Wednesday, July 31, 2019

MISTERI ANEH DI KAMAR HOTEL (Gresik)

Kisah yang cukup menyeramkan ini belum begitu lama aku alami. Peristiwa tersebut terjadi di pertengahan bulan Agustus tahun 2014. Waktu itu aku bekerja di salah satu Biro Perjalanan Wisata di kota Gresik. Nah, kebetulan kantor cabang di mana aku bekerja, mengadakan Rapat Koordinasi yang akan diadakan di kota Malang, selama 2 hari 1 malam. Ada kurang lebih 20 orang yang akan berangkat ke sana. 

Setelah semalaman menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk menginap. Pagi harinya, aku bangun terlambat. Setelah mandi cepat, dengan berboncengan naik sepeda motor, aku diantar mas Mul, suamiku tercinta, menuju ke kantor, setibanya di sana ternyata semua orang sudah menungguku di dalam bus, akupun bergegas naik ke dalam bus tanpa sempat mencium tangan mas Mul. Dan setelah semua rombongan lengkap, berangkatlah kami semua dengan menaiki bus. 

Singkat cerita, rombongan pun tiba di kota Surakarta. Setelah sampai di hotel tempat kami menginap dan dilakukan pembagian kamar, rombongan pun beristirahat sebentar untuk kemudian melakukakan aktivitas sesuai dengan jadwal Rakor yang telah dibuat sebelumnya, dan kegiatan pada hari pertama berakhir pada pukul 21.00 WIB. 

Nah, cerita seramnya terjadi di kamar yang aku tempati berdua dengan bu Tari. Di kamar kami tersebut ada 3 tempat tidur kecil terpisah, berhubung yang menempati kamar tersebut hanya aku dan bu Tari saja, dengan demikian masih ada 1 tempat tidur lagi yang kosong, tidak dipakai. 

Setelah mengobrol ringan dengan bu Tari dan beberapa rekan di ruang makan, akhirnya pada pukul 22.30 wib kami sepakat untuk pergi tidur dan lampu kamar pun dimatikan, tapi suasana malam itu tidak terlalu gelap karena lampu dari luar kamar cukup untuk sekadar mengurangi kegelapan di dalam kamar. Pada pukul 23.30 wib aku terbangun karena merasa tidak bisa tidur dengan nyaman dan perasaanku tidak enak sama sekali, sekilas sempat kulirik bu Tari yang ternyata sudah tertidur dengan sangat lelap. 

Aku berusaha untuk tetap tenang dan mencoba membuat diriku sebisa mungkin merasa rileks agar bisa segera tertidur dengan sangat pulas seperti bu Tari. Aku pun mulai membaca doa dengan terus menerus, siapa tahu kalau sudah capek berdoa aku akan bisa tertidur dengan lelap. Entah bagaimana aku melewati malam itu, yang jelas pada keesokan harinya, aku dan bu Tari baru menyadari kalau telah terjadi suatu hal yang aneh malam tadi. Begini ceritanya.

Sekitar jam 01.30 wib, aku terbangun karena ingin ke kamar mandi, dalam keadaan setengah sadar karena masih sangat mengantuk, aku berjalan menuju toilet yang ada di pojok kamar, setelah selesai dan ketika aku keluar dari toilet, aku berpapasan dengan bu Tari, lalu akupun menyapanya, 

"Mau ke tolet juga ya, Bu?" 

Tapi bu Tari hanya diam saja sambil berlalu masuk ke toilet. Karena masih mengantuk, aku tidak begitu mempermasahkan hal itu, waktu itu kupikir, mungkin bu Tari juga sangat mengantuk seperti aku sehingga malas menjawab. Dan akupun langsung merebahkan diriku ke kasur dan langsung tidur dengan lelap. 

Nah paginya, setelah selesai mandi, kami berdua mengobrol ringan tentang persiapan rapat koordinasi hari kedua sambil menunggu waktunya sarapan pagi, hingga akhirnya bu Tari berkata kepadaku.

"Wah, terima kasih ya Jeng, karena BH saya ditaruh kembali di atas tempat tidur, memang sudah menjadi kebiasaan saya kalau mau berangkat tidur biasanya BH dilepas, dan kemarin malam karena saya sudah mengantuk sekali, BH saya taruh asal saja di pojok tempat tidur, tapi BH-nya terjatuh, tapi karena mengantuk sekali, saya malas mengambilnya dan saya biarkan saja tergeletak di lantai."

 Aku merasa agak bingung dengan perkataan bu Tari. 

"Lho...? Saya malah tidak tahu, dan tadi malam saya tidak merasa mengambil dan menaruh BH Ibu ke tempat tidur, apa bukan Ibu yang mengambilnya kembali? Oh ya... tadi malam waktu saya baru keluar dari toilet, saya berpapasan dengan Ibu, dan kebetulan saat itu Ibu juga mau ke toilet, lalu saya sapa, tapi Ibu diam saja. Mungkin karena Ibu Tari terlalu mengantuk jadi agak malas membalas sapaan saya ya...?" 

Wajah bu Tari tampak terlihat bingung, sambil mengernyitkan dahinya ia berkata.

“Kapan, Jeng...? Tadi malam saya sama sekali tidak bangun untuk ke toilet, saya ini orangnya kalau sudah tidur, susah bangunnya...” 

Aku terperanjat kaget.

"Sumpah, Buuu...!! Tadi malam saya berpapasan dan menyapa ibu, walaupun agak remang-remang lampunya, tapi saya bisa melihat Ibu dengan jelas, saya ingat Ibu pakai daster putih, dan rambutnya panjang terurai, tapi Ibu diam saja...?" jelasku berusaha meyakinkan.

 Ibu Tari jadi semakin kaget.

"Lho... tapi semalam saya tidur pakai kaos, dan rambut saya panjangnya hanya sebahu lho Jeng, lihat niih...!!!” kata bu Tari sambil menunjukkan rambutnya.

Aku pun terbengong,

"Lhoo...?” seruku ketika memperhatikan rambut ibu Tari. 

“Iya... ya, rambut ibu potongannya enggak begitu panjang, yang kemarin malam rambutnya panjang terurai sampai ke punggung. Jadi tadi malam, yang saya lihat dan saya sapa itu siapa ya... hiiiiii?" kataku ketakutan.

Akhirnya kami berdua terdiam, lalu kami dengan tergesa-gesa bergegas meninggalkan kamar menuju ruang makan. Di ruang makan kami sempat menceritakan peristiwa semalam ke beberapa rekan. Dari mereka kami pun mengetahui, ternyata memang sering ada kejadian yang aneh-aneh di hotel tersebut, itu kata salah seorang teman yang sudah pernah menginap di hotel itu ketika ada Rakor atau acara lain dari kantor pusat. 

Begitulah kisah misterius yang kualami, untung siang itu acara Rakor sudah selesai, dan akhirnya kami semua kembali ke kota Semarang, kalau seandainya masih harus menginap lagi, mendingan pindah ke kamar lain, kataku dalam hati. 

Tuesday, July 30, 2019

Lorong Angker Sebuah Kos-kosan (Jebres)

Aku adalah mahasiswa semester tiga jurusan Higiene Perusahaan dan Kesehatan (Hiperkes) di Universitas Sebelas Maret (UNS). Kampusku terletak di daerah Jebres sehingga aku sengaja mencari kos-kosan yang dekat dengan kampus yaitu di daerah Jebres dengan tujuan agar aku bisa jalan kaki saja bila pergi ke kampus.

Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan ini, terjadi tiga bulan yang lalu. Suatu kejadian yang merupakan pengalaman pertama bagiku dan semoga juga merupakan pengalaman terakhir, karena aku tidak mau lagi melihat yang namanya hantu.

Pengalaman melihat hantu bisa menimpa siapa saja dan pengalaman paling menyeramkan yang pernah aku alami adalah melihat hantu di lorong kos-kosan. Kejadian tersebut terjadi ketika aku masih berada di bangku kuliah dan menginap di kos-kosan temanku. Aku sendiri memiliki kamar kos namun malam itu, aku menginap di kos-kosan temanku untuk menghabiskan waktu bersama. Sayangnya, kejadian menyeramkan terjadi padaku malam itu.

Waktu itu, karena anak-anak di kos temanku bukan tipe anak kos yang suka begadang, mereka sudah tidur sebelum tengah malam. Sementara itu, aku yang sedikit lebih terbiasa melek malam, tidur sedikit lebih akhir namun tetap tidak bermaksud untuk melek sampai pagi. Sekitar jam 1 malam, aku pun berniat untuk tidur namun sebelum itu, aku bermaksud untuk buang air kecil supaya bisa tidur nyenyak. Aku sendiri bukan tipe orang penakut jadi aku tidak takut ketika keluar kamar menuju kamar mandi dan sama sekali tak terpikirkan olehku kalau aku akhirnya akan melihat hantu di lorong kos-kosan temanku tersebut.

Sesaat ketika aku keluar dari kamar temanku, aku baru sadar kalau lorong yang menuju kamar mandi di kos temanku tersebut terlihat sangat menakutkan di malam hari. Di tengah lorong tersebut, tidak dipasang lampu sehingga aku hanya bisa mengandalkan lampu di samping kamar temanku serta lampu yang ada di kamar mandi untuk sampai ke kamar mandi tersebut. Bulu kudukku pun berdiri seketika, ketika aku membayangkan kalau aku harus melewati lorong tersebut untuk menuju kamar mandi. Biar begitu, tetap kuberanikan diri untuk berjalan melewati lorong tersebut meski sambil merinding ketakutan dan akhirnya aku pun sampai di kamar mandi dengan selamat dan langsung menyelesaikan urusanku. 

Namun, sial bagiku, ketika aku keluar dari kamar mandi dan berjalan kembali melewati lorong menyeramkan tersebut, aku melihat sesuatu yang takkan kulupakan sepanjang hidupku.

Seolah menggiringku ke kamar mandi kemudian menungguku kembali dari kamar mandi untuk menjebakku diantara kamar mandi dan kamar kos temanku, sesosok hantu duduk di tengah lorong menyeramkan tersebut. Sosok tersebut terlihat seperti seorang yang sangat tua dengan rambut putih berantakan dan baju putih kusut yang membungkus sekujur tubuhnya. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa saat itu lalu sambil ketakutan, kupalingkan wajah dan berharap supaya sosok tersebut lenyap dari hadapanku. Rupanya hal tersebut tidak berguna dan sambil ketakutan setengah mati, aku pun berkata, 

“Ma... maaf Mbah, sa.. saya.. tidak berniat mengganggu.. permisi..” kataku sambil berjalan melewati sosok menyeramkan tersebut menuju kamar temanku. 

Sampai kapan pun, aku takkan pernah lupa betapa seramnya pengalaman melihat hantu di lorong kos-kosan temanku tersebut. Dan sejak itu pula aku tidak berani lagi menginap di kos temanku itu.

Monday, July 29, 2019

Mayat Berasap (Cimahi)

Kisah seram ini aku alami ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas lima. Aku tinggal di kampung yang penduduknya tidak begitu padat, di daerah Cimahi. Kejadian yang tak akan pernah aku lupakan ini terjadi ketika aku selesai mengaji di rumah bapak Mahfud, seorang guru yang kesehariannya mengajarkan pendidikan agama di sekolahku. 

Ketika itu akulah salah satu santri yang terakhir menyelesaikan pelajaran pada hari itu. Oleh karenanya, aku terpaksa kembali ke rumah sendirian karena teman-temanku sudah pulang mendahuluiku. Usai berpamitan dan mengucapkan salam kepada pak Mahfud, aku pun berjalan pulang. 

Malam itu suasananya agak mendung sehingga tidak tampak bulan dan bintang di langit. Hanya lampu penerangan rumah dan jalan saja yang menyinari. Itu pun tidak begitu terang karena antara rumah satu dengan rumah lainnya letaknya berjauhan. 

Entah mengapa suasana malam itu terasa lain bagiku. Bulu kudukku mulai berdiri ketika aku mulai melewati kawasan pekuburan yang konon kabarnya merupakan kawasan berhantu. Hatiku mulai berdegup kencang mengingat cerita-cerita yang digembar gemborkan oleh penduduk kampung mengenai cerita-cerita seram yang terjadi di daerah pekuburan ini.

Di tengah-tengah lamunanku, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh salah satu kuburan yang mengeluarkan asap. Aku pun mulai berkeringat dingin. Aku melihat satu mayat berasap keluar dari kuburan tersebut. Spontan aku berteriak dan dengan sekuat tenaga aku berusaha lari, tapi entah mengapa aku tak dapat menggerakkan anggota tubuhku. Tubuhku seperti terpaku di bumi di mana tempat aku berpijak. 

Mayat berasap itu pun mulai mengeluarkan suara-suara yang menyeramkan. Dan dalam keremangan malam, samar-samar aku dapat melihat wajah mayat berasap tersebut. Wajahnya sungguh menyeramkan dengan anggota tubuhnya dibaluti kain kafan dan wajahnya yang menyeringai memandang tepat ke arahku.

Pelan tapi pasti, mayat berasap itu mulai mendekatiku. Aku pun mulai mengumpulkan seluruh tenaga untuk berlari meninggalkan kawasan pekuburan tersebut. Aku seperti mendapat kekuatan dan sejurus aku pun berlari meninggalkan daerah pekuburan tersebut. Dari kejauhan aku masih mendengar suara mayat berasap tersebut tertawa seolah menertawakanku yang lari tunggang langgang karena ketakutan. 

Aku berlari begitu kencangnya hinga tubuhku terasa begitu capek hingga akhirnya aku berhenti di bawah pohon untuk beristirahat. Karena begitu capeknya tak terasa aku pun tertidur di bawah pohon tersebut. Di saat aku tertidur, aku merasa ada sesuatu berwujud cair yang menetes dari atas dan mengenai tubuhku. Setetes demi setetes jatuh mengenai tubuhku. Ku pikir itu adalah rintik hujan dan entah mengapa bau anyir pun mulai mengganggu nafasku. Aku pun spontan terbangun dan begitu terkejutnya aku mendapati baju yang aku pakai sudah penuh darah. Rupanya rintik air tadi bukanlah air hujan melainkan tetesan darah segar. 

Aku mulai melihat ke kiri, dan ke kanan untuk mencari asal darah tersebut. Dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, aku memberanikan diri melihat ke atas pohon. Dan alangkah terkejutnya aku ternyata mayat berasap tadi telah bertengger di atas pohon. Dalam kegelapan malam itu aku dapat melihat dua biji mata merah memandang tepat ke arahku. Tangannya mulai menjalar kebawah hendak meraih tubuhku. Seketika itu juga aku menjerit ketakutan dan spontan aku jatuh tak sadarkan diri. 

Sunday, July 28, 2019

Hantu Sungai Ciliwung (Jakarta)

“Tolong..”

Sontak, mata Rina terbuka. Suara tangisan minta tolong itu terdengar lagi! Rina membalikkan tubuhnya berusaha mengacuhkan suara itu. Gerakannya itu membuat tidur adiknya jadi resah. 

“Sst... jangan berisik, Rina,” ucap ibu yang tidur di samping adik.

Mereka semua memang tidur berdempetan di atas kasur tipis. Mau bagaimana lagi, masih bagus ada atap yang menaungi mereka tidur. Rina hanya mengangguk pelan, tetapi tetap terdengar olehnya suara tangisan minta tolong di antara kecipak air sungai Ciliwung. 

Suara minta tolong itu hanya didengar olehnya. Keluarganya hanya menganggap ia salah dengar. Sedangkan teman-temannya malah menakut-nakuti. Mereka bilang itu tangisan hantu Sungai Ciliwung yang dibunuh dan jenazahnya dibuang ke sungai itu bertahun-tahun lalu. 

“Aduh, jangan suka ingat cerita yang macam-macam, ah! Hantu itu tidak ada!” hardik Rina pada dirinya sendiri. 

Namun, tetap saja ia merinding saat tangisan minta tolong sekali lagi terdengar, membelah malam sunyi dan gelap pekat tanpa lampu. 

Rina jadi kesal sendiri karena ia ketakutan dan tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk keluar dan membuktikan sendiri bahwa sama sekali tidak ada apa-apa di luar. 

Setelahnya, dia pasti akan tidur tenang. Maka, Rina pun memberanikan diri keluar diam-diam. Namun, apa yang Rina lihat? 

Peri kecil! Yup, peri kecil yang terjepit di antara tumpukan sampah sungai Ciliwung. Ia senang sekali melihat Rina. 

Tanpa buang waktu, Rina langsung menolong peri itu membebaskan diri.

“Terima kasih. Sudah lama sekali aku terjepit di sana,” kata peri itu. Kulitnya tampak kotor berlendir di bawah sinar bulan. 

“Huhuhuhuh... padahal dulu sungai ini cantik sekali, tapi sekarang, duh, susah sekali kalau mau ke sini, malah tersangkut sampah,” omel muram peri kecil. 

Nama peri itu Amora. Ia peri kecil penghibur hati. Tugasnya menghibur hati penduduk yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung. Tadinya banyak sekali peri penghibur hati yang bertugas di Sungai Ciliwung. Namun, karena sampah-sampah semakin menggunung, semakin susahlah bagi para peri itu untuk berdayung menyusuri Ciliwung dengan perahu kecil mereka. Akibatnya, semakin sedikit peri yang datang untuk menghibur. Bisa ditebak, semakin sedikit penduduk yang tersenyum di tepi Sungai Ciliwung. 

Rina memang ingat, ibunya pernah bercerita dulu, penduduk di tepi Sungai Ciliwung selalu tertawa ceria. Seperti ada kekuatan hangat yang menyelimuti hati mereka. Namun, sekarang kehidupan terasa semakin keras dan semakin sedikit suara tawa yang terdengar di daerah sekitar rumahnya. 

Amora mengusap dahi. Perjalanan panjang itu menguras tenaganya. Ia hanya bisa memberi senyuman dan kegembiraan kepada Rina. Dengan seulas senyuman bersinar di pipinya, Amora pergi meninggalkan Ciliwung. 

Malam itu, Rina bekerja keras membersihkan sampah-sampah di sungai. Jelas, mustahil bagi seorang gadis kecil untuk melakukan itu semua sendirian. Soalnya, sampah di Ciliwung itu betul-betul banyak. Namun, Rina tetap bertekad untuk menjaga terus senyuman dari Amora. 

Dua puluh tahun kemudian. Ciliwung kembali bersih. Dan peri-peri penghibur hati pun kembali berdayung dengan riang ke sana, menyebar kebahagiaan. Tahukah kamu rahasianya? Ya, Rina belajar dengan rajin sampai berhasil menjadi anggota Dewan Kota yang menjalankan rencana pembersihan untuk Ciliwung. 

Rina menatap sungai bersih di depannya dengan gembira. Dalam hati, dia tahu tidak ada yang namanya peri penghibur hati. Namun, tempat yang bersih dan indah, tentu membawa kesehatan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang tinggal di situ. 

Friday, July 26, 2019

Kisah Bertemu Almarhum Adik Kelas (Bantul)

Kisah ini terjadi pada akhir tahun 2011 yang lalu ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah Bantul. Waktu itu kebetulan aku ambil sekolah akselerasi, yaitu sekolah percepatan yang hanya ditempuh dalam 2 tahun, sementara normalnya SMA biasa ditempuh dalam 3 tahun.

Waktu itu adalah hari Sabtu, jam pertama di kelasku adalah pelajaran olahraga. Tapi saat itu guru olahragaku sedang berhalangan sehingga tidak bisa mengajar. Jadilah anak-anak dibebaskan. Anak-anak segera menuju lapangan basket di kompleks belakang sekolah. Sekolahku terdiri dari dua kompleks. Kompleks depan adalah ruang tata usaha, aula, koperasi, ruang kesenian dan musik, kelas bahasa dan aksel, serta berbagai laboratorium. Sedangkan kompleks belakang adalah ruang guru, kelas-kelas reguler, kantin, dan lapangan. Nah waktu itu, aku tidak ikut anak-anak yang lain alias lebih memilih bolos bersama beberapa temanku, lagipula kan gurunya juga tidak ada. 

Di sekolahku ada mata pelajaran yang bernama muatan lokal (mulok). Untuk kelasku (aksel) muloknya adalah bahasa Jawa. Sedangkan untuk kelas reguler adalah seni lukis batik/membatik. Kegiatan membatik ini memang biasanya dilaksanakan di halaman depan ruang kesenian yang berada di sebelah kelasku. Aku dan 3 orang temanku duduk di kursi depan kelasku untuk melihat anak-anak kelas 1 yang sedang membatik. Karena kelas kami tidak ada pelajaran membatik, jadi kami tertarik melihat anak-anak itu.

Waktu itu, aku perhatikan ada salah seorang anak perempuan yang memakai seragam putih-putih yang biasa dipakai hari Senin pada saat upacara bendera, padahal waktu itu hari Sabtu, yang seharusnya memakai seragam batik kelas masing-masing. Jelas penampilannya mencolok sekali dibandingkan anak-anak yang lain. Anak ini duduk membatik sendirian di dekat kolam ikan, agak berjauhan dengan teman-temannya yang lain. Duduknya pun arahnya membelakangi ku, jadi aku tidak tahu seperti apa wajahnya.

Ketiga temanku akhirnya mengajak untuk pergi ke kantin saja karena bosan, tapi aku menyuruh mereka agar duluan saja karena aku belum lapar. Saat ketiga temanku sudah pergi, anak yang pakai seragam putih-putih itu lewat di depanku. Penampilan dan wajahnya biasa saja, tapi dia terbatuk-batuk dan berjalan agak tergesa menuju WC di sebelah ruang guru aksel. Waktu dia melewatiku itu, aku lihat di seragamnya yang berwarna putih ada noda merah seperti darah, dia pun terus terbatuk-batuk.

“Kenapa, Dik?” tanyaku padanya.

Tapi dia tidak menjawab dan mempercepat langkah kemudian langsung masuk ke WC. Aku tidak terlalu memikirkannya, lalu kuputuskan menyusul teman-temanku yang lain ke kantin karena bosan.

Beberapa saat kemudian, aku dan teman-temanku sudah kembali dari kantin. Kami duduk-duduk lagi di depan kelas sambil menunggu jam pelajaran olahraga habis. Kulihat anak perempuan tadi sudah ada di tempatnya semula sedang membatik. Karena merasa aneh dengan anak itu, akupun menanyakannya pada teman-temanku,

“Eh, itu anak perempuan yang pakai seragam putih siapa sih? Dia kok...”

Belum selesai aku berkata-kata, anak perempuan yang sedang kubicarakan itu tiba-tiba saja berdiri, dan menghadap ke arahku. Dia menatapku beberapa lama seolah-olah tahu dirinya sedang dibicarakan. Aku kaget, soalnya tatapannya dingin dan aneh. Lalu tiba-tiba, dia berlari dan masuk ke dalam ruang kesenian. 

Karena penasaran, aku pun mendekati ruang kesenian. Teman-temanku bertanya aku mau ngapain, tapi aku diam saja. Aku mengintip lewat kaca yang ada di pintu ruang kesenian yang pintunya tertutup. Memang benar ada anak perempuan itu, dia sedang berdiri menatap lukisan yang ada di ruangan itu.

“Aneh banget sih anak ini. Bukannya diselesaikan membatiknya, malah ke ruang kesenian sendirian begitu.” pikirku.

Aku lalu menghampiri Sari yang sedang membatik di halaman juga. Dia ini salah satu teman kosku. Kupikir pasti dia tahu teman sekelasnya yang aneh itu. Dan aku pun bertanya kepadanya karena rasa penasaranku ini.

“Sari, itu temenmu yang tadi pakai seragam putih siapa sih namanya?” tanyaku.

“Hah? Yang mana? Emang ada?” Jawab Sari balik bertanya.

“Ada, tadi dia membatik di sana tuh,” jawabku sambil menunjuk arah dekat kolam, tapi aneh peralatan batiknya sudah tidak ada. Aku pun terbengong-bengong sendiri.

“Pokoknya ada di situ deh tadi.” lanjutku.

“Perasaan nggak ada deh, Mbak... Emang anaknya kayak gimana?” tanya Sari penasaran.

“Rambutnya dikuncir satu, pakai gelang warna-warni di tangan kirinya... Tadi waktu mau ke WC ada darah kayaknya di bajunya, sakit atau kenapa kali tuh anak...” jawabku.

Mendengar keteranganku, Sari melongo keheranan.

“Beneran?” lanjut Sari sambil menarikku menjauh dari anak-anak lain.

“Mbak ingat sama teman sekelasku yang meninggal 2 minggu kemarin? Namanya Nining, Mbak... Masak iya sih yang Mbak lihat itu dia? Dia emang suka pakai gelang warna-warni gitu. Rambutnya suka dikuncir satu.. pakai kuncir kuning bukan tadi mbak lihatnya?” Kata Sari penuh tanya.

“Iya bener...” jawabku sambil melongo dan badan gemetaran.

Sari pun bercerita, kalau anak yang namanya Nining itu meninggal sekitar dua minggu yang lalu. Waktu itu hari Senin katanya pulang sekolah gusinya ada yang bengkak dan mengeluarkan darah, sebabnya tidak tahu kenapa. Darah itu keluar terus sampai beberapa lama. Menjelang sore hari, badannya demam tinggi dan sebelum dibawa berobat sudah meninggal duluan. Dan keadaannya masih pakai seragam putih waktu itu...

“Inalillahi...” Aku memang waktu itu pernah mendengar tentang anak kelas satu ada yang meninggal, temannya Sari itu. Tapi aku tidak tahu persis yang mana orangnya.

“Ya ampun... terus tadi itu siapa dong? Dia masuk ke ruang kesenian,” kataku masih gemetaran. 

Karena penasaran, Sari mengajakku mengeceknya, tapi aku ragu-ragu karena takut. Ya sudah, aku ikut saja di belakangnya. Saat kami membuka pintu ruang kesenian dan mengintip ke dalam... ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa. Kami berdua masuk pelan-pelan.

“Tadi dia ngelihatin lukisan di situ,” kataku sambil menunjukkan sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut ruangan tersebut.

“Itu memang lukisan Nining. Tugas kesenian seminggu sebelum kematiannya. Tema gambarnya sih tentang go green gitu lah,” lanjut Sari.

“Tokek... tokek... tokek...”

Karena kaget dengan suara tokek itu, aku dan Sari berhamburan keluar dari ruangan kesenian. Sampai di depan teman-temanku aku tidak memberitahukan pada mereka tentang apa yang barusan aku alami. Aku tidak semuanya menjadi heboh.

Setelah peristiwa yang kualami tersebut, aku menjalani rutinitas di kelas seperti biasa. Entah hanya perasaanku atau apa, aku merasa seperti ada yang berdiri tepat di belakangku. Tapi aku tidak menghiraukan, tidak takut juga karena saat itu siang hari dan banyak teman-teman di sekelilingku.

Justru yang lumayan parah adalah kondisi Sari. Malamnya sekitar jam 1, Sari menggedor-gedor pintu kamarku yang berseberangan dengan kamarnya. Ketika kubuka pintu, wajah Sari terlihat pucat dan meminta untuk tidur bersamaku. Ternyata dia bermimpi bertemu Nining dengan wajahnya yang pucat, bibir mengeluarkan darah, bajunya sangat kusam dan kucel penuh darah. Dia menarik-narik tangan Sari sambil berkata,

“Sari... Sari... temenin aku, di sini aku kesepian, aku ingin sekolah lagi sama teman-teman...”

Thursday, July 25, 2019

Bertemu Sinden Ayu (Semarang)

Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.45. Saat itu aku berada didalam mobil dengan teman dekatku, Dewi. Seharian tadi aku menghabiskan waktuku bersama Dewi putar-putar ke Semarang, hingga tak terasa malam telah tiba. Kini saatnya aku mengantarnya pulang ke rumahnya di daerah Ungaran. 

Jarak antara Semarang ke Ungaran lumayan jauh. Malam itu jalanan ke Ungaran mulai agak sepi, hanya beberapa motor dan mobil yang berseliweran. Untuk mengurangi rasa sepi, aku nyalakan tape mobil dengan volume yang kencang. Setengah jam kemudian, aku melewati jalanan persawahan yang sepi. Sayup-sayup aku mendengar suara gamelan dan orang yang lagi nyinden. Semakin lama suara gamelan tersebut semakin keras aku dengar, padahal volume tape sengaja aku puter kencang hampir maksimal. 

“Dewi... kayaknya ada yang lagi punya hajatan ya,” tanyaku pada Dewi. 

Aneh, Dewi yang sedari tadi duduk disampingku sambil bernyanyi ngikutin suara tape mobil kok tiba-tiba diam, tidak merespon pertanyaanku. Aku mencoba mengulangi pertanyaanku pada Dewi.

“Dewi... dengar suara gamelan itu nggak??” tanyaku lagi. 

Tak ada jawaban dari Dewi. Karena penasaran Aku mencoba menengok ke arah Dewi.

“Ya ampuuun... ternyata Dewi dah tidur pulas, kecapekan kali seharian jalan,” gumamku dalam hati. Tiba-tiba... saat aku membalikkan mukaku ke arah depan... spontan langsung aku injak rem.

Cccciiiiiitttt... 

Hampir saja aku menabrak seorang perempuan yang tiba-tiba melintas. Perempuan dengan baju sinden lengkap dengan selendang merah... sekilas sinden perempuan itu menengok ke arahku dengan wajah ayunya. Namun, wajah ayu itu terlihat pucat pasi meskipun make upnya terlihat tebal.

Pada saat bersamaan, Dewi kaget dan terbangun.

“Ada apa, Mas... kok berhenti mendadak.” tanyanya padaku.

“Duh... hampir saja... hampir saja aku menabraknya...” jawabku.

“Siapa Mas? Nggak ada siapa-siapa gitu loh!!” kata Dewi

“Itu sinden... hhaa... kok hilang???” kataku.

Kemudian aku menceritakan suara gamelan dan sinden yang tadi aku dengar kepada Dewi.

“Ah masak sih Mas... di sini nggak ada kampung, mana ada orang ngadain hajatan di sini. Tuh di depan sana, baru perkampungan...” kata Dewi sambil mengajakku melanjutkan perjalanan.

“Aneh...” gumamku dalam hati sambil melanjutkan perjalanan...

Wednesday, July 24, 2019

Hantu Tanpa Kepala Penghuni Villa (Bogor)

Aku adalah anak tunggal dari keluarga Joyokusumo. Sejak kecil aku tinggal di Bogor. Ayahku sendiri seorang pengusaha sukses yang lumayan cukup dikenal dan disegani didaerahku. Ayahku juga mengelola perkebunan teh dan kopi. Dua minggu sebelum ayah meninggal, ia sempat membeli sebuah villa di puncak. Sehingga ayah belum sempat mengajak aku dan ibuku mengunjungi villa tersebut. Baru kali ini lah aku dan ibuku bisa mengunjungi villa tersebut dengan diantar pak Anwar, seorang notaris yang juga karyawan ayahku. 

Sebuah villa megah yang dibangun pada abad 19 dan digambarkan sebagai warisan pemerintahan kolonial Belanda. Sebuah villa yang pernah ditinggali oleh seorang direktur perkebunan milik kolonial yang sangat berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada di atas ketinggian 1900 meter dari permukaan laut.

Luas tanah villa itu sekitar dua hektar dengan tanaman lengkeng di sekelilingnya. Lengkeng itu secara rutin berbuah dan dimanfaatkan oleh kang Cecep, perawat villa sebagai mata pencarian sampingan.

Kang Cecep sudah berkerja di villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Hingga villa dibeli ayahku, kang Cecep tetap bekerja mengurusi villa itu. Kini kang Cecep sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga villa itu. Berdasarkan cerita dari pak Anwar, kang Cecep itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.

Ayah dan kakeknya sangat dikenal di daerah itu sebagai ahli pengobatan tradisional dan punya daya linuwih. Begitupun dia. Oleh karena itu, pak Anwar menyarankan agar aku tetap mempekerjakan kang Cecep di villa peninggalan ayahku itu.

“Selain merawat Villa, kang Cecep juga merawat seluruh tanaman yang ada dan akan memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik villa!” kata pak Anwar.

Sesuai saran pak Anwar, sebagai ahli waris sah pemilik villa itu, aku menyutujuinya. Kang Cecep kami panggil ke ruang tamu dan membicarakan tentang niat kami itu. Kang Cecep nampaknya sangat senang mendengar keputusan itu dan dia berjanji akan merawat villa dan kebun kami dengan baik.

Bahkan aku meminta kang Cecep membuka lahan baru untuk tanaman jeruk siam yang bibitnya sudah kami miliki. Kang Cecep berjanji akan merawat jeruk hingga berbuah lebat.

“Saya punya pengalaman cukup bertanam jeruk!” kata kang Cecep, sambil menggambarkan bahwa dia sempat belajar pertanian jeruk di Tebinggerinting Ogan Ilir, Sumatera Selatan selama tiga bulan.

Kang Cecep ternyata tidak sendirian bekerja di villa itu. Lelaki tua tapi tetap kelihatan segar itu dibantu oleh tiga anak dan dua orang menantunya. Setiap hari secara bergiliran mereka membersihkan villa dan menyiangi rumput di perkebunan villa itu.

Suatu hari, mang Udin, 41 tahun, menantu kang Cecep mengantarkan saya keluar villa menuju mobil. Mang Udin membawakan mesin Jet pump yang rusak dan akan kami betulkan di kota. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, mang Udin memberanikan diri bicara kepadaku.

“Pak, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya mang Udin sangat santun. 

Setelah terkesima sedikit, aku pun memperbolehkan mang Udin bicara. Dengan agak gugup sedikit menantu kang Cecep itu menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak mengenai villa ini. 

“Tahu tentang apa, Mang?” tanyaku penasaran. 

“Maaf Pak, Bapak bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?” tanya mang Udin lagi.

Setelah kujawab tidak takut, mang Udin pun menceritakan bahwa villa itu terkenal sangat angker dan mengerikan bagi warga di daerah itu. Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sukiman itu, kata mang Udin, memang bukan karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu. Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman villa. 

“Hantu tanpa kepala keluar dari halaman villa?” desakku, makin penasaran. 

“Iya Pak, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni villa milik Bapak ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu di saat bulan sangat terang dan besar!” katanya.

Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Mang Udin itu. Jujur saja, batinku sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita mang Udin itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu berwujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup.

Sebagai pemeluk agama yang kuat, aku percaya bahwa ada makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak yakin bahwa hal itu bisa terjadi.

Maka itu, ketika aku mendengar cerita mang Udin aku tidak bisa menahan tawaku. Mang Udin jadi terlihat malu dan menundukkan kepalanya. 

“Mang Udin, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala buntung. He... he... he! Ada-ada saja kamu ini Udin!” candaku.

Mendengar ucapanku itu, Mang Udin terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya. 

“Maaf Pak, saya barangkali telah melakukan sesuatu kesalahan terhadap Bapak. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti Bapak, tapi ingin agar Bapak tidak kaget bila selama tinggal di villa ini ada hal yang aneh-aneh!” tukas mang Udin, lirih.

Kukatakan pada Mang Udin bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada mang Udin, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan sering menampakkan diri. 

“Bahwa ada orang yang melihat sesuatu yang aneh, orang yang melihat itu pastilah halusinasi. Melihat daun pisang bergoyang, eh... dikira hantu! Begitulah kira-kira!” ucapku pada mang Udin, yang akhirnya aku menstarter mobil dan melesat ke turunan 80 derajat di depan villa. 

Satu bulan kemudian, aku mengajak ibuku, istri, dan kedua anakku pergi ke villa itu. Erica dan Erico, kedua anak kembarku kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa peninggalan kakeknya. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Erica dan Erico mengajak teman-temannya.

Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan menuju Puncak, Bogor. Erica dan Erico memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian membawa mobil Nissan Terrano. 

Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua sudah sampai di villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk. Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Erica dan Erico termasuk mereka untuk bahu membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di Terrano yang aku bawa.

Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 14:00 kami makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua teman Erica dan Erico sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. Kang Cecep dan anak mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bersama dengan kami walau tidak semeja.

Habis makan, Monica, teman kuliah Erica bermain piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke villa setelah aku beli di Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku memang senang bermain piano, walau aku tidak piawai memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksiku sejak masih muda.

Karena suara piano dan semua bernyanyi, villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang dan bercanda gila-gilaan di kolam.

Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai pemanas udara yang sangat dingin. Sementara anak mantu kang Cecep, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua masuk ke kamar tidur.

Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur bersama istriku. Namun entah mengapa aku tak dapat memejamkan mata. Entah karena malam Jum’at Pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak dapat terpejam. 

Tidak terasa, jam di meja sofa menunjukkan angka 01:20 dini hari. Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening dan sepi menyelimuti malam di villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. Pemandangan luar malam itu begitu indah.

Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke tulang belulangku dan mencubit-cubit. 

“Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin hari ini,” kataku.

Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku memanggil.

“Kang Cecep? Kang Cecep kah itu?” tanyaku. 

Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku.

“Kang Cecep?” desakku. 

Dalam hitungan beberapa detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api. 

“Ah, kemana orang itu?” batinku.

Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis menyayat relung batinku. Betulkah cerita mang Udin itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku. Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip.

Pada saat aku berpikir tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Erica dari kamar bawah. 

“Tolong, tolong, tolong!!!” teriak Erica itu sangat keras. 

Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Erica pucat pasi ketakutan. Erica langsung memelukku dengan tubuh bergetar.

“Hantu, hantu ayah, ada hantu di kamar saya!” pekiknya. 

“Apa? Kamu mimpi Rica, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu menampakkan diri?” kataku. 

“Lihat, lihatlah Ayah, hantu itu masih dalam kamar!” ujarnya. 

“Mari ikut ayah mana ada hantu di kamar ini. Ayo, ikut ayah!” ajakku, sambil menarik tangannya. 

Tapi Erica ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi. Lalu aku sendiri yang masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu. Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan manusia biasa.

Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya.

“Oh Tuhan!” pekikku. 

Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar, bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku. Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak kupercayai dari cerita mang Udin itu. Mang Udin benar, mang Udin betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup.

Semua penghuni villa pun terbangun. Pagi dini hari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala dan muka tercabik-cabik itu. Ibu dan istriku, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.

Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana. Aku berteriak keras memanggil kang Cecep di sebelah pagar Villa, tapi kang Cecep dan anak mantunya tidak mendengarkan suara kami.

Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai di sini saja, tak lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu. Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis.

Suara piano itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang terpotong. Aku kembali menutup mataku dan ibu, istri, dan kedua anakku.

Jujur saja, baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu tanpa kepala itu.

Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut. Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat.

Matilah kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding villa, aku mendengar suara kang Cecep mengeluarkan kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Cecep dan kang Cecep masuk dari pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Cecep kami peluk dan kami ceritakan apa yang kami temukan.

Kang Cecep langsung pucat pasi dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku. Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14 dan seharusnya, kata kang Cecep, menghindari villa di malam terang benderang itu.

“Karena Bapak baru memiliki villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut Bapak salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali Bapak barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa berwujud. Bukankah mantu saya mang Udin sudah menggambarkan hal itu?” lirih kang Cecep.

Sejak itu, aku percaya adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila Tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian, kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.

Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah direktur perkebunan milik kolonial, pemilik villa asal belanda yang mati dipotong lehernya oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah pak direktur menempati rumah perkebunan teh itu. Pak direktur yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.

Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwahnya selalu muncul dengan khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Hantu pak direktur terus-terusan menampakkan diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa tersebut.

“Hanya di malam itu dia muncul, malam lain tidak!” kata kang Cecep.

Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah itu muncul, dikatakan oleh kang Cecep, bahwa pembunuhan terhadap warga bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14, saat desa-desa di daerahku begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena pembunuhan mengerikan itu terjadi.

Jawara itu memotong kepala pak direktur hingga terlepas dari lehernya. Hingga sekarang, aku, ibu, istriku, dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke villa untuk menginap. Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak berani bersantai di villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan perkebunan dan tempat singgah di siang hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.

Tuesday, July 23, 2019

Hantu Penghuni Gunung Sumbing (Wonosobo)

Kejadian tak terlupakan ini aku alami ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, yaitu sekitar 5 tahun yang lalu. Pengalaman pertamaku mengenal yang namanya hantu ini aku alami ketika aku sedang melakukan pendakian bersama team Pecinta Alam di sekolahku.

Tepatnya di tahun 2009, aku bersama team Pecinta Alam sekolahku melakukan pendakian ke gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah. Kami melakukan pendakian di bulan Desember bertepatan dengan musim penghujan.

Pendakian di mulai dari dukuh Kalikajar Garung dan mengambil rute jalur baru. Karena memang dari pos ini terdapat dua jalur pendakian yakni jalur lama yang agak landai medannya, dan jalur baru yang terjal dan curam jalannya. Kami berempat ditambah temanku dari anggota SAR-nya Sumbing, mulai mendaki setelah shalat Isya.

Sebenarnya kami tak mendapat izin dari team SAR karena cuaca buruk yakni hujan dan turun kabut. Tapi karena kami tak mau buang-buang waktu dan biaya, kami abaikan saja himbauan dari team SAR tersebut. Setelah bernegosiasi dan kami pun diizinkan naik tapi dengan syarat harus ditemani warga setempat.

Kebetulan salah satu anggota dari kami sudah ada yang kenal dengan beberapa personil tim SAR tersebut. Dan kami memilih ditemani personil tim SAR tersebut. Dengan iringan doa restu juru kunci dan teman-teman semua, kami berlima akhirnya bergerak menembus tebal dan gelapnya kabut.

Awalnya kami berlima enjoy-enjoy saja sewaktu melintasi ladang tembakau petani di bawah pos pasar setan, kami selalu bersama. Karena pengaruh suhu di gunung yang sangat dingin, aku pamit untuk kencing dahulu, dan teman-teman aku persilahkan jalan duluan, nanti aku nyusul di belakang.

Dengan sedikit terburu-buru aku lari ke semak-semak untuk menyelesaikan hajat. Begitu selesai kencing, aku lihat empat temanku masih menungguku, tadinya aku kira mereka sudah jalan duluan. Setia juga mereka, begitu pikirku. Akhirnya aku gabung lagi dengan teman-temanku untuk melanjutkan pendakian.

Sembari ngos-ngosan kami terus ngobrol ngalor ngidul, bersenda gurau sambil sekali-kali berhenti untuk minum. Hingga tak terasa perjalananku sudah sampai di padang rumput yang datar, posisi di bawah pos pasar setan. Teman-temanku minta waktu untuk istirahat sejenak sekedar untuk merokok dan makan cemilan. Akhirnya kita bongkar ransel logistik, kitapun makan snack dan minum minuman suplemen. Akupun menyulut rokok kretek sekedar untuk penghangat badan.

Belum habis rokokku sebatang, aku mendengar suara teriakan orang-orang memanggil-manggil namaku. Semakin lama semakin keras dan jelas suara teriakan-teriakan itu. Aku kaget campur heran, karena aku mengenali suara-suara yang memangil dan menyebut namaku. Suara temanku satu tim dan teman dari tim SAR.

Kalang kabut pikiranku waktu itu. 

“Bukannya mereka sedang bersamaku sekarang? Kenapa suara mereka kedengaran sangat jauh…?” pikirku.

Keherananku jadi lebih tak karu-karuan ketika aku menengok ke belakang ke tempat empat temanku istirahat.

“Ya Allah…! KOSONG..!” teriakku.

Tak ada siapapun kecuali aku berdiri sendirian. Spontan berdiri semua bulu kudukku, hilang pikiran sehatku, rontok semua keberanianku. Dalam balutan ketakutan dan rasa masih tak percaya dengan yang kuhadapi, pelan-pelan aku tinggalkan tempat sialan ini. Aku naik menyusul suara teman-temanku yang memanggilku dari atas.

Begitu sudah agak jauh dari tempat kejadian, aku ambil ajian langkah seribu, lari tunggang langgang. Tak perduli gelap, banyak akar maupun batu dan jurang yang menganga di sepanjang jalan. Aku terus berlari jatuh bangun mendekati suara teriakan teman-temanku yang kedengarannya sudah ada di atasku.

Dengan tergopoh-gopoh dan mandi keringat -padahal suhu sangat dingin- aku temukan teman-temanku yang sudah menunggu. Kecemasan sangat jelas terlihat di raut wajah teman-temanku. Mereka mengira aku tersesat karena tak tahu jalan. Dan aku mengiyakan saja. Aku tidak mau mereka ikut-ikutan takut, apalagi sampai pendakian gagal. Dan malam itu kami buka tenda dan bermalam di pos Pasar setan.

Monday, July 22, 2019

Museum Berhantu (Surabaya)

Kisah nyata ini dialami oleh temanku ketika masih bekerja di sebuah museum di kota Surabaya. Ia mengisahkan tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi di museum kala itu yang benar-benar membuat bulu kuduk berdiri. 

Semua berawal ketika museum tempatnya bekerja menerima titipan artefak dari sebuah museum negara tetangga, untuk dipamerkan dan diperlihatkan kepada masyarakat umum selama sebulan. Semenjak hari pertama artefak itu di pajang di ruang utama museum, berbagai peristiwa aneh dan mengerikan terjadi secara beruntun. Kecelakaan terjadi di museum hampir setiap hari, bahkan ada yang sangat fatal hingga merenggut nyawa.

Tidak hanya masyarakat yang berkunjung, para petugas museum, mulai dari cleaning service, petugas keamanan sampai karyawan setingkat manajer juga tidak bisa lepas dari teror kecelakaan maut yang mengincar di museum tersebut. 

Temanku tersebut yang bertugas di meja resepsionis, sebut saja Dian, mengungkapkan kalau dirinya seringkali mendapat laporan dari pengunjung maupun petugas museum yang melihat sosok manusia tanpa kepala berkelebat di belakang mereka dan ketika diperhatikan dengan seksama, sosok tersebut berangsur menguap dan sirna bagai asap tertiup angin. 

Semula temanku yang cantik ini tidak percaya. 

“Sampai akhirnya aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Benar-benar menyeramkan,” katanya dengan bibir gemetar. 

Dia mengaku, bukan sekali dua kali saja diganggu makhluk tanpa kepala yang berlalu lalang dan muncul di berbagai sudut museum. Waktu pertama kali melihat penampakan hantu tanpa kepala tersebut, Dian sempat shock. Badannya mendadak demam dan nyaris kehilangan nyali untuk masuk kerja lagi. Namun lama kelamaan, dirinya mampu mengendalikan diri sehingga ketika sosok hantu tanpa kepala tadi mengganggu lagi, sudah dianggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. 

“Memang kalau hantu ngesot sudah banyak yang lihat. Sedangkan hantu manusia yang tidak ada kepalanya itu, beberapa staf di sini sudah pernah melihatnya, begitu pula beberapa pengunjung,” katanya dengan penuh keyakinan. 

Masih menurut Dian, biasanya setelah muncul penampakan hantu tanpa kepala, atau hantu-hantu lainnya, maka sehari atau dua hari kemudian akan terjadi kecelakaan mengerikan di dalam atau di lingkungan museum. 

“Kalau sudah ada penampakan, beberapa waktu kemudian akan terjadi kecelakaan, entah ada yang terpeleset di toilet, tergelincir di tangga, bahkan pernah ada yang terjatuh seolah-olah sengaja terjun bebas dari atas balkon museum,” jelasnya. 

Dian lantas menceritakan sebuah peristiwa mengerikan yang dialaminya sendiri. 

Suatu ketika Dian yang bekerja sebagai tenaga administrasi sekaligus sebagai petugas resepsionis sedang kerja lembur bersama beberapa staf lainnya untuk menyelesaikan rekapitulasi jumlah pengunjung pameran. Ketika itu menjelang jam 10 malam, Dian yang kala itu berada di toilet sedang mencuci tangan di wastafel. 

Tiba-tiba ia merasa ada yang menarik baju bagian belakangnya, namun saat ditengok tidak ada siapa-siapa. Selang beberapa detik kemudian, baju bagian belakangnya kembali ditarik, sampai terjadi yang ketiga kalinya ia memberanikan diri menengok ke belakang. Saat itulah ia kaget bukan kepalang. Lututnya seakan mau lepas, dan tak lagi mampu menopang berat tubuhnya yang sebenarnya tergolong cukup langsing. 

Di belakangnya ternyata telah berdiri seorang bocah berwajah pucat berusia sekitar 4 tahun dan mengenakan pampers. Bocah tadi bertelanjang dada, kepalanya botak dan mengulurkan kedua tangannya minta digendong. 

“Langsung saja kumarahi anak itu, apa-apaan, sudah bikin kaget sampai jantung mau copot, malah minta digendong-gendong. Setelah kumarahi, eh tiba-tiba saja anak tersebut lenyap dari hadapanku,” kata Dian dengan mimik yang serius. Bisa jadi, tambahnya lagi, kehilangan uang maupun benda berharga yang terjadi di museum bukan semata dilakukan oleh seorang pencuri, melainkan tuyul yang berkeliaran di museum. 

“Aku segera bergegas menemui salah seorang rekan kerja, namanya Rita, dan kuceritakan kepadanya peristiwa aneh yang baru saja kualami di toilet, tentang anak kecil botak yang menarik-narik bajuku dan minta digendong. Kata Rita, makhluk itu adalah tuyul dan memang terkadang menampakan diri,” jelasnya. 

Setelah genap sebulan, dan artefak yang dipamerkan itupun segera dikembalikan ke tempat asalnya. Dan hantu-hantu yang semula sering berkeliaran menampakkan diri mereka dan membuat heboh museum, kini sudah mulai berkurang jumlahnya. 

Namun masih ada beberapa yang kadang menampakkan diri mereka. Mungkin mereka adalah hantu-hantu yang tertinggal di museum dan tidak ikut terbawa pulang ke tempat asalnya ketika artefak yang dipamerkan dikirimkan kembali ke negaranya.

Kendati sering diganggu makhluk halus, Dian mengatakan dirinya tidak pernah kehilangan semangat untuk bekerja. 

“Namanya pekerjaan tetap harus dikerjakan, dan ketika terpaksa harus melihat hantu, kita hanya bisa berserah kepada Yang Maha Kuasa saja,” kata Dian.

Sunday, July 21, 2019

LOSMEN GHAIB (Medan)

Aku menerima pesan di facebook dari Rina temanku semasa sekolah menengah atas dulu bahwa akan ada reuni kecil di rumahnya. Dia memintaku agar bisa hadir. Sari, Wati dan Ningrum dipastikan akan hadir, begitu katanya. Aku jadi ingat masa-masa sekolah dulu, kami berlima memang membuat geng kecil di sekolah dan Rina sebagai ketuanya, tapi jangan dikira kami melakukan hal-hal yang buruk, geng kami bertindak positive saja semacam belajar bersama, pergi main ramai-ramai ataupun cuma sekedar naik motor keliling kota yang dilanjutkan jajan di warung bakso Pak Kumis.

Sebenarnya bukan hal-hal yang terlalu istimewa tapi kenangan itu terasa manis untuk diingat, sebuah persahabatan yang murni tanpa tujuan ini itu kecuali berbagi keceriaan bersama.

Selepas kami lulus SMA, kamipun berpencar. Rina melanjutkan kuliah di kota Bandung di sebuah universtias negeri ternama, dia memang cerdas, setiap kenaikan kelas selalu mendapat rangking. Sari dan Wati melanjutkan kuliah di sebuah institut keguruan di kota gudeg tapi mengambil jurusan yang berbeda satu sama lain, sekarang sudah jadi guru. Sedang Ningrum langsung dipinang pacarnya yang jadi tentara, dia tinggal berpindah-pindah mengikuti tugas suaminya. Sedang aku sendiri setamat kuliah mendapat pekerjaan di kota Jakarta.

Kami kehilangan kontak untuk waktu yang lama, tapi dengan adanya jejaring sosial yang sekarang ini marak, kami pun terhubung kembali. Sudah lama kami berencana untuk mengadakan reuni kecil di rumah Rina, tapi karena kesibukan masing-masing rencana itu tertunda-tunda, dan baru akhir bulan depan kami berlima punya kesamaan waktu luang. 

Bagi Sari dan Wati, liburan sekolah pas buat mereka untuk meluangkan waktu, sedang Ningrum, kebetulan suaminya juga sedang ditugaskan di kota yang tidak terlalu jauh dengan kota kami sekolah dulu. Aku sendiri juga tidak masalah kartena ijin cuti tahunanku sudah disetujui. Kalu Rina? Wah sebagai seorang wanita wirausaha dia bisa mengatur jadwal dan waktunya sendiri.

Kudengar mereka kadang saling bersilaturahmi saat mudik di kota asal kami. Tentu tidak pernah lengkap berlima, karena kesibukan satu sama lain berbeda-beda. Hanya aku saja yang sudah lama absen. Maklumlah waktu tinggal di kota itu, orang tuaku hanya mengontrak rumah. Tugas ayah yang sering berpindah-pindah membuat kami tidak terlalu lama tinggal di suatu kota. Orang tua lebih suka mengontrak, tapi mereka sudah menyiapkan sebuah rumah untuk masa tua di tempat kelahiran ibu. Karena itu aku mudik ya ke rumah orang tua yang sekarang.

Siang itu hari terakhir aku bekerja karena besoknya aku sudah mengambil cuti, beberapa berkas masih ada di meja kerjaku. Kutengok jam hampir menunjuk pukul dua belas... berarti sebentar lagi jam istirahat.

Aku berencana makan di kantin saja agar lebih cepat, karena Rina bilang akan menghubungi via telepon hari ini. Takutnya kalau makan di luar aku kurang leluasa menerima telepon. Benar saja, beberapa menit setelah jarum panjang meninggalkan angka dua belas, handphone berbunyi. Kulihat nomor Rina di layar hp-ku.

“Siang Rina, bagaimana kabarnya?” aku membuka pembicaraan dengan sedikit berbasa-basi.

“Baik-baik... kamu juga kan?” tanya Rina di seberang telepon.

“Yoi, gimana kabar teman-teman kita? Jadi datang nanti ke reuni?” aku balik bertanya

“Ya pastilah, tinggal kamu yang belum memberi kepastian!” suara Rina sedikit dikecilkan.

“Hah... kamu tuh, aku kan sudah bilang aku ambil cuti. Ya pastilah aku datang!” seruku dengan mantap.

Kudengar derai tawa Rina, “Nah gitu dong.” sambungnya lagi,kali ini dengan suara yang keras “Ya sudahlah, sekarang kamu makan siang kan? Aku juga mau konfirmasi teman-teman yang lain bahwa kamu pasti datang!”

“Yup, titip salam buat mereka semua ya dari aku,” tutupku mengakhiri pembicaraan.

Di jejaring sosial itu, kupandangi layar komputer yang menampilkan foto-foto teman-teman lamaku. Foto-foto jadul yang membuka kenangan lama. Aku jadi tidak sabar untuk segera pulang. Besok aku akan naik pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta, disambung dengan taxi bandara aku akan meluncur ke kota tempat aku menghabiskan masa sekolah dulu. 

Rina sudah memberi informasi hotel-hotel yang bisa aku pilih untuk menginap, sebenarnya ia menawari aku tinggal di rumahnya, tapi aku sungkan dan rasanya lebih bebas tinggal di penginapan. Dari penginapan aku bisa ambil becak atau ojek untuk sampai ke rumah Rina, karena di kota kecil itu tidak ada taxi. Rumah Rina ada di pinggiran, tapi tidak terlau jauh dari pusat kota.

 Seingatku di pinggiran kota itu ada sebuah rumah model jaman kolonial yang megah dan berpagar tembok yang mengelilinginya, di sebelahnya ada sawah terbentang, setelah melewati pertigaan jalan kampung, belok ke sebelah kiri, beberapa meter dari situ rumah Rina sudah kelihatan. 

Dulu setiap mau main ke rumah Rina dan pas musim mangga, kami berhenti sejenak di dekat rumah besar itu, celingak celinguk melihat apakah pohon mangga yang ada di dalam rumah itu sudah berbuah. Ya pohon itu terdapat di samping pagar tembok, jadi sebagian dahan dan daunnya ada di luar, kadang ada buah mangga yang menggelantung di dahan itu. Jadilah buah buah itu sasaran empuk kami. Biasanya kami naik di atas motor dan mengambilnya. Mencuri? Hehehe... kecil-kecilan lah ya, apalagi buahnya ada di luar tembok dan menghadap jalan... so kami pikir milik umum lah… hahahah. 

Tidak banyak yang bisa kami ambil karena memang hanya sebagian dahan saja yang keluar pagar, tapi itu sudah membuat kami senang bukan kepalang, padahal kalau dipikir pikir beli di pasar saja lebih mudah dan murah. Namun itulah seninya, nilainya bukan dari harga mangga tapi lebih kebersamaan kami. Bila nanti sudah sampai di rumah Rina kami akan pesta rujak, kan di kebon Rina yang luas ada ditanami aneka buah-buahan... termasuk juga mangga... hahahah. Aku tersenyum mengingatnya.

Waktu yang kutunggu tunggu pun tiba, aku sudah sampai di bandara Adi Sucipto di Yogyakarta, setelah mengambil bagasi, aku menuju layanan taxi. Setelah mendapatkan taxi yang sudah ditunjuk, akupun meluncur ke kota tempat aku sekolah dulu. Tiba di hotel yang sudah aku reservasi sebelumnya, jam baru menunjuk pukul satu siang. Lumayan bisa buat istirahat sebentar sebelum aku ke rumah Rina. 

Sebenarnya pelaksanaan reuninya masih besok siang, tapi aku ingin menyambangi Rina dulu nanti malam, besok bisa dilanjut lagi dengan pertemuan bersama teman-teman yang lain. 

Kurebahkan badanku di tempat tidur, alarm di handphone aku atur jam tiga sore. Perjalanan dari Jakarta menuju kota ini benar-benar membuatku lelah, akupun lalu tertidur dengan cepat. Tepat jam tiga sore alarm berbunyi, aku bangun dan diteruskan membersihkan badan di kamar mandi. Air yang mengguyur badanku terasa sangat segar. Selesai mandi aku berganti baju kasual dan membawa tas kecil. Di depan hotel ada beberapa becak yang mangkal, kupilih satu.

“Ke desa Sumbersari berapa, Pak?” tanyaku kepada pak becak yang aku pilih.

Setelah tawar menawar sejenak akhirnya aku naik becak itu dan meluncur ke desa yang aku sebutkan tadi. Sepanjang perjalanan kunikmati suasana kota, tampak banyak perubahan dan bertambah ramai. Kuhitung lagi sudah sekitar lima belas tahun aku meninggalkan kota ini, pantaslah perubahan terjadi di sana sini. Kulihat alun-alun kota yang dulu hanyalah sebuah lapangan hijau kini sudah dikelilingi puluhan pedagang makanan dan barang-barang. 

Aku ingat dulu tiap sabtu sore banyak muda mudi bermain ke alun-alun itu. Biasanya mereka datang berkelompok termasuk geng kami, lalu duduk bergerombolan di atas rumput hijau yang membentang. Kalau pas ada uang, bisalah kami memesan jagung bakar dan wedang ronde. Lalu dilanjutkan ngobrol ke sana kemari mengisi waktu luang kami, sebelum malam menjelang kamipun bubar, maklum anak perempuan. Beda dengan rombongan anak-anak laki-laki, mereka bisa sampai semalam penuh bercengkerama di tempat ini.

Pelan tapi pasti becak itu meninggalkan kota menuju pinggiran, dari situ kulihat tidak begitu banyak perubahan. Sawah masih membentang seakan membatasi kota dengan desa selanjutnya. Hijau daun padi yang belum menguning tampak sangat asri. Pohon-pohon besar yang tumbuh di pinggiran jalan juga tampak kokoh berdiri membentengi sawah.

“Pak... kita berhenti di sini saja!” ucapku kepada bapak pengayuh becak itu.

Becak itu lalu berhenti, pak becak turun dari sadel, “Kenapa, Mbak? Kan belum sampai desa Sumbersari?” tanyanya dengan wajah keheranan.

“Tidak apa-apa kok, Pak. Aku hanya ingin jalan-jalan saja. Toh juga tidak terlalu jauh!” terangku.

Yup, aku ingin berjalan saja menuju rumah Rina, Suasana sangat mendukung untuk berjalan, hitung-hitung memupuk kesehatan. Langit sedikit mendung jadi tidak terlalu panas, angin bertiup sepoi-sepoi memainkan daun-daun pepohonan yang berjajar di sepanjang pinggir jalan. Kalaupun nanti hujan aku juga tidak perlu khawatir karena aku membawa payung. Aku hanya ingin berjalan jalan menikmati petang sambil mengenang masa mudaku yang dihabiskan di kota ini. Untuk nanti pulangnya mudah, Rina pasti akan mengantarku.

Pak becak itu seakan mengerti maksudku, diapun lalu menyorongkan becaknya ke depan agar aku lebih mudah untuk turun. Setelah membayar aku berjalan menyusuri jalan desa ini. Becak itu berbalik menuju kota. Sesekali kulihat orang-orang yang melewati jalan desa ini. Sebagian besar naik sepeda motor, tidak seperti masa lalu biasanya sepeda kayuh yang mendominasi. 

Aku berjalan dengan santai dan sesekali melihat sekeliling meresapi indahnya alam. Angin juga kadang mempermainkan rambutku. Tak kusangka mendung semakin kelihatan tebal, langit mulai berubah warna menjadi hitam. Angin juga kurasakan makin kencang bertiup. Tak lama kemudian gerimis mulai turun, aku berlari menuju sebuah pohon besar di pinggir jalan, kuambil payung dari dalam tas dan kubuka. Akupun melanjutkan berjalan.

Dalam perjalanan menuju rumah Rina aku melewati rumah besar laksana villa itu, memang sudah berbeda, sekarang sudah dialih fungsikan menjadi sebuah losmen, ada papan nama yang terpancang di situ “LOSMEN SEKAR” sekilas menurut cerita Rina, beberapa tahun setelah kami lulus sekolah, rumah itu dijual oleh pemiliknya dan oleh si pemilik baru dialih fungsikan menjadi losmen. 

Namun kulihat bangunannya belum banyak perubahan, pagar tembok mengelilinginya, ada pagar besi tinggi di bagian depan. Dulu kami biasa mengintip rumah itu. Kata orang rumah itu milik seorang pejabat di lain kota, jadi rumah itu jarang jarang saja di tempati. Tapi sepertinya pemilik rumah mempekerjakan beberapa orang untuk mengurusnya. Dulu tiap kali melewati rumah ini dari sela sela pagar besi kulihat seorang tukang kebon sedang membersihkan rumput, terus ada juga seorang perempuan setengah baya yang menyapu lantai di teras. Bila malam menjelang kulihat seorang penjaga rumah duduk di dalam pos keamanan yang terdapat di depan rumah. 

Berhenti sejenak kutatap bangunan yang sudah berubah menjadi losmen itu, suasana terlihat sepi hanya ada dua atau tiga mobil yang terparkir di depannya, di sebuah ruangan bagian depan tertulis resepsionis dengan nyala terang, seorang gadis muda tampak duduk terpaku di depan komputer. 

Aku bermaksud melanjutkan berjalan lagi, tapi mataku tertahan di sisi samping yang berpagar tembok itu, kulihat beberapa buah mangga menggelantung di dahannya yang menjulur keluar pagar. Aku jadi tergoda untuk mengambilnya, aku ingat masa lalu saat mengambil mangga tanpa ijin itu bersama teman-teman satu gengku. 

Aku tersenyum mengingat itu, kupikir aku mungkin bisa mengambil mangga itu dengan cara yang lebih elegan... heheh... yup kenapa tidak? Lumayan bisa buat bahan cerita dengan teman-teman dan bisa buat memutar kembali masa lalu dengan rujakan memakai mangga rumah gedongan itu. sekilas ide muncul di kepalaku. Aku memutar arah kaki dan berjalan menuju losmen itu. Untung hujan juga sudah reda, kututup payung itu dan kusandarkan di tembok pagar, entar kalau nanti mau pulang bisa kuambil lagi.

“Selamat petang, Mbak?” sapa wanita muda resepsionis itu dengan ramah, “ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya lagi.

“Ooh... ini, saya bermaksud mencari informasi, kami mau ada reuni, teman-teman memintaku mencari referensi penginapan. Tahu sendiri lah banyak dari mereka tinggal di luar kota jadi awam dengan penginapan di sini!” jawabku dengan panjang lebar... padahal bohong... heheh.

Resepsionis itu tersenyum, lalu mengambil sebuah brosur yang tertumpuk di atas mejanya.

“Ini brosur losmen ini, Mbak bisa menunjukkan kepada teman-teman Mbak!”

Aku menerima brosur itu dengan hati senang, aku membukanya dan kubaca-baca agar terlihat kalau aku tertarik.

“Wah kamarnya bagus dan bersih! Harganya juga terjangkau! Nanti aku sampaikan kepada teman-temanku deh!” pujiku seraya mengalihkan pandangan dari brosur ke resepsionis itu. Dia tampak bangga dan tersenyum kepadaku. 

“Terima kasih brosurnya ya Mbak?” ucapku lagi, selanjutnya akupun melancarkan jurusku, “Eh... bisa minta mangga yang ada di depan itu? Satu aja kok buat nunjukkin ke teman-teman...” lalu aku menceritakan persitiwa kenangan masa lalu kami.

Mbak resepsionis tertawa, “Wah asyik ya... punya geng kecil... kompak pula! Silakan ambil mangganya... jangan cuma satu, kasihan yang lain... kan bisa buat rujakan rame rame!”

“Aha...” seruku dalam hati... jurusku berhasil... aku riang tidak terkira.

Resepionis itu lalu meminta petugas keamanan mengantarku mengambil mangga mangga itu, aku hanya mengambil tiga biji saja karena tasku sudah terasa penuh, meski pak satpam mempersilakanku mengambil sesuka hati, namun aku nggak enak hati berbohong kecil kepada mereka... toh aku ambil mangga ini cuma buat seru seruan saja. 

Setelah mengucapkan banyak banyak terima kasih aku berjalan keluar area losmen. Riang gembira, kulangkahkan kaki menuju rumah Rina, tentu saja payung yang tadi kutinggal kuambil dulu.

“Hah... kamu?” teriak Rina kaget melihatku berdiri di depan pintu.

Kami berangkulan dengan kencang sambil tertawa bersama. Lalu kami masuk ke dalam rumah.

“Gila, kamu ke sini duluan? Reuninya kan masih besok? Naik apa tadi? Nggak mungkin lah jalan kaki? Gila… gilaa...” ucap Rina beruntun, “Sebentar aku ambil minuman dulu.” lanjutnya sambil mempersilakanku duduk di kursi tamu. 

Sejenak ia masuk ke dalam dan keluar dengan membawa nampan dengan dua gelas teh hangat dan makanan kecil di dalam toples.

“Aku tadi naik becak dari hotel, tapi sampai jalan desa aku minta berhenti. Aku ingin jalan jalan menikmati alam dan mengenang masa lalu.” kataku sambil terus menyeruput teh hangat itu.

“Ah kamu, kan bisa telpon aku. Aku bisa menjemputmu ke hotel dan ke sini bersama-sama. Masak kenangan manis buat sendiri sih,” jawabnya seakan sedikit memprotes.

“Yaaah… bukan kejutan dong namanya,” seruku kalem.

Kami beruda tertawa, selanjutnya kami tenggelam ngobrol ke sana kemari mengenang masa lalu. Tak terasa malam menjelang, jam menunjuk pukul sepuluh malam.

“Rin, anterin pulang dong. Sudah malam nih. Besok siang dilanjutkan lagi deh!” pintaku kepadanya.

“Nggak tidur di sini saja?” tanyanya

“Huuuu... rugi dong bayar hotelnya!” jawabku sambil menyorongkan mulut.

Rina mencibir, lalu dia bergegas masuk ke dalam mengambil kunci mobil.

“Ayo… kuantar kamu!” serunya sambil membimbingku keluar. Aku menunggu di teras depan, sedang Rina pergi menuju garasi.

Mobil berjalan dengan pelan meninggalkan rumah menuju jalan desa, kami saling bercerita tentang masa lalu diiringi derai tawa. Namun saat mobil melewati rumah besar yang sudah beralih fungsi jadi losmen, aku terkesima... kok berbeda sekali dengan yang tadi aku lihat?

“Rina... tolong berhenti sebentar deh!” pintaku sambil menggoyangkan bahunya.

Rina meminggirkan mobil dan berhenti, “Ada apa? Mau mengenang masa lalu saat kita mencuri mangga ya?” ucapnya kalem sambil tersenyum penuh arti. Tapi aku tidak hirau dengan celotehannya, pikiranku tertuju ke losmen itu.

Kubuka kaca mobil dan kulihat dengan seksama, losmen itu sudah rusak berat. Tembok pagarnya sudah ada yang lepas. Pintu pagar besinya memang masih tetap kok berdiri, tapi ada rantai yang melilitnya dan ada sebuah gembok besar di depannya. 

Papan nama “LOSMEN SEKAR” memang masih terpampang, tapi sudah kotor dan mengelupas. Aku tidak bisa melihat suasana dalam losmen karena dari sela sela pagar hanya terlihat kegelapan.

“Losmen itu...” aku tidak bisa melanjutkan ucapanku.

“Iya… rumah itu sudah jadi losmen, tapi sekitar lima tahun yang lalu ada kebakaran besar. Losmen itu rusak berat... nah sekarang jadi terbengkelai begitu. Mau dijual tapi belum laku juga tuh!” Rina bercerita dengan santai.

Berbeda dengan aku, keringat dingin membasahi tubuhku. Aku memang tidak bercerita kepada Rina soal aku menghampiri losmen buat meminta mangga dengan cara halus. Aku pikir aku bisa menyimpan cerita itu buat kejutan reuni esok hari... tapi ternyata... 

Dengan gemetaran aku segera membuka tas untuk mengambil brosur dan mangga yang tadi kusimpan, yang kudapati hanyalah tiga bongkah batu dan selembar daun kering.

“Kamu kenapa? Kok pucat begitu sih?” Rina menatapku dengan bingung, “tanganmu juga dingin.” lanjutnya saat memegang tanganku.

“Aku... eh...!” aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Rina sampai memberikan air minum mineral buatku untung menenangkan diri.

“Rin... ayo kita cepat cabut!” pintaku gemetaran.

Meski kebingungan melihat sikapku, Rina mengikuti permintaanku dengan segera menjalankan mobil. Dalam hati aku berjanji akan menceritakan kisah hororku tentang losmen ghaib itu, tapi nanti sesampai di hotel tempat aku menginap, aku tidak mau Rina buyar konsentrasi saat mengendarai mobil. 

Sesaat kupandangi bongkahan batu dan daun kering itu... hiiiii... aku jadi bergidik.

La Planchada