Aku menerima pesan di facebook dari Rina temanku semasa sekolah menengah atas dulu bahwa akan ada reuni kecil di rumahnya. Dia memintaku agar bisa hadir. Sari, Wati dan Ningrum dipastikan akan hadir, begitu katanya. Aku jadi ingat masa-masa sekolah dulu, kami berlima memang membuat geng kecil di sekolah dan Rina sebagai ketuanya, tapi jangan dikira kami melakukan hal-hal yang buruk, geng kami bertindak positive saja semacam belajar bersama, pergi main ramai-ramai ataupun cuma sekedar naik motor keliling kota yang dilanjutkan jajan di warung bakso Pak Kumis.
Sebenarnya bukan hal-hal yang terlalu istimewa tapi kenangan itu terasa manis untuk diingat, sebuah persahabatan yang murni tanpa tujuan ini itu kecuali berbagi keceriaan bersama.
Selepas kami lulus SMA, kamipun berpencar. Rina melanjutkan kuliah di kota Bandung di sebuah universtias negeri ternama, dia memang cerdas, setiap kenaikan kelas selalu mendapat rangking. Sari dan Wati melanjutkan kuliah di sebuah institut keguruan di kota gudeg tapi mengambil jurusan yang berbeda satu sama lain, sekarang sudah jadi guru. Sedang Ningrum langsung dipinang pacarnya yang jadi tentara, dia tinggal berpindah-pindah mengikuti tugas suaminya. Sedang aku sendiri setamat kuliah mendapat pekerjaan di kota Jakarta.
Kami kehilangan kontak untuk waktu yang lama, tapi dengan adanya jejaring sosial yang sekarang ini marak, kami pun terhubung kembali. Sudah lama kami berencana untuk mengadakan reuni kecil di rumah Rina, tapi karena kesibukan masing-masing rencana itu tertunda-tunda, dan baru akhir bulan depan kami berlima punya kesamaan waktu luang.
Bagi Sari dan Wati, liburan sekolah pas buat mereka untuk meluangkan waktu, sedang Ningrum, kebetulan suaminya juga sedang ditugaskan di kota yang tidak terlalu jauh dengan kota kami sekolah dulu. Aku sendiri juga tidak masalah kartena ijin cuti tahunanku sudah disetujui. Kalu Rina? Wah sebagai seorang wanita wirausaha dia bisa mengatur jadwal dan waktunya sendiri.
Kudengar mereka kadang saling bersilaturahmi saat mudik di kota asal kami. Tentu tidak pernah lengkap berlima, karena kesibukan satu sama lain berbeda-beda. Hanya aku saja yang sudah lama absen. Maklumlah waktu tinggal di kota itu, orang tuaku hanya mengontrak rumah. Tugas ayah yang sering berpindah-pindah membuat kami tidak terlalu lama tinggal di suatu kota. Orang tua lebih suka mengontrak, tapi mereka sudah menyiapkan sebuah rumah untuk masa tua di tempat kelahiran ibu. Karena itu aku mudik ya ke rumah orang tua yang sekarang.
Siang itu hari terakhir aku bekerja karena besoknya aku sudah mengambil cuti, beberapa berkas masih ada di meja kerjaku. Kutengok jam hampir menunjuk pukul dua belas... berarti sebentar lagi jam istirahat.
Aku berencana makan di kantin saja agar lebih cepat, karena Rina bilang akan menghubungi via telepon hari ini. Takutnya kalau makan di luar aku kurang leluasa menerima telepon. Benar saja, beberapa menit setelah jarum panjang meninggalkan angka dua belas, handphone berbunyi. Kulihat nomor Rina di layar hp-ku.
“Siang Rina, bagaimana kabarnya?” aku membuka pembicaraan dengan sedikit berbasa-basi.
“Baik-baik... kamu juga kan?” tanya Rina di seberang telepon.
“Yoi, gimana kabar teman-teman kita? Jadi datang nanti ke reuni?” aku balik bertanya
“Ya pastilah, tinggal kamu yang belum memberi kepastian!” suara Rina sedikit dikecilkan.
“Hah... kamu tuh, aku kan sudah bilang aku ambil cuti. Ya pastilah aku datang!” seruku dengan mantap.
Kudengar derai tawa Rina, “Nah gitu dong.” sambungnya lagi,kali ini dengan suara yang keras “Ya sudahlah, sekarang kamu makan siang kan? Aku juga mau konfirmasi teman-teman yang lain bahwa kamu pasti datang!”
“Yup, titip salam buat mereka semua ya dari aku,” tutupku mengakhiri pembicaraan.
Di jejaring sosial itu, kupandangi layar komputer yang menampilkan foto-foto teman-teman lamaku. Foto-foto jadul yang membuka kenangan lama. Aku jadi tidak sabar untuk segera pulang. Besok aku akan naik pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta, disambung dengan taxi bandara aku akan meluncur ke kota tempat aku menghabiskan masa sekolah dulu.
Rina sudah memberi informasi hotel-hotel yang bisa aku pilih untuk menginap, sebenarnya ia menawari aku tinggal di rumahnya, tapi aku sungkan dan rasanya lebih bebas tinggal di penginapan. Dari penginapan aku bisa ambil becak atau ojek untuk sampai ke rumah Rina, karena di kota kecil itu tidak ada taxi. Rumah Rina ada di pinggiran, tapi tidak terlau jauh dari pusat kota.
Seingatku di pinggiran kota itu ada sebuah rumah model jaman kolonial yang megah dan berpagar tembok yang mengelilinginya, di sebelahnya ada sawah terbentang, setelah melewati pertigaan jalan kampung, belok ke sebelah kiri, beberapa meter dari situ rumah Rina sudah kelihatan.
Dulu setiap mau main ke rumah Rina dan pas musim mangga, kami berhenti sejenak di dekat rumah besar itu, celingak celinguk melihat apakah pohon mangga yang ada di dalam rumah itu sudah berbuah. Ya pohon itu terdapat di samping pagar tembok, jadi sebagian dahan dan daunnya ada di luar, kadang ada buah mangga yang menggelantung di dahan itu. Jadilah buah buah itu sasaran empuk kami. Biasanya kami naik di atas motor dan mengambilnya. Mencuri? Hehehe... kecil-kecilan lah ya, apalagi buahnya ada di luar tembok dan menghadap jalan... so kami pikir milik umum lah… hahahah.
Tidak banyak yang bisa kami ambil karena memang hanya sebagian dahan saja yang keluar pagar, tapi itu sudah membuat kami senang bukan kepalang, padahal kalau dipikir pikir beli di pasar saja lebih mudah dan murah. Namun itulah seninya, nilainya bukan dari harga mangga tapi lebih kebersamaan kami. Bila nanti sudah sampai di rumah Rina kami akan pesta rujak, kan di kebon Rina yang luas ada ditanami aneka buah-buahan... termasuk juga mangga... hahahah. Aku tersenyum mengingatnya.
Waktu yang kutunggu tunggu pun tiba, aku sudah sampai di bandara Adi Sucipto di Yogyakarta, setelah mengambil bagasi, aku menuju layanan taxi. Setelah mendapatkan taxi yang sudah ditunjuk, akupun meluncur ke kota tempat aku sekolah dulu. Tiba di hotel yang sudah aku reservasi sebelumnya, jam baru menunjuk pukul satu siang. Lumayan bisa buat istirahat sebentar sebelum aku ke rumah Rina.
Sebenarnya pelaksanaan reuninya masih besok siang, tapi aku ingin menyambangi Rina dulu nanti malam, besok bisa dilanjut lagi dengan pertemuan bersama teman-teman yang lain.
Kurebahkan badanku di tempat tidur, alarm di handphone aku atur jam tiga sore. Perjalanan dari Jakarta menuju kota ini benar-benar membuatku lelah, akupun lalu tertidur dengan cepat. Tepat jam tiga sore alarm berbunyi, aku bangun dan diteruskan membersihkan badan di kamar mandi. Air yang mengguyur badanku terasa sangat segar. Selesai mandi aku berganti baju kasual dan membawa tas kecil. Di depan hotel ada beberapa becak yang mangkal, kupilih satu.
“Ke desa Sumbersari berapa, Pak?” tanyaku kepada pak becak yang aku pilih.
Setelah tawar menawar sejenak akhirnya aku naik becak itu dan meluncur ke desa yang aku sebutkan tadi. Sepanjang perjalanan kunikmati suasana kota, tampak banyak perubahan dan bertambah ramai. Kuhitung lagi sudah sekitar lima belas tahun aku meninggalkan kota ini, pantaslah perubahan terjadi di sana sini. Kulihat alun-alun kota yang dulu hanyalah sebuah lapangan hijau kini sudah dikelilingi puluhan pedagang makanan dan barang-barang.
Aku ingat dulu tiap sabtu sore banyak muda mudi bermain ke alun-alun itu. Biasanya mereka datang berkelompok termasuk geng kami, lalu duduk bergerombolan di atas rumput hijau yang membentang. Kalau pas ada uang, bisalah kami memesan jagung bakar dan wedang ronde. Lalu dilanjutkan ngobrol ke sana kemari mengisi waktu luang kami, sebelum malam menjelang kamipun bubar, maklum anak perempuan. Beda dengan rombongan anak-anak laki-laki, mereka bisa sampai semalam penuh bercengkerama di tempat ini.
Pelan tapi pasti becak itu meninggalkan kota menuju pinggiran, dari situ kulihat tidak begitu banyak perubahan. Sawah masih membentang seakan membatasi kota dengan desa selanjutnya. Hijau daun padi yang belum menguning tampak sangat asri. Pohon-pohon besar yang tumbuh di pinggiran jalan juga tampak kokoh berdiri membentengi sawah.
“Pak... kita berhenti di sini saja!” ucapku kepada bapak pengayuh becak itu.
Becak itu lalu berhenti, pak becak turun dari sadel, “Kenapa, Mbak? Kan belum sampai desa Sumbersari?” tanyanya dengan wajah keheranan.
“Tidak apa-apa kok, Pak. Aku hanya ingin jalan-jalan saja. Toh juga tidak terlalu jauh!” terangku.
Yup, aku ingin berjalan saja menuju rumah Rina, Suasana sangat mendukung untuk berjalan, hitung-hitung memupuk kesehatan. Langit sedikit mendung jadi tidak terlalu panas, angin bertiup sepoi-sepoi memainkan daun-daun pepohonan yang berjajar di sepanjang pinggir jalan. Kalaupun nanti hujan aku juga tidak perlu khawatir karena aku membawa payung. Aku hanya ingin berjalan jalan menikmati petang sambil mengenang masa mudaku yang dihabiskan di kota ini. Untuk nanti pulangnya mudah, Rina pasti akan mengantarku.
Pak becak itu seakan mengerti maksudku, diapun lalu menyorongkan becaknya ke depan agar aku lebih mudah untuk turun. Setelah membayar aku berjalan menyusuri jalan desa ini. Becak itu berbalik menuju kota. Sesekali kulihat orang-orang yang melewati jalan desa ini. Sebagian besar naik sepeda motor, tidak seperti masa lalu biasanya sepeda kayuh yang mendominasi.
Aku berjalan dengan santai dan sesekali melihat sekeliling meresapi indahnya alam. Angin juga kadang mempermainkan rambutku. Tak kusangka mendung semakin kelihatan tebal, langit mulai berubah warna menjadi hitam. Angin juga kurasakan makin kencang bertiup. Tak lama kemudian gerimis mulai turun, aku berlari menuju sebuah pohon besar di pinggir jalan, kuambil payung dari dalam tas dan kubuka. Akupun melanjutkan berjalan.
Dalam perjalanan menuju rumah Rina aku melewati rumah besar laksana villa itu, memang sudah berbeda, sekarang sudah dialih fungsikan menjadi sebuah losmen, ada papan nama yang terpancang di situ “LOSMEN SEKAR” sekilas menurut cerita Rina, beberapa tahun setelah kami lulus sekolah, rumah itu dijual oleh pemiliknya dan oleh si pemilik baru dialih fungsikan menjadi losmen.
Namun kulihat bangunannya belum banyak perubahan, pagar tembok mengelilinginya, ada pagar besi tinggi di bagian depan. Dulu kami biasa mengintip rumah itu. Kata orang rumah itu milik seorang pejabat di lain kota, jadi rumah itu jarang jarang saja di tempati. Tapi sepertinya pemilik rumah mempekerjakan beberapa orang untuk mengurusnya. Dulu tiap kali melewati rumah ini dari sela sela pagar besi kulihat seorang tukang kebon sedang membersihkan rumput, terus ada juga seorang perempuan setengah baya yang menyapu lantai di teras. Bila malam menjelang kulihat seorang penjaga rumah duduk di dalam pos keamanan yang terdapat di depan rumah.
Berhenti sejenak kutatap bangunan yang sudah berubah menjadi losmen itu, suasana terlihat sepi hanya ada dua atau tiga mobil yang terparkir di depannya, di sebuah ruangan bagian depan tertulis resepsionis dengan nyala terang, seorang gadis muda tampak duduk terpaku di depan komputer.
Aku bermaksud melanjutkan berjalan lagi, tapi mataku tertahan di sisi samping yang berpagar tembok itu, kulihat beberapa buah mangga menggelantung di dahannya yang menjulur keluar pagar. Aku jadi tergoda untuk mengambilnya, aku ingat masa lalu saat mengambil mangga tanpa ijin itu bersama teman-teman satu gengku.
Aku tersenyum mengingat itu, kupikir aku mungkin bisa mengambil mangga itu dengan cara yang lebih elegan... heheh... yup kenapa tidak? Lumayan bisa buat bahan cerita dengan teman-teman dan bisa buat memutar kembali masa lalu dengan rujakan memakai mangga rumah gedongan itu. sekilas ide muncul di kepalaku. Aku memutar arah kaki dan berjalan menuju losmen itu. Untung hujan juga sudah reda, kututup payung itu dan kusandarkan di tembok pagar, entar kalau nanti mau pulang bisa kuambil lagi.
“Selamat petang, Mbak?” sapa wanita muda resepsionis itu dengan ramah, “ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya lagi.
“Ooh... ini, saya bermaksud mencari informasi, kami mau ada reuni, teman-teman memintaku mencari referensi penginapan. Tahu sendiri lah banyak dari mereka tinggal di luar kota jadi awam dengan penginapan di sini!” jawabku dengan panjang lebar... padahal bohong... heheh.
Resepsionis itu tersenyum, lalu mengambil sebuah brosur yang tertumpuk di atas mejanya.
“Ini brosur losmen ini, Mbak bisa menunjukkan kepada teman-teman Mbak!”
Aku menerima brosur itu dengan hati senang, aku membukanya dan kubaca-baca agar terlihat kalau aku tertarik.
“Wah kamarnya bagus dan bersih! Harganya juga terjangkau! Nanti aku sampaikan kepada teman-temanku deh!” pujiku seraya mengalihkan pandangan dari brosur ke resepsionis itu. Dia tampak bangga dan tersenyum kepadaku.
“Terima kasih brosurnya ya Mbak?” ucapku lagi, selanjutnya akupun melancarkan jurusku, “Eh... bisa minta mangga yang ada di depan itu? Satu aja kok buat nunjukkin ke teman-teman...” lalu aku menceritakan persitiwa kenangan masa lalu kami.
Mbak resepsionis tertawa, “Wah asyik ya... punya geng kecil... kompak pula! Silakan ambil mangganya... jangan cuma satu, kasihan yang lain... kan bisa buat rujakan rame rame!”
“Aha...” seruku dalam hati... jurusku berhasil... aku riang tidak terkira.
Resepionis itu lalu meminta petugas keamanan mengantarku mengambil mangga mangga itu, aku hanya mengambil tiga biji saja karena tasku sudah terasa penuh, meski pak satpam mempersilakanku mengambil sesuka hati, namun aku nggak enak hati berbohong kecil kepada mereka... toh aku ambil mangga ini cuma buat seru seruan saja.
Setelah mengucapkan banyak banyak terima kasih aku berjalan keluar area losmen. Riang gembira, kulangkahkan kaki menuju rumah Rina, tentu saja payung yang tadi kutinggal kuambil dulu.
“Hah... kamu?” teriak Rina kaget melihatku berdiri di depan pintu.
Kami berangkulan dengan kencang sambil tertawa bersama. Lalu kami masuk ke dalam rumah.
“Gila, kamu ke sini duluan? Reuninya kan masih besok? Naik apa tadi? Nggak mungkin lah jalan kaki? Gila… gilaa...” ucap Rina beruntun, “Sebentar aku ambil minuman dulu.” lanjutnya sambil mempersilakanku duduk di kursi tamu.
Sejenak ia masuk ke dalam dan keluar dengan membawa nampan dengan dua gelas teh hangat dan makanan kecil di dalam toples.
“Aku tadi naik becak dari hotel, tapi sampai jalan desa aku minta berhenti. Aku ingin jalan jalan menikmati alam dan mengenang masa lalu.” kataku sambil terus menyeruput teh hangat itu.
“Ah kamu, kan bisa telpon aku. Aku bisa menjemputmu ke hotel dan ke sini bersama-sama. Masak kenangan manis buat sendiri sih,” jawabnya seakan sedikit memprotes.
“Yaaah… bukan kejutan dong namanya,” seruku kalem.
Kami beruda tertawa, selanjutnya kami tenggelam ngobrol ke sana kemari mengenang masa lalu. Tak terasa malam menjelang, jam menunjuk pukul sepuluh malam.
“Rin, anterin pulang dong. Sudah malam nih. Besok siang dilanjutkan lagi deh!” pintaku kepadanya.
“Nggak tidur di sini saja?” tanyanya
“Huuuu... rugi dong bayar hotelnya!” jawabku sambil menyorongkan mulut.
Rina mencibir, lalu dia bergegas masuk ke dalam mengambil kunci mobil.
“Ayo… kuantar kamu!” serunya sambil membimbingku keluar. Aku menunggu di teras depan, sedang Rina pergi menuju garasi.
Mobil berjalan dengan pelan meninggalkan rumah menuju jalan desa, kami saling bercerita tentang masa lalu diiringi derai tawa. Namun saat mobil melewati rumah besar yang sudah beralih fungsi jadi losmen, aku terkesima... kok berbeda sekali dengan yang tadi aku lihat?
“Rina... tolong berhenti sebentar deh!” pintaku sambil menggoyangkan bahunya.
Rina meminggirkan mobil dan berhenti, “Ada apa? Mau mengenang masa lalu saat kita mencuri mangga ya?” ucapnya kalem sambil tersenyum penuh arti. Tapi aku tidak hirau dengan celotehannya, pikiranku tertuju ke losmen itu.
Kubuka kaca mobil dan kulihat dengan seksama, losmen itu sudah rusak berat. Tembok pagarnya sudah ada yang lepas. Pintu pagar besinya memang masih tetap kok berdiri, tapi ada rantai yang melilitnya dan ada sebuah gembok besar di depannya.
Papan nama “LOSMEN SEKAR” memang masih terpampang, tapi sudah kotor dan mengelupas. Aku tidak bisa melihat suasana dalam losmen karena dari sela sela pagar hanya terlihat kegelapan.
“Losmen itu...” aku tidak bisa melanjutkan ucapanku.
“Iya… rumah itu sudah jadi losmen, tapi sekitar lima tahun yang lalu ada kebakaran besar. Losmen itu rusak berat... nah sekarang jadi terbengkelai begitu. Mau dijual tapi belum laku juga tuh!” Rina bercerita dengan santai.
Berbeda dengan aku, keringat dingin membasahi tubuhku. Aku memang tidak bercerita kepada Rina soal aku menghampiri losmen buat meminta mangga dengan cara halus. Aku pikir aku bisa menyimpan cerita itu buat kejutan reuni esok hari... tapi ternyata...
Dengan gemetaran aku segera membuka tas untuk mengambil brosur dan mangga yang tadi kusimpan, yang kudapati hanyalah tiga bongkah batu dan selembar daun kering.
“Kamu kenapa? Kok pucat begitu sih?” Rina menatapku dengan bingung, “tanganmu juga dingin.” lanjutnya saat memegang tanganku.
“Aku... eh...!” aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Rina sampai memberikan air minum mineral buatku untung menenangkan diri.
“Rin... ayo kita cepat cabut!” pintaku gemetaran.
Meski kebingungan melihat sikapku, Rina mengikuti permintaanku dengan segera menjalankan mobil. Dalam hati aku berjanji akan menceritakan kisah hororku tentang losmen ghaib itu, tapi nanti sesampai di hotel tempat aku menginap, aku tidak mau Rina buyar konsentrasi saat mengendarai mobil.
Sesaat kupandangi bongkahan batu dan daun kering itu... hiiiii... aku jadi bergidik.