemat tapi aku ingin kembali ke masa lalu, bernostalgia naik angkutan umum yang padat berpeluh keringat dengan bau yang aneka macam. Juga kemudian akan naik becak sambil melihat pemandangan yang dilalui. 

Ternyata angkutan umum di jaman sekarang tidak sebanyak di jaman dulu, cukup lama aku berdiri di pinggir jalan menunggunya tapi angkutan umum kecil yang akan membawaku dari sini menuju terminal tidak juga kunjung tiba, karena capek menunggu akhirnya aku menyetop taksi dan memintanya mengantar ke terminal. Sampai disana aku mencari armada bus kecil yang melayani trayek terminal jogja menuju kota kelahiranku. Eh lagi-lagi aku mendapati bus yang aku tumpangi itu sepi penumpang. Beruntung juga sih, jadinya aku tidak perlu berdesakan seperti dulu. Aku memilih duduk dekat jendela dan pintu bus agar nanti kalau mau turun lebih mudah dan aku bisa melihat pemandangan alam yang aku lalui.

“Berhenti pak!” Seruku begitu sampai di sebuah pertigaan.

Setelah bus itu berhenti aku segera turun, lalu bus itupun melanjutkan perjalanan. Aku putar kepalaku kekanan dan kekiri, kok tidak ada becak atau ojek ya? Begitu pikirku, dulu di tempat ini banyak. 

Ketika kulihat sebuah sepeda motor berhenti di pertigaan ini karena akan menyeberang, segera aku menghampiri mereka untuk sekedar bertanya.

“Maaf Bu, kok tidak ada becak atau ojek ya?”  Tanyaku dengan sopan. Ibu dan anaknya yang membonceng di belakang menoleh ke arahku.

“Wah sudah pindah lokasi mbak, tuh... di dekat toko bangunan!” Tunjuknya. aku mengikuti arah tangannya.

“Kalau dari sini tidak kelihatan mbak, mungkin sekitar satu kilometeran dari sini. Memang mbak ini mau kemana?” Lanjutnya dengan bertanya.

“Ke dusun Gambangan!” Jawabku.

“‘Dusun gambangan tidak jauh dari sini mbak!” 

“Terima kasih Bu.” Kataku sambil meminta diri untuk melanjutkan perjalanan. Aku memutuskan berjalan kaki saja dari sini menuju kampung. Dari jalan dimana aku melangkahkan kaki aku melihat pemandangan sekeliling, tidak banyak perubahan. Di sepanjang jalan yang aku lalui tumbuh pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanan jalan. Di sebelahnya terhampar lahan persawahan. Sungguh pemandangan alam yang sangat cantik yang sudah tahunan tidak aku lihat. 

Di negara lain tempat aku bekerja tidak pernah kutemui pemandangan seperti ini, hanya bangunan-bangunan tinggi yang menghiasi kota. Udaranya juga tercemar polusi, beda dengan disini sangat alami dan hawanya yang segar. Apalagi saat ini sudah mulai masuk musim penghujan, sehingga tidak terlalu panas karena matahari tidak menampakkan diri, angin berhembus dengan kencang menerbangkan daun-daun, awan yang hitam gelap memayungi langkah perjalananku. Tapi aku tidak perlu khawatir, aku sudah mempersiapkan sebuah payung lipat kecil di dalam tas, jadi bila nanti sewaktu waktu hujan turun aku tinggal mengambil dan membuka payung. Aneh jalan ini kok sepi ya? Dulu biasanya ramai lho, apa mungkin karena sudah petang dan hampir turun hujan ya sehingga orang-orang malas keluar rumah? Kutengok jam yang melingkar di tangan kiriku baru menunjuk pukul enam sore lebih beberapa menit, paling setengah jam lagi aku akan nyampai rumah. 

Meski mendung menggelayut di langit dan hawa dingin mulai terasa karena angin berhembus dengan lebih kencang, aku tetap berjalan pelan dan santai. Aku benar-benar menikmati perjalanan ini. Namun ketika rintik hujan mulai jatuh menetes, aku segera bergegas lari di bawah pohon besar di pinggir jalan. Aku lalu mengambil payung dan membukanya, di bawah lindungan payung aku kembali melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan pulang.

Benar saja, hujan turun dengan cepat dari yang tadi rintik-rintik begitu saja berlanjut dengan derai hujan yang cukup deras. Payung yang aku pakai memang bisa melindungi dari arah atas, tapi dari arah samping, depan dan belakang, tidak mampu lagi karena angin kencang meniup dari segala arah. Tetes air hujan pun dengan leluasa membasahi kaki dan pakaianku. Tapi tak apalah, sudah lama aku tidak terkena tetesan air hujan... heheheh.

Tiba-tiba aku merasa ada seseorang di belakangku. Kuhentikan langkahku dan kutengok ke belakang, benar saja, aku melihat seorang perempuan berjalan di belakangku. Dia juga menggunakan payung seperti diriku, tapi payungnya lumayan besar sehingga aku tidak begitu jelas melihat wajahnya, selain karena payung yang melengkung itu, suasana yang cukup gelap karena tidak ada penerangan di sepanjang jalan ini membuatku kesulitan mengenalinya. Tapi aku tidak begitu peduli dengan itu semua, toh kami asing satu sama lain alias tidak saling kenal. Akupun melanjutkan jalan.

Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres. Bulu kudukku berdiri - karena kedinginan disebabkan hujan deras atau karena hal yang lain ya? Juga hatiku menangkap sesuatu yang ganjil meski aku tidak bisa menyebutkan itu apa. Kulambatkan langkah kakiku agar aku dan perempuan itu bisa berjalan seiring, siapa tahu kami bisa mengobrol bersama sehingga bila ada teman akan terasa tidak menjemukan.

“Mau ke dusun gambangan juga mbak?” Sapaku membuka percakapan begitu perempuan itu sudah berjajar dengan diriku. Perempuan itu berhenti sejenak, lalu menengok ke arahku, dia lalu menaikkan payungnya sedikit, kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Kulihat wajahnya yang pucat mungkin dia agak sakit. Aku yakin dia bukan warga asli dusun Gambangan, kalau dari kecil tinggal disini pastilah hapal wajah orang orangnya, apalagi bila kami sepantaran. Kalaupun ada perubahan paling cuma ukuran badan saja kalau tidak menggemuk yang mengurus... heheheh... kalau wajah.... biasanya tidak banyak perubahan, kami pasti bisa saling mengenali. Mungkin saja dia itu pendatang.

“Kebetulan, aku juga mau ke dusun Gambangan. Jalan sama-sama saja ya?” Pintaku dengan sopan. Dia diam saja tidak menjawab permintaanku, hanya saja dia memang berjalan perlahan mengikuti langkahku. Aneh, aku mencium bau bunga melati yang sangat tajam, mungkinkah dia memakai pewangian aroma melati? Aku mencoba mengajaknya berbicara tapi entahlah dia seperti tidak tertarik, karena dia cuma diam saja. Akhirnya aku juga tidak enak sendiri, siapa tahu dia itu tunawicara, begitu pikirku. Mau bertanya langsung tentang itu juga tidak etis rasanya. 

Terpaksalah selama dalam perjalanan itu kami saling berdiam diri. Tapi aku cukup senang karena ada teman. Diperjalanan dengan pesawat aku ketemu Sundari yang menemaniku dari Jakarta sampai Jogja. Eh disini aku juga ada teman seperjalanan meski aku tidak tahu pasti siapa dia. Sesampai di pintu gerbang menuju kampung aku menghentikan langkahku.

“Aku sudah sampai mbak, aku tinggal di RT 7, jadi aku akan berbelok ke kiri.” Di depan pintu gerbang ini memang ada dua jalan, yang menuju belokan ke arah kiri dan yang menuju belokan sebelah kanan. Perempuan itu juga ikutan berhenti. 

“Mbak mau belok ke kiri apa kekanan?” Tanyaku kepadanya, tapi diam saja.

“Ya sudah mbak aku duluan ya, silakan kalau mau belok ke kanan!” Seruku dengan perasaan sedikit aneh. Kok dia diam saja ya sedari tadi. 

Aku lalu berjalan ke arah kiri. Namun hidungku tetap mencium bau bunga melati itu, kutengok ke arah belakang, tapi perempuan itu sudah tidak ada. Mungkin dia berbelok ke arah kanan, dan baunya masih menempel didiriku karena tadi kami berdua sempat berjalan berdampingan.

Tak seberapa lama, sampai juga aku ke rumah orang tuaku. Kulihat rumah yang berwarna hijau muda itu, sekarang tampak kokoh berdiri dan lumayan bagus tidak kalah dengan rumah tetangga di sebelahnya. Mendadak mataku melihat pemandangan berbeda di rumah tetanggaku. Ada banyak orang disitu, sepertinya ada orang yang meninggal. Aku lalu bergegas masuk ke rumah.

“Bu, Eka pulang bu!” Seruku sambil membuka pintu depan. Kulepas sepatuku dan aku berjalan masuk ke dalam.

“Eka!” Sahut ibuku terdengar riang. Dari arah ruang makan dia setengah berlari menyambutku.

Kami berangkulan, tak terasa air mata meleleh dipipi, sudah lama kami tidak saling bersua, hanya surat dan suara lewat telepon saja.

“Kenapa tidak mau dijemput sih? Nih lihat sampai rumah hampir malam. Mana kamu kehujanan lagi!” Suara ibu begitu lembut, selama ini aku merindukan suara itu.

“Ah... pingin bernostalgia saja kok bu.” Jawabku riang, “Eh, bapak mana?” Tanyaku sambil celingukan kesana sini.

“Bapakmu lagi di rumah pak Wiryo tetangga kita di sebelah. Ada lelayu disitu! Besok kamu ikut ibu melayat ya? Katanya besok pagi sekitar jam sepuluh mau dimakamkan.!” Ucap ibu sambil membimbingku menuju ruang makan.

“Makan dulu! Ini Ibu sudah membuatkan masakan kesukaanmu!” Katanya sambil membuka tudung penutupnya. Kulihat ada sayur asam kesukaanku, komplit dengan sambal terasi dan ikan pindang goreng, juga kerupuk di dalam toples kaca.

“Asyik!” Teriakku senang. ”Tapi Eka mau berganti baju dulu bu, dan membasuh muka!” 

Ibu mengangguk gembira, selanjutnya aku masuk ke kamar dan meletakkan tas disana, kubuka almari dan kucari pakaian yang cocok, setelah itu aku beranjak ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Lalu aku kembali ke meja makan untuk menyantap masakan ibu yang sudah dipersiapkan. Selesai makan, Ibu menyaranku untuk istirahat, ikut melayat besok pagi saja. Malam ini biar ayah dan ibu yang bertandang ke rumah Pak Wiryo.

Paginya ibu dan aku menuju ke rumah pak Wiryo, sedang ayah sudah duluan tadi. 

“Ini Eka anakku yang baru pulang luar negeri!” Kata ibuku kepada bu Wiryo, aku menjulurkan tangan dan menjabat tangan bu Wiryo.

“Oh nak Eka ya, terima kasih nak, silakan duduk!” Jawabnya dengan suara yang parau karena sedang berduka.

Aku dan ibu kemudian mencari tempat duduk di rombongan perempuan. Dari pembicaraan mereka aku bisa menangkap bahwa ternyata yang meninggal itu menantu Bu Wiryo yang menikah dengan Budi anaknya yang nomor dua. Kabarnya menantunya itu meninggal karena sakit nelangsa dan stress karena kondisi ekonominya yang sulit, selain suaminya tidak ada pekerjaan tetap, Budi itu juga seringkali ringan tangan. 

Aku kurang begitu hirau dengan cerita bisik-bisik mereka, karena aku tidak mengenal perempuan itu, juga aku masih larut dengan nostalgia masa lalu, aku lebih tertarik untuk melihat orang-orang di sekitarku, banyak dari mereka yang sudah aku kenal. Juga pemandangan sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri tidak begitu banyak perubahan.

“Kamu ingin lihat jenazahnya nggak?” Seru ibu mengagetkanku. Ternyata ada pengumuman bila ada yang mau melihat jenazah diperbolehkan. Aku mengangguk dan mengikuti langkah ibu.

Di ruang tengah, kulihat peti jenazah dari kayu berada di atas meja panjang. Peti itu masih dalam kondisi terbuka untuk memberi kesempatan para pelayat untuk melihatnya. Karena ada beberapa orang yang melihatnya aku jadi tidak bisa melihat dari dekat. Aku hanya menangkap bahwa perempuan itu mengenakan pakaian warna hijau, katanya sih itu pakaian kesayangannya saat dia hidup. Untunglah akhirnya aku bisa melihat dengan lebih dekat karena beberapa wanita yang tadi di depanku beringsut dari kerumunan untuk kembali ke kursi masing-masing. 

Namun diriku terhenyak begitu aku melihat wajah jenazah itu, aku ingat betul wajah itu, dia yang menemaniku jalan kaki menuju desa Gambangan kemaren petang. Tiba-tiba kedua kakiku terasa lemas, keringat mengucur begitu deras, jantungku berdetak keras. Aku menggigil ketakutan.


RUMAH TUA PENINGGALAN KAKEK BUYUT

(Foto hanya ilustrasi)


Setelah SK pensiun ayah turun, satu bulan kemudian kami meninggalkan rumah dinas yang sudah berpuluh puluh tahun kami tempati. Kami sekeluarga kemudian pindah ke sebuah rumah tua yang tak lain adalah rumah almarhum kakek buyut saya. Rumah itu sudah diwariskan secara turun-temurun dari kakek buyut keluarga kami. Rumah dengan arsitektur Belanda yang ukurannya cukup besar bahkan sampai sekarang. Namun karena hanya di tempati oleh nenek dan kakek saya saja, rumah ini menjadi agak tidak terawat dan menimbulkan berbagai sisi menyeramkan di setiap sudutnya.

Rumah dua lantai dengan ruang tengah seperti sebuah ballroom ini setiap harinya hanya di tempati dua orang renta yang sudah semakin menua usianya. Rumah itu telah menjadi saksi meninggalnya sanak saudara sejak kakek buyut saya. Jadi tidaklah heran jika suasana aneh kadang bermunculan di tempat ini.

Suatu malam sekitar pukul 02.30 dinihari aku terbangun dari tidurku karena merasa ingin buang air kecil. Di rumah itu, kamar mandinya berada di luar rumah inti di bagian belakang tapi masih dalam satu halaman yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di halaman belakang tersebut terdapat 3 buah kamar mandi yang berderet serta sebuah sumur tua di sampingnya. Di samping sumur, terdapat pohon asam yang besar karena usianya yang sudah tua. Selain itu, di halaman belakang tersebut juga terdapat dua pohon mangga dan satu buah pohon sawo yang sama besarnya karena usianya yang juga sudah tua.

 Ketika aku berjalan di depan deretan kamar mandi tersebut, dari dalam sumur seperti terdengar suara aneh yang mengepak-ngepak. 

“Waduh... jangan-jangan ada kucing atau tikus yang tercebur ke dalam sumur nih...” Pikirku. Kemudian aku berjalan menuju samping sumur untuk menyalakan lampu agar terlihat jelas. Begitu aku menyalakan lampu, suara kepakan tersebut tiba-tiba hilang dan lenyap. Aku melongok ke dalam sumur, tapi tidak terdapat apa-apa. Akhirnya aku kembali mematikan lampu dan menuju ke salah satu kamar mandi untuk buang air kecil yang sudah sedari tadi aku tahan.

Setelah selesai buang air, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Namun aku mendengar suara orang yang sedang mandi di kamar mandi sebelahku tempat aku bauang air kecil tadi.

“Siapa nih malam-malam begini mandi.... nggak dingin apa?“ Teriakku. Namun tak ada jawaban dari kamar mandi tersebut.

“Ayah... Ibu.... atau Agus nih...” Lanjutku mencoba menebak siapa yang ada di dalam kamar mandi sambil aku mengetuk pintu kamar mandi tersebut. Namun tak ada jawaban juga.

“Ah.. paling tidak dengar, karena suara air kran yang begitu keras.” Pikirku sambil meninggalkan tempat itu menuju ke kamarku.

Hingga pagi harinya, saat kami semua sarapan pagi bersama di ruang makan aku menanyakan kepada seluruh keluargaku siapa yang dini hari tadi mandi. Tapi tidak ada yang mengaku. Termasuk juga mbok Inem, pembantu kami juga aku tanyai. Tapi mbok Inem juga menyatakan bahwa semalam dia tidak keluar ke kamar mandi. Sontak kejadian ini membuat semuanya ramai membicarakannya.

“Mimpi kalee.... kakak...” Ledek Agus, adikku

“Mungkin karena kakak masih ngantuk, jadi seperti mendengar suara-suara...” Lanjut ibuku

Malam selanjutnya, tepat jam 2 pagi aku kembali merasa ingin buang air kecil. Kemudian aku memberanikan diri kembali ke kamar mandi tersebut. Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku selalu mendengar suara orang sedang mandi. Karena rasa penasaran, aku berjalan mengendap-ngendap, hingga akhirnya berusaha mengintip ke dalam kamar mandi tersebut. Dalam jarak 1 meter sebelumnya, suara itu masih terdengar. Namun, begitu terkejutnya aku saat aku mengintip ke dalam. Tidak ada satupun orang di dalamnya! Dan suara gemericik air pun tiba-tiba berhenti. Beberapa menit kemudian, bau yang sangat harum menyengat tercium di sekitar deretan kamar mandi tersebut. Dalam keadaan gelap gulita, kamar mandi itu semakin terlihat menyeramkan. Bulu kudukku spontan berdiri karena ketakutan. Akhirnya aku berlari kembali masuk rumah inti dan menuju ke kamarku.

Esoknya, aku meminta ayah agar di dalam rumah inti diberi satu buah kamar mandi agar kalau malam hari terasa ingin buang air kecil tidak perlu ke luar dari rumah inti lagi. Untunglah ayahku menyetujui usulku tadi karena merasa kasihan melihatku setiap malam harus merasa ketakutan.


Tuesday, January 19, 2021

NEK IMAH PENJUAL KACANG

(Gambar ini hanya ilustrasi)

Sore itu, Aku, Melly, Zaskia, dan adikku -Irene- sedang asyik bermain petak umpet di rumah tua Nek Imah. Sebuah rumah tua dan kosong yang sudah tidak dihuni lagi. Konon, rumah itu ditinggali oleh Nek Imah sebatang kara. Nek Imah memang tidak punya keluarga dan untuk membiayai hidupnya, Nek Imah berjualan kacang rebus di bawah pohon beringin di perempatan jalan desa.

Saking asyiknya kami bermain, hingga tak terasa waktu sudah menjelang maghrib. Beberapa saat kemudian terdengar suara kumandang azan magrib, namun kami belum terlihat tanda-tanda ingin pulang ke rumah masing-masing (namanya juga anak-anak, hehehe). 

“Wah udah maghrib nih... udahan yuuk... besok dilanjut lagi.”  Teriak Melly.

“Iya udahan aja yuk.” Sahut Zaskia. “Dita, kamu jadi singgah ke rumahku tidak, buku yang mau kau pinjam sudah aku siapin tadi siang.” Lanjut Zaskia padaku.

“Oke... yuk kita udahan. Aku jadi pinjam bukunya ya...” Jawabku.

Kemudian aku membujuk adikku Irene untuk ikut denganku ke rumah Zaskia yang berada tidak jauh dari rumah Nek Imah dimana tempat kami bermain.

“De’ ikut yuk ke rumah kak Zaskia ambil buku.” Bujukku pada adikku, Irene.

“Nggak ah kak, aku capek. Aku tunggu sini saja ya.” Jawab adikku.

“Beneran? Ga’ takut kamu sendirian?“ Tanyaku

“Enggak sama sekali...” Lanjutnya.

“Ya udah. Jangan kemana-mana ya. Tunggu kakak disini.” Pesanku pada Irene.

“Oke....” Jawab adikku singkat.

Kemudian sepeninggal aku, Irene duduk sendirian di teras rumah Nek Imah. Tiba-tiba datang seorang nenek tua dengan membawa barang dagangan mendekati Irene. Dia berniat mengajak Irene ikut dengannya dan membantu membawakan barang dagangannya ke perempatan desa.

“Nak... bisa bantuin nenek bawa barang dagangan ini ke perempatan situ tidak?“Kata nenek itu. “Nanti nenek kasih sebungkus kacang rebus hangat.” Lanjut nenek.

“Oh iya nek.... mari saya bantu.” Jawab Irene.

Dan mereka pun pergi tanpa ada yang melihat dikarenakan hari sudah menjelang malam dan orang kampung sebagian besar melaksanakan ibadah sholat magrib. Beberapa saat kemudian aku kembali ke rumah Nek Imah, dimana tempat kami dan adikku bermain tadi. Namun, sesampainya di rumah Nek Imah tidak aku temukan Irene disana. 

“Ir... Irene... dimana kamu... ayo kita pulang...” Teriakku memanggil-manggil adikku, tapi tidak ada jawaban sama sekali.

“Ayolah de’... hari dah mulai gelap nih.” Teriakku lagi.

Setelah beberapa saat aku menunggu dan adikku tidak muncul juga, akhirnya aku putuskan untuk pulang. “Ah paling adek sudah pulang duluan..” Pikirku saat itu.

Sesampai di rumah, betapa terkejutnya aku saat ibuku bertanya dimana adikku, Irene.

“Lho Dit, mana Irene?“ Tanya ibu.

“Bukannya sudah pulang bu, tadi ku lihat dia sudah tidak ada di rumah Nek Imah. Pikirku adek sudah pulang duluan.” Jawabku.

“Irene belum pulang dari tadi, makanya Ibu tanya sama kamu. Kenapa kamu tidak menjaga adikmu.” Lanjut ibu dengan nada agak kesal dan marah.

Kemudian aku menceritakan semuanya kepada Ibu bahwa Irine ditinggalnya sendirian di rumah Nek Imah karena aku harus mengambil buku di rumah Zaskia. Dengan cemas ibu segera memberitahukan kepada para tetangganya. Tak berselang waktu lama seluruh warga kampung langsung mencari Irene. Para penduduk yakin Irene dibawa dan disembunyikan makhluk halus.

Setelah beberapa jam mencari, akhirnya para warga menemukan Irine yang sedang tertidur di bawah pohon di perempatan desa yang berjarak sekitar 2 km dari rumah Nek Imah dimana Irene bermain tadi. Para warga langsung membangunkan Irene. Kemudian Irene ditanyai oleh Ibu siapa yang membawanya kesana. 

“Irene... kenapa tidur disini?“ Tanya ibuku kepada Irene.

Menurut Irene, tadi ia diminta membantu seorang nenek membawa dagangannya ke perempatan ini. Dan menurutnya kemudian ia juga membantu nenek itu menata dagangannya hingga serta membantunya menunggui dagangan hingga tak terasa ia tertidur.

“Saya diminta bantu nenek jualan kacang disini bu, hingga aku tertidur disini. Tadi tuh Irene mau pulang, tapi banyak pembeli jadi nenek itu memintaku untuk membantunya sebentar bu, dan memberiku imbalan sebungkus kacang rebus ini.” Cerita adikku sambil menunjukkan sebuah bungkusan yang katanya isinya kacang rebus.

Kemudian ibu mengambil bungkusan tersebut dan membukanya...

”Astaga... apa ini??“ Teriak ibu dengan heran.

Ternyata bungkusan tersebut tidak berisi kacang rebus melainkan beberapa kerikil. Para warga kampung pun merasa sangat yakin kalau Irene sedang dibawa oleh makhluk halus yang menyerupai nenek-nenek penjual kacang yang tidak lain adalah arwah Nek Imah. 


MISTERI KAMAR NOMOR 213

(Gambar ini hanya ilustrasi)


Aku sebenarnya tidak bermaksud menginap di hotel ini, karena hanya akan menambah pengeluaran saja, tapi mau bagaimana lagi? Rencana yang aku siapkan sebelumnya ternyata berubah haluan, mobil yang kubawa sebagai alat transportasi mengalami kerusakan dan harus dibawa ke bengkel di kota ini. Karena hari sudah sore dan akupun kelelahan terpaksa aku memutuskan untuk menginap saja barang semalam, pikirku itu akan lebih baik mengingat kalau mau memaksakan diri melanjutkan perjalanan dengan kondisi fisik yang terbatas akan sangat beresiko.

Aku baru sadar kalau hari itu adalah musim libur anak sekolah, pantas saja beberapa hotel yang aku datangi menyatakan penuh, tidak ada kamar yang kosong. Setelah kesana kemari mencari akhirnya aku dapat juga kamar di sebuah hotel dekat bekas terminal. Dulu wilayah itu ada terminal bus sehingga banyak hotel yang berdiri di sekitarnya, tapi karena pemerintah merelokasi terminal itu ke tempat lain yang lebih luas dan berada di pinggiran kota, jadilah hotel-hotel kesulitan untuk bertahan. Sudah banyak hotel yang berdiri di sepanjang jalan dekat terminal itu berhenti beroperasi. Aku menemukan satu yang masih buka dari beberapa saja yang tersisa.

“Ada kamar kosong mbak?”  Tanyaku pada resepsionis kala itu.

“Ada pak, tapi hanya yang di lantai dua. Lantai satu sudah penuh!” Jawab resepsionis itu dengan ramah.

“Nggak apa-apa lah.” Jawabku pendek, menurutku tidak masalah untuk naik tangga lebih dahulu, yang penting aku dapat kamar dan bisa untuk istirahat.

“Maaf sebelumnya pak, lantai dua baru ada sedikit perbaikan, mungkin membuat bapak kurang nyaman, tapi hanya siang hari saja kok, kalau malam tidak ada kegiatan perbaikan” Terangnya sopan, memang seharusnya begitu memberi tahu keadaan sebenarnya daripada nanti dikomplain penyewa. Melihatku mengangguk tanda aku tidak berkeberatan, ia lalu bertanya, “Baru ada dua kamar yang bisa di tempati yaitu nomor 211 yang di dekat tangga dan yang nomor 212 yang terletak di sebelahnya. Bapak mau memilih yang mana?”

“Nomor 212 saja mbak!” Jawabku cepat, aku memang kurang suka menginap di kamar yang dekat tangga karena biasanya berisik, maklum untuk lalu lalang orang-orang. Suara-suara sepatu kadang terdengar dari kamar. Maklum ini bukan hotel besar, hanya masuk kategori hotel kelas melati. Setelah menyerahkan kartu pengenal diri dan mengisi daftar semacam formulir, aku mendapat kunci kamar.

“Perlu dibantu membawa barang?” Tanyanya lagi. Tapi ketika melihatku menggelengkan kepala, ia lalu tersenyum sambil berucap selamat beristirahat kepadaku.

Kubawa satu satunya koper kecil itu. Aku lalu berjalan perlahan meninggalkan meja resepsionis menuju ke lantai dua, tapi sebelumnya aku harus melewati kamar-kamar yang terletak di lantai satu, memang seluruh kamar telah terisi, suara berisik anak-anak terdengar dari luar. Musim liburan, pastinya banyak orang yang bepergian dengan keluarganya. Aku tidak tahu kalau hari itu sudah memasuki musim liburan, maklum aku belum berkeluarga dan waktuku habis untuk bekerja. Saat ini aku baru mengambil cuti dan aku gunakan untuk pulang mudik untuk mengikuti acara pernikahan adik perempuanku yang akan dilangsungkan di kampung, sekalian nyekar ke makam leluhur.

Di ujung kamar di lantai satu terdapat tangga yang menghubungkan lantai dua. Aku berjalan menaikinya, sesampai di lantai dua aku memandang sekeliling, deretan kamar saling berhadapan dengan nomor ganjil dideretan sebelah kiri dan nomor genap di sebelah kanan. Karena hari sudah menjelang petang, tidak terlihat kesibukan perbaikan kamar-kamar seperti yang resepsionis bilang tadi. Kulihat nomor 211 dan nomor 212 yang saling berhadapan itu, lalu aku segera beranjak menuju kamar 212, kubuka pintunya lalu kututup kembali.

Setelah aku masuk aku segera meletakkan koper kecil itu di atas meja, lalu aku rebahan di tempat tidur. Kulihat kondisi kamar ini, tidak terlalu bagus. Hanya ada satu tempat tidur ukuran double, lalu sebuah almari kayu di sisi kiri kamar dan sebuah meja kursi di sebelahnya. Terus di depan tempat tidur terdapat sebuah televisi kecil yang tertanam di kotak besi yang menempel tembok, aku jadi bisa melihat televisi itu sambil tiduran. Di sebelah kiri terdapat ruang kosong, hanya ada sebuah rak besi kecil tempat menaruh handuk yang berhadapan dengan pintu kamar mandi. Belum selesai aku memandang sekeliling, suara ketukan di pintu terdengar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu, ternyata seorang room boy yang membawakan handuk dan baki berisi gelas kosong dan satu teko minuman.

“Terimakasih mas.” Ucapku begitu aku menerimanya. Room boy itu tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Mas, di lantai dua ini apa hanya kamar ini yang terisi?” Tanyaku berbasa basi.

“Iya mas, hanya ada dua kamar tapi baru satu yang terisi, ya kamar ini. Kamar lainnya masih dalam proses perbaikan ringan.“ Jawabnya sambil permisi mau kembali ke tempat kerjanya.

Setelah aku meletakkan baki minuman di atas meja dan handuk di rak besi di depan kamar mandi aku membuka pintu kamar untuk melihat sekeliling. Suasana sepi melingkupi lantai dua, maklum hanya satu kamar saja yang terisi yaitu kamar tempat aku menginap. Kebetulan begitu pikirku, aku jadi bisa tidur dengan tenang, aku bisa membayangkan bila suasana kamar di lantai dua seperti yang ada di lantai satu, pasti berisik sekali, karena banyak yang menginap dengan keluarga dan anak-anak kecil. 

Kututup kembali pintunya, setelah aku kunci, aku ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Aku berencana meluangkan waktu untuk ke pusat kota mencari oleh-oleh bagi sanak saudara di kampung. Khusus adikku yang mau menikah lebih baik aku memberi hadiah uang tunai saja, lebih bermanfaat dan flexible.

Selepas sholat Isya aku beranjak meninggalkan kamar untuk menuju kota. Kutitipkan kunci kamar ke resepsionis lalu aku berjalan ke arah mobil yang aku parkir di depan hotel. Kunyalakan mesinnya lalu aku membawanya ke pusat kota.

Ternyata di kota suasananya sangat padat, mall yang aku kunjungi ramai dengan orang-orang yang berwisata. Momen itu dimanfaatkan oleh Mall dengan memberi diskon barang gede-gedean. Aku memutuskan membeli beberapa pasang kaos untuk oleh-oleh kemenakanku nanti, selanjutnya aku pergi ke gerai makanan untuk menikmati makan malam. Jadi nanti aku bisa langsung pulang tanpa perlu mampir dulu ke warung makan.

Sekembali dari mall di pusat kota, aku langsung menuju kamar. Setelah memarkir mobil di depan hotel dan meminta kunci kamar aku berlalu menuju tangga. Di lantai satu masih berisik dengan aktivitas para penghuninya, terutama yang membawa keluarga. Kulangkahkan kakiku setingkat demi setingkat dianak tangga, dan akhirnya sampailah di lantai dua. Suasana hening langsung menyergapku, berbeda sekali jika dibandingkan suasana di lantai satu. Kamar-kamar yang saling berhadapan seakan membisu mengikuti keheningan yang ada. Tidak ada seorangpun di lantai ini kecuali diriku. Kubuka pintunya lalu aku kunci dari dalam. 

Setelah berganti pakaian dan membasuh muka serta menggosok gigi, kurebahkan diriku di atas tempat tidur. Remote televisi yang ada di atas meja aku ambil, lalu kuhidupkan televisi dan mencari saluran yang sekiranya menyajikan acara yang menarik bagiku. Aku mencari saluran yang menayangkan berita atau olah raga. Saat aku melihat acara berita di televisi mendadak handphone berbunyi. Aku segera mengecilkan suara televisi dan meraih handphone, sebuah nomor yang sudah sangat aku hapal muncul dilayar.

“Hallo, malam!” Aku membuka percakapan.

“Malam juga mas Nono!” Suara seseorang diseberang terdengar suka cita.

“Nina ya?” Seruku, aku hapal betul dengan suara itu. Itu suara Nina adikku yang akan menikah itu.

“Iya mas, dimana nih? Katanya petang tadi sampai rumah?” Tanyanya penuh harap.

“Oh maaf Nin, aku lupa memberi tahu, mobilku mengalami kerusakan terpaksa aku membawanya ke bengkel dan sore tadi baru selesai. Aku lelah sekali jadi kuputuskan menginap dulu buat semalam, besok pagi aku melanjutkan perjalanan, mungkin sore aku sudah nyampai kok. Nggak apa-apa kan? Belum terlambat kan?” Terangku panjang lebar.

“Oh, tidak apa apa mas, upacara pernikahannya kan juga masih tiga hari lagi. Nggak terlambat lah. Aku senang sekali mas Nono bisa hadir di pernikahanku!” Seru adikku itu tampak gembira, lalu lanjutnya. ” Ya sudah mas kalau masih capai, istirahat saja dulu jadi besok pagi bisa langsung jalan.”

“Ok deh, daaaa... Nina!” Aku lalu menutup handphoneku, selanjutnya aku kembali mengeraskan volume televisi dan melihat berita. 

Pelan tapi pasti rasa kantuk mulai menyerangku, aku matikan televisi dan berusaha untuk tidur, dengan kondisi badan lelah dan keheningan yang ada cukuplah membuatku segera tertidur. 

Entah jam berapa aku kurang begitu tahu pasti, dalam rasa kantuk yang masih menggelanyut aku seperti mendengar suara gaduh yang berasal dari kamar luar. Ah mungkin ada penghuni di kamar depanku, begitu pikirku. Biasa lah kalau baru masuk kamar, pasti bikin keributan. Makanya aku acuh saja dan melanjutkan tidurku. 

Tapi kemudian aku dikejutkan dengan suara yang menggedor gedor pintu kamarku, aku segera terbangun dan mataku langsung mengarah ke pintu, kulihat gagang pintu yang seperti mau dibuka dari luar. Belum lepas rasa terkejutku tiba-tiba suara suara gaduh itu menghilang. Gagang pintu juga kembali seperti semula. Apa mungkin orang itu mengira kamar ini yang kosong dan mau menempati? Tapi kayaknya tidak mungkin, aku yakin tiap kamar cuma ada ada dua kunci, satu untuk kunci para penghuni dan satu lagi kunci utama yang disimpan. Karena suasana kembali hening, akupun berusaha melanjutkan tidurku. Pasti tadi orang yang keliru kamar, tidak melihat nomor yang tertera, begitu aku menyimpulkan. Karena masih mengantuk akupun dengan cepat kembali tertidur. Tapi belum lama aku memejamkan mata, kejadian tadi terulang kembali, aku mendengar suara gaduh dari kamar lain, juga gagang pintu yang digerak gerakkan dari luar bermaksud mau membuka paksa pintu kamarku.

“Wah ini tidak bisa dibiarkan!” Aku berkata dalam hati. Lalu aku mengambil kunci kamar yang tadi aku letakkan di atas meja dan berusaha membukanya, aku akan mengatakan pada orang itu bahwa kamar ini sudah ada yang menempati, dan aku sangat terganggu dengan kegaduhan yang telah dibuatnya. Tapi sesaat kemudian aku berpikir tentu tidak pantas bagiku untuk menegurnya karena kita sama-sama penyewa. Yang lebih berhak untuk mengatakan itu tentu pengelola hotel ini lewat karyawan yang bekerja.

Keluar dari kamar aku bermaksud langsung turun ke bawah menuju bagian resepsionis untuk melaporkan hal itu, namun aku terhenyak ketika tanpa sengaja mataku menoleh ke arah kamar depan samping nomor 211 yaitu yang bernomor 213 itu, kamar itu tampak sedikit terbuka dan suara gaduh kembali aku dengar. Hati yang jengkel karena sejak tadi diganggu, aku langsung melangkah ke kamar itu dan membuka pintunya lebih lebar, aku akan bilang kalau aku terganggu dengan kegaduhan yang mereka bikin, bila mereka tidak peduli dengan keluhanku... ya terpaksa aku harus mengadu ke resepsionis.

Tapi ketika pintu itu terbuka lebar, aku melihat pemandangan yang sangat mengagetkan dan sangat mengenaskan. Di hadapanku kulihat seorang lelaki yang menghajar seorang perempuan. Darah bercucuran membasahi tubuh si perempuan.

“Hai pak.... tolong hentikan!” Hardikku keras. Aku tidak tega melihat perempuan itu.

Lelaki itu menoleh ke arahku begitu aku berkata dengan keras tadi, kulihat matanya yang merah laksana api yang menyala karena kemarahan yang meluap luap, dia tampak sangat mengerikan. Ternyata dia membawa pisau yang berlumuran darah di tangan kanannya. Melihat gelagat yang kurang baik aku segera mengambil langkah seribu untuk meminta pertolongan.

Kuturuni tangga itu dengan tergesa, begitu sampai lantai satu aku bergegas berlari ke meja resepsionis untuk melaporkan kejadian tadi.

“Pak... pak... tolong... tolong...!”  Teriakku.

“Ada apa pak?” Tanya resepsionis pria yang ada di depanku dengan wajah bingung.

“Ada... ada.... ada penganiayaan...... di kamar depan.... di sebelahnya.... bahkan sampai... sampai berdarah darah! Kita mesti lapor polisi!” Seruku terbata bata.

“Maaf pak.... mmhmm... mari bapak duduk dulu!” Kata pria itu sambil menuntunku duduk di kursi, lalu dia mengambilkanku segelas air putih.

“Sebentar ya pak!” Katanya seraya menyerahkan gelas itu kepadaku. Kulihat ia tergesa berjalan ke arah security di depan, lalu mereka datang menghampiriku.

“Maaf pak, bisa menceritakan lagi kejadiannya seperti apa?” Tanyanya sambil duduk di hadapanku berdampingan dengan satpam.

“Aku melihat orang dianiaya di kamar 213! Seorang perempuan dihajar lelaki!” Begitu aku menjawab dengan lugas. Kulihat mereka melongo mendengar penjelasanku, lalu mereka saling menatap penuh keheranan.

“Maaf pak... di lantai dua cuma kamar bapak yang dihuni... lainnya masih kosong!” Ucapnya terkesan hati-hati.

“Tapi.....” Aku berhenti sebentar, “Aku tadi benar-benar melihatnya!”

Kali ini aku melihat mereka seperti ketakutan, maka aku segera melanjutkan kata kataku, “Tolong.... mari kita keatas segera. Kasihan perempuan itu. Atau kalau perlu aku akan telpon kantor polisi saja agar....”

Belum selesai aku berkata, satpam segera memotongnya, “Iya pak.... kita lihat saja langsung! Bila memang ada penganiayaan tentu kita akan mencoba menghentikannya, kalau perlu kita lapor polisi!” Resepsionis tampak ragu-ragu mengikuti ucapan si satpam, tapi kemudian ia mengikuti kami berdiri dan berjalan menuju lantai dua. Ia juga membawa kunci cadangan seperti permintaan si satpam.

Sesampai di lantai dua kami mendapati kamar 213 tertutup rapat, aku mencoba membukanya tapi tampaknya terkunci. Lalu si satpam meminta kunci yang dibawa temannya tadi dan membukanya. Setelah terbuka dan lampu dinyalakan aku melihat situasi dalam kamar yang benar-benar berbeda. Kamar itu tampak rapi dan bersih, tidak ada bekas-bekas telah terjadi penganiayaan di kamar itu. Aku heran campur bingung dengan apa yang di hadapanku.

“Bapak lihat sendiri... tidak ada apa-apa kan disini?” Ucap si satpam sopan. Aku tergagap mendengar ucapannya, karena aku benar-benar yakin dengan apa yang kulihat sebelumnya karena aku dalam kondisi terjaga. Aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri.

“Mmhmmm...... maaf tadi..... aduh... aku... ach.. maaf!” Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Maaf pak, kalau memang tidak ada masalah kami mau kembali ke tempat kerja kami!” Kata si pria resepsionis diikuti anggukan kepala si satpam.

“Mmh.. tunggu sebentar! Kita ke bawah sama-sama!” Seruku sambil segera masuk ke kamar mengambil dompet. Lalu kami berjalan bersama menuju lantai satu.

“Bapak mau kemana?” Tanyanya heran ketika aku menyerahkan kunci kamar.

“Ah cuma mau mencari angin saja dan menjernihkan pikiran. Mungkin tadi aku bermimpi atau berhalusinasi!” Jawabku tidak bersemangat. Kulihat dia tampak sedikit gugup, aku menduga ada sesuatu yang dia sembunyikan tapi aku tidak terlalu peduli, aku hanya ingin keluar menenangkan pikiran dan menunggu pagi datang. Keluar dari hotel aku berjalan menuju warung angkringan di pinggiran jalan yang tidak terlalu jauh dari hotel. Aku mendapati ada dua pria lainnya yang juga sedang jajan disitu. Mereka tampak asyik menikmati nasi yang dibungkus kecil-kecil itu.

“Jahe hangat satu pak!” Ucapku memesan jenis minuman hangat itu.

Si penjual melayaninya dengan cekatan. Aku meneguk minuman itu pelan-pelan sambil membayangkan kejadian yang tadi aku alami. Agaknya si penjual tahu kalau aku lagi gundah.

“Tinggal dimana mas? Kok tidak pernah terlihat!” Tanyanya memancing.

“Ooh.... aku tinggal di hotel itu... tuh!” Jawabku sambil menunjukkan jari ke arah hotel yang dari tempat aku minum ini terlihat jelas.

“Oh.. hotel yang direnovasi itu ya?” Sambung pembeli di sebelahku. Aku mengangguk pelan.

“Hati-hati mas, disitu ada hantunya!”  Terang pria satunya lagi. Aku terkejut mendengar ucapannya, lalu aku berkata, “Masa sih? Kayaknya tenang-tenang saja tuh!” 

“Beneran mas.“ Timpal si penjual, tanpa aku minta dia lalu bercerita. ”Beberapa bulan yang lalu ada pembunuhan di kamar atas di hotel itu, kabarnya seorang perempuan dihabisi oleh pria yang jadi pacarnya. Katanya sih cemburu! Lalu pria itu juga ikutan mati bunuh diri.”

“Gila... cinta sampai segitunya!” Seru salah satu pembeli sambil geleng-geleng kepala.

“Bukan cinta.. tapi cemburunya itu yang bikin masalah!” Sambung teman di sebelahnya.

“Makanya roh mereka tidak tenang..... jadi hantu... hiiiiii!”  Tambah si penjual.

Aku terpana mendengar perkataan mereka. Kalau memang benar yang di katakan..... mungkin yang aku lihat itu hantu kedua orang itu yang mati nelangsa karena belum waktunya. Tak terasa keringat dingin mengucur membasahi mukaku, badanku pun menggigil karena ngeri. Dalam hati aku berucap aku akan menunggu pagi menjelang dan aku akan langsung check out segera.


La Planchada