Thursday, October 22, 2020

Misteri Rumah Dinas

Kisah ini terjadi saat aku dan seluruh keluargaku menempati rumah dinas baru. Ayahku yang seorang PNS di dinas perhubungan kini sudah bisa menempati  rumah dinas setelah beberapa waktu mengantri. Itupun setelah ada teman ayah yang dimutasi ke wilayah lain.

Rumah yang kami tempati itu terletak jauh dari keramaian dan dalam satu kompleks hanya terdiri 7 rumah saja. Memang rumah dinas ini terletak tidak di suatu tempat saja melainkan menyebar di beberapa wilayah. Dan rumah kami terletak di paling pojok dan dinaungi pohon beberapa pohon bambu yang daunnya sangat rimbun hingga menutupi sebagian genting.

Di rumah itu, kamarku terletak di belakang tepat dimana rumpun pohon bambu besar yang tumbuh di luar. Bila dilihat dari jauh pohon itu seolah menanungi bagian kamarku dengan ranting dan daunnya yang lebat.

Rumah itu terdiri dari tiga kamar tidur. Ayah dan ibuku tidur di kamar depan, sedang kamar kak Rudi bersebelahan dengan kamarku. Aku sengaja memilih kamar itu karena dekat dengan rerimbunan pohon bambu, sehingga kalau siang hari pasti tidak begitu panas.

Malam itu, aku asyik main game hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Suasana terasa sepi, sepertinya semua sudah terlelap tidur termasuk kak Rudi. Mungkin kak Rudi capek seharian pergi kekampus mencari dosen untuk konsultasi skripsinya. Tidak seperti biasanya, malam itu hatiku merasa gelisah sekali. Aku merasa seperti ada yang mengawasi diriku dari luar kaca jendela. Kebetulan kaca jendela kamarku langsung berhubungan dengan keberadaan bambu besar di luar.

Karena takut ada apa-apa, aku akhiri saja game yang kumainkan sejak tadi dan segera kumatikan komputer dan beranjak tidur. Hatiku semakin tidak tenang manakala terdengar suara kilat petir yang menyambar-nyambar dan sebentar kemudian turun hujan meskipun cuma gerimis tetapi anginnya sangat kencang. Samar–samar kudengar suara berisik dari arah luar kamarku. Suara  itu seperti suara nafas orang yang terengah-engah karena kelelahan. Aku memberanikan diri untuk melihat keluar. Tapi anehnya setelah aku lihat ternyata tidak ada apa-apa. Lalu kututup lagi tirai jendela kamarku. Anehnya begitu kututup suara itu kembali terdengar lebih keras. Hal ini jelas membuat aku semakin takut.

Dalam ketakutan itu, aku berusaha untuk membaca–baca doa. Berbagai macam doa aku baca saat itu hingga aku kelelahan dan akhirnya tanpa sadar aku tertidur. Di tengah tidurku, samar-samar aku mendengar ada seseorang mengetuk jendela kamarku. Karena saking mengantuknya, aku berusaha cuek dan tidak menghiraukan suara tersebut. Namun, suara ketukan itu semakin lama semakin jelas di telingaku dan diikuti suara rintihan perempuan yang sedang menangis hingga membuatku terbangun. 

Kulihat jam di kamarku menunjukkan pukul 3.45 dini hari. Aku mencoba memasang telingaku baik-baik dan memang benar ada yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku. Aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju jendela kamar. Begitu sampai di dekat jendela, tiba-tiba suara ketukan tersebut menghilang. Sebenarnya aku ingin mencoba membuka tirai jendela kamarku, namun kuurungkan niatku karena takut ada apa-apa. Aku membalikkan badan dan menuju ke tempat tidur lagi. Namun, begitu aku membalikkan badan suara ketukan tersebut muncul lagi dan terdengar sangat jelas. 

Akhirnya, kuberanikan diri untuk mendekati jendela kamar dan membuka tirainya. Pikirku toh sebentar lagi suara adzan subuh berkumandang, pasti kalau yang mengetuk tadi hantu bakalan takut.

Pelan tapi pasti ku mencoba membuka tirai jendela kamar... Ternyata tidak ada apa-apa. “Sial... Gak ada apa-apa.“ Pikirku..... Sebentar kemudian aku mendengar suara berisik di rerimbunan pohon bambu. Aku mencoba membuka jendela kamar dan melihat sekeliling ternyata juga tidak ada apa-apa. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada satu titik di salah satu pohon bambu paling besar. Samar-samar kulihat seorang wanita berpakaian putih-putih dengan raut wajah hampir rusak menatapku tajam dan tertawa meringis kepadaku... Seketika itu juga aku terjatuh tak sadarkan diri. Tak lama kemudian, seperti ada orang yang mengguncang-guncang tubuhku.

“Bangun... Bangun... Dek, kok tidur di lantai...” Terdengar suara orang membangunkan aku. Perlahan ku membuka mata... Ternyata kak Rudi sudah berada di depanku.

“Adek kenapa tidur di lantai, mana jendela tidak ditutup lagi...” Tanya kak Rudi

Seketika juga aku teringat dengan apa yang kualami dini hari tadi. Kupeluk kak Rudi dengan gemetaran sambil berkata...

“Kak Rudi, mulai ntar malam kita gantian kamar ya...“

Hantu di Kereta Api

Malam itu Nina mengamati aku yang sedang berkemas, kuambil beberapa pakain dan menatanya di dalam koper.

“Baju  untuk test wawancaranya jangan lupa!” Nina mengingatkanku.

“Ya iyalah, nih...!” Kutunjukkan pakaian yang aku siapkan untuk itu, atasan putih tanpa lengan dari bahan katun, sebuah rok pendek selutut warna biru tua dan blaser warna biru laut.

“Wah sudah seperti karyawati tuh.” Nina meledekku.

Aku tertawa.” Katanya mesti memberi kesan yang bagus... Heheheh.” 

Pakaian yang aku punya untuk test wawancara  memang tidak banyak, hanya punya tiga pasang saja termasuk yang akan kubawa ini. Sayang saja kalau buang-buang uang buat membeli baju  yang jarang-jarang dipakai. Yang penting baju yang aku pakai rapi dan terkesan formal.

Aku dan Nina memang baru saja lulus kuliah, seperti fresh graduate lainnya, kamipun baru getol getolnya mencari pekerjaan. Sebenarnya kami juga merintis usaha kecil kecilan. Aku, Nina dan beberapa teman  mencoba merintis usaha  butik dan les privat anak-anak sekolah. Tapi hasilnya belum begitu kelihatan, ya namanya masih perjuangan. Tapi kami sudah sepakat bahwa bila ada yang mau meninggalkan usaha  ini  juga tidak apa-apa, pokoknya flexible saja.

Nina mengambil surat panggilan test  yang aku terima melalui email dan aku print.

“Kayaknya perusahaan besar dan bonafid tuh…” Ucapnya mantap, “Perusahaan asing ya?”  Tanyanya kemudian.

“Yup, perusahaan asing. Doakan ya semoga diterima?” Harapku, namun demikian aku tidak terlalu ngoyo, aku menyadari sainganku pasti banyak dan yang namanya menjalani test wawancara belum merupakan indikasi aku pasti diterima, tapi paling tidak lamaranku diperhitungkan.

“Pastinya lah.... Tapi ingat.. Kalau diterima jangan lupa syukurannya!” Kata Nina sambil tersenyum genit. Lalu kami berdua tertawa. Setelah selesai berkemas, aku  tidur.

Kuambil koper yang tadi malam kusiapkan. Kulihat lagi jam yang melingkar di tanganku, sudah menunjuk pukul enam sore. Berarti aku harus segera ke stasiun.

“Sudah jam enam nih, berangkat sekarang saja ya?” Kataku kepada Nina teman sekamarku. Aku dan Nina memang berbagi kamar kost. Karena aku mau ke Jakarta, kuminta Nina mengantarku sampai stasiun. Kali ini aku mau ke sana dengan menggunakan kereta api.

“Boleh, tapi dicek dulu jangan sampai ada yang tertinggal.” Ucap Nina mengingatkanku.

Kuraih tas satunya lagi, tas yang nanti akan kulingkarkan dibahuku. Kubuka kembali tas itu dan kuteliti sekali lagi. Dompet, handphone, novel, surat panggilan test wawancara, notes kecil, ticket, tissue, sisir kecil, semua sudah ada di dalamnya. Tas plastik yang berisi oleh-oleh buat tante Weni juga sudah aku siapkan. Sedang koper yang berisi pakaian, peralatan mandi dan rias sederhana tidak aku periksa lagi. Di koper  itu aku juga menyimpan sedikit uang yang aku taruh di dalamnya. Untuk jaga-jaga saja, siapa tahu terjadi sesuatu aku masih menyimpan uang di tempat lainya.  

“Sudah lengkap tuh!” Kataku.

“Beneran nih? Tuh lihat jaketnya ketinggalan!” Tangan Nina menunjuk jaket yang masih tersampir digantungan baju ditembok kamar kost.

“Oh iya.. Lupa... Heheheh!” Aku tertawa kecil lalu segera kusambar jaket itu dan memakainya.

“Di dalam kereta kan dingin, apalagi kamu pakai kereta  kelas eksekutif.“ Terang Nina Aku mengangguk setuju.  Setelah semua siap, Nina mengunci kamar kost. Kami berdua lalu beranjak ke luar menuju samping rumah tempat garasi tempat motor anak-anak  kost. Nina mengeluarkan motor sedang aku berdiri di luar pintu. Nina lalu menghidupkan mesin, selanjutnya aku  naik ke boncengan.

Jarak kost dengan stasiun kereta api tidak terlalu jauh, mungkin cuma tiga puluh menit dengan mengendarai motor. Sesampai disana kami memarkir motor dulu, lalu Nina membantuku membawakan tas ke dalam stasiun. Tak kusangka gerbong kereta yang akan membawaku ke Jakarta datang tepat waktu, kami tidak perlu menunggu lama. 

“Makasih ya Nina, sudah mengantarku!” Ucapku seraya merangkulnya sejenak.

“Sama-sama.... Hati-hati ya, nanti kirim sms, kasih kabar ya?” Pinta Nina.

Aku mengangguk, lalu aku beranjak menaiki  tangga kayu masuk ke gerbong. Kucari kursi yang sesuai dengan nomornya. Kumasukkan koper itu dibagasi atas, lalu  kuarahkan wajahku di depan jendela kereta melihat Nina di luar, kulihat ia melambaikan tangan, akupun membalasnya. Setelah dia pergi aku kembali duduk di kursi .

Kulihat tidak begitu banyak penumpang hari ini. Maklum bukan musim liburan ataupun akhir Minggu atau  tanggal merah. Biasanya kalau  pas hari-hari itu, kereta pasti penuh. Aku mau ke Jakarta karena ada panggilan test wawancara kerja.  Aku berencana akan menginap di rumah tante Weni, adik ibu yang tinggal di Jakarta.

Kudengar suara lokomotif yang berbunyi nyaring, lalu derap suara mesin berbunyi mengikuti deru kereta api yang mulai beranjak meninggalkan stasiun. Ada dua kursi di lajurku, tapi kursi di sebelahku kosong, maklum tidak banyak penumpang. Sedang deret kursi diseberang  lorong jalan tampak seorang ibu setengah baya yang juga duduk di samping jendela. Jadinya meski kami ada di satu baris, tapi kami masing-masing berada di sudut. Di gerbong ini mungkin hanya sepertiga nya saja yang terpenuhi dari seluruh kapastias yang ada.

Aku membayangkan rencana esok hari, kata tante Weni, dia akan menjemputku di stasiun Gambir.. Untuk berangkat ke tempat kerja, Anton- sepupuku yang akan mengantarku. Anton ada waktu luang karena tidak ada jam kuliah .

Sesaat kemudian pramugari kereta datang menawarkan  makan malam.

“Sendirian saja mbak?” Sapa sang pramugari ramah.

Aku mengangguk. Aku menolak makanan yang ia tawarkan karena aku sudah makan sebelum berangkat... Kulihat dia beranjak ke penumpang yang lain dan menawarkan  makanan. 

Aku  mengambil novel yang aku bawa dan membacanya. Lumayanlah buat mengisi waktu luang. Aku memang  selalu membawa novel bila aku bepergian, selain tidak terlalu berat untuk membawanya, juga bisa dimanfaatkan untuk  menghabiskan waktu daripada bengong. Kalau Nina sih kurang suka dengan novel, dia lebih suka komik bergambar ala Jepang. Beberapa buku komik bisa dia lahap beberapa saat saja. Sedang aku bisa semingguan untuk bisa menyelesaikan membaca satu buah novel. 

Aku membuka lembar demi lembar novel dan membacanya dengan santai, tak  terasa sudah beberapa bab aku lewati, mata pun lelah tergantikan rasa kantuk yang mulai menyerangku. Suara deru kereta api kudengar semakin melambat dan kemudian menghilang tak terdengar sama sekali.

Entah berapa lama aku tertidur, tapi yang jelas aku seperti melihat seorang gadis seusiaku duduk di sampingku. Lalu seperti tidak sadar aku dan gadis itu berbincang bincang.

“Mau ke Jakarta juga ya?”  Tanyaku kepadanya.

Dia tersenyum dan menoleh ke arahku.” Tidak juga.” Jawabnya pelan.

“Lha... Terus mau kemana?” Tanyaku lagi.

“Nggak kemana mana kok, aku memang tinggal disini!” Jawabnya pendek.

“Tinggal disini? Ah kayak hotel saja.... Ini kan kereta?”  Sergahku tidak percaya.

“Iya aku memang tinggal disini, aku tidak bisa kemana mana....”

Aku tertawa mendengarnya, tapi aku tidak melanjutkan lagi, biar saja dia mau bilang apa, kupikir dia bercanda.

“Aku Tasya.” Aku mengenalkan diri.

“Aku Lina.” Jawabnya sambil menerima uluran tanganku.

“Aku senang ada teman bicara seusia diriku.” Kata Lina tampak gembira, ”Aku kadang merasa sepi disini.” Lanjutnya lagi tampak muram. Aneh, raut mukanya begitu cepat berubah.

“Maukah kamu menemaniku disini?” Tanyanya  mengiba.

“Lha ini sudah aku temani, tapi nanti sesampai stasiun aku Gambir aku harus turun, tanteku sudah menungguku!” Jawabku.

Dia tampak sedih mendengar jawabanku, ujarnya kemudian, “Aku begitu kesepian disini, tidak ada teman.” Dia lalu terpekur menatap ke arah depan.

“Kenapa tidak ada teman?” Aku tiba-tiba juga merasakan kesedihannya.

“Karena mereka tidak pernah lama disini, mereka  selalu datang dan pergi... Begitu seterusnya.”  Lina  memberi alasan yang tidak aku mengerti.

“Kenapa kamu tidak ikutan pergi seperti mereka?”  Tanyaku.

“Aku tidak bisa, setiap kali aku turun mengikuti mereka, langkahku selalu kembali ke gerbong ini!” Ucap Lina menahan sedih.

Kupegang tangannya, lalu kubisikan bahwa meski tidak ada teman tapi Tuhan akan selalu bersama kita. Entah mengapa tiba-tiba Lina pergi meninggalkanku. Dia seperti hilang begitu saja.

Kemudian aku seperti tersadar dari tidurku, kulihat di sampingku tidak ada siapa-siapa, kutengok ke arah depan dan belakang. Situasi gerbong tampak sangat sepi. Hanya saja hidungku mencium bau bauan aneh yang asalnya dari sebelahku, tapi begitu aku tajamkan hidungku untuk mengenali bau apa itu tiba-tiba aroma itu juga menghilang. Aku berdiri dan menengok ke arah para penumpang, sepertinya tidak ada Lina diantara mereka. 

Untuk lebih meyakinkan diri, aku bangkit dari kursi dan melangkah dari arah depan menuju ke belakang  melihat para penumpang, beberapa dari mereka sudah tertidur lelap, beberapa lagi masih terjaga, namun dari baris pertama, kedua, ketiga, sampai dengan baris terakhir tidak ada sosok Lina disitu. Aku kembali ke tempatku semula untuk duduk, tapi ibu yang  duduk sebaris denganku  itu menghampiriku.

“Adik mencari siapa?”  Tanyanya heran.

“Ehh... enggak kok bu!” Aku gelagapan dibuatnya, aku tidak mau menceritakan kejadian tadi, takutnya dianggap mengada-ada. Kalau dinalar mana mungkin seseorang bisa pergi begitu saja di saat kereta sedang berjalan.

“Oh maaf, tapi aku tadi melihat adik ini sedang bercakap cakap sendiri.” Ucap ibu itu dengan mimik serius. Aku jadi tidak enak hati, wah bisa dikira orang gila aku.

“Mungkin tadi lagi mimpi bu, maklum terlalu pulas tidur.” Elakku dengan bercanda.

Kulihat ibu itu tersenyum, lalu katanya, “Aku sering naik kereta ini, paling tidak seminggu sekali. Kejadian yang adik alami tadi bukan sekali dua kali terjadi. Mereka bilang ada sosok gadis seusia adik ini yang mengajaknya berbincang bincang selama dalam perjalanan. Menurut rumor yang ibu dengar, dulu ada  seorang perempuan muda meninggal di kereta ini karena serangan jantung, sejak itu  kejadian-kejadian aneh seperti yang adik alami itu mulai terjadi.”

Aku diam mendengar penjelasan ibu itu, aku tidak bisa berpikir lagi, badanku tiba-tiba kurasakan dingin dan gemetaran. Tampaknya ibu itu melihat perubahan raut mukaku, lalu katanya,

“Tidak usah takut dik, tidak ada apa-apa yang terjadi kok.” Kemudian dia beranjak kembali ke kursinya.


Misteri Samurai Antik

Kuamati samurai itu, “Tidak ada istimewanya, malahan bisa dibilang rongsokan tua, gagangnya memang masih tampak kokoh meski noda kotor melingkupinya, sedang bilah pedang samurai sudah karatan.“

Aku menyesal mengapa membelinya, aku jadi ingat kejadian tadi pagi saat aku sarapan, waktu itu aku menikmati makan pagi di depan kamar hotel, disitu ada satu set meja dan dua kursi yang ditaruh di depan masing-masing kamar. Pelayan hotel biasa menaruh sarapan disitu bila pintu kamar tertutup. Maklum aku menginap di hotel kelas melati, tidak seperti hotel berbintang yang menyediakan fasilitas breakfast di ruangan tertentu dan bisa mengambil sendiri pula. Di tempatku menginap ini aku hanya mendapat sepiring nasi goreng dan satu gelas teh hangat, kadang-kadang nasi goreng diganti setangkup roti bakar. Di saat aku makan itulah  seorang lelaki tua datang menghampiriku. Dia langsung saja duduk di kursi sebelah meja tempat aku makan. Mulanya kupikir dia itu salah seorang penghuni kamar yang lain dan bermaksud mengajak ngobrol tapi dugaanku meleset.

“Menginap disini ya mas, ada urusan bisnis?” Tanyanya membuka pembicaraan.

“Iya, menginap di hotel kecil saja Pak, biar bisa berhemat.” Jawabku  sambil kemudian meminum teh hangat itu karena nasi goreng  yang aku santap juga sudah habis. Lanjutku lagi, “Bapak juga menginap disini? Ada bisnis juga ya?” Aku balik bertanya.

“Ah, enggak kok mas. Aku cuma sering kesini saja, petugas hotel juga sudah hapal semua!” 

Aku manggut-manggut, orang kurang kerjaan nih... Begitu pikirku.

“Mas ada bisnis ya disini?” Tanyanya lagi.

“Oh tidak kok, ini cuma perjalanan tugas kantor saja.” Jawabku.

“Maaf... Perkenalkan saya Mawardi!” Kata bapak itu sambil menyodorkan tangannya, aku segera menyambutnya, “Joko.” Aku menyebutkan namaku.

“Mas Joko kerja di perusahaan apa?” Tanya Pak Mawardi.

“Perusahaan penerbitan, sales buku-buku.” Jelasku pendek, ”Kalau pak Mawardi?” 

“Kerja sendiri mas.......” Jawabnya

“Wah wirausaha dong!”potongku cepat.

Ia tersenyum, “Wirausaha kecil kecilan kok..... Pedagang barang antik.” Lanjutnya

“Wah asyik tuh.... Barang antik! Saya baca di koran barang antik kan mahal harganya.” Ucapku sekenanya karena aku kurang tahu tentang barang antik.

“Mas Joko suka barang antik ya?” Serunya seperti senang.

“Wah..... Suka melihatnya saja, tapi kalau mau membeli kantong tidak bisa dikompromi!” Sergahku .

“Barang antik tidak selamanya mahal kok. Apalagi kalau pemiliknya lagi butuh uang, berapapun juga akan dilego. Contohnya ini nih... ” Tiba-tiba ia mengambil barang bawaannya yang terbungkus kertas koran berlapis lapis. Dibukanya kertas itu satu demi satu, ternyata ia membawa sebuah pedang panjang. “Ini samurai mas.” Lanjutnya. Ia lalu menyodorkannya kepadaku. Kuterima samurai itu dan kuamati sejenak. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan barang itu tapi aku pura-pura terpesona melihatnya. Membuat orang senang apa sih susahnya?

“Ini samurai asli dari Jepang lho...” Pak Mawardi mulai mengeluarkan jurus-jurus rayuannya.

Aku mulai paham, sebagai seorang sales aku sudah terbiasa.... Melakukan itu... Heheheh.

“Asli dari Jepang? Wouww.....” Aku pura-pura terkejut. Batinku berkata siapa pula yang tahu kalau ini asli sana? Banyak kan produk dalam negeri yang mirip dengan aslinya... Alias kw.... Hahahah, tapi tidak enaklah berkata demikian.

“Samurai ini juga sudah kuno..... Pemiliknya mendapat dari orang Jepang langsung!” Lanjut pak Mawardi

“Oh ya..... Bagaimana bisa?” Tanyaku  menyiratkan ketidak percayaanku. 

“Katanya sih saat pendudukan jaman Jepang dulu....” Tanpa kuminta ia mulai bercerita, “Ada orang  Jepang yang dibantai pejuang kita, maklumlah Jepang juga sudah mulai tersudut. Dia dibantai dengan samurai ini. Lalu samurai ini berpindah tangan......”

“Wah berhantu dong...” Potongku semaunya. Namanya juga pedagang, pasti  beriklan yang berbuih buih, mana ada kecap yang tidak nomor satu?

“Katanya sih.....”  Dia mengiyakan ucapakanku.

“Aduh... Maaf pak, aku tuh paling tidak suka dengan hal-hal yang berbau mistik.“ Aku menolak secara halus, aku mengembalikan samurai itu kepadanya. Kulihat sorot matanya yang menyiratkan kekecewaan, meski sekilas, lalu dia mulai nerocos lagi.

“Itu kan kata orang-orang... Tapi selama aku memilikinya gak pernah kok aku dihantui sesuatu!” Kali ini dia berbalik, katanya tadi berhantu eh sekarang malah dia sangkal sendiri.

“Maaf pak, aku tidak mengerti tentang barang antik. Jadi untuk apa aku mempunyai barang yang aku sendiri tidak memahami bahkan tidak suka?” Kali ini aku berkata jujur.

Dia menatapku sebentar, lalu berujar. ” Tapi mas Joko bisa menolongku kan?”

Aku menoleh ke arahnya, nada bicaranya sekarang terdengar menyedihkan.... Wah ada yang nggak beres nih.

“Aku perlu uang mas....”

“Tapi pak, aku tidak tertarik dengan samurai ini. Mungkin pak Mawardi bisa menawarkan  ke penghuni yang lain.” Aku mulai tidak nyaman dengan  kondisi ini.

“Berapa saja mas.... Asal bisa buat ongkos pulang!” Bujuknya lagi memelas.

Aku semakin jengah, aku bermaksud bangkit dari kursi tempat aku duduk dan mau menghentikan pembicaraan kami, tapi mendadak ia menahan tanganku sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya, ternyata ia menunjukkan identitas diri dan photo dia sekeluarga.

“Ini mas tempat asalku, dan ini keluargaku. Tolong mas... Benar saya perlu uang buat pulang.”

Kubaca alamat yang tertera di kartu pengenalnya, ia berasal dari sebuah kota di Jawa tengah. Meski  tadi aku sempat tidak percaya, tapi begitu melihat kartu itu aku jadi goyah, siapa tahu bapak itu memang perlu bantuan? Lagipula aku juga sudah bosan dengan omongannya, kupikir tidak salahnya sedikit membantu juga aku akan segera terbebas dengan bapak itu. Kukeluarkan uang selembar limapuluh ribuan lalu kusodorkan kepadanya.

“Ini pak, cukuplah kalau buat pulang.”

Kulihat bapak itu tampak senang, dia lalu menyerahkan samurai itu kepadaku. Sebetulnya aku bermaksud menolaknya, tapi selanjutnya aku terima saja, tidak ada salahnya juga punya samurai. Buat bahan cerita saja nanti sesampai di rumah.  Setelah menjabat tanganku dengan erat, Pak Mawardi pun pergi. Aku juga akan melanjutkan aktivitasku, setelah aku letakkan samurai itu di dalam almari, aku beringsut pergi meninggalkan hotel untuk melakukan tugas kantor.

Sore hari, sekembali dari aktivitas kerja aku rebahan di tempat tidur untuk istirahat sejenak, tapi kemudian aku teringat samurai yang aku taruh di dalam almari, kuambil dan kuamati. Saat itulah rasa sesalku timbul. “Samurai itu tidak ada  istimewanya, malahan bisa dibilang rongsokan tua, gagangnya memang masih tampak kokoh meski noda kotor melingkupinya, sedang bilah pedang samurai sudah karatan.“ 

Juga setelah kupikir pikir mestinya Pak mawardi itu bisa meminta bantuan kepada para petugas hotel yang katanya sudah banyak yang kenal baik dengannya, kenapa mesti pada diriku yang sama sekali belum dia kenal? Ah aku merasa begitu bodoh. Tapi sudahlah, daripada menyesali diri tidak ada gunanya lebih baik aku  ikhlaskan saja, anggap saja aku sudah membantu orang lain, toh juga cuma selembar uang lima puluh ribuan.

Handphone ku berbunyi. Kulihat nomor yang tertera milik Surya temanku. Surya adalah teman kerjaku, dia juga bekerja sebagai seorang  sales, tapi kali ini dia sedang cuti.

“Malam... Joko!” Suara dari seberang langsung terdengar begitu aku  membuka nya.

“Malam juga Surya! Liburan kemana aja nih?” Tanyaku.

“Hehehehe.” Dia cuma terkekeh, lanjutnya.” Aku sudah di depan hotel lho, kamu menginap di nomor berapa?”

“Haaaahhh? Di depan hotel? Yang benar?” Aku seperti tidak percaya dengan ucapannya...” Eeehh... Nomor  131.” Balasku .

“Aku kesitu ya.... Biar enak ngobrolnya!” Belum sempat aku menjawab dia sudah menutup telpon. Aku segera keluar kamar dan menunggunya di luar. Benar saja, beberapa saat kemudian aku melihat Surya tergopoh gopoh datang ke arahku.

“Hai  Joko...” Sapanya  senang.

“Katanya c-u-t-i...” Ucapku  sambil mengeja kata cuti untuk sekedar meledeknya.

“Iya sih..... Aku memang cuti. Aku sedang liburan ini.“ Jawabnya seraya mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang ternyata minuman kaleng dan makanan kecil. ”Oleh-oleh... Heheheh” 

Kami minum dan makan bersama, asyik juga punya teman kayak Surya.

“Terus kok bisa nyasar ke tempat ku menginap?” Tanyaku lagi.

“Anita –sekretaris kantor– telpon aku menanyakan laporan penjualanku karena aku lupa belum kasih ke dia. Kusuruh dia tanya ke kamu, eh dia bilang kalau kamu ada tugas keluar kota dan menginap di hotel ini.”

“Lha aku kan tidak tahu soal laporan penjualanmu....” Potongku.

“Bukan begitu sobat,“ Serunya sambil menepuk bahuku.” Aku kesini cuma numpang pinjam  laptopmu, aku mau mengirim laporan via email... Sekalian juga aku menginap semalam disini.. Lumayan kan tidak perlu bayar ongkos nginap... Hahahah!”

“Huuu... Dasar kamu tuh.” Ucapku bercanda sambil mengepalkan tinju. 

Dari cerita Surya, aku tahu kalau dia berlibur di kota yang sama dengan aku sekarang aku menginap. Sebenarnya ia mau bermaksud pulang tadi sore tapi karena Anita meminta laporan maka Surya datang ke hotel ini untuk pinjam laptopku, sekalian numpang menginap karena dia akan pulang esok pagi  saja.

Kami lalu masuk hotel, kukeluarkan laptopku dan kutaruh di atas meja agar Surya bisa mengirim email ke kantor.

“Eh apa ini?” Seru nya. Aku menoleh ke arahnya.

“Samurai.” Jawabku pendek.

“Samurai?” Ucapnya sambil mengamati samurai itu, dia seakan tidak percaya dengan yang ia lihat, maklum kami memang tidak tahu tentang hal-hal seperti itu. “Dari mana kamu dapatkan ini?” Tanyanya seraya memain mainkannya laksana ksatria dari Jepang.

“Dari seseorang...” Kataku, akupun lalu menceritakan kejadian tadi pagi saat aku menikmati sarapan.

“Hahahahah” Surya tertawa terbahak-bahak...

“Kenapa tertawa?” Seruku heran.

“Aduh  sobat... Kamu sudah tertipu... Hahahahaha!” Surya tertawa lagi.

“Iya... Iya... Aku tahu! kamu mau meledek aku kan?” Aku agak kesal juga, maklum aku sebenarnya menyesal  telah membeli samurai atau lebih tepatnya terpaksa membeli.

“Yaaa... Niatku bukan membeli kok tapi menolong pak tua itu.” Kilahku membela diri. Meskipun sebenarnya hati kecilku mengatakan kalau aku sudah tertipu.

“Iyalah... Beramal, kehilangan uang tapi  tetap mendapat pahala.” Ledeknya lagi.

Aku tersenyum kecut, “Tuh... Laptopnya sudah siap, kerja sono gih!” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Setelah Surya meletakkan samurai itu di atas kasur dan dia duduk di kursi buat mengerjakan tugas, aku segera membungkus samurai itu dan menyimpannya kembali di dalam almari.

“Aku menghidupkan TV nggak apa-apa kan?” Tanyaku kepada Surya.

“Tentu saja, yang numpang kan aku.... Heheheheh!” Balasnya sambil terus saja matanya menatap layar laptop.

Kucari saluran berita, lalu aku hanyut dengan program acara berita itu, sedang Surya larut dengan kesibukkanya di depan laptop. Tak terasa malam mulai merambat, rasa kantuk juga mulai menyerang.  Kulihat Surya masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Aku tidur duluan ya?” Ucapku sambil merebahkan badan di atas kasur, kuambil guling untuk menutupi kedua mataku. Aku memang tidak bisa tidur  dalam suasana kamar yang terang tapi aku juga mesti  toleransi dengan Surya yang masih berkutat dengan tugasnya. Surya cuma menggumam pendek tanda setuju, karena capek dan mengantuk berat akupun lalu jatuh tertidur pulas.

Dalam tidur aku bermimpi aku menjelma menjadi seorang ksatria dengan samurai di tangan. Aku seperti memakai pakaian ala kesatria Jepang dan bersiap bertempur. Aku melihat seorang musuh di hadapanku, lalu kami bertempur satu lawan satu. Aku tidak tahu senjata apa yang dipakai oleh lawanku, yang pasti aku menggunakan samurai . Pertempuran itu cukup seru, aku seperti mendapat lawan yang seimbang. Tapi mendadak aku terbangun. Ternyata Surya membangunkanku.

“Kamu kenapa?”  Tanyanya dengan cemas.

“Aku? Memang aku kenapa?” Aku balik bertanya,  sengaja aku tidak menceritakan mimpiku tadi... Kan malu... Masak tertipu membeli samurai sampai terbawa mimpi.

Surya bangkit dari tidurnya dan mengambil minuman di atas meja, selanjutnya ia menyodorkan ke arahku.

“Minum dulu... Biar tenang!” Ucapnya. Aku menyambutnya dan segera kuminum air mineral itu.

“Memang aku kenapa, kan aku tadi tidur.”  Elakku.

“Iya kamu tidur, tapi tadi kamu berkelakuan aneh, dalam tidur kamu teriak-teriak dengan bahasa yang tidak aku mengerti, sepertinya sih bahasa Jepang. “

Aku terdiam mendengar penjelasan Surya, “Aku kan tidak bisa berbahasa Jepang!” Sergahku mempertahankan diri.

“Iya... Makanya aku heran, kok kamu mengigau pakai bahasa Jepang... Dalam tidur pula! kamu mimpi apa sih?”  Tanyanya menyelidik.

“Enggak tuh, aku tidak bermimpi apa-apa!” Aku berbohong.

“Mmmh.....” Aku mengeryitkan dahi, lalu aku beranjak dari tidur menuju almari. Kubuka almari itu dan samurai itu kuambil.

“Gara-gara ini apa ya?”  Teriakku sambil membuka bungkusannya.

Tapi mendadak aku dan Surya tercengang, kami melihat bilah pedang samurai itu ada tetesan darah di atasnya. Padahal tadi sama sekali tidak ada, hanya ada karat saja. Namun itu tidak lama karena tetes darah itu tiba-tiba lenyap tak bersisa seakan terserap di bilah pedang itu. Karena takut, tak terasa genggaman tanganku di pegangan samurai itu merenggang, samurai itupun terjatuh di lantai. Bunyi melengking orang kesakitan terdengar sangat pilu.. Kemudian suara itu juga menghilang. Sepi malam kembali hadir. Aku dan Surya terpekur dalam diam. Tidak percaya dengan kejadian yang barusan kami alami.


Hantu Korban Amuk Massa

Aku baru saja pindah kost, karena aku diterima kerja disalah satu department store terkemuka di  kota ini. Aku mencari tempat kost disekitar  tempat aku kerja agar bisa berhemat, meski sebenarnya agak mahalan dibanding tempat kost yang terletak di pinggiran tapi biaya transportasinya termasuk mahal, bila dihitung hitung kost di pinggiran ditambah ongkos bus pergi pulang malahan lebih tinggi, apalagi bila nanti aku mendapat shift malam, wah bisa tekor karena jenis angkutan menjadi lebih terbatas. Kost di tengah kota juga kurasa lebih aman apalagi bila mesti pulang malam, bukan takut hantu atau sejenisnya tapi lebih khawatir pada kejahatan saja. Kalau soal hantu mah dilawan pakai doa-doa juga bakalan kalah, kalau orang? Tentu sebagai perempuan tenagaku kalah jauh.

“Wah, baru jam segini kok sudah mandi?” Tanya  Sari teman  satu kamarku. Yah kami memang berbagi kamar agar lebih berhemat uang kost.

“Iya nih, kan mau kerja, aku mendapat jadwal shift kedua untuk seminggu ini!” Jelasku sambil  mengeringkan ujung-ujung rambut  yang basah terkena air dengan handuk.

“Oh iya.... Aku lupa, minggu kemarin kan kamu dapat shift pagi.“ Seru  Sari sambil menggaruk garuk  kepalanya yang tidak gatal.

Sari masih kuliah di sebuah universitas di kota ini, dia sudah melebihi  jatah semesterannya, tapi karena ada yang mesti dia ulang untuk memperbaiki nilai, dia terpaksa menambahnya. Jadi tidak banyak jadwal kuliah yang mesti diikuti, hanya saja dia banyak tugas dan mesti mempersiapkan skripsi.

“Nggak ada kuliah hari ini?” Tanyaku sambil duduk disudut ranjang. Kulihat Sari  tiduran di tempat tidurnya.

“Nggak ada, cuma ada tugas yang harus dikerjakan... Tapi rasanya kok malas banget, ntar malam aja deh!” Jawab dia tampak ogah ogahan.

Aku tersenyum, “Ya, terserah kamu aja.” Ucapku pendek sambil beringsut ke meja rias untuk mempersiapkan diri.

Wah enak dia itu, tidak perlu memikirkan bagaimana mencari uang, setiap bulan orang tuanya sudah mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Tidak seperti aku, selepas lulus sekolah menengah atas aku harus berjibaku mencari peluang kerja. Orang tuaku bukan termasuk orang yang berpunya, dengan anak yang  banyak sejumlah lima orang, terpaksa kami semua hanya berhenti di SMU saja. Untuk bisa kuliah harus bisa mencari dana sendiri. Aku mengikuti jejak kak Eka, kakakku yang pertama. Dia kuliah sambil bekerja. 

Memang berat untuk membagi waktu, tapi karena tergolong anak yang cerdas kakakku itu berhasil juga. Dia bisa lulus diploma tiga sekertaris tepat waktu, sekarang dia menikmati hasil jerih payahnya. Dia sekarang bekerja di sebuah perusahaan asing yang cukup besar di kota. Kak Eka juga sanggup untuk kost sendiri tidak mesti berbagi dengan orang lain. Bahkan dia bisa membantu ibu di kampung dengan mengirim sejumlah uang secara rutin tiap bulannya.  

Rencanaku dalam setahun ini aku bekerja dulu dan uangnya ditabung buat persediaan biaya kuliah yang katanya besar, selanjutnya aku akan mencari  sekolah yang bisa selaras dengan jadwal pekerjaanku. Pokoknya kerja dan kuliah harus berjalan seiring, aku juga akan mengambil jurusan yang cepat dan mudah untuk bekal mencari kerja kelak. Mungkin aku akan ambil program diploma seperti kak Eka.

Setelah selesai merias diri, aku pamitan kepada Sari  sambil melambaikan tangan. “Aku berangkat dulu ya!” 

“Pulang jam berapa nanti?”  seru Sari dari tempat tidurnya.

“Paling sekitar jam sepuluh.” Jawabku pendek sambil menutup pintu kamar kost.

Untung  kost ku ini agak longgar, kami masing-masing mempunyai kunci pagar dan pintu utama. Aku memang memilih yang demikian. Sebagian besar penghuni kost ini karyawati swasta dan mahasiswi tingkat akhir yang sering kali harus pulang malam karena mencari bahan untuk menyelesaikan tugas, lembur atau bahkan shift malam kayak aku ini.

Kubuka gerbang besi depan, lalu aku berjalan menyusuri trotoar. Aku cukup berjalan kaki beberapa ratus meter  untuk sampai ke department store tempat aku bekerja.

“Hai, Wulan... Tunggu!” Teriak seseorang dari belakang menyebut namaku. Aku menengok ke arah suara itu, ternyata  Ani teman kerjaku  baru saja turun dari bus kota dan berjalan cepat untuk menyusulku.

“Hai...” Jawabku sambil melambaikan tangan. Aku diam  berdiri menunggu dia datang kepadaku.

“Tumben naik bus kota?” Tanyaku membuka pembicaraan. Biasanya Ani diantar suaminya bila berangkat  kerja dan pulangnya pun dijemput.

“Iya nih..... Motor mas Ari lagi rusak, sekarang masih ada di bengkel!” Jawab Ani sambil terengah engah mengatur napas. Memang sore ini masih terasa sangat panas. Maklum musim kemarau jadi meski sudah sore, sinar matahari masih terpancar dengan garangnya.

“Tapi katanya nanti malam mau jemput kok.”  Lanjutnya.” Sekarang dia lagi di bengkel  buat mengecek motornya, kata yang servis sih sudah bagus dan bisa diambil.”

“Ya... Syukurlah!” Jawabku pendek.

Kami melanjutkan jalan sambil berbincang bincang mengenai hal-hal yang ringan di seputar keseharian kita saja. Tak terasa sampai juga di pintu masuk tempat kami bekerja. Seperti rutinitas biasanya, aku langsung menuju ke divisiku di bagian busana, sedang Ani ke bagian sepatu. Lalu kami larut dengan pekerjaan kami. Saat jam pulang kerja aku bergabung dengan kerumunan karyawati lainnya di pintu keluar khusus karyawan, kami bersiap meninggalkan gedung ini. Ada yang berjalan kaki seperti aku, ada juga yang menunggu  jemputan, sebagian lagi  membawa motor sendiri. Baru berjalan beberapa jengkal, tangan seseorang  menepuk bahuku. Ternyata Ani.

“Loh, belum dijemput?” Tanyaku melihatnya sendirian saja tidak ada suaminya.

“Wah payah.... Suamiku barusan telpon dia agak terlambat  menjemputku, karena motornya dipinjam Yoga adiknya dan baru saja dikembalikan.“ Ujar Ani  bersungut sungut.

“Temenin aku dong....” Pintanya sambil menahan tanganku.

“Tapi.....” Baru aku mulai akan bicara keenggananku dia sudah memotongnya.

“Sebentar saja kok, lagian kostmu kan lumayan dekat ditengah kota.... Aman deh. Kamu juga pernah cerita kan kalau kamu ada kunci gerbang plus kunci pintunya sendiri. So... Nggak apa-apa kan?” Bujuk nya seperti memaksa, lanjutnya, “Kita tidak menunggu disini kok, kita menunggu disana  tuh!”

Kuikuti arah tangannya, ternyata tangannya menunjuk ke sebuah cafe yang baru saja dibuka. Cafe itu buka sampai tengah malam begitu yang aku dengar.

“Tenang saja, aku yang traktir!” Rayunya lagi sambil merangkulku dan setengah memaksaku mengikuti langkahnya.

“Nggak sayang tuh uangnya?” Tanyaku dengan tujuan agar dia tidak jadi mampir ke cafe. Sudah malam dan capek rasanya.

“Sesekali menyenangkan diri apa salahnya sih?” Ucapnya mempertahankan pendapatnya dengan bercanda.

Aku tersenyum lalu mengangguk, kupikir nggak ada salahnya aku sesekali menyenangkan diri, selama ini aku sangat ketat menabung untuk bekal meraih cita-cita, jadinya aku jarang bahkan tidak pernah membelanjakan uang untuk hal-hal yang sekiranya kuanggap hanya memenghambur hamburkan semacam makan minum di cafe. Mending makan di warung... Jauh lebih murah... heheheh. 

Tapi kali ini kan aku akan ditraktir Ani, jadi tidak ada salahnya mengiyakan ajakannya. Lumayan bisa makan minum gratis, Toh aku tidak perlu cemas, seperti kata Ani tadi aku kost ditengah kota, kunci pun aku bawa sendiri. Di kota ini malam hari pun masih terlihat banyak aktivitas, jalanan tetap ramai meski nggak seramai siangnya. Kostku juga tidak jauh dari jalan utama, banyak kost kostan di sekitarnya. Sering aku mendapati beberapa teman kostku pulang larut malam bahkan dini hari, mereka ok ok saja tidak masalah. Aman katanya.

Sesampai di cafe, kami sengaja mencari kursi yang berada di teras sehingga kami bisa melihat suasana jalan di depan kami duduk.

“Kita duduk disini saja, biar nanti kalau mas Ari datang menjemputku dia langsung tahu.” Kata Ani. Dia lalu mendorong kursi keluar dari kolong meja. Aku pun juga demikian. Tak lama kemudian pelayan cafe datang menghampiri meja kami, ia menyodorkan dua buku menu kepada kami.

“Tidak duduk di dalam mbak? Ada acara life music lho!” Sapa si pelayan ramah.

“Disini saja mas, mau cari angin nih... Gerah!” Tolak Ani halus, padahal sebenarnya dia duduk disini karena menunggu jemputan.

“Baiklah mbak, mau langsung pesan atau mau dibaca baca dulu?” Tanya pelayan itu lagi.

“Kami baca-baca dulu ya!” Jawab Ani.

Pelayan itu mengangguk lalu meninggalkan kami. Kuambil buku menu yang ada di hadapanku, ani juga mengambilnya. Aku membacanya dari halaman pertama sampai terakhir sekalian mengamati harga-harga yang tertera... Heheheh.... Buat pengetahuan standard harga cafe berapa.

“Kamu mau makan minum apa?” Tanya Ani sambil menutup buku menu.

“Terserah saja, aku ikut kamu!” Jawabku diplomatis, aku memang selalu mengikuti orang yang mentraktir aku, bukannya tidak mau memilih tapi aku mesti tahu diri.

“Kita pesan menu yang sama saja yach?” Ucap Ani sambil tangannya melambai ke arah pelayan.

“Pesan chocholate milkshake dua, bruchetta dua dan satu french fries.“

Pelayan itu segera mencatat pesanan Ani, kemudian ia membaca nya untuk memastikan pesanan kami itu. 

“Cafe ini baru beberapa hari buka lho.” Kata Ani setelah pelayan itu meninggalkan kami berdua.

“Tapi sudah lumayan ramai tuh!” Ucapku  sambil mataku melihat-lihat sekeliling, ada beberapa pasangan duduk di teras seperti kami, terus juga ada beberapa orang di dalam tapi aku kurang tahu pasti jumlahnya.

“Ya iyalah... Kan ini malam minggu!” Seru Ani. 

Melihat keterkejutanku Ani mulai meledek, “Makanya punya pacar biar tahu arti malam minggu.... Hahaha.”

“Yaach... Belum ada yang nembak nih..... Cariin dong!” Balasku dengan bercanda, sebenarnya aku belum begitu tertarik untuk memiliki pacar, prioritasku saat ini adalah melanjutkan kuliah dan merenda masa depan.

“Santai sajalah.... Kalau jodoh tak kan kemana. Ntar kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri!” Ucap Ani bijak.

Tidak begitu lama pesanan datang di meja, kamipun lalu makan minum sambil bercerita hal-hal ringan. Disela sela kami makan, handphone Ani berbunyi.

“Hallo mas.... Iya ini aku menunggu di cafe  cendawan.... Iya... Iya...!”  Lalu ia menutup HPnya.

“Sebentar lagi  mas Ari datang, tapi nggak usah terburu buru... Santai saja!” Kata dia kepadaku.

Benar saja, sesaat setelah kami selesai makan  dan membayar di kasir, mas Ari -suami Ani- datang menghampiri. Kamipun lalu keluar bersama. Sebenarnya aku ingin berjalan sendiri saja toh jalan juga masih ramai, tapi Ani bersikeras  mengantarku sampai kost. Akhirnya Aku dan Ani berjalan kaki menuju rumahku sedang mas Ari naik motor pelan-pelan mengikuti langkah kami.

“Akhirnya sampai juga!” Seruku begitu sampai pintu gerbang.

“Makasih ya sudah mau menemaniku!” Ucap Ani sambil menyodorkan tangan, aku langsung menyambut tangannya. Setelah aku berjabat tangan dengan suaminya juga, Ani kemudian naik boncengan. Lalu mereka menjalankaan motornya, kulihat Ani melambaikan tangan ke arahku, akupun membalasnya.

Kuambil  set kunci dari dalam tas, gembok yang melingkari  handle gerbang pagar besi itu aku buka, setelah aku masuk aku segera menggemboknya kembali. Aku cukup menjulurkan kedua tanganku dari balik jerujinya. Aku bermaksud  berbalik menuju pintu utama, tapi mendadak hidungku menangkap bau anyir yang teramat menusuk. Kulihat sekeliling, dari gerbang besi menuju pintu utama memang ada halaman yang cukup luas, dari luar orang tidak akan mengira ada kost-kostan disini karena sama pemiliknya memang dirancang demikian. 

Setelah pagar jeruji besi, dibiarkannya halaman luas ini membentang, katanya sih kalau ada dana mau dibuat ruko dan akan disewakan pula. Selanjutnya ada tembok pembatas yang dipasangi pintu utama untuk memasuki  ruang-ruang kost kami. Jadi  tempat kami tinggal  kami ini dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi. Kembali ke bau anyir itu aku mencoba mencari tahu dengan cara mengelilingi halaman ini, tapi rupanya bau itu asalnya dari balik pagar besi, tepatnya di sisi sebelah pojok kiri pagar yang berbatasan dengan gang masuk  menuju pemukiman penduduk. Aku tidak berani keluar pagar, maklum jalanan mulai sepi. Dari dalam pagar aku mencoba mengamatinya, tapi aku tidak menemukan apa-apa. Cahaya yang temaram karena lampu jalan terletak di sebelah ujung kanan sisi pagar, membuatku kesulitan untuk melihat suasana disitu. Namun sesaat kemudian mataku dikejutkan dengan bayangan seseorang  yang duduk terpuruk di sudut gang. Kudengar dia merintih kesakitan. Sepertinya dia mau meminta pertolongan. Aku tidak berani keluar siapa tahu orang itu berpura pura saja?  Aku khawatir saja, sesaat aku terdiam memikirkan apa yang harus kuperbuat, bagaimana kalau orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan? 

“Sebentar ya, aku cari pertolongan Pak Sastro!” Seruku kepada sosok itu. Kupikir lebih baik aku melapor ke Pak Sastro penjaga kost ini, itu akan lebih aman.

Aku bermaksud berlari menuju pintu utama untuk selanjutnya meminta pertolongan Pak Sastro, tapi suara rintihan itu mendadak menghilang tergantikan suara mobil yang tepat berhenti di depan pagar. Ternyata Anita penghuni kost yang lain datang, dia menumpang mobil travel. Ini kesempatanku keluar melihat apa yang tadi barusan aku lihat. Aku segera membuka gembok dan membukanya.

“Anita, tunggu aku sebentar ya....!” Seruku sambil berlari kecil menuju ujung pagar besi dekat gang itu.  Anita seperti bingung dengan tindakanku itu, tapi kemudian ia disibukkan dengan mengambil  barang dari bagasi mobil di belakang dengan dibantu sopir travel.

Namun aku tidak menemukan apa-apa. Di ujung gang ini aku hanya melihat jalanan yang tertutupi tanah, sepertinya ada yang menabur tanah di sekelilingnya. Akupun kembali, kupikir tadi mungkin cuma halusinasiku saja karena sudah malam dan sendirian pula.

“Ada apa sih?” Tanya Anita kebingungan campur ingin tahu.

“Oh... Kupikir tadi  ada kelebat apa gitu... Ternyata cuma kucing.” Jawabku berbohong. Malu ah... Ntar dikirain aku mengada-ada.

“Huuu... Kirain apa... Bikin jantungan aja!” Ujar Anita sambil tertawa kecil. 

Setelah membantu Anita memasukkan barang-barang bawaannya dan mengunci kembali pagar besi itu, kami berdua berjalan memasuki  kamar kami masing-masing.

Esoknya aku bangun agak kesiangan, maklum semalaman aku masih kepikiran dengan yang aku alami, aku merasa yakin kalau aku mendengar dan melihat orang yang merintih kesakitan. Meski tidak bisa melihat dengan jelas tapi aku bisa menangkap sosok bayangan orang itu.

Seusai mandi, aku bergegas mau masuk kembali ke kamar untuk merapikan diri, selanjutnya aku bermaksud keluar untuk  mencari sarapan. Tapi  langkahku terhenti begitu kulihat beberapa penghuni kost asyik di ruang tamu dekat pintu utama. Kuhampiri mereka.

“Ada apa sih... Serius amat? Ada gosip baru ya?” Tanyaku sambil ikut bergabung sebentar. Siapa tahu ada yang belum beli sarapan kan bisa berangkat sama-sama. 

“Ini mah bukan gosip... Tapi realita non... Realita!” Ucap Yuli salah satu dari mereka.

“Wowww.... Apaan tuh?” Aku penasaran, mereka pasti ngerumpi membicarakan salah satu anak kost, tapi ternyata perkiraanku salah.

“Kemarin petang ada orang mampus di depan kost kita. Dihajar masa  karena kedapatan mencopet . “  kata Lila berapi rapi.

“Benar, katanya saat polisi datang orang itu sudah jadi bulan bulanan massa.”  Tambah Yuli tak kalah sengit.

“Mampus tuh orang... Dasar pencopet!”  Teriak teman yang lain.

“Aku cuma melihat ceceran darah di dekat pagar, tapi kemudian orang-orang menaburkan tanah di atasnya.” Sela Fifi sambil  mendekap badannya sendiri, raut mukanya memancarkan kengerian.

Aku terdiam mendengar penjelasan teman temanku, jantungku pun seakan berhenti berdetak. Aku bergidik mengingat kejadian tadi malam. Jadi yang aku lihat semalam :  hantu korban amuk massa. Hiiii... Tiba-tiba aku merasa dingin dan gemetaran.


Pisau Misterius

Agus, Budi dan aku sendiri – Catur, sedang  berjalan melewati pematang sawah menuju sungai.  Kami memang berencana mau mandi bersama disungai. Sungai itu terletak di tengah-tengah area persawahan, laksana kepala manusia, sungai itu seperti garis rambut yang membelah area persawahan. Akhirnya kami sampai juga, sungai itu menjorok kebawah, pohon-pohon besar berdiri di samping sungai, seakan membentuk barisan tentara yang mengiringi alirannya, kalau dilihat dari persawahan tidak tampak adanya sungai karena selain tanah sawah terpaut lebih tinggi, juga pohon-pohon itu menutupi area pinggiran sungai. 

“Wah kayaknya asyik nih...!” Teriak Budi, sambil menuruni  tanah yang menjorok itu. 

“Panas-panas begini asyiknya memang mandi!” Balasku riang. 

“Betul... Betul.... Betul....!” Tambah Agus tak kalah senang.

Sebelum sampai di bibir sungai, kami meletakkan tas sekolah di atas bebatuan yang sekiranya tidak akan  terkena cipratan air bila kami mandi nanti. Selanjutnya kami melepaskan sepatu dan kaos kaki, juga pakaian seragam merah putih kami. Akhirnya cuma  celana dalam saja yang kami pakai. Tentu saja kami membawa bekal celana dalam lainnya sebagai ganti. Kami kan sudah merencanakan kalau akan mandi di sungai, karena sudah ada pemberitahuan sebelumnya kalau hari ini sekolah dipulangkan lebih awal sebab  akan ada rapat guru.

“Wah dingin lho airnya...” Seru Budi gembira. Ia duluan menceburkan badannya ke sungai. Sambil bermain air dia melempar kerikil-kerikil kecil ke arah kami  sebagai  pesan agar segera turun ke sungai. Kamipun segera mengikuti ajakannya.

“Oh iya... Dingin.” Teriakku tak kalah riang, maklum udara hari ini panas sekali. Dari sekolah ke sungai ini kami perlu jalan kaki sekitar satu kilometer. Bisa dibayangkan betapa gerahnya, sinar panas matahari mengiringi langkah kami sampai disini .

“Asyik... Asyik...” Agus menimpali.

Kami bermain-main air di sekitar bibir sungai saja, karena semakin ke tengah pasti semakin dalam. Kami belum begitu mahir berenang, hanya Budi yang pernah ikutan les renang. Saat kami ada acara mandi seperti ini, dia pasti mengajari kami berenang.

“Eh jadi belajar berenang nggak nih teman-teman?” Budi menawarkan diri.

“Boleh... Tapi entar dulu ya? Ini mau mandi dan main air dulu.” Jawabku

“Iya... Badan kita biar adem dulu.”  Agus menambahi.

“Ok lah... Santai saja... Kan waktunya masih panjang.” Ujar Budi. ”Nanti kalau pingin diajari bilang saja ya?” Begitu lanjutnya.

Kamipun asyik bermain main air, setelah puas kami lalu minta Budi mengajari berenang. Katanya cara  kami berenang gaya katak yang dulu pernah kita pelajari dari dia sudah cukup bagus, tinggal latihan  terus saja agar semakin terbiasa. Kamipun lalu berenang gaya katak dengan pengarahan Budi.

“Kira-kira kalian berani nggak berenang sampai tengah?” Tantang Budi kepada kami setelah beberapa saat kami berlatih berenang.

Aku dan Agus saling berpandangan, kalau di sepanjang bibir sungai yang tidak terlalu dalam sih kami berani, tapi kalau ke tengah?

“Ntar kalau nanti arusnya besar gimana? Kan bisa terbawa arus seperti yang ada di berita berita TV itu?”  Tolak Agus dengan memberi alasan itu.

“Mana bisa, ini kan musim kemarau. Lihat saja... Airnya aja surut begini, tidak seperti biasanya kan?” Jawab Budi sambil tangannya menunjuk mengarah ke  tanah pinggiran sungai, memang sih airnya tampak lebih rendah daripada biasanya.

“Tapi terserah kalian sajalah, aku juga takut kalau terjadi sesuatu kan hanya aku yang cukup mahir berenang.” Lanjut Budi tanpa bermaksud menyombongkan diri.

“Aku mau kok belajar berenang sampai ke tengah sungai, tapi sebentar saja.“ Ucapku membesarkan hati Budi. Meski sangat ingin bisa berenang, aku sedikit ragu alias takut juga mau sampai ketengah. Tapi kalau tidak berani mencoba... Tentu tidak akan pernah bisa kan?

Selanjutnya Budi mulai mengajariku, sedang Agus melihat dan mengamatinya dari jauh. Dari bibir sungai menuju ke tengah sungai, aku menggerak gerakkan kaki dan tangan seperti katak, sebentar wajahku  berada di dalam air lalu kusembulkan lagi untuk mengambil udara, begitu seterusnya sampai ke tengah.  Sampai di tengah, Budi mengajariku untuk berdiam di tempat tapi tetap bisa mengambang. Mengikuti arahannya aku pun bisa mengambang. Setelah beberapa saat kami memutuskan kembali ke bibir sungai untuk menemui Agus. Kasihan dia sendirian saja, tadi sempat kutengok dia dari tengah sungai, dia tampak ingin ikutan. Perlahan tapi pasti kami mulai meninggalkan sungai bagian tengah, tapi saat wajahku masuk ke dalam air aku melihat kilau sesuatu karena terkena sinar matahari. 

“Budi, “ Seruku, “ Ada sesuatu di bawah ini.”

“Apa sih? Coba ku lihat!” Budi lalu bergerak lebih dalam menembus air sungai. Aku memutuskan  untuk berenang menuju pinggiran, aku takut kelelahan dan tidak sempat  berpindah ke tempat yang lebih dangkal, kasihan Budi nanti jadi repot.

“Lho Budi mana?” Agus bertanya dengan sedikit cemas karena tidak mendapati Budi di sampingku.

“Dia menyelam ke dalam, tadi aku melihat sesuatu dan Budi mau memeriksanya..” Jawabanku beruntun.

“Aduh..... Tapi kok lama sih!” Nada bicara Agus seperti khawatir. Akupun ikut ikutan cemas. Kalau terjadi apa-apa dengan Budi bagaimana? Ngapain pula aku bilang ada sesuatu didasar sungai.... Aduh aku jadi takut sendiri.

Tapi ketakutan kami terpatahkan begitu melihat Budi muncul di permukaan, dia lalu berenang menuju ke arah kami berdua.

‘Kamu menemukan sesuatu?” Tanyaku tidak sabar.

“Iya, ada barang apa sih?” Tanya Agus penasaran.

“Aku menemukan ini!” Kata Budi sambil mengambil sesuatu dari balik punggungnya. Ternyata  sebuah pisau yang cukup besar menurut ukuran kami, melihat bentuknya mungkin itu pisau daging.

“Hah... Pisau?”  Teriak agus dan aku berbarengan.

“Kok disungai ada pisau?“ Ucap Agus seperti bertanya  kepada dirinya sendiri.

“Pisau siapa ya?  terjatuh apa sengaja dilempar ya?”  Tanyaku menimpali.

Budi mengangkat bahu, tanda dia juga tidak tahu. Untuk sementara  kami mengamati pisau itu dan saling berpandangan. Kita tidak tahu mau diapakan pisau itu.

“Gimana dong enaknya?” Budi bertanya, “Sebentar lagi kan mau pulang? Pisau ini mau diapakan?”

“Kita jual saja!” Usulku spontan. Pikirku kita akan dapat uang dari penjualan pisau ini dan uangnya bisa buat jajan ramai-ramai.

“Tapi dijual kemana? Ntar dikirain menjual hasil curian, bisa berabe kan?” Agus kurang setuju dengan ideku.

“Kalau menurutmu gimana Bud?” Aku berpaling ke arah Budi untuk minta pendapat.

“Aku belum ada ide nih. Mending kamu simpan saja.” Jawab Budi sambil menyerahkan pisau itu kepadaku.

“Kok aku yang mesti menyimpannya?” Elakku pelan, aku juga khawatir membawa barang yang bukan kepunyaan sendiri.

“Kamu kan yang lihat pertama kali, jadi kamu yang berhak!”  Ucap Budi dengan memberi alasan.

“Betul juga, kamu saja.” Agus menimpali.

 “Ntar kita pikirkan lagi mau diapakan dengan pisau ini. Nanti bisa lah gantian menyimpannya kalau memang belum ada ide yang cocok.” Budi menegaskan lagi .

Terpaksalah aku menerima nya, “Tapi beneran ya kita nanti gantian menyimpannya!” Seruku mengingatkan lagi kesepakatan itu.

Budi dan Agus mengangguk, setelah badan kami kering, kami berganti celana  dan kemudian memakai kembali seragam dan sepatu kami.  Aku membungkus pisau itu dengan kertas yang aku sobek dari buku, lalu aku ikat dengan keratan pelepah daun pisang yang pohonnya tumbuh disekitar pinggiran sawah, kemudian memasukkan ke dalam tas disela sela buku. 

Berjalan kaki kami pulang ke rumah dengan menyusuri pematang sawah, kali ini kami saling terdiam karena hati kami tidak karu karuan. Baru pertama kalinya kami mendapatkan benda yang menurut  kami aneh sebab menemukannya di dasar sungai. 

Sampai rumah kuletakkan tasku di atas meja, lalu aku berganti pakaian. Dengan kondisi perut lapar aku segera menuju arah meja makan. Kubuka tudung penutup makanan, kuamati sebentar makanan yang  telah disiapkan oleh Bunda. Ada nasi putih di magic com, semangkok besar sayur asem, ayam goreng beberapa potong, sambal terasi di atas cobek dan kerupuk di dalam toples kaca. Segera aku mengambil piring dan sendok lalu kuambil makanan itu secukupnya. Aku makan dengan lahap.

“Ayo dihabisin, biar cepet gede.“ Bunda meledekku, aku menengok ke arahnya yang ternyata sudah ada di belakangku. Beliau tersenyum melihatku makan dengan lahap, tangannya mengusap usap kepalaku.

“Bunda masuk kamar dulu berganti pakaian, nanti  menyusul kamu makan.” Ucapnya lagi sambil berjalan meninggalkanku. 

Bundaku itu bekerja sebagai seorang guru di sekolah menengah atas. Biasanya jam-jam segini memang sudah pulang. Ketika Bunda kembali ke ruang ini aku sudah selesai makan.

“Bunda, aku ke depan dulu mau nonton film kartun.” Aku pamit ke Bunda. 

“Iya.. Iya...” Jawab Bunda sambil duduk di kursi.

Sampai di kamar tengah, aku menghidupkan TV. Karena film kartunnya belum dimulai aku masuk ke kamarku sebentar mengambil bungkusan pisau itu dan mengamatinya. Aku bingung mau disembuyikan kemana enaknya agar tidak ketahuan. Setelah berpikir beberapa saat aku memutuskan menyimpannya  di kardus tempat aku menyimpan mainan. Aku meletakkannya di bagian paling bawah tertutup mainan-mainan lainnya. Sepertinya Bunda tidak pernah memeriksa kardus ini, asal terlihat rapi Bunda tidak akan hirau, beda dengan almari pakaian dan rak buku, beliau sering memeriksanya. Lalu aku kembali ke ruang tengah untuk meononton TV.

Malam itu aku tidur agak larut, maklum besok  hari libur, jadi aku bisa main game sepuasnya. Ayah dan Bunda selalu memberi kebebasan bila libur sekolah. Kami diperbolehkan tidur larut dan bangun kesiangan. Karena kelelahan, aku ketiduran di kursi di tempat aku main game.

Entah berapa lama aku tidur, yang jelas aku bermimpi  menakutkan. Aku melihat seorang perempuan yang  terluka dan berdarah-darah, dia  melambai lambaikan tangan ke arahku seperti minta pertolongan. Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhku. Aku gemetaran dan takut sekali, aku segera berlari ke arah kamar kak Rudi yang bersebelahan dengan kamarku. Kak Rudi ternyata belum tidur, dia asyik memainkan komputer. Dia memang selalu tidur larut, apalagi bila pas tidak ada jadwal kuliah, wah bisa semalaman. Kadang dia tidur esok pagi sampai menjelang siang, maklum malamnya begadang.

“Kak aku ikut tidur disini ya?” Aku minta ijin kepadanya meski aku langsung saja merebahkan badanku di tempat tidurnya.

Kak Rudi menengok ke arahku sebentar. Mmm... Begitu dia bergumam, lalu dia kembali melanjutkan aktivitasnya.  Aku memang kadang numpang tidur di kamar kak Rudi.

Esok harinya, aku main ke rumah Agus. Kuajak dia main ke rumah Budi  membahas mimpiku semalam.

“Tadi malam aku mimpi menakutkan.....” Aku membuka pembicaraan. 

Kami bertiga duduk di teras depan rumah Budi.  Kemudian aku menceritakan mimpiku itu kepada mereka. Agus dan Budi tampak serius mengikuti ceritaku. 

“Wah, pisau itu pasti pisau setan!” Agus tampak geram tapi juga terlihat kalau dia agak takut.

“Iya, mendingan pisau itu dikembalikan ke asalnya, ke sungai!” Seruku sengit.

“Bukannya dulu kita bermaksud menjualnya  saja?” Di luar dugaan Budi memberi alternatif yang sama sekali berbeda. Bukannya aku lupa dengan usulanku kemarin siang, tapi mengalami mimpi buruk membuatku takut  dengan pisau itu.

“Dijual...?” Aku dan Agus berteriak setengah tidak percaya.

“Mmmhmm..... Iya.” Gumam Budi pendek, tapi kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Kan tiap seminggu sekali ada tukang loak yang berkeliling kampung. Pisau itu kan masih bagus... Lumayan uangnya bisa buat jajan bareng-bareng.” 

Hehe, ternyata ideku dulu sama dengan idenya.

“Bisa juga sih... Tapi aku nggak mau menyimpannya. Kan dulu kita sepakat untuk bergiliran. Apalagi kita tidak tahu kapan kita bertemu tukang loak.” Sergahku memaksa mereka agar berganti menyimpannya.

“Aku tidak mau ah takut...” Kata Agus sambil menggeleng gelengkan kepala. Kulihat Budi terdiam seperti memikirkan sesuatu.

“Bagaimana Bud? Ada ide nggak?” Tanyaku tak sabar.

“Gini aja, pisau itu sementara kita simpan dulu di kebun buah milik eyangku.” Akhirnya Budi memberikan solusi. Eyang Budi memang punya kebun yang cukup luas, aneka pohon buah buahan ditanam di kebun itu, kami suka sekali main kesana bila pas musim buah tiba. Kami bisa pesta rujakan. Ada saung kecil disudut kebun. Kami biasa tiduran disana sehabis makan rujak. Akhirnya kami sepakat menyembunyikan pisau itu di situ. Kami bertiga  lalu berjalan ke rumahku, sampai di kamar aku menarik keluar  kardus mainanku yang aku letakkan di bawah tempat tidur, setelah membongkar sebentar dan mengambil pisau yang masih terbungkus itu kami bertiga lalu berlari kecil menuju rumah eyang Budi. Rumahnya sih masih satu kampung tapi beda pembagian wilayah rukun warga. Eyangnya sedang tiduran di kursi goyang saat kami tiba, akhirnya kami langsung menuju saung yang terletak di halaman belakang.

“Kita sembunyikan disini saja ya?” Tanya Budi mengusulkan. Dia menunjuk  kolong bawah saung.

“Disini? Ya kelihatan dong!” Seru Agus tidak setuju.

“Bukan diletakkan disitu, tapi kita kuburkan  di tanah di bawah saung ini. “ Jawab Budi agak jengkel.

“Oh iya.... Aku setuju, kan tidak ada orang yang  melihat bawah saung.” Aku  menambahkan penjelasan Budi. Kali ini Agus tampak manggut-manggut karena mulai mengerti. Sesaat kemudian kami sibuk membuat lobang di tanah yang ditunjuk oleh Budi. Karena kami masih anak SD dan badan kami masih tergolong kecil, kami tidak kesulitan merambat ke bawah kolong saung. Setelah menaruhnya di atas lobang yang sudah kami buat, selanjutnya kami menutupi dengan tanah dan rerumputan agar tidak kelihatan.

Berhubung tukang loak yang kita harapkan tidak pernah jumpa. Mungkin saja dia datang tapi kita pas pergi main atau sedang sekolah, akhirnya kami mulai melupakan pisau yang kita tanam itu. Apalagi mimpi ku yang dulu tidak pernah hadir lagi. 

Namun suatu ketika, kampungku heboh karena ada kabar ada korban pembunuhan yang  ditemukan  di sungai, pihak  kepolisian berhasil menemukan pembunuhnya. Dia seorang pedagang daging di pasar. Menurut kabar yang beredar, perempuan itu dibunuhnya karena dia gelap mata saat dimintai pertanggung jawaban karena perempuan itu hamil padahal pedagang itu sudah berkeluarga. Dengan pisau dia menghabisinya, lalu membuang mayat beserta pisau itu di sungai, berharap orang akan mengira perempuan itu tenggelam dan tidak  ada yang menemukannya, tapi pisau itu tidak pernah diketemukan meski polisi sudah mencarinya  di sungai yang ditunjukkannya.


Wednesday, October 21, 2020

Sebuah Permainan

Edi, Fathur, Gading, Hari dan aku sendiri –Doni- saat ini sedang duduk di atas tikar di alun-alun pusat kota. Kami membeli jagung bakar dan minuman ronde. Tiap malam minggu dan libur tanggal merah, alun-alun selalu penuh orang, baik itu para penjual, pembeli, maupun hanya kerumunan orang-orang yang sekedar jalan-jalan mengisi waktu saja. Apalagi dengan cuaca cerah yang mendukung, jadilah rerumputan lapangan alun-alun ini hampir penuh dengan tikar - tikar tempat orang-orang bersantai ria.

“Wah, jagung bakarnya pedas juga ya!” Ucap Edi, mulutnya kelihatan megap-megap setelah beberapa saat menggigit dan mengunyah jagung bakar itu.

“Kamu juga pesan jagung rasa pedas bukan yang lain.” Balas Fathur. Dia memang kurang suka makanan pedas, maka dia memesan jagung bakar rasa manis asin. Sedang Gading, Hari dan aku memilih memesan yang rasa nano-nano alias pedas, manis, asin.

“Suka sih...” Jawab Edi cuek, ia terus saja makan jagung itu. Disela sela makan ia terpaksa minum ronde karena kepedasan.

“Habis pesta jagung, kita mau ngapain lagi nih?” Tanya Hari  sambil memandang kami  satu persatu untuk dimintai pendapat.

“Apa ya enaknya?” Tanya Gading seakan bertanya pada dirinya sendiri, lalu dia mengangkat bahu sebagai tanda kalau ia juga belum ada ide.

“Sewa film saja…” Aku memberi usul, biasanya kami menyewa VCD film lalu menontonnya bersama sama di rumah salah satu dari kami.

“Bosan ah, inginnya kegiatan yang asyik!” Potong Fathur.

“Iya pinginnya yang gimana gitu!” Timpal Edi membela Fathur.

“Yang gimana maksudnya?” Tanyaku tak paham.

“Yang bikin adrenalin kita naik.” Jawab Edi sambil mengepalkan tinju. Tampak benar kalau Edi suka kegiatan yang ada tantangannya.

“Lhah, apa itu?” Tanya kami hampir berbarengan.

“Mmhmm… bentar aku pikir dulu! kalian juga pikirkan kira-kira kegiatan apa yang cukup menantang!” Pintanya bersemangat. Lanjutnya, ”Nanti masing-masing harus memberi usulan.”

Setelah beberapa saat berpikir, kamipun bergiliran memberi usul. Aku tetap pada pendapatku yang pertama agar menyewa film lalu menontonnya ramai-ramai, Fathur  mengusulkan  ke game online, Gading  inginnya berjalan jalan keliling kota, sedang Hari meminta membuat permainan uji keberanian.

“Wah usulan dari Hari boleh juga tuh...” Ucap Edi tampak senang, dia menepuk nepuk bahu Hari. Edi tidak mengusulkan sesuatu karena dia bilang dia menyukai ide Hari.

“Lantas mau permainan yang bagaimana?” Tanyaku  kurang bersemangat.

“Iya apaan....” Gading menimpali pertanyaanku.

“Mmh... Gimana kalau kita main uji keberanian seperti sebuah acara yang dipandu Hari Panca itu?” Hari mengucapkannya dengan gaya yang dibuat buat mirip si pembawa acara.

Gading tertawa, “Boleh juga tuh idenya, tapi mau dimana lokasinya? Trus metodenya gimana? Kan kita nggak punya kamera infra merah.”

“Ah nggak usah terlalu rumit lah. Yang penting cari lokasi dulu, dimana ya kira-kira?” Sergah Edi tampak tenang.

“Gimana kalau di kuburan  di desa kita saja?” Tanyaku memberi usulan.

“Wah jangan, ada yang baru saja dimakamkan di kuburan di desa kita, takutnya masyarakat mengira kita mau mencari ilmu hitam, habis lah kita!” Edi menolak ideku. Ternyata dia itu berpikir jauh ke depan, bukan hanya tantangan yang dia pikirkan tapi juga resiko yang mungkin saja timbul.

“Kalau  rumah tua yang tidak berpenghuni itu gimana?” Tanya Gading, tambahnya lagi.” Itu lho rumah  tua di pinggiran desa yang sudah lama tidak berpenghuni.”

“Oh, rumah mbah Sastro almarhum ya?” Seruku . 

Aku tahu rumah tua itu, setiap berangkat dan pulang sekolah aku pasti melewatinya karena jalan depan rumah itu akses jalan terdekat  menuju rumahku. Rumah itu sebenarnya cukup  besar dan kokoh, maklum bangunan jaman dulu, apalagi mbah Sastro tergolong orang berpunya. Jadinya dia sanggup membangun rumah yang cukup bisa dibilang besar untuk ukuran warga desa. 

Namun  sayang, peristiwa gempa beberapa tahun silam menghancurkan rumah itu. Mbah Sastro meninggal tertimpa kayu. Warga desa terlambat memberi  pertolongan karena rata-rata mereka menyelamatkan diri masing-masing dulu baru para tetangga, sedangkan rumah mbah Sastro menyempal dari pemukiman penduduk. Anak-anaknya pun sudah pada tinggal di lain kota bahkan ada yang lain pulau. Setelah acara pemakaman, anak-anak mbah Sastro berbagi warisan. Rata-rata mereka yang mendapat warisan yang berupa barang lantas mengemasi barang-barang yang sekiranya berharga. Tapi rumah ini dibiarkan saja, tidak ada yang menempati ataupun sekedar diperbaiki, mungkin belum ada yang sempat merenovasi atau mungkin tidak ada yang mau ya? Karena kalau direnovasi kan perlu dana yang sangat besar belum lagi nanti siapa yang akan mau tinggal disini, mereka kan sudah punya kehidupan sendiri-sendiri? Akhirnya rumah itu teronggok tak terurus. Bahkan listrik nya pun dibiarkan mengalamai pemutusan. Pernah waktu aku pulang agak malam, aku melewati rumah itu, suasana gelap melingkupinya. 

“Tapi sepertinya rumah itu terkunci tuh! kita kan nggak bisa masuk!” Sergahku kemudian, karena aku tahu pasti pintu depan yang terlilit rantai dan digembok dari luar. Aku bisa melihat dengan jelas saat melewatinya.

“Rumah itu kan dulu kena gempa dan belum sempat diperbaiki, pasti ada celah-celah tembok yang bisa kita tembus.” Hari mematahkan keraguanku.

“Mmh.. Iya... Pasti  masih ada bagian yang rusak yang bisa kita lewati.” Edi  meyakinkan kami semua.

“Ya sudah, terus  gimana...?”  Tanyaku tidak sabar.

“Kita membeli lilin dan korek, lalu kita ke rumah itu. Nanti kita bisa memilih sendiri ruangannya, tapi tiap ruang harus berisi satu orang saja. Uji keberanian berlangsung sampai adzan subuh, bila sebelum waktunya ada yang menyerah tinggal telpon via handphone masing-masing. Tentu saja yang kalah mesti mentraktir kita semua. Bagaimana... Setuju?” Kata Edi panjang lebar, dia seperti mudah saja mengatur strategi. Dia itu memang paling aktif diantara kami semua, juga paling pintar. Namun kuakui dia juga paling jahil. Ada saja idenya untuk melakukan hal-hal yang tidak biasanya, bahkan untuk mengerjain orang.

“Boleh saja, aku setuju. Teman-teman lain bagaimana?” Hari tampak antusias dengan penjelasan Edi, ya pantas saja kan itu ide awal dia. Ternyata teman-teman yang lain termasuk aku juga setuju dengan ide permainan uji keberanian itu.

“Kalau  begitu, kita iuran, uangnya dikumpulin Ke Doni, biar dia yang membeli lilin. Kita menunggu disini saja. Kan tokonya tidak jauh dari sini!” Edi memberi instruksinya yang pertama.

“Loh kok aku?” Tanyaku protes, ada teman-teman yang lainnya.. Kenapa mesti aku?

“Gini sobat...” Kata Edi sambil merangkulku, lanjutnya.” Masak beli lilin saja mesti ramai - ramai sih? Sebagai imbalan, kamu tidak usah ikut iuran. Kita semua yang bayarin!”

Aku manggut-manggut, kupikir tidak ada salahnya juga, aku tidak perlu keluar uang untuk membeli lilin. Selanjutnya kami mengumpulkan uang, kami sepakat membeli lilin lima kotak yang berisi sepuluh biji  perkotaknya beserta korek apinya. Masing-masing anak akan mendapat satu kotak  lilin dan satu korek, terserah bagaimana mengatur dan pemakaiannya, mau cukup atau tidak, yang jelas waktu finish-nya pas adzan subuh berkumandang.

Kutinggalkan teman temanku untuk beberapa saat, karena aku mesti berjalan ke arah toko diseberang alun-alun ini. Tidak jauh sih, sekitar seratusan meter saja. Sekembali aku membeli lilin dan korek  aku melihat teman temanku sudah tampak bersiap siap, mereka langsung bangkit dari duduknya begitu aku sudah datang.

“Lho... Langsung berangkat nih....?”  Tanyaku.

“Ya iyalah, ini sudah jam sembilan malam. Kita mesti menitip motor dulu di penitipan, lalu kita jalan kaki!” Atur Edi. ”Nanti dari penitipan kita jalan kaki  menuju rumah tua itu.”

“Kenapa mesti jalan kaki? Kan kita bisa parkir di halamannya?” Tanyaku protes. Jalan kaki dari tempat penitipan ke rumah itu cukup jauh, bisa satu jam lebih.

“Emang kamu gak takut motormu dicuri orang?” Balas Fathur .

“Iya.. Kan beresiko parkir motor di rumah kosong, mengundang kejahatan!” Imbuh Gading seperti  meyakinkanku.

Aku manggut-manggut, tidak biasanya teman temanku sekompak ini. Tapi kupikir benar juga, sangat beresiko parkir motor di rumah kosong yang jauh dari pemukiman penduduk,  seperti kata Gading... Bisa memberi kesempatan untuk sebuah kejahatan.

Selanjutnya kami bersama sama ke tempat penitipan di dekat alun-alun, lalu kami berjalan kaki dengan santai sambil bersenda gurau.

“Katanya rumah itu sudah lama tidak dihuni ya Doni?”  Tanya Hari .

Belum sempat aku menjawab, Gading sudah menimpali.”  Kabarnya semenjak rumah itu rusak terkena gempa, belum ada keturunannya yang mau memperbaikinya’.

“Repot kali.... Kan mereka tidak tinggal di rumah itu. Mereka ada yang tinggal di luar kota yang jauh, juga di luar pulau. Mbah Sastro selama itu tinggal sendirian.” Jawabku.

“Ooh..... Tapi ada cerita-cerita hantunya gak nih?” Pancing Edi tampak bersemangat.

“Kayaknya nggak ada tuh... Selama ini nggak terdengar kabar yang aneh-aneh soal rumah itu. Ya paling cuma gelap saja, maklum listriknya juga sudah dicabut.”

“Yaaahhh... Nggak seru dong kalau nggak ada hantunya.” Edi kelihatan kecewa..” Tapi tak apalah.. Ini kan cuma uji keberanian saja.....”

“Juga.. Nanti siapa yang kalah mesti mentraktir kita semua...” Tambah  Gading.

“Kira-kira siapa nanti yang paling penakut?” Edi berandai andai.

“Paling Fathur atau Doni... Hahaha.” Celetuk Hari sambil terkekeh.

“Sorry ya..... Kita lihat saja nanti!” Ucapku yakin, atau mungkin karena terusik harga diriku karena dibilang penakut.

“Kalau aku akan usahakan bertahan sampai waktu berakhir.” Fathur menjawab pelan saja. ”Tapi... Kalian semua membawa handphone kan?” Tanyanya lagi minta penegasan.

“Nih aku bawa.”  jawab Edi dan Hari berbarengan.

“Aku juga bawa kok!” Gading  mengeluarkan HP nya dari saku celananya.

“Nih punyaku!” Aku ikutan menunjukan HP.

“Ya syukurlah..... Kalau semua membawa HP, jadi kalau ada apa-apa kita bisa saling telepon....”

Belum selesai Fathur berucap, Edi sudah memotongnya, “Eeits... Kita gak boleh saling telepon, itu mah sama aja.... Bukan uji keberanian namanya tapi ngobrol! Kita hanya bisa telpon satu kali yaitu kalau sudah tidak sanggup meneruskan permainan. Ok?!”

“Oh... Gitu yaa....!”  balas Fathur sambil mengangguk anggukkan kepalanya..

Setelah berjalan kaki beberapa saat, kami sampai juga di rumah tua itu, jam menunjukkan angka sepuluh lebih lima belas menit. Karena gerbang yang terbuat dari besi itu terlilit rantai  dan digembok  kami terpaksa memanjatnya. Sampai di halaman rumahnya yang luas kami memandang sekeliling. Tampak sepi  tapi tidak terlalu gelap karena langit cerah dengan bintang-bintang yang bersinar. 

Rumah ini dikelilingi  halaman yang luas di bagian depan, samping kanan dan kirinya, bahkan di bagian belakang ada halaman yang seperti kebun, luas dengan aneka tanaman  yang tumbuh liar. Ada beberapa pohon pisang yang tumbuh disana sini, lalu tanaman kelapa di tengah kebun, terus ada aneka macam tanaman lainnya. Edi meminta lilin dan korek yang tadi aku beli, lalu membaginya masing-masing anak satu kotak lilin dan satu korek ukuran pak kecil. Dia lalu membuka kotak lilinnya dan mengeluarkan satu batang, setelah menyalakan lilin, dia memasukkan sisa lilin dan korek di saku celananya.

“Ayo sekarang kita mencari celah untuk bisa memasuki rumah ini, lalu berkeliling di dalam mencari ruangan-ruangan untuk tiap-tiap orang!” Edi memberi instruksinya lagi sambil berjalan melangkah ke samping rumah.  Biasanya kalau dari arah depan pasti terkunci rapat, begitu ia berkilah. Ternyata benar, di bagian samping rumah agak ke belakang, kami menemukan jendela yang berlobang karena kaca kacanya sudah tidak ada lagi, untungnya lagi jendela itu tidak bertelaris. 

Dengan mengintip dari lobang jendela itu, kami melihat kalau susana dalam rumah sangat gelap dan pengap. Mungkin untuk orang-orang dewasa yang sebagian besar berbadan besar tidak akan bisa memasukinya. Tapi bagi kami anak-anak tanggung yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, dan tubuh kami masih pada kerempeng cukuplah untuk menerobos nya. Edi, yang pertama kali masuk, sebelumnya dia menyerahkan lilin yang menyala ke Hari. Setelah Edi ada di dalam dan berdiri di dekat jendela gantian Hari yang masuk, lilin dia serahkan ke Fathur. Selanjutnya aku dan terakhir Gading. 

Berada di dalam rumah dengan nyala lilin cukup terang juga untuk melihat sekeliling. Rumah itu sudah kosong, tidak ada perabotannya. Kami pikir ini ruang makan karena di samping kirinya terdapat ruang dapur yang juga kosong. Lalu kami melanjutkan langkah  menyusuri rumah, ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu dan satu ruang tengah. Di belakang ada satu kamar mandi dan WC.  

Meski tidak banyak kamar, tapi ruangannya besar-besar, tidak seperti rumah-rumah jaman sekarang yang ukuran ruangannya kecil-kecil. Akhirnya kami sepakat membagi ruang. Hari mendapatkan ruang tamu, Aku – Fathur dan Gading  masing-masing kebagian kamar tidur, hanya saja kamar tidur bagianku agak menyempal  dari kamar yang lain karena tampaknya ini kamar tidur utama. Sedang Edi menempati ruang makan yang tadi kami lewati sebagai jalan masuk ke rumah ini. Kami lalu menyalakan lilin masing-masing dan selanjutnya memasuki ruangan yang tadi sudah dibagi.

Sampai di dalam kamar, aku mengamati isi ruangan, tidak ada perabotan yang tersisa sehingga kamar ini terlihat sangat lapang. Kuletakkan lilin di tengah tengah ruangan lalu aku menutup pintu – karena tadi memang Edi sudah memberi instruksi untuk menutup pintu agar tidak melihat satu sama lain. 

Selanjutnya aku duduk bersandar di tembok dan mengeluarkan handphone, bukan mau telpon tapi aku memainkan game yang ada di HP itu. Untuk mengisi waktu saja daripada bengong sendiri, tentu saja suara aku matikan agar tidak kedengaran dari luar. Kupikir teman temanku juga demikian karena tidak ada suara sedikitpun yang aku dengar kecuali suara angin sepoi-sepoi.

Beberapa saat aku bermain game, rasa kantuk mulai menyergapku, aku menguap beberapa kali. Aku berusaha untuk terus terjaga mengikuti aturan yang tadi kami sepakati bersama yaitu : tidak boleh tidur harus terjaga sepanjang malam, tapi entahlah mata ini seperti ada magnetnya yang  dengan kuatnya seperti mau menutupkan kelopak mataku. Karena tak tahan terserang  rasa kantuk, aku memutuskan untuk tidur saja. Tapi sebelumnya aku pasang alarm jam empat pagi. Aku berbaring di atas lantai yang terasa dingin dan berdebu itu, lalu kutaruh HP di dekat telingaku. Karena mengantuk berat akupun jatuh tertidur.

Kulewati malam dengan singkat karena aku tidur lelap sampai alarm berbunyi membangunkanku. Kubuka mataku dengan paksa, kulihat jam yang tertera di handphoneku, baru menunjuk angka empat lebih beberapa menit.  Kuusap usap mukaku agar tidak kelihatan kalau aku baru bangun tidur.  Kubuka fitur di HP, tidak ada keterangan panggilan masuk, berarti teman temanku bisa melewati malam dengan waktu yang disepakati, karena sebentar lagi kan adzan subuh. 

Beberapa saat menunggu akhirnya suara adzan subuh berkumandang juga, aku bergegas bangkit dari duduk dan mengambil lilin yang masih menyala. Kubuka pintu kamar dan aku berjalan ke arah kamar yang lain. Kuketok pintu kamar tidur yang ditempati  Fathur, tidak ada jawaban. Ketika kubuka pintunya tidak ada siapa-siapa di ruang itu, selanjutnya aku ke kamar tempat Gading, juga kosong. Perasaanku jadi tidak enak... Aku segera beranjak kekamar tamu bagian  Harii... Eh sepi juga. Selanjutnya aku ke belakang menuju ruang makan. Kosong tidak ada siapapun. Aku segera mengambil HP dari saku celanaku dan menelpon Hari.

“Hallo.... Hallo.....?” Teriakku cemas. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Nomor nomor handphone teman-temanku yang lain juga aku coba hubungi tapi tidak ada satupun yang merespon, namun yang pasti aku tahu HP mereka dalam keadaan hidup alias tidak dimatikan. Kucoba berkali-kali telepon tetap saja tidak ada sahutan. Aku mulai cemas dan takut, suasana rumah jadi sangat menyeramkan meski pagi sudah menjelang, mungkin karena aku sendirian di rumah ini. Segera aku keluar rumah melalui jendela tempat kami masuk pertama kali. Setelah ada di luar aku mencoba menghubungi telpon rumah Fathur, aku akan melaporkan kejadian yang menimpa kami, mungkin saja Fathur hilang dibawa genderuwo atau apalah. Fathur anak yang paling penakut menurutku dibanding yang lain, biasanya hantu tuh paling suka sama orang penakut. Kudengar ada respon dari telponku, seseorang di rumah Fathur  mengangkat telpon.

“Hallo... Siapa nih?”  Tanya orang itu seperti masih sangat mengantuk.

“Saya Doni bu, teman Fathur..... Maaf bu... Fathur.....”

Belum selesai aku bicara, ibu Fathur sudah memotongnya, “Aduh ini kan masih Pagi.... Fathur juga masih tidur di kamarnya. Nanti saja ya telpon lagi, atau langsung ke HP Fathur saja nggak apa apa!” Lanjut ibu Fathur

“Fathur masih tidur?” Tanyaku terkejut dan setengah tidak percaya.

“Iya masih tidur, tadi malam dia sama teman temannya  main gitar dan ngobrol-ngobrol sampai larut.” Jawabnya lagi dengan datar.

“Jadi Fathur.....” 

“Iya sekarang masih tidur!” Jawab ibu tadi terdengar tidak sabar, mungkin masih mengantuk dia.

“Oh maaf bu... Maaf... Nanti aku telpon Fathur lagi.” Kataku. Setelah kudengar ibu itu menutup telpon aku pun menutup HP ku.

Aku terhenyak mendengar penjelasan ibu Fathur. Aku diam sebentar merenungkan  yang telah terjadi, lalu aku menyadari kalau aku sudah dikerjain sama teman temanku, berarti sepanjang malam ini aku sendirian saja di rumah ini. Pantas saja tidak ada telepon masuk, juga aku tidak bisa menghubungi mereka, pasti mereka kelelahan karena semalaman begadang dan ngobrol-ngobrol. Ah.. Pasti tertawa-tawa sambil membayangkan ulah jahil mereka terhadapku. Aku tersenyum kecut, ”Sialan” Begitu umpatku dalam hati.


Radio Tua


Hari ini sekolahku ada rapat guru, jadi kami bisa pulang lebih awal. Jam sebelas  kami sudah keluar kelas masing-masing. Aku dan tiga orang temanku duduk-duduk sebentar di  bangku panjang dekat area parkir sekolah, kami memang paling malas kalau mesti berhimpit himpitan berebut ambil sepeda motor di tempat parkir yang terbatas itu. Lebih baik aku dan gank ku menunggu dulu sampai  sebagian anak-anak yang lain keluar area parkir jadi kami leluasa mengeluarkan motor. Sambil menunggu kami berbincang bincang mengobrolkan hal -hal ringan.

“Baru  jam sebelas, enaknya ngapain ya?” Ucap Agus membuka pembicaraan.

“Iya nih... Ngapain ya? Tanggung kalau mau pulang!”  Timpal Budi.

“Jajan bakso aja di warung pak Kumis!” Seru Chandra dengan wajah bersinar. Anak itu memang suka sekali jajan, makanya dia gendut.

“Yaaach... Belum lapar, kan baru jam sebelas!”  Tolakku halus.

“Trus... Mau ngapain coba?” Balas Chandra.

Aku mengangkat bahu, jawabku.” Terserah teman-teman aja gimana aku ngikut.” Lanjutku, ”hanya saja jangan ke warnet, jam-jam segini pasti padat. Apalagi pulang sekolah lebih awal kayak gini, yakin deh!”

“Betul, jangan ke warnet!”  Tambah Agus mendukungku.

“Lha terus kemana dong?” Chandra bertanya lagi.

Kami diam sebentar memikirkan enaknya mau kemana untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan yang asyik.

“Nah... Gimana kalau kita main ke pasar loak?” Usul Budi seperti mendapat ide brillian. Kami saling berpandangan, sepertinya kami belum ada yang pernah main ke pasar loak sebelumnya. Lha ini Budi dapat ide kayak gitu apa dia pernah main kesana?

“Emang kamu pernah ke pasar loak? Cari apa disana?” Sahut Agus seperti tidak percaya dengan usulan Budi.

“Banyak....... Enggak hanya barang loakan kok.  Barang baru dari kapal juga ada... Kata yang jual lho...” Kami tertawa mendengar ucapan Budi.

“Eh beneran ini... Beberapa minggu yang lalu aku diajak ayahku ke pasar loak. Ayah sih cari spion motor. Katanya harganya lebih miring. Nah disana aku lihat bukan hanya barang-barang loakan yang dijajakan... Memang sih sebagian lapak menjual aneka macam barang loakan, tapi di lapak yang lain ada yang jualan barang baru.” Jelas Budi panjang lebar.

“Wah, kayaknya asyik juga tuh.” Seru Chandra senang, “Tapi ada yang jualan makanan kan?”

“Huuuuuu...... Makan mulu yang dipikirkan!”  seru Budi

Kami semua lalu tertawa. Akhirnya kami sepakat main dulu ke pasar loak.  Meski tidak bermaksud membeli sesuatu, tapi paling tidak kami punya pengalaman baru tentang itu. Dengan mengendarai motor beramai ramai kami menuju ke pasar loak yang terletak di pinggiran kota. Pasar itu ternyata berupa bangunan yang masih lumayan baru, dari depan tidak terlihat seperti pasar yang kami bayangkan sebelumnya. Mungkin karena bangunan gedungnya yang tampak megah.  Katanya sih ini untuk menampung para penjual barang loakan yang dulu tersebar di pusat kota, karena mereka berjualan di trotoar tempat para pejalan kaki - akhirnya jalan-jalan menjadi  macet, disebabkan munculnya  tempat parkir motor dadakan di pinggir jalan itu. Akhirnya sama pemerintah dibuatkan bangunan khusus untuk mereka.

“Kita mau kemana dulu nih?”  Tanya Budi kepada kami semua.

“Ikut kamu aja gimana... Toh kita juga nggak akan beli apa-apa? Cuma pingin lihat - lihat saja!”  jawab Agus kalem.

“Eh, siapa tahu nanti kalian lapar mata?” Sergah Budi.

“Ah... Kayak perempuan aja, lihat barang terus ngiler!” Balasku  sambil mencibirkan bibir.

“Hahaha... Ya siapa tahu kan? Barang-barang disini kan murah-murah....” Balasnya lagi.

“Ah sudahlah nggak usah pada ribut, mending kita langsung jalan aja. Sekedar lihat-lihat saja, tapi kalau mau ada yang beli sesuatu ya silakan!” Chandra menengahi.

Akhirnya kami masuk ke gedung itu dan mulai berkeliling. Di dekat pintu masuk ada lapak  yang menjual kaset-kaset lama, kami melihat sekilas saja karena kami kurang mengenal kaset, mungkin era orang tua kita dulu kali yaa. Selanjutnya kami melewati lapak yang berjualan aneka onderdil dan sparepart mobil dan motor. Wah lumayan juga kayaknya, mungkin kalau nanti perlu sesuatu dengan motor kami bisalah kesini, siapa tahu harganya  bisa jauh daripada beli di toko. Masuk lebih ke dalam lagi, kami menemukan lapak yang berjualan aneka produk sandang, dari yang bekas sampai yang masih baru–baru turun dari kapal –begitu ucapan Budi eh penjual.... Heheheh.  Di penjual aneka celana jins kami berhenti sebentar, sekedar bertanya harga dan melihat-lihat saja. Mana bisa kami membeli celana jins dengan uang saku kami, mesti tunggu dana turun dari orang tua  kan.  Setelah itu kami berjalan menuju ujung belakang bangunan pasar, ternyata disitu tempatnya orang jualan pernak pernik aneka  barang-barang jadul.  Ada piring, cangkir, teko bekas, setrika besi, uang lama dan banyak lagi. Bahkan kami juga melihat aneka radio tua.

“Emang radio ini masih bisa dibunyikan pak?” Tanyaku sekedarnya saja. Kulihat di hadapanku ada radio kecil dengan merek yang kurang kukenal, kuambil radio itu dan mengamatinya. Aku berlagak tertarik dengan radio itu.

“Wah, kalau sudah direparasi pasti bisa bunyi lagi!” Jawab si penjual, ”Maklum mas  barang lama dan tidak terpakai lagi, jadi perlu perbaikan disana sini.” Lanjutnya sambil mengangkat radio itu yang barusan aku kembalikan ke tempat semula, dia mengambil batu batterai yang sesuai untuk radio itu dan mulai memutar mutar tombol pencarian gelombangnya, tapi hanya terdengar bunyi  bunyian yang tidak jelas.” Nah ini ada suaranya... Meski tidak jelas tapi nanti setelah direparasi pasti bisalah!” Dia mencoba meyakinkanku.

“Emang gak bisa sekalian direparasi  pak?” Chandra tiba-tiba saja nyelonong di hadapanku dan ikutan bertanya.

“Wah, kami hanya berjualan saja. Apa adanya barang saja. Kalau masalah reparasi ya silakan tukang service. Mereka lebih paham!”  jawab si penjual dengan santai.

“Emang berapa sih harga radio ini?” Tanya Chandra lagi.

“Dua ratus ribu saja mas, murah kok!” Ujarnya  seraya  menyorongkan radio ke arah Chandra.” Kalau mau menawar juga boleh kok“ Bujuk si Penjual.

“Yaaahh..... Radio butut gitu dua ratus ribu, mana perlu reparasi lagi!’ ucapku agak sengit, “ Kalau boleh lima puluh ribu, ok lah....!” Aku berkata sekenanya saja.

”Ya sudah, khusus  buat mas ini bolehlah limapuluh ribu... Hitung-hitung buat penglaris.  Mas kan pembeli pertama yang beli barang saya. Lumayan uangnya bisa buat makan siang!” Ucap si penjual dengan tenang, tangannya langsung memasukkan radio itu ke kantong plastik. Lalu dia menyerahkan radio itu ke padaku. Aku tergagap sesaat, tak kusangka dia melepaskan dengan harga yang aku asal sebut itu. Terpaksalah aku membelinya. Sebenarnya berat juga membayar lima puluh ribu ke penjual itu, berarti uang sakuku selama seminggu hilang percuma... Tapi mau gimana lagi, salahku juga menawar meski sebenarnya cuma iseng. Akhirnya radio tua itu berpindah tangan. Selanjutnya kami meninggalkan lapak itu untuk berkeliling ke lapak-lapak yang lain. Kali ini aku berjanji tidak akan mencoba iseng menawar, cukup melihat sekilas saja. Selain uang sudah tak bersisa, kapok juga bila nanti kejadian tadi terulang.

“Wah lapar nih!” Seru Chandra begitu kami keluar dari pasar. 

“Iya..... Aku juga lapar.” Agus menimpali.

“Enaknya mau makan apa?” Budi ikut ikutan .

Hanya aku seorang yang  tersenyum kecut, wah mesti hutang dulu ke teman-teman kalau mau ikutan jajan. Tapi gimana lagi.. Aku juga lapar sih.

“Di depan itu ada warung tegal!” Teriak Chandra sambil menudingkan jarinya ke arah depan pasar ini. Ya, kami melihat warung tegal yang tidak terlalu besar tapi banyak pembeli. Biasanya kalau banyak yang makan disitu, makanannya bisa dipastikan lumayan.

“Boleh juga makan di warteg, gimana teman-teman?” Tanya Agus sambil memandang kami satu satu.  Budi mengangguk tanda setuju, kalau Chandra jelaslah dia mau. Sedang aku...?

“Gimana Edi? Setuju nggak?”  Tanya Agus seperti minta penegasan.

“Mau juga sih, aku kan juga lapar. Tapi.....” Lanjutku

“Nggak punya uang, karena sudah beli tuh radio!” Goda Budi sambil melirikku. Lirikan nakal  seolah mengejekku. Aku cemberut saja. Sudah  kecewa mesti membayar nih radio eh masih juga diledek.

“Edi, bisa hutang dulu ke aku.” Ucap Agus sambil menepuk bahuku.

Akhirnya kami sepakat makan di warung tegal itu. Dan aku terpaksa hutang kepada Agus.

Jam sudah menunjuk angka dua siang lebih beberapa menit, kamipun lalu berpamitan satu sama lain untuk pulang kembali ke rumah masing-masing.

Sampai rumah aku langsung masuk ke dalam kamar.  Kuambil tas plastik hitam yang berisi radio tua itu dan kukeluarkan isinya. Sesaat aku memandangi radio, perasaan sesal melingkupiku. Radio itu sebenarnya kelihatan solid, mungkin dijamannya radio itu tergolong barang mahal dan hanya orang-orang kalangan tertentu saja yang bisa memilikinya. Jaman dulu kan radio tergolong barang mewah. Kuputar putar tombol pencari gelombang... Kali ini tidak ada suara sama sekali. Ketika kubalikkan ternyata batu baterai nya sudah tidak ada. Gila.... Penjualnya ternyata mengambil kembali batu batterainya. Aku bersungut sungut.  Karena kecewa dan malu ketahuan aku menaruh radio itu di belakang tumpukan buku di rak dekat meja belajarku. Dari depan tidak ada yang menyadari ada radio di belakangnya karena sisi kiri kanan atas dan bawah tertutup kayu rak, sedang dari arah depan, buku-buku berjajar memenuhi rak. Aku tidak tahu mau diapakan radio itu, kalau mau jual juga mesti jual kemana? Mana ada teman temanku yang mau membelinya? Aku malah bisa diejek habis-habisan kan? Kalau ketahuan ibu juga nanti malah kerepotan sendiri, ibu pasti mengomel menyalahkanku yang hanya bisa menghambur hamburkan uang buat membeli barang yang tidak perlu. Ya sudahlah sementara aku taruh disitu, nanti bagaimana sajalah.

Aku segera keluar kamar begitu kudengar suara ibu memanggilku, ternyata ia memintaku mengantar Dewi adikku yang paling kecil les menari.

“Sudah dibawa semua kan? Tidak ada yang ketinggalan?”  Tanya ibu kepada  Dewi sambil membantunya naik ke atas sadel boncengan motor.

“Awas kalau ada yang ketinggalan, kakak tidak mau mengantar kamu lho...” Sambungku seperti mengancam. 

“Ediiiii....” Omel ibuku pendek, sedang Dewi memukul punggungku. Dari spion motor kulihat Dewi cemberut.

“Nanti pulangnya sekalian kamu jemput ya? Karena ibu ada acara arisan!” Ujar ibu kepadaku.

“Iya... Iya....!” Jawabku pendek.

“Jangan terlambat lho kak...!” Rajuk Dewi. Kuakui aku kadang terlambat menjemputnya. Sebenarnya aku tahu pasti jam berapa dia akan selesai les menari tapi nggak tahulah rasa malas kadang mengalahkanku.

“Iya Edi, jangan terlambat. Kasihan adikmu menunggumu sendirian di sanggar itu!” Kata ibu datar, mungkin dia sudah hapal dengan watak anaknya... Hahahah.

Akhirnya aku mengantar Dewi ke sanggar tempat dia les menari, setelah itu aku kembali ke rumah, sebenarnya aku bisa mampir saja ke warnet sekalian menunggunya les, tapi aku sudah tidak punya uang, bahkan aku ada hutang dengan Agus temanku. Wah mesti berhemat sampai hari minggu nih.

Beberapa  minggu kemudian aku sudah melupakan radio itu, ibu pun tampaknya tidak mengetahui kalau aku menyimpan  barang loakan itu di balik buku-buku itu, hingga suatu ketika disuatu sore saat aku pulang dari rumah temanku buat belajar kelompok, aku mendapati Dewi adikku sedang bermain main dengan radio itu.

“Hei... Ngapain kamu?” Hardikku keras, kulihat tangan Dewi memutar mutar tombol dan kemudian menempelkan di telinganya seperti dia ingin mendengar sesuatu.

“Mencari gelombang dong kak!” Ucap nya santai saja sambil terus menggoyang goyangkan radio itu.

“Radio itu sudah rusak... Nggak bisa dibunyikan!” Teriakku sambil mencoba mengambil radio itu dari tangannya, tapi dia dengan kencang mempertahankannya. Saat aku juga ikutan lebih keras mengambilnya ia mulai menjerit-jerit, terpaksalah aku mengalah. Takutnya ibu mendengar dan datang kesini, bisa repot lah aku, pasti ibu akan bertanya banyak hal yang buntutnya aku akan diomeli.

“Ya sudahlah kalau mau main-main dengan radio itu.” Akhirnya kubiarkan dia, lalu aku rebahkan badanku di atas tempat tidur.

Kak, radionya kok nggak bunyi lagi sih......” Kata Dewi sambil mendekatiku.

Aku menoleh ke arahnya, seruku, ”Sudah dibilangin kalau radio itu rusak nggak bisa bunyi masih saja.....”

“Tapi  beberapa malam yang lalu Dewi dengar kok.” Potongnya cepat.

“Ah.... Mimpi kali kamu...!” Jawabku seenaknya.

“Beneran kak, malam itu aku terbangun, aku  dengar suara radio, kuikuti suara itu ternyata asalnya dari kamar kakak tepatnya di rak buku itu!”

Aku terkejut mendengar penjelasannya, kalau dia mendengar suara radio ini kenapa aku tidak dengar padahal  jelas-jelas aku ada di dalam kamar yang berarti jarak telingaku lebih dekat daripada telinganya. 

“Kamu bohong ya.... Kok kakak tidak mendengar nya?” Sergahku.

“Yaahhh.. Kakak kan kalau tidur kayak orang mati saja!” Balas adikku semaunya.

Jengkel mendengar ocehannya, kulemparkan guling kedirinya. Dia menangkis guling itu dengan melempar radio yang dia pegang ke arah guling. Akhirnya malahan radio dan guling itu yang sama-sama jatuh. Kalau gulingnya sih tidak apa-apa, namanya juga barang empuk, tapi radionya sedikit penyok karena membentur kaki tempat tidur yang terbuat dari besi. Sekilas aku melihat ada sedikit darah di radio itu, aku segera meraih Dewi dan mengamati tangannya.

“Kamu nggak apa-apa kan Wi.... Mana tanganmu yang berdarah?”  Tanyaku sambil terus membolak-balik kedua tangannya meneliti bagian mana yang sekiranya berdarah.

Dewi malah tertawa terbahak bahak, katanya, ”Kakak ini aneh, yang jatuh kan radio... Masa Dewi yang berdarah?”

Aku tercenung mendengar ucapannya, akupun lalu mengambil radio itu dan mengamatinya, tapi  ternyata tidak ada darah  di radio itu. Aku masih tidak percaya, tadi aku merasa benar-benar melihat darah di radio itu yang kupikir berasal dari tangan Dewi. Tiba-tiba aku ketakutan karena aku merasa radio itu mengeluarkan energi yang seperti menyerangku. Tak terasa aku menjatuhkannya, aku hanya berusaha lepas dari radio itu, namun kali ini bukan darah yang kulihat, tapi suara aneh yang keluar dari radio itu meski cuma sebentar.

“Benar kan kak... Radio itu bisa berbunyi!” Teriak Dewi lantang. 

Aku diam tanpa bisa berbicara apa-apa. Keringat dingin membasahi badanku. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.


La Planchada