Thursday, July 18, 2019

AKIK KAKEK (Kudus)

Cincin akik ini dulu punya kakek, warna batu akik yang biru tua dan bening sangat kontras dengan rangkanya yang terbuat dari emas, membuatnya tampak mewah dan elegan. Jauh sebelum booming akik seperti saat ini ternyata kakek sudah tertarik untuk memilikinya. Aku kurang tahu berapa jumlah yang beliau punya, tapi menurut ibuku ada banyak karena kakek termasuk kolektor akik, namun sepeninggal beliau cincin-cincin itu dijual satu demi satu dan pada akhirnya hanya tinggal beberapa, salah satunya yang berwarna biru itu yang sekarang dimiliki oleh ibu. Menurut cerita ibu, nenek terpaksa menjualnya untuk menyambung hidup, kakek meninggal saat anak-anaknya masih di usia belia dan butuh biaya banyak untuk sekolah. Sayang aku tidak mengenal kakekku itu. Aku hanya tahu dari foto dan cerita ibu serta nenek. 

Aku ingat saat masih balita aku sering dibawa ibu berkunjung ke rumah nenek, meski berlainan kota tapi rumah ibu tidak begitu jauh dari rumah nenek, jadi bila pagi main ke sana sorenya bisa langsung pulang. Nenek senang sekali dengan kedatangan kami, maklum aku ini cucu pertama saat itu, adik-adik ibu yang semua lelaki belum ada yang berkeluarga. Aku sendiri juga gembira kalau diajak ibu mengunjunginya sebab aku jadi pusat perhatian dan kesayangannya, apa yang aku minta pasti dikasihnya. Aku masih kecil kala itu jadi yang kuminta juga tidak jauh dari makanan dan mainan karena hanya dua hal itu yang ada di pikiranku. 

“Putri main sendiri dulu, ya? Ibu mau bantu nenek memasak!” begitu kata ibu.

Ibu mendudukkanku di bangku panjang dan meninggalkan beberapa mainan di sampingku lalu dia masuk ke dalam rumah. Bangku itu oleh nenek ditempatkan di beranda belakang menghadap kebun. Rumah jaman dulu sebagian besar memang punya halaman yang luas. Begitupun punya nenek. Di kebun itu ditanami aneka tanaman bunga dan buah. Dari tempat aku duduk aku bisa melempar pandangan sekeliling menikmati alam, ditambah hembusan angin yang semilir membuat suasana bertambah elok dan menyegarkan.

Kata ibu, nenek juga suka menghabiskan waktu dengan duduk di bangku panjang itu sambil tiduran dan menikmati alam. Pantas ada sebuah bantal di situ, sebenarnya nenek tinggal sendirian di sini, memang sih ada pak Sonto dan istri yang membantunya, tapi mereka cuma kerja paruh waktu. Pagi-pagi mereka datang untuk membersihkan rumah dan halaman, mencuci pakaian serta pekerjaan rumah tangga lainnya, lalu setelah semua selesai mereka kembali ke rumah. Sorenya mereka datang lagi untuk melihat nenek serta melakukan pekerjaan lainnya. Untuk makanan nenek memilih memasak sendiri karena dia suka sekali memasak. Masakannya sangat enak. Ibu sering membawanya pulang.

Tapi namanya anak-anak, aku sering merasa bosan bila bermain sendirian. Kalau aku ngantuk aku biasanya langsung tertidur di situ dengan memakai bantal yang ada, namun bila masih terjaga aku sering kali naik bangku dan mencuri pandangan ruangan itu yang dulu punya kakek, tepatnya ruang kerja pribadi dimana beliau mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya dan di situ pula menempatkan barang-barang pribadinya seperti koleksi akiknya itu. Oleh nenek, ruangan itu selalu dikunci, aku bisa main dimanapun di dalam rumah kecuali ruangan itu, mungkin karena ada barang-barang peninggalan kakek di situ sehingga nenek takut kalau aku berantakin... heheh… namanya juga anak kecil. Kamar pribadi kakek terletak di belakang. Karena itu aku sering mencuri pandangan lewat kaca jendela. Ya bangku itu ditempatkan di bawah jendela. Makanya dengan berdiri di atasnya aku bisa melayangkan pandangan atas ruangan itu dari balik kaca. Jaman dulu memang tidak biasa dengan namanya teralis besi, jadi dengaan jendela yang lebar segala seuatu yang ada di dalam ruangan bisa terlihat dengan jelas. Di dalam ruangan ada almari kaca besar, di dalamnya kulihat ada beberapa keris, patung-patung, dan koleksi akik kakek. Batu akik itu bermacam-macam warna, dari yang berwarna cerah semacam biru, merah, kuning, hijau juga ada yang bermotif dan berwarna gelap seperti coklat, hitam, hijau tua dan masih banyak lagi. Namun satu yang mencuri perhatianku adalah yang berwarnaa biru itu dengan rangka emasnya.

“Putri sudah lapar? Makan dulu yuk!” ajak ibu sesaat kemudian.

Aku masih tertarik melihat suasana ruangan di balik kaca jendela sebenarnya, maka ibu terpaksa mengambilku dari bangku itu dan menggendongnya. Dia membawaku masuk ke ruang makan.

“Kalau masih belum lapar ya biar bermain dulu saja!” begitu kata nenek melihat aku cemberut di balik gendongan ibu.

“Kalau dipaksa makan juga Putri pasti tidak selera.” tambah nenek lagi.

Ibu menggeleng, “Putri ini susah makan Bu, kalau tidak dipaksa makan dan tidak ada teman yang menemani makan dia lebih tidak selera. Nanti yang repot aku juga!” begitu kata ibu.

“Tapi kan makanan juga belum siap benar, biar saja Putri main dulu di belakang!” dalih nenek, aku tersenyum senang mendengar ucapan nenek sedang ibu terlihat sedikit cemberut.

“Iya deh, Putri bisa main dulu. Tapi nanti kalau makanan sudah siap, harus ke sini bila ibu panggil!”

“Iya... iya!” jawabku senang. Turun dari gendongan aku segera berlari menuju belakang rumah.

Aku kembali naik bangku dan melihat ruangan kakek dari balik kaca jendela, jendela besar model arsitektur jaman Belanda dimana bangunan, pintu dan jendela berukuran besar besar jadi bila saja jendela itu terbuka maka pemandangan di luar langsung menyambutnya, selain udara yang lepas keluar masuk tanpa halangan, sinar matahari juga leluasa menyinari ruang. Dan bila dalam kondisi tertutup pun, bisa terlihat isi ruangan. Aku tidak lama menikmati pandangan isi ruangaan kakek karena kudengar ibu memanggilku untuk segera makan.

Tahun berganti, aku juga beranjak dewasa. Aku mulai jarang diajak ibu mengunjungi nenek karena kami pindah rumah mengikuti tugas ayah ke luar pulau, jarak yang jauh serta biaya hidup yang semakin tinggi membuat kami paling beberapa tahun sekali baru bisa pergi ke kota dimana nenek tinggal. Hingga suatu ketika aku diberitahu ibu sebuah berita yang mengagetkanku. Nenek sudah berpulang di saat usiaku belasan tahun dan masih duduk di kelas tiga sekolah menengah atas.

“Ibu besok akan pulang ke Kudus untuk menghadiri pemakaman nenek!” ujar ibu dengan nada sedih.

“Putri dan ayah bagaimana?” tanyaku penasaran. Sebenarnya aku ingin ikut serta.

“Putri kan baru menjalani ujian akhir di sekolah? Ayahmu juga ada tugas luar kota. Jadi hanya ibu dulu, nanti kalau ada waktu longgar kita bisa sama-sama mengunjungi makam nenek!”.

Ibu lalu mengemasi barang-barang yang akan dibawa, sebuah tas koper siap menampungnya. Aku tahu ibu sangat sedih karena ditinggal orang yang sudah melahirkan dan merawatnya. Begitupun aku, kenangan masa lalu saat aku main ke sana berkelabat di kepala, aku ingat nenek yang memanjakanku. Beliau selalu menyambutku dengan riang, mengajakku bermain-main dan yang paling aku suka adalah aku bebas bermain di halaman belakang serta mengintip isi kamar kakek.

Ibu menepati janjinya, saat ada liburan sekolah yang panjang, dia mengajakku pulang ke Jawa. Ayah tidak bisa ikut karena ada pekerjaan. Rencana kami akan tinggal sekitar semingguan di sana.
“Kita akan tinggal di rumah nenek ya?” tanyaku kala itu. Ibu menggeleng. “Kenapa?”

“Rumah itu sudah dikontrakkan, jadi kita akan menginap di hotel!”

Ternyata sepeninggal nenek, oleh ibu dan adik-adiknya rumah itu berikut mebel mebelnya disewakan. Letaknya yang strategis dengan arsitekturnya yang apik ala Belanda, tidak sulit untuk mendapatkan pengontrak. Ada sebuah keluarga keturunan asing yang tertarik. Kami juga diuntungkan karena mendapat harga sewa yang lumayan tinggi, maklum orang yang menyewa itu sudah terlanjur jatuh cinta dengan bangunan kuno nan artistik itu.

Petang hari kami sampai di hotel tempat kami akan menginap. Ibu sudah reservasi sebelumnya jadi kami sudah pasti mendapat kamar, liburan panjang begini kalau tidak pesan tempat jauh jauh hari sebelumnya bisa kehabisan.

“Kapan kita akan ke makam nenek?” tanyaku sambil aku merebahkan badan di atas kasur. Capek juga ternyata seharian dalam perjalanan.

“Besok sore!” jawabnya pendek sambil menutup pintu kamar. Dia lalu menempatkan koper besar ke dalam almari.

“Kok tidak di pagi hari saja sih?”

“Nggak usah tergesa, toh kita semingguan di sini!”

Aku terdiam, entah mengapa aku begitu ingin segera sampai di makam nenek karena ini kali pertama bagiku.
“Besok pagi kita keliling kota dulu naik becak, siangnya mampir ke pasar gede di pusat kota untuk membeli bunga, nah sorenya kita ke makam nenek!”

 “Wah keliling kota naik becak? Asyik tuh...!” seruku senang, ibu tersenyum mendengar kataku.

Setelah keluar untuk makan malam, kami langsung kembali ke hotel untuk beristirahat... maklum lelah sekali. Malam pun berlalu dengan cepat, tahu-tahu saat membuka mata, sinar matahari sudah menerobos masuk lewat kisi kisi angin.

“Wah kesiangan nih!” gerutuku dalam hati.

Kuambil jam tangan yang aku taruh di meja dan melihatnya, ternyata sudah pukul delapan. Kualihkan pandangan ke tempat tidur satunya. Tidak ada, rupanya ibu sudah ada di kamar mandi, bunyi gemericik air terdengar. Kumbil remote dan kunyalakan televisi, menunggu ibu selesai mandi, aku menonton berita.

“Sudah bangun, Put? Gantian mandi sana!” ujarnya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

“Oke...” seruku pendek, aku lalu bergegas ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian kami lalu keluar kamar, kunci kami titipkan di ruang resepsionis. Tidak sulit untuk mencari becak, karena di depan hotel sudah berderet becak yang mangkal. Ibu tawar menawar harga dengan salah satu tukang becak, selanjutnya kami berkeliling kota dengan naik becak.

“Wah, sudah banyak perubahan, ya!” seruku, seraya melihat-lihat pemandangan sekeliling. Beberapa bangunan besar yang dulu belum ada ketika aku masih kecil bermunculan.

“Kayaknya baru kemaren ya, Bu? Sudah banyak perubahan!”
“Mhmm…” gumamnya.

Siangnya kami mampir ke pasar untuk membeli bunga tabur. Pasar yang kami tuju itu terletak di pusat kota, dari luar terlihat bagus karena sudah direnovasi menjadi bangunan modern. Sedang bagian dalam meski sudah tertata pembagian area berjualan tapi kesan bersih dan rapi masih agak kurang. Mungkin dengan berjalannya waktu, pasar tradisional ini juga akan ikut berbenah mempercantik diri sehingga membuat para pengunjung nyaman dalam berbelanja.

Ibu membeli satu paket bunga di dalam keranjang bambu, bunga mawar warna merah dan putih berpadu dengan bunga kantil yang harum.

“Cuma beli satu keranjang saja, Bu?” tanyaku.

“Ah, bunga kan cuma sebagai simbol, yang utama kita mesti mendoakan nenek agar arwahnya diterima di sisi-Nya.” jawab ibu.

Aku jadi ingat pelajaran agama di sekolah bahwa tugas kita bagi anak dan keturunannya untuk memanjatkan doa bagi arwah orang tua kita, sebab kalau sudah meninggal yang dibutuhkan memang doa kita semua.

“Nanti kita mampir ke rumah nenek nggak Bu?” tanyaku ketika kami keluar dari area pasar menuju tukang becak yang setia menunggu di luar.

“Loh, kan rumah nenek sudah dikontrak orang, sampai jangka waktu tertentu yang sudah disepakati rumah itu sudah jadi hak orang yang menyewanya...”

“Tapi Putri kangen Bu, sudah lama sekali nggak nengok rumah nenek!” rengekku.

“Ya sudahlah, nanti kita lewat di depan rumahnya saja ya sebagai obat kangen!”

Akhirnya kami kembali dulu ke hotel untuk istirahat sejenak dan makan siang, kami sudah pesan ke tukang becak itu untuk datang lagi nanti sore selepas Ashar. Bunga dalam keranjang itu kami taruh di atas meja, semerbak wangi harum bunga seketika memenuhi ruangan.

“Putri pingin makan apa?” ibu menawariku.

“Makan soto Kudus pak Darto aja, Bu!” jawabku.

“Wow... kamu masih ingat juga ya dengan makanan kesukaanmu waktu kecil!” 

Aku mengangguk, soto Kudus pak Darto itu dulu kesukaanku. Saat menengok nenek, ibu sering mengajakku ke kota buat belanja kebutuhan nenek sekalian mampir makan soto itu.

“Ya sudah, kita makan siang di situ saja. Nanti kita bisa jalan kaki, kan tidak terlalu jauh dari Hotel tempat kita menginap!”

Warung soto itu ternyata masih sama seperti dulu, bentuk bangunan dan perabotannya tidak banyak perubahan, memang sih sebagian besar perabot sudah diganti tapi modelnya masih seperti dulu, meja panjang yang diapit dengan dua kursi panjang di kedua sisinya. Ada sekitar enam set meja kursi di warung itu. Bangunan warungnya juga masih sama, separuh berujud anyaman bambu dan sisanya dibiarkan tanpa penutup, membuat udara leluasa keluar masuk tidak perlu ada kipas angin apalagi AC. Katanya sih udara asli lebih baik daripada kipas dan AC.

Tidak banyak pengunjung kala itu, karena jam makan yang sudah lewat. Kami datang sekitar jam dua siang. Biasanya sih antara jam sebelas sampai jam satu warung itu penuh orang, kebanyakan para pekerja yang sedang istirahat makan siang.

“Gimana sotonya? Masih sama atau ada perubahan nih?” pancing ibu.

“Masih enak seperti dulu, Bu... suasananya juga masih sama!” jawabku puas. Ini bukan sekedar makan, tapi juga bernostalgia.

Puas menyantap makan siang, kami kembali ke hotel. Letaknya tidak terlalu jauh hanya sekitar seratus meteran saja. Kami berjalan dengan santai sambil menikmati suasana kota.

Sore hari, kami dengan naik becak yang sudah dipesan sebelumnya menuju pemakaman. Arealnya terletak di perbatasan desa, agak jauh dari pemukiman penduduk. Berdampiungan dengan persawahan yang membentang di kanan kiri serta belakang, membuat areal pekuburan itu tampak asri, apalagi sejumlah pohon kamboja tumbuh subur dan bunganya bermekaran.

Ibu langsung membimbingku menuju makam nenek yang terletak di bagian tengah, makamnya tampak bersih dan terawat.

“Makam nenek bersih dan rapi ya Bu!” seruku takjub, karena melihat makam di sekitarnya yang sebagian kurang terawat, beda benar dengan makam nenek.

“Oh iyalah, aku sudah meminta pak Sonto untuk senantiasa menjaga kebersihannya. Dia tidak hanya merawat makam tapi juga bertugas mengawasi rumah peninggalan nenek. Aku sudah minta kepada penyewa agar pak Sonto bisa jadi tukang kebunnya. Untung mereka tidak keberatan. Tahu sendiri pak Sonto dan istrinya kan pekerja yang rajin dan baik. Banyak yang cocok!” jawab ibu panjang lebar.

“Oh iya, ini untukmu.” ucap Ibu seraya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari tasnya. 

“Kata nenek, kamu suka sekali melihat barang ini.” lanjutnya sambil membuka bungkusan itu.

“Hah... itu kan cincin akik milik kakek!” seruku tidak percaya.

Ibu tersenyum, “Nenek pernah cerita ke Ibu, kalau waktu kecil dulu kamu suka berdiri di atas bangku dan mengintip ruang kerja kakek. Kamu suka menunjuk-nunjuk cincin akik itu terutama yang berwarna biru. Ini buktinya!”

Ibu menyerahkan cincin akik warna biru dan pembungkusnya yang ternyata hasil gambarku waktu kecil dulu.
“Ini gambarku ya, Bu?” tanyaku tak percaya.

Ibu mengangguk, “Iya, nenek bahkan menyimpannya dan memintaku untuk memberikannya kepadamu kelak!”

Kuamati gambar itu, gambar khas anak kecil. Tidak beraturan tapi jelas terlihat gambar sebentuk cincin akik dan diwarnai warna biru dengan pastel krayon.

Aku terharu, tidak kusangka nenek begitu memperhatikanku. Cincin akik warna biru itu langsung kusematkan di jariku, meski sedikit kebesaran tapi aku senang memakainya, ada nilai sentimental di situ.

Kemudian kami menabur bunga di atas makam nenek, dilanjutkan berdoa. Sekelebat bayangan nenek hadir di benakku. Dalam hati aku memohon kepada Tuhan agar arwah nenek diterima dan dilancarkan di dunia sana. 

Semakin sore makin banyak orang yang datang untuk menabur bunga. Setelah selesai kamipun berlalu. 

“Pak, nanti mampir dulu ke rumah loji dekat kelurahan itu, ya!” pinta Ibu.

“Oh rumah besar model Belanda yang disewa bule itu, ya?” timpal si tukang becak. 

Sepertinya dia tahu benar kalau penyewa rumah itu orang asing. Tapi kuduga dia tidak tahu kalau kami ini pemiliknya. Tentu saja karena kami jarang ke sini.

“Mister yang tinggal di situ juga sering naik becak kok, aku dan rekan-rekan yang lain sudah sering kali mengantar mereka sekeluarga.” tambahnya lagi.

Pelan tapi pasti, becak itu dikayuh menuju rumah nenek, kami tidak perlu memberi arahan karena dia sudah tahu dengan pasti letak rumah itu. Sebelum sampai, ibu sudah memberi pesan lewat sms ke pak Sonto bahwa kami akan mampir ke sana sebentar. Dari jawaban sms-nya kami tahu kalau pak Sonto sudah ada di sana sedang mengerjakan tugas membersihkan halaman rumah.

“Berhenti di sini dulu Pak, ini mau mampir sebentar, ditunggu ya!” seru ibu meminta tukang becak itu menghentikan becaknya.

Kami turun lalu berjalan menuju pagar. Kulihat pak Sonto sedang duduk di teras depan, begitu ia melihat kami, dia langsung menyambut.

“Sore, Bu Ningsih!” sapanya sambil membuka gerbang. Dia lalu menyalami ibu dan aku.

“Sore juga, kabar simbok gimana?” balas ibu menanyakan istri pak Sonto.

“Kami sekeluarga sehat sehat saja Bu, istri baru pergi ke rumah saudara di kampung, tapi katanya besok mau pulang, kan Bu Ningsih mau menengok kami besok!”

“Iya Pak, rencana sih besok baru mau ke sini, tapi Putri nya sudah kangen ingin lihat rumah tua ini!”

Pak Sonto tersenyum lalu pandangannya beralih kepadaku.

“Wah Nak Putri sudah besar, ya! Kangen dengan rumah nenek ya?”

Aku tersenyum malu.

“Maaf Bu Ningsih, mister bersama keluarga lagi pergi keluar kota. Jadi rumah juga terkunci, mungkin kalau...”

“Ah santai ajak Pak, kita juga cuma lihat sekeliling halaman, buat obat kangen saja. Lagipula rumah ini kan sudah disewa, jadi ya itu sudah hak pengontrak!”

“Nak Putri nggak apa-apa kan?” tanya Pak Sonto

Aku mengangguk, “Cuma pingin lihat sekilas saja kok, Pak!” jawabku membenarkan pernyataan ibu..

Akhirnya kami bertiga berjalan mengitari halaman rumah, pak Sonto menjelaskan ke ibu kondisi rumah itu.

“Semua terawat dengan rapi kok Bu, perabotan di dalam rumah juga terjaga. Kalau saja ibu memberitahu bakal mampir ke sini menengok rumah tentu aku akan bilang ke mister, jadi ada kesempatan buat lihat bagian dalam, kan sayang sudah dari jauh cuma lihat luarnya saja!”

“Ah, tidak apa-apa Pak. Seperti yang sudah aku bilang tadi, rumah ini sudah disewakan!”

Lalu mereka berbincang tentang segala hal mengenai rumah, perubahan kota dan lain lainnya. Aku jadi kurang tertarik dengan pembicaraan mereka. Rasa bosan mulai menghinggapiku.

“Bu, Pak Sonto... Putri mau main ke belakang dulu, ya?” selaku.

“Loh kenapa Put?” tanya Ibu.

“Putri mau lihat halaman belakang lagi, masih kangen sama kebun buah-buahan di belakang!”

“Silakan Nak Putri!” jawab pak Sonto.

Aku lalu berlari meninggalkan mereka, langsung menuju halaman belakang. Ternyata kebun itu tidak banyak perubahan, beberapa pohon buah-buahan masih berdiri di sana. Pohon sawo yang ada di samping kebun malah terlihat makin lebat, sedang pohon mangga di sisi satunya juga semakin tinggi. Namun mataku tentu saja tertuju dengan bangku panjang yang tetap ada di tempatnya. Kulihat bangku itu ada di teras belakang menghadap kebun sama seperti dulu. Dan tetap ditempatkan di bawah jendela besar itu. Aku jadi ingin duduk di situ untuk mengenang masa kecilku.

Kuamati bangku itu, masih terlihat kokoh. Hanya saja warna kayu berubah sedikit kusam, dan rasanya tidak puas hati ini kalau tidak mengintip ruang kerja kakek dari balik jendela. Kali ini aku tidak perlu berdiri di atasnya, cukup mendongakkan kepala saja.

 Aku duduk santai sambil pandangan mataku aku tebar di sekeliling ruangan itu. Sekelebat masa lalu pun hadir, aku ingat benar isi ruangan itu, meski mebel-mebel besar masih ada di tempatnya tapi isinya sudah berbeda. Kalau dulu almari kaca besar kakek berisi patung patung, keris dan koleksi akik, kini isinya berupa koleksi porselen. 

Sinar matahari mulai tenggelam, suasana pun menjadi berubah temaram karena lampu-lampu belum dihidupkan. Memang sih belum terlalu gelap karena bias sinar matahari masih terlihat di ufuk timur apalagi cuaca juga cerah. Tidak seberapa lama. Kudengar suara ibu dan pak Sonto dari arah samping rumah akupun segera bergegas berlari menuju mereka.

“Putri!” seru ibu, “Sudah puas kan lihat rumah nenek? Sudah petang nih, kita pulang sekarang ya?” ajak ibu.

“Iya, Bu!” jawabku pendek.

“Tidak banyak perubahan kan Nak Putri?” tanya pak Sonto.

“Iya, Pak... masih seperti dulu, pohon-pohon buahnya juga masih ada tuh!”

Kami lalu berjalan menuju gerbang depan tapi belum sampai sana tiba-tiba ibu berseru.
“Loh, tasmu mana?”

Baru aku ingat, aku tadi menaruh tas di teras belakang, aku menaruhnya di atas bangku panjang itu.

“Oh iya, masih ada di belakang, kelupaan… aku ambil dulu ya, Bu!”

“Awas jangan sampai ada yang tertinggal, aku tunggu di depan ya.”

Aku berlari cepat menuju belakang untuk mengambil tas yang tertinggal, dan benar, tas itu masih ada di bangku itu, aku segera mengambilnya dan bermaksud segera kembali menemui ibu di depan. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu di dalam ruangan itu yang membuatku memalingkan muka kembali. Aku terkejut... di dalam ruangan itu kulihat sosok seorang pria tua berdiri memandang keluar tepatnya menatapku. Padahal rumah itu kata pak Sonto terkunci karena pemiliknya sedang keluar kota, penasaran akupun menghampiri kaca jendela, dengan seksama karena pencahayaan sangat minim kuamati sosok itu, eh... dia tersenyum ke arahku dan menunjuk ke jari tanganku yang mengenakan cincin... akupun jadi melongok ke akik warna biru yang aku kenakan, namun ketika kupalingkan pandangan ke orang tua itu lagi, sosok itu sudah menghilang. Aku terkesima dibuatnya, kucoba mengingat ingat, karena aku merasa pernah mengenalinya, beberapa saat kemudian baru aku sadar dan ingat. Ibu pernah menunjukkan foto kakek saat aku melihat-lihat album foto di rumah nenek. Lelaki tua yang barusan aku lihat... memang benar sosok kakek almarhum.

No comments:

Post a Comment

La Planchada