Aku memasukkan beberapa baju dan barang lain ke dalam koper dengan tergesa, di dalam pikiranku hanya ada satu yaitu ingin segera sampai rumah! Karena dalam keadaan mendadak aku jadi sembarangan saja memasukkan barang-barang itu, atau bisa disebut kujejalkan saja tanpa menatanya dengan rapi. Malam ini aku harus segera ke terminal Bungur Asih, setelah mendengar kabar dari Yogyakarta bahwa ayahku meninggal karena kecelakaan, aku terpaksa harus pulang malam ini juga untuk bisa menghadiri pemakaman beliau keesokan harinya. Sebenarnya aku bisa memilih naik angkutan lain bila tidak ingin tergesa seperti ini, misalnya saja pesawat, tapi itu tentu menguras kantongku. Sebagai seorang karyawan rendahan di sebuah pabrik, aku tidak mempunyai penghasilan yang memadai. Jadi naik angkutan darat semacam bis inilah satu satunya pilihanku, bis pun juga yang kelas ekonomi.
“Loh... mau kemana kamu Yus? Kok mau bawa koper segala?” seru Arifin terkejut melihatku mengemasi barang.
“Aku mesti balik ke Yogyakarta malam ini!” ucapku dengan suara sedih.
“Wah... ada apa nih?” Arifin seperti mengerti kesedihanku, mungkin mendengar nada suaraku dia sudah bisa menangkapnya.
Kupalingkan sebentar mukaku kepadanya, kulihat wajah Arifin bingung campur was-was.
Lalu kujawab pelan, “Ayahku meninggal!”
“Innalilahi Wa Inna Illahi Rojiun... turut berbela sungkawa! Pemakamannya besok ya?” tanya dia sembari menghampiriku, dia duduk di sudut tempat tidur tempatku mengemasi barang.
“Iya.” jawabku pendek sambil terus memasukkan barang lainnya.
Arifin mengangguk-angguk, dia tetap duduk di situ dalam diam dan melihatku dengan tatapan sedih. Dia itu teman kostku, agar hemat kami memilih sekamar berisi dua orang. Meski beda daerah, aku asli Jogja dan dia asal Medan namun kami cocok satu sama lain. Mungkin karena sama-sama pekerja dan perantau jadi merasa senasib.
“Sudah selesai, Yus?” tanyanya begitu melihatku menutup koper.
“Mmh…” aku mengangguk mengiyakan.
“Eh... ke terminal naik apa? Aku antar ya pakai motor!” dia menawarkan diri untuk mengantarku, memang itu sih yang aku tunggu... tapi kan nggak enak kalau aku mendahului, aku sadar dia baru pulang kerja dan pasti lelah sekali karena lembur sampai malam begini.
“Makasih ya... ok deh kita berangkat sekarang aja!” pintaku.
Kami berdua lalu naik motor berboncengan menuju terminal. Setelah menurunkanku di terminal dia pun pulang. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan melambaikan tangan.
Aku segera membeli tiket lalu mencari kursi untuk beristirahat sambil menunggu bis datang. Di kursi terminal aku celingak-celinguk tidak tahu mau ngapain, maklum lah dengan hati yang tidak tenang kepikiran ayah yang telah berpulang, konsentrasiku terpecah. Tiba-tiba ada seorang perempuan tua dengan seorang anak kecil menghampiriku.
“Adik mau pulang ke Jogja ya? Kami berdua juga. Tuh bus nya.” kata perempuan itu sambil menunjuk sebuah bus yang tampak tidak terlalu penuh penumpang.
Aku menganguk, “Iya Bu, aku juga mau ke Yogyakarta.”
“Mari Dik..” ajaknya.
“Oh mari... mari...” jawabku tergesa-gesa mengikuti perempuan yang bergegas menuju bus kelas ekonomi itu.
Aku masuk bis dan mencari kursi, hanya ada beberapa orang di situ. Si ibu dan anak duduk berdampingan di tengah badan bus. Tersenyum aku menyapa mereka dan duduk di belakangnya.
“Minum Dik?” ibu itu mendatangiku dan menawarkan minuman. Tiba-tiba saja dia dan anaknya berpindah tempat di sampingku.
“Maaf Bu, saya tidak haus!” tolakku halus, aku teringat modus penipuan dengan cara menawarkan minuman yang ternyata telah dicampur obat tidur, bukannya curiga tapi tak ada salahnya untuk waspada dan tidak terlalu mempercayai orang lain. Selain itu aku juga takut kena beser, minum di malam hari yang dingin begini sering kali membuatku cepat ingin ke kamar kecil. Naik bis kelas ekonomi seperti ini mesti menunggu pom bensin atau terminal pemberhentian selanjutnya karena bis tidak menyediakan fasilitas toilet.
“Kenapa ibu dan anaknya pindah duduk di sampingku ya?” tanyaku dalam hati, tapi aku tidak sampai hati untuk menanyakannya.
“Oh ya, kenalkan nama saya Rumiyati dan ini cucu saya Arini Putri!” Ibu itu memperkenalkan diri.
“Gayus Setiawan!” aku terpaksa membalasnya, padahal aku sudah capek sekali dan ingin tidur.
“Ayah mana, Eyang?” tiba-tiba si kecil Arini merengek menanyakan ayahnya kepada si nenek.
Ibu itu cuma diam dan mengelus elus rambut cucunya, “Kita terpisah sama ayah, Nak... ntar kita cari lagi ya!”
Aku terkejut mendengar keterangan si ibu, terpisah? Apa mungkin si ayah ketinggalan bis? Sebenarnya aku ingin menanyakan bagaimana sampai terpisah tapi aku tahan, kupikir... kenapa mesti mengurusi urusan orang lain? Toh si anak kecil itu bersama neneknya dan ayahnya juga sudah dewasa. Mereka mestinya berhati-hati selama dalam perjalanan, kalau yang terpisah itu si anak kecil bagaimana? Lebih rumit kan?
Untuk menghindari persinggungan lebih jauh lagi, akupun pura-pura menguap berkali kali dan memejamkan mata. Itu cara yang paling mudah dan tepat untuk menghindari pembicaraan dengan orang lain. Namun karena badan memang benar-benar capek setelah seharian bekerja, akupun jatuh tertidur.
Kudengar walaupun samar-samar bus itu beranjak keluar terminal. Dengan mata yang lelah menahan kantuk aku melihat kondisi dalam bus yang tidak seperti biasanya. Para penumpang duduk manis di kursinya, tiada suara gaduh seperti bus pada umumnya. Tapi mataku benar-benar tidak bisa ditahan lagi, kantuk yang sedemikian mengelanyuti membuatku tertidur pulas.
Entah kenapa, dalam tidur aku bermimpi bertemu ayahku.
“Yus... bangun!” seru beliau.
Aku seperti terbangun, tapi tidak bisa berucap apapun. Aku tahu ayahku sudah meninggal. Aku mendengarnya dari adikku Yunita yang meneleponku. Saat itu aku baru saja pulang dari lembur kerja, selesai mandi aku melihat handphone ada panggilan tidak terjawab berulang kali dan ada pula sms yang masuk. Begitu kubaca ternyata kabar kalau ayah sudah berpulang. Aku telepon Yunita, dan tahulah aku kalau ayah meninggal karena kecelakaan.
Kulihat ayah tersenyum dan berkata, “Kamu naik bis yang lain saja!”
Seperti tersihir aku segera beranjak dari kursi untuk turun dari bis sesuai saran ayah. Namun tiba-tiba aku merasa semua menjadi berubah, ayah menghilang begitu saja padahal aku mengikuti langkah beliau menuju pintu bis. Pemandangan dalam bis juga memudar laksana kabut terkena sinar matahari. Orang-orang di dalam bis juga seperti menghilang bersamaan dengan menipisnya kabut. Kepalaku laksana gasing berputar putar membuatku menjadi pusing tujuh keliling. Mataku nanar... semua terlihat ganjil dan mustahil.
“Heh... bangun… bangun...!”
Aku merasakan bahuku diguncang guncang seseorang. Dengan mata yang masih seperti lem karena lengket aku coba membuka mata, kulihat seseorang berdiri di depanku.
“Adik tadi kan beli tiket jurusan Jogjakarta, ayo segera naik bis...!” ajaknya.
Aku masih belum bisa sepenuhnya sadar, aku memang melihat seorang pria tua berdiri di hadapanku, tapi aku tidak mengerti kondisiku... mungkin aku seperti orang linglung.
“Ucap Bismillah! Istigfar...!” pria itu memintaku mengucapkannya. Akupun mengikuti sarannya.
“Loh... Bapak kan yang tadi beli tiket jurusan Jogjakarta?” tanyaku.
Barulah aku sadar, tadi saat aku mengantri membeli tiket, pria itu juga mengantri, dia ada di depanku. Saat mengeluarkan dompet dari saku celananya dia tidak sadar menjatuhkan kunci. Aku memungut kunci itu dan memberikan kepadanya. Karena masih menunggu bis yang datang aku duduk di kursi panjang, aku tidak melakukan apa-apa kecuali merenung, pikiranku melayang mengenang ayah. Dan aku tidak sadar kalau aku tertidur.
“Terima kasih Pak... sudah membangunkanku!” ucapku.
“Sama-sama Dik, ayo segera naik bis. Tuh sudah datang!” tunjuk pria itu ke arah bis berwarna kuning.
Segera kami berdua bergegas menuju pintu bis dan naik ke dalamnya. Ternyata bis sudah terisi banyak penumpang hanya sisa satu deret tiga kursi yang kosong. Kamipun duduk berdampingan di kursi itu, satu kursi di tengah yang kosong bisa buat menaruh koperku.
“Maaf Pak, kursi kosong ini bisa buat menaruh tas?” aku meminta ijin terlebih dulu kepadanya, siapa tahu dia juga mau menaruh barang di situ karena kulihat dia juga membawa tas tapi tidak terlalu besar.
“Silakan Dik... tas saya cuma kecil saja kok, bisa saya taruh di pangkuan.” jawabnya ramah, lanjutnya, “Tadi Adik tertidur ya?”
“Iya Pak... untung ada Bapak yang membangunkanku, kalau tidak bisa tertinggal bis nih!” jawabku dengan nada lega.
Bapak itu tersenyum, lalu katanya, “Tapi tidur Adik tidak tenang...!”
Aku menghela napas, “ Iya Pak... karena ayahku meninggal.” jawabku lirih.
Dia terkejut lalu menatapku, “Maaf... ikut berbela sungkawa! Jadi ini mudik ke Jogja buat menghadiri pemakaman ayahnya Adik?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk.
“Oh... pantas tidur Adik tidak tenang tadi!”
Aku tersenyum getir. Aku jadi teringat akan mimpiku tadi, meskipun cuma mimpi tapi terasa kejadian nyata.
“Maaf Dik! Silakan kalau mau beristirahat kembali. Kelihatannya tidur adik tadi terputus, saya juga sudah mengantuk kok!”
“Terima kasih Pak!”
Aku mencoba memejamkan mata, bayangan rumah di Jogjakarta sudah di pelupuk mata. Dan tak terasa akupun jatuh tertidur.
Dini hari bis yang aku tumpangi sampai di terminal Yogjakarta. Karena angkutan kota belum mulai beraktivitas aku terpaksa menunggu sampai pagi menjelang. Kucari kursi panjang untuk beristirahat.
“Minum Mas?” seorang pedagang asongan menawari minum kepadaku. Tapi aku menggeleng, aku hanya ingin istirahat saja.
“Perlu penginapan murah Mas? Bisa kami antar?” seorang yang lain datang lagi.
“Maaf, saya menunggu angkutan saja!” jawabku.
Wah aku mesti pura-pura tidur biar tidak dihampiri orang-orang... begitu pikirku.
Di atas kursi panjang kuselonjorkan kakiku, ternyata ada sebuah koran bekas di atasnya, aku bermaksud mengambilnya dan akan kubuang, tapi seketika mataku tertuju di halaman koran yang tanpa sengaja aku lihat. Di situ terpampang berita kecelakaan bis jurusan Surabaya – Yogyakarta. Bis itu menewaskan sebagian penumpangnya. Ketika kulihat gambar bis yang terpampang besar di Koran itu, ingatanku kembali ke kejadian semalam. Bis itu sama persis dengan yang aku tumpangi bersama si ibu dan cucunya itu.
Bahkan ketika kubaca dengan lebih seksama di situ juga tertlis daftar nama korban kecelakaan yang meninggal, ada dua nama yang membuatku terpana, yaitu: Rumiyati dan Arini Putri. Beberapa saat aku tercenung dan tidak percaya, bagaimana mungkin aku naik bis maut itu? Apa jadinya kalau aku tidak mengikuti petunjuk ayah untuk segera turun dari bis? Hiiiii... tiba-tiba aku bergidik.
No comments:
Post a Comment