Kisah ini terjadi pada akhir tahun 2011 yang lalu ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah Bantul. Waktu itu kebetulan aku ambil sekolah akselerasi, yaitu sekolah percepatan yang hanya ditempuh dalam 2 tahun, sementara normalnya SMA biasa ditempuh dalam 3 tahun.
Waktu itu adalah hari Sabtu, jam pertama di kelasku adalah pelajaran olahraga. Tapi saat itu guru olahragaku sedang berhalangan sehingga tidak bisa mengajar. Jadilah anak-anak dibebaskan. Anak-anak segera menuju lapangan basket di kompleks belakang sekolah. Sekolahku terdiri dari dua kompleks. Kompleks depan adalah ruang tata usaha, aula, koperasi, ruang kesenian dan musik, kelas bahasa dan aksel, serta berbagai laboratorium. Sedangkan kompleks belakang adalah ruang guru, kelas-kelas reguler, kantin, dan lapangan. Nah waktu itu, aku tidak ikut anak-anak yang lain alias lebih memilih bolos bersama beberapa temanku, lagipula kan gurunya juga tidak ada.
Di sekolahku ada mata pelajaran yang bernama muatan lokal (mulok). Untuk kelasku (aksel) muloknya adalah bahasa Jawa. Sedangkan untuk kelas reguler adalah seni lukis batik/membatik. Kegiatan membatik ini memang biasanya dilaksanakan di halaman depan ruang kesenian yang berada di sebelah kelasku. Aku dan 3 orang temanku duduk di kursi depan kelasku untuk melihat anak-anak kelas 1 yang sedang membatik. Karena kelas kami tidak ada pelajaran membatik, jadi kami tertarik melihat anak-anak itu.
Waktu itu, aku perhatikan ada salah seorang anak perempuan yang memakai seragam putih-putih yang biasa dipakai hari Senin pada saat upacara bendera, padahal waktu itu hari Sabtu, yang seharusnya memakai seragam batik kelas masing-masing. Jelas penampilannya mencolok sekali dibandingkan anak-anak yang lain. Anak ini duduk membatik sendirian di dekat kolam ikan, agak berjauhan dengan teman-temannya yang lain. Duduknya pun arahnya membelakangi ku, jadi aku tidak tahu seperti apa wajahnya.
Ketiga temanku akhirnya mengajak untuk pergi ke kantin saja karena bosan, tapi aku menyuruh mereka agar duluan saja karena aku belum lapar. Saat ketiga temanku sudah pergi, anak yang pakai seragam putih-putih itu lewat di depanku. Penampilan dan wajahnya biasa saja, tapi dia terbatuk-batuk dan berjalan agak tergesa menuju WC di sebelah ruang guru aksel. Waktu dia melewatiku itu, aku lihat di seragamnya yang berwarna putih ada noda merah seperti darah, dia pun terus terbatuk-batuk.
“Kenapa, Dik?” tanyaku padanya.
Tapi dia tidak menjawab dan mempercepat langkah kemudian langsung masuk ke WC. Aku tidak terlalu memikirkannya, lalu kuputuskan menyusul teman-temanku yang lain ke kantin karena bosan.
Beberapa saat kemudian, aku dan teman-temanku sudah kembali dari kantin. Kami duduk-duduk lagi di depan kelas sambil menunggu jam pelajaran olahraga habis. Kulihat anak perempuan tadi sudah ada di tempatnya semula sedang membatik. Karena merasa aneh dengan anak itu, akupun menanyakannya pada teman-temanku,
“Eh, itu anak perempuan yang pakai seragam putih siapa sih? Dia kok...”
Belum selesai aku berkata-kata, anak perempuan yang sedang kubicarakan itu tiba-tiba saja berdiri, dan menghadap ke arahku. Dia menatapku beberapa lama seolah-olah tahu dirinya sedang dibicarakan. Aku kaget, soalnya tatapannya dingin dan aneh. Lalu tiba-tiba, dia berlari dan masuk ke dalam ruang kesenian.
Karena penasaran, aku pun mendekati ruang kesenian. Teman-temanku bertanya aku mau ngapain, tapi aku diam saja. Aku mengintip lewat kaca yang ada di pintu ruang kesenian yang pintunya tertutup. Memang benar ada anak perempuan itu, dia sedang berdiri menatap lukisan yang ada di ruangan itu.
“Aneh banget sih anak ini. Bukannya diselesaikan membatiknya, malah ke ruang kesenian sendirian begitu.” pikirku.
Aku lalu menghampiri Sari yang sedang membatik di halaman juga. Dia ini salah satu teman kosku. Kupikir pasti dia tahu teman sekelasnya yang aneh itu. Dan aku pun bertanya kepadanya karena rasa penasaranku ini.
“Sari, itu temenmu yang tadi pakai seragam putih siapa sih namanya?” tanyaku.
“Hah? Yang mana? Emang ada?” Jawab Sari balik bertanya.
“Ada, tadi dia membatik di sana tuh,” jawabku sambil menunjuk arah dekat kolam, tapi aneh peralatan batiknya sudah tidak ada. Aku pun terbengong-bengong sendiri.
“Pokoknya ada di situ deh tadi.” lanjutku.
“Perasaan nggak ada deh, Mbak... Emang anaknya kayak gimana?” tanya Sari penasaran.
“Rambutnya dikuncir satu, pakai gelang warna-warni di tangan kirinya... Tadi waktu mau ke WC ada darah kayaknya di bajunya, sakit atau kenapa kali tuh anak...” jawabku.
Mendengar keteranganku, Sari melongo keheranan.
“Beneran?” lanjut Sari sambil menarikku menjauh dari anak-anak lain.
“Mbak ingat sama teman sekelasku yang meninggal 2 minggu kemarin? Namanya Nining, Mbak... Masak iya sih yang Mbak lihat itu dia? Dia emang suka pakai gelang warna-warni gitu. Rambutnya suka dikuncir satu.. pakai kuncir kuning bukan tadi mbak lihatnya?” Kata Sari penuh tanya.
“Iya bener...” jawabku sambil melongo dan badan gemetaran.
Sari pun bercerita, kalau anak yang namanya Nining itu meninggal sekitar dua minggu yang lalu. Waktu itu hari Senin katanya pulang sekolah gusinya ada yang bengkak dan mengeluarkan darah, sebabnya tidak tahu kenapa. Darah itu keluar terus sampai beberapa lama. Menjelang sore hari, badannya demam tinggi dan sebelum dibawa berobat sudah meninggal duluan. Dan keadaannya masih pakai seragam putih waktu itu...
“Inalillahi...” Aku memang waktu itu pernah mendengar tentang anak kelas satu ada yang meninggal, temannya Sari itu. Tapi aku tidak tahu persis yang mana orangnya.
“Ya ampun... terus tadi itu siapa dong? Dia masuk ke ruang kesenian,” kataku masih gemetaran.
Karena penasaran, Sari mengajakku mengeceknya, tapi aku ragu-ragu karena takut. Ya sudah, aku ikut saja di belakangnya. Saat kami membuka pintu ruang kesenian dan mengintip ke dalam... ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa. Kami berdua masuk pelan-pelan.
“Tadi dia ngelihatin lukisan di situ,” kataku sambil menunjukkan sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut ruangan tersebut.
“Itu memang lukisan Nining. Tugas kesenian seminggu sebelum kematiannya. Tema gambarnya sih tentang go green gitu lah,” lanjut Sari.
“Tokek... tokek... tokek...”
Karena kaget dengan suara tokek itu, aku dan Sari berhamburan keluar dari ruangan kesenian. Sampai di depan teman-temanku aku tidak memberitahukan pada mereka tentang apa yang barusan aku alami. Aku tidak semuanya menjadi heboh.
Setelah peristiwa yang kualami tersebut, aku menjalani rutinitas di kelas seperti biasa. Entah hanya perasaanku atau apa, aku merasa seperti ada yang berdiri tepat di belakangku. Tapi aku tidak menghiraukan, tidak takut juga karena saat itu siang hari dan banyak teman-teman di sekelilingku.
Justru yang lumayan parah adalah kondisi Sari. Malamnya sekitar jam 1, Sari menggedor-gedor pintu kamarku yang berseberangan dengan kamarnya. Ketika kubuka pintu, wajah Sari terlihat pucat dan meminta untuk tidur bersamaku. Ternyata dia bermimpi bertemu Nining dengan wajahnya yang pucat, bibir mengeluarkan darah, bajunya sangat kusam dan kucel penuh darah. Dia menarik-narik tangan Sari sambil berkata,
“Sari... Sari... temenin aku, di sini aku kesepian, aku ingin sekolah lagi sama teman-teman...”
No comments:
Post a Comment