Edi, Fathur, Gading, Hari dan aku sendiri –Doni- saat ini sedang duduk di atas tikar di alun-alun pusat kota. Kami membeli jagung bakar dan minuman ronde. Tiap malam minggu dan libur tanggal merah, alun-alun selalu penuh orang, baik itu para penjual, pembeli, maupun hanya kerumunan orang-orang yang sekedar jalan-jalan mengisi waktu saja. Apalagi dengan cuaca cerah yang mendukung, jadilah rerumputan lapangan alun-alun ini hampir penuh dengan tikar - tikar tempat orang-orang bersantai ria.
“Wah, jagung bakarnya pedas juga ya!” Ucap Edi, mulutnya kelihatan megap-megap setelah beberapa saat menggigit dan mengunyah jagung bakar itu.
“Kamu juga pesan jagung rasa pedas bukan yang lain.” Balas Fathur. Dia memang kurang suka makanan pedas, maka dia memesan jagung bakar rasa manis asin. Sedang Gading, Hari dan aku memilih memesan yang rasa nano-nano alias pedas, manis, asin.
“Suka sih...” Jawab Edi cuek, ia terus saja makan jagung itu. Disela sela makan ia terpaksa minum ronde karena kepedasan.
“Habis pesta jagung, kita mau ngapain lagi nih?” Tanya Hari sambil memandang kami satu persatu untuk dimintai pendapat.
“Apa ya enaknya?” Tanya Gading seakan bertanya pada dirinya sendiri, lalu dia mengangkat bahu sebagai tanda kalau ia juga belum ada ide.
“Sewa film saja…” Aku memberi usul, biasanya kami menyewa VCD film lalu menontonnya bersama sama di rumah salah satu dari kami.
“Bosan ah, inginnya kegiatan yang asyik!” Potong Fathur.
“Iya pinginnya yang gimana gitu!” Timpal Edi membela Fathur.
“Yang gimana maksudnya?” Tanyaku tak paham.
“Yang bikin adrenalin kita naik.” Jawab Edi sambil mengepalkan tinju. Tampak benar kalau Edi suka kegiatan yang ada tantangannya.
“Lhah, apa itu?” Tanya kami hampir berbarengan.
“Mmhmm… bentar aku pikir dulu! kalian juga pikirkan kira-kira kegiatan apa yang cukup menantang!” Pintanya bersemangat. Lanjutnya, ”Nanti masing-masing harus memberi usulan.”
Setelah beberapa saat berpikir, kamipun bergiliran memberi usul. Aku tetap pada pendapatku yang pertama agar menyewa film lalu menontonnya ramai-ramai, Fathur mengusulkan ke game online, Gading inginnya berjalan jalan keliling kota, sedang Hari meminta membuat permainan uji keberanian.
“Wah usulan dari Hari boleh juga tuh...” Ucap Edi tampak senang, dia menepuk nepuk bahu Hari. Edi tidak mengusulkan sesuatu karena dia bilang dia menyukai ide Hari.
“Lantas mau permainan yang bagaimana?” Tanyaku kurang bersemangat.
“Iya apaan....” Gading menimpali pertanyaanku.
“Mmh... Gimana kalau kita main uji keberanian seperti sebuah acara yang dipandu Hari Panca itu?” Hari mengucapkannya dengan gaya yang dibuat buat mirip si pembawa acara.
Gading tertawa, “Boleh juga tuh idenya, tapi mau dimana lokasinya? Trus metodenya gimana? Kan kita nggak punya kamera infra merah.”
“Ah nggak usah terlalu rumit lah. Yang penting cari lokasi dulu, dimana ya kira-kira?” Sergah Edi tampak tenang.
“Gimana kalau di kuburan di desa kita saja?” Tanyaku memberi usulan.
“Wah jangan, ada yang baru saja dimakamkan di kuburan di desa kita, takutnya masyarakat mengira kita mau mencari ilmu hitam, habis lah kita!” Edi menolak ideku. Ternyata dia itu berpikir jauh ke depan, bukan hanya tantangan yang dia pikirkan tapi juga resiko yang mungkin saja timbul.
“Kalau rumah tua yang tidak berpenghuni itu gimana?” Tanya Gading, tambahnya lagi.” Itu lho rumah tua di pinggiran desa yang sudah lama tidak berpenghuni.”
“Oh, rumah mbah Sastro almarhum ya?” Seruku .
Aku tahu rumah tua itu, setiap berangkat dan pulang sekolah aku pasti melewatinya karena jalan depan rumah itu akses jalan terdekat menuju rumahku. Rumah itu sebenarnya cukup besar dan kokoh, maklum bangunan jaman dulu, apalagi mbah Sastro tergolong orang berpunya. Jadinya dia sanggup membangun rumah yang cukup bisa dibilang besar untuk ukuran warga desa.
Namun sayang, peristiwa gempa beberapa tahun silam menghancurkan rumah itu. Mbah Sastro meninggal tertimpa kayu. Warga desa terlambat memberi pertolongan karena rata-rata mereka menyelamatkan diri masing-masing dulu baru para tetangga, sedangkan rumah mbah Sastro menyempal dari pemukiman penduduk. Anak-anaknya pun sudah pada tinggal di lain kota bahkan ada yang lain pulau. Setelah acara pemakaman, anak-anak mbah Sastro berbagi warisan. Rata-rata mereka yang mendapat warisan yang berupa barang lantas mengemasi barang-barang yang sekiranya berharga. Tapi rumah ini dibiarkan saja, tidak ada yang menempati ataupun sekedar diperbaiki, mungkin belum ada yang sempat merenovasi atau mungkin tidak ada yang mau ya? Karena kalau direnovasi kan perlu dana yang sangat besar belum lagi nanti siapa yang akan mau tinggal disini, mereka kan sudah punya kehidupan sendiri-sendiri? Akhirnya rumah itu teronggok tak terurus. Bahkan listrik nya pun dibiarkan mengalamai pemutusan. Pernah waktu aku pulang agak malam, aku melewati rumah itu, suasana gelap melingkupinya.
“Tapi sepertinya rumah itu terkunci tuh! kita kan nggak bisa masuk!” Sergahku kemudian, karena aku tahu pasti pintu depan yang terlilit rantai dan digembok dari luar. Aku bisa melihat dengan jelas saat melewatinya.
“Rumah itu kan dulu kena gempa dan belum sempat diperbaiki, pasti ada celah-celah tembok yang bisa kita tembus.” Hari mematahkan keraguanku.
“Mmh.. Iya... Pasti masih ada bagian yang rusak yang bisa kita lewati.” Edi meyakinkan kami semua.
“Ya sudah, terus gimana...?” Tanyaku tidak sabar.
“Kita membeli lilin dan korek, lalu kita ke rumah itu. Nanti kita bisa memilih sendiri ruangannya, tapi tiap ruang harus berisi satu orang saja. Uji keberanian berlangsung sampai adzan subuh, bila sebelum waktunya ada yang menyerah tinggal telpon via handphone masing-masing. Tentu saja yang kalah mesti mentraktir kita semua. Bagaimana... Setuju?” Kata Edi panjang lebar, dia seperti mudah saja mengatur strategi. Dia itu memang paling aktif diantara kami semua, juga paling pintar. Namun kuakui dia juga paling jahil. Ada saja idenya untuk melakukan hal-hal yang tidak biasanya, bahkan untuk mengerjain orang.
“Boleh saja, aku setuju. Teman-teman lain bagaimana?” Hari tampak antusias dengan penjelasan Edi, ya pantas saja kan itu ide awal dia. Ternyata teman-teman yang lain termasuk aku juga setuju dengan ide permainan uji keberanian itu.
“Kalau begitu, kita iuran, uangnya dikumpulin Ke Doni, biar dia yang membeli lilin. Kita menunggu disini saja. Kan tokonya tidak jauh dari sini!” Edi memberi instruksinya yang pertama.
“Loh kok aku?” Tanyaku protes, ada teman-teman yang lainnya.. Kenapa mesti aku?
“Gini sobat...” Kata Edi sambil merangkulku, lanjutnya.” Masak beli lilin saja mesti ramai - ramai sih? Sebagai imbalan, kamu tidak usah ikut iuran. Kita semua yang bayarin!”
Aku manggut-manggut, kupikir tidak ada salahnya juga, aku tidak perlu keluar uang untuk membeli lilin. Selanjutnya kami mengumpulkan uang, kami sepakat membeli lilin lima kotak yang berisi sepuluh biji perkotaknya beserta korek apinya. Masing-masing anak akan mendapat satu kotak lilin dan satu korek, terserah bagaimana mengatur dan pemakaiannya, mau cukup atau tidak, yang jelas waktu finish-nya pas adzan subuh berkumandang.
Kutinggalkan teman temanku untuk beberapa saat, karena aku mesti berjalan ke arah toko diseberang alun-alun ini. Tidak jauh sih, sekitar seratusan meter saja. Sekembali aku membeli lilin dan korek aku melihat teman temanku sudah tampak bersiap siap, mereka langsung bangkit dari duduknya begitu aku sudah datang.
“Lho... Langsung berangkat nih....?” Tanyaku.
“Ya iyalah, ini sudah jam sembilan malam. Kita mesti menitip motor dulu di penitipan, lalu kita jalan kaki!” Atur Edi. ”Nanti dari penitipan kita jalan kaki menuju rumah tua itu.”
“Kenapa mesti jalan kaki? Kan kita bisa parkir di halamannya?” Tanyaku protes. Jalan kaki dari tempat penitipan ke rumah itu cukup jauh, bisa satu jam lebih.
“Emang kamu gak takut motormu dicuri orang?” Balas Fathur .
“Iya.. Kan beresiko parkir motor di rumah kosong, mengundang kejahatan!” Imbuh Gading seperti meyakinkanku.
Aku manggut-manggut, tidak biasanya teman temanku sekompak ini. Tapi kupikir benar juga, sangat beresiko parkir motor di rumah kosong yang jauh dari pemukiman penduduk, seperti kata Gading... Bisa memberi kesempatan untuk sebuah kejahatan.
Selanjutnya kami bersama sama ke tempat penitipan di dekat alun-alun, lalu kami berjalan kaki dengan santai sambil bersenda gurau.
“Katanya rumah itu sudah lama tidak dihuni ya Doni?” Tanya Hari .
Belum sempat aku menjawab, Gading sudah menimpali.” Kabarnya semenjak rumah itu rusak terkena gempa, belum ada keturunannya yang mau memperbaikinya’.
“Repot kali.... Kan mereka tidak tinggal di rumah itu. Mereka ada yang tinggal di luar kota yang jauh, juga di luar pulau. Mbah Sastro selama itu tinggal sendirian.” Jawabku.
“Ooh..... Tapi ada cerita-cerita hantunya gak nih?” Pancing Edi tampak bersemangat.
“Kayaknya nggak ada tuh... Selama ini nggak terdengar kabar yang aneh-aneh soal rumah itu. Ya paling cuma gelap saja, maklum listriknya juga sudah dicabut.”
“Yaaahhh... Nggak seru dong kalau nggak ada hantunya.” Edi kelihatan kecewa..” Tapi tak apalah.. Ini kan cuma uji keberanian saja.....”
“Juga.. Nanti siapa yang kalah mesti mentraktir kita semua...” Tambah Gading.
“Kira-kira siapa nanti yang paling penakut?” Edi berandai andai.
“Paling Fathur atau Doni... Hahaha.” Celetuk Hari sambil terkekeh.
“Sorry ya..... Kita lihat saja nanti!” Ucapku yakin, atau mungkin karena terusik harga diriku karena dibilang penakut.
“Kalau aku akan usahakan bertahan sampai waktu berakhir.” Fathur menjawab pelan saja. ”Tapi... Kalian semua membawa handphone kan?” Tanyanya lagi minta penegasan.
“Nih aku bawa.” jawab Edi dan Hari berbarengan.
“Aku juga bawa kok!” Gading mengeluarkan HP nya dari saku celananya.
“Nih punyaku!” Aku ikutan menunjukan HP.
“Ya syukurlah..... Kalau semua membawa HP, jadi kalau ada apa-apa kita bisa saling telepon....”
Belum selesai Fathur berucap, Edi sudah memotongnya, “Eeits... Kita gak boleh saling telepon, itu mah sama aja.... Bukan uji keberanian namanya tapi ngobrol! Kita hanya bisa telpon satu kali yaitu kalau sudah tidak sanggup meneruskan permainan. Ok?!”
“Oh... Gitu yaa....!” balas Fathur sambil mengangguk anggukkan kepalanya..
Setelah berjalan kaki beberapa saat, kami sampai juga di rumah tua itu, jam menunjukkan angka sepuluh lebih lima belas menit. Karena gerbang yang terbuat dari besi itu terlilit rantai dan digembok kami terpaksa memanjatnya. Sampai di halaman rumahnya yang luas kami memandang sekeliling. Tampak sepi tapi tidak terlalu gelap karena langit cerah dengan bintang-bintang yang bersinar.
Rumah ini dikelilingi halaman yang luas di bagian depan, samping kanan dan kirinya, bahkan di bagian belakang ada halaman yang seperti kebun, luas dengan aneka tanaman yang tumbuh liar. Ada beberapa pohon pisang yang tumbuh disana sini, lalu tanaman kelapa di tengah kebun, terus ada aneka macam tanaman lainnya. Edi meminta lilin dan korek yang tadi aku beli, lalu membaginya masing-masing anak satu kotak lilin dan satu korek ukuran pak kecil. Dia lalu membuka kotak lilinnya dan mengeluarkan satu batang, setelah menyalakan lilin, dia memasukkan sisa lilin dan korek di saku celananya.
“Ayo sekarang kita mencari celah untuk bisa memasuki rumah ini, lalu berkeliling di dalam mencari ruangan-ruangan untuk tiap-tiap orang!” Edi memberi instruksinya lagi sambil berjalan melangkah ke samping rumah. Biasanya kalau dari arah depan pasti terkunci rapat, begitu ia berkilah. Ternyata benar, di bagian samping rumah agak ke belakang, kami menemukan jendela yang berlobang karena kaca kacanya sudah tidak ada lagi, untungnya lagi jendela itu tidak bertelaris.
Dengan mengintip dari lobang jendela itu, kami melihat kalau susana dalam rumah sangat gelap dan pengap. Mungkin untuk orang-orang dewasa yang sebagian besar berbadan besar tidak akan bisa memasukinya. Tapi bagi kami anak-anak tanggung yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, dan tubuh kami masih pada kerempeng cukuplah untuk menerobos nya. Edi, yang pertama kali masuk, sebelumnya dia menyerahkan lilin yang menyala ke Hari. Setelah Edi ada di dalam dan berdiri di dekat jendela gantian Hari yang masuk, lilin dia serahkan ke Fathur. Selanjutnya aku dan terakhir Gading.
Berada di dalam rumah dengan nyala lilin cukup terang juga untuk melihat sekeliling. Rumah itu sudah kosong, tidak ada perabotannya. Kami pikir ini ruang makan karena di samping kirinya terdapat ruang dapur yang juga kosong. Lalu kami melanjutkan langkah menyusuri rumah, ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu dan satu ruang tengah. Di belakang ada satu kamar mandi dan WC.
Meski tidak banyak kamar, tapi ruangannya besar-besar, tidak seperti rumah-rumah jaman sekarang yang ukuran ruangannya kecil-kecil. Akhirnya kami sepakat membagi ruang. Hari mendapatkan ruang tamu, Aku – Fathur dan Gading masing-masing kebagian kamar tidur, hanya saja kamar tidur bagianku agak menyempal dari kamar yang lain karena tampaknya ini kamar tidur utama. Sedang Edi menempati ruang makan yang tadi kami lewati sebagai jalan masuk ke rumah ini. Kami lalu menyalakan lilin masing-masing dan selanjutnya memasuki ruangan yang tadi sudah dibagi.
Sampai di dalam kamar, aku mengamati isi ruangan, tidak ada perabotan yang tersisa sehingga kamar ini terlihat sangat lapang. Kuletakkan lilin di tengah tengah ruangan lalu aku menutup pintu – karena tadi memang Edi sudah memberi instruksi untuk menutup pintu agar tidak melihat satu sama lain.
Selanjutnya aku duduk bersandar di tembok dan mengeluarkan handphone, bukan mau telpon tapi aku memainkan game yang ada di HP itu. Untuk mengisi waktu saja daripada bengong sendiri, tentu saja suara aku matikan agar tidak kedengaran dari luar. Kupikir teman temanku juga demikian karena tidak ada suara sedikitpun yang aku dengar kecuali suara angin sepoi-sepoi.
Beberapa saat aku bermain game, rasa kantuk mulai menyergapku, aku menguap beberapa kali. Aku berusaha untuk terus terjaga mengikuti aturan yang tadi kami sepakati bersama yaitu : tidak boleh tidur harus terjaga sepanjang malam, tapi entahlah mata ini seperti ada magnetnya yang dengan kuatnya seperti mau menutupkan kelopak mataku. Karena tak tahan terserang rasa kantuk, aku memutuskan untuk tidur saja. Tapi sebelumnya aku pasang alarm jam empat pagi. Aku berbaring di atas lantai yang terasa dingin dan berdebu itu, lalu kutaruh HP di dekat telingaku. Karena mengantuk berat akupun jatuh tertidur.
Kulewati malam dengan singkat karena aku tidur lelap sampai alarm berbunyi membangunkanku. Kubuka mataku dengan paksa, kulihat jam yang tertera di handphoneku, baru menunjuk angka empat lebih beberapa menit. Kuusap usap mukaku agar tidak kelihatan kalau aku baru bangun tidur. Kubuka fitur di HP, tidak ada keterangan panggilan masuk, berarti teman temanku bisa melewati malam dengan waktu yang disepakati, karena sebentar lagi kan adzan subuh.
Beberapa saat menunggu akhirnya suara adzan subuh berkumandang juga, aku bergegas bangkit dari duduk dan mengambil lilin yang masih menyala. Kubuka pintu kamar dan aku berjalan ke arah kamar yang lain. Kuketok pintu kamar tidur yang ditempati Fathur, tidak ada jawaban. Ketika kubuka pintunya tidak ada siapa-siapa di ruang itu, selanjutnya aku ke kamar tempat Gading, juga kosong. Perasaanku jadi tidak enak... Aku segera beranjak kekamar tamu bagian Harii... Eh sepi juga. Selanjutnya aku ke belakang menuju ruang makan. Kosong tidak ada siapapun. Aku segera mengambil HP dari saku celanaku dan menelpon Hari.
“Hallo.... Hallo.....?” Teriakku cemas. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Nomor nomor handphone teman-temanku yang lain juga aku coba hubungi tapi tidak ada satupun yang merespon, namun yang pasti aku tahu HP mereka dalam keadaan hidup alias tidak dimatikan. Kucoba berkali-kali telepon tetap saja tidak ada sahutan. Aku mulai cemas dan takut, suasana rumah jadi sangat menyeramkan meski pagi sudah menjelang, mungkin karena aku sendirian di rumah ini. Segera aku keluar rumah melalui jendela tempat kami masuk pertama kali. Setelah ada di luar aku mencoba menghubungi telpon rumah Fathur, aku akan melaporkan kejadian yang menimpa kami, mungkin saja Fathur hilang dibawa genderuwo atau apalah. Fathur anak yang paling penakut menurutku dibanding yang lain, biasanya hantu tuh paling suka sama orang penakut. Kudengar ada respon dari telponku, seseorang di rumah Fathur mengangkat telpon.
“Hallo... Siapa nih?” Tanya orang itu seperti masih sangat mengantuk.
“Saya Doni bu, teman Fathur..... Maaf bu... Fathur.....”
Belum selesai aku bicara, ibu Fathur sudah memotongnya, “Aduh ini kan masih Pagi.... Fathur juga masih tidur di kamarnya. Nanti saja ya telpon lagi, atau langsung ke HP Fathur saja nggak apa apa!” Lanjut ibu Fathur
“Fathur masih tidur?” Tanyaku terkejut dan setengah tidak percaya.
“Iya masih tidur, tadi malam dia sama teman temannya main gitar dan ngobrol-ngobrol sampai larut.” Jawabnya lagi dengan datar.
“Jadi Fathur.....”
“Iya sekarang masih tidur!” Jawab ibu tadi terdengar tidak sabar, mungkin masih mengantuk dia.
“Oh maaf bu... Maaf... Nanti aku telpon Fathur lagi.” Kataku. Setelah kudengar ibu itu menutup telpon aku pun menutup HP ku.
Aku terhenyak mendengar penjelasan ibu Fathur. Aku diam sebentar merenungkan yang telah terjadi, lalu aku menyadari kalau aku sudah dikerjain sama teman temanku, berarti sepanjang malam ini aku sendirian saja di rumah ini. Pantas saja tidak ada telepon masuk, juga aku tidak bisa menghubungi mereka, pasti mereka kelelahan karena semalaman begadang dan ngobrol-ngobrol. Ah.. Pasti tertawa-tawa sambil membayangkan ulah jahil mereka terhadapku. Aku tersenyum kecut, ”Sialan” Begitu umpatku dalam hati.