Friday, July 19, 2019

Angkot Siluman (Banten)

Kulihat Ani masih berkutat dengan pekerjaannya, tumpukan file dan kertas kerja menumpuk di mejanya. Kasihan juga dia sebenarnya, tapi memang karakter dia seperti itu, suka menunda-nunda pekerjaan jadinya pas waktu tenggat hampir habis kelabakan lah dia. Tapi dia itu teman yang baik menurutku, selain selera humornya, dia itu bisa dipegang, maksudnya kalau kita mau curhat atau cerita yang agak pribadi dia pasti bisa menjaga, tidak bocor kemana-mana.

“Ani, wah mejamu ruarr biasaaa...” ledekku sambil duduk di depannya.

Ani cengar-cengir, “Bantuin dong... jangan cuma meledek!” pintanya dengan wajah memelas.

“Kamu sudah selesai kan? Takut nih sendirian di kantor.”

“Heeh... no lunch for free!” balasku.

“Huuu... ok deh, mau minta apa nih? Nganterin jalan-jalan… nganterin shopping… atau apa nih?” gantian Ani yang meledekku. Dia tahu aku ini jarang sekali beli barang yang tidak sesuai kebutuhan, bukan apa-apa memang kondisi keuanganku cekak aja.

“Nganterin window shopping aja lah, jangan sering-sering shopping… berat diongkos...!” sergahku kalem tapi sedikit menyindirnya.

“Bisa aja kamu, iyalah ntar tanggal muda kita jalan-jalan. Aku yang traktir makan minumnya!” jawab Ani.

“Nah itu baru ok!” kataku sambil menyorongkan dua jempol jariku ke arah dia. Kamipun tertawa bersama.

Sesasat kemudian kami tenggelam menyelesaikan tugas Ani. Tugasku sudah selesai sejak tadi tapi nggak sampai hati rasanya meninggalkan Ani sendiri di kantor. Dia itu teman baikku di kantor dan di kota ini. Ia masih tinggal dengan orang tuanya, sedangkan aku mesti kost. Makanya uang gaji dia utuh... hehehe... dia bisa kredit motor, belanja ini itu selepas terima gaji. 

Sedang aku? Sebelum terima uang saja daftar kebutuhan sudah nongol duluan, ada sih sisa sedikit tapi... huh aku jadi teringat bunda di kampung yang suka sms, yang isinya selalu sama... minta bantuan dana buat ini itu. Ah sudahlah... kok jadi ngelantur begini. Ntar nggak bisa konsentrasi malah makin lama menyelesaikan tugasnya.

Akhirnya selesai juga... setelah merapikan meja, kami berdua keluar ruangan menuju area parkir.

“Wah lembur ya, Mbak!” sapa pak Tito, satpam kantor kami.

“Yoi... tapi sudah selesai kok.” jawabku 

“Iya tinggal Pak Tito yang masih lembur… heheheh.” sambung Ani setengah bercanda.

Pak Tito hanya tersenyum mendengar celotehan Ani, dia sudah lama kerja di sini jadi dia sudah hafal dengan karakter orang-orang di kantor ini. Apalagi para pekerja di sini biasanya cukup lama bisa bertahan. 

Sesampai di ruang parkir hanya ada beberapa motor dan mobil yang tersisa, sebagian sudah pada pulang jadi area itu terasa cukup lengang. Paling itu motor dan mobil karyawan yang lembur seperti kami ini... heheheh.

“Masih jam tujuh malam... mampir mall yuk? Window shopping aja… kan tanggal tua!” ajak Ani.

“Mmmhmm...” Aku sebenarnya enggan untuk menanggapinya. Kalau sudah masuk toko, aku cuma bisa ngiler melihat barang-barang yang terpajang di situ. Nggak sanggup beli hanya bisa melihat-lihat saja.

“Ayolah, bentar aja. Nanti jam delapan tepat cabut deh!” rajuk dia.

“Terserah kamu ajalah!” jawabku pendek. Mau tak mau aku mesti ikut nih, namanya juga numpang membonceng motornya. Tapi Ani tahu diri juga kok, dia mengerti kalau gerbang kostku ditutup jam setengah sepuluh malam, maklum kost putri, jadi ada aturan aturan tak tertulis yang mesti diikuti. 

Sesampai di mall, Ani berubah acara, dia tidak jadi window shopping, tapi dia mengajakku makan minum di sebuah gerai makanan. Katanya lapar... padahal tadi jam lima sore sudah diberi nasi box oleh pihak kantor. Ooh... ternyata hanya ingin ngemil saja dia. Setelah memesan orange juice dan dua potong kue kami duduk di salah satu kursi di gerai itu.

“Wah aku nggak enak nih, selalu kamu traktir!” ucapku sesaat setelah duduk.

“Siapa juga yang bilang aku selalu traktir kamu? Sudahlah nggak usah dipikirin, santai aja.” jawab Ani ringan. Dia lalu menyeruput orange juicenya.

“Eh kayaknya, kamu dapat surat kan minggu kemaren? Dari siapa sih? Hari gini masih kirim kirim surat via pos? Pacar dari kampung ya?” gurau Ani.

“Ah bukan, dari bundaku dari kampung!” jawabku pendek. Malas rasanya membicarakan masalah keluarga sudah beberapa hari ini aku terima sms dari bunda tapi sengaja tidak aku balas. Eeh... sekarang malah kirim surat.

“Oops... sorry!” kata Ani, dia mengerti permasalahanku. 

Saat minum orange juice, pikiranku melayang, membandingkan hidupku dengan Ani memang berbeda, meski gaji yang kami terima sama tapi aku mesti rajin menyisihkan sebagian penghasilanku untuk membantu bunda di kampung. Sebenarnya aku ikhlas loh bisa membantu, apalagi ayah juga sudah berpulang semenjak aku masih balita. Aku tidak ingat sama sekali figure ayah, hanya lewat foto-foto saja aku mengenalnya, jadi aku memahami betul beratnya bunda menghidupi kami sekeluarga.

Dan sekarang setelah kami semua dewasa, ternyata beban hidup bunda juga terus berlanjut, bagaimana tidak? Anak-anaknya tidak ada yang dibilang sukses. Kakak lelaki tertua bernama Yudi, dia sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Tapi sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor tentu sudah berat untuk menghidupi keluarganya sendiri. Lalu kakak yang kedua bernama Wawan, dia juga sudah bekerja dan menikah. Setali tiga uang dengan kakak tertua, kak Wawan juga dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. 

Sedang kakak ketigaku, kak Adi... wah payah dia. Belum menikah sih tapi dia tidak mau bekerja, jadilah bunda terbebani dengan kondisi ini. Sedang Doni, kakak keempat sudah berpulang ke padaNya sekitar dua tahun lalu karena sakit keras. Akhirnya aku jugalah yang jadi tumpuan bunda untuk sering-sering membantunya. Untuk Bunda aku tidak masalah, tapi untuk kak Adi? Dia kan lelaki dan sudah dewasa pula, mestinya harus bisa menghidupi diri sendiri. Masak selamanya mau begini terus?

“Hayooo... ngelamun ya? Jangan suka melamun ntar dimasukin...”

“Setan ya?” potongku.

“Bukan... tapi dimasukin lalat... hahahahah” jawab Ani sambil tertawa keras.

Aku ikutan tertawa. Lalu kami asyik mengobrol ringan ini itu sambil makan dan minum. Di saat kami asyik menghabiskan waktu tiba-tiba handphone Ani berbunyi.

“Hallo... Ma...!” sapa Ani begitu dia membuka handphone. 

Wah dari mamanya rupanya, biasa kalau Ani ditelpon keluarga kalau sampai malam belum pulang, dan Ani selalu bilang lembur... padahal sedang bersantai ria menghabiskan waktu. Namun tiba-tiba raut muka Ani berubah, wajahnya kelihatan tegang dan cemas. Telepon dari seberang seperti menjelaskan sesuatu yang tidak dia perkirakan sebelumnya.

“Iya... Ma... aku segera pulang!” Ani mematikan handphone, lalu menarik napas panjang.

“Ada apa, An? kayaknya berita berat!” seruku ikut ikutan cemas.

Ani terdiam sesaat lalu katanya, “Kakakku Anton mengalami kecelakaan... sekarang ada di rumah sakit. Mama memintaku segera pulang agar di rumah ada yang jaga!” urai Ani dengan nada sedih.

Aku termangu sebentar mendengar ceritanya, lalu ucapku, “Ya sudah... kamu pulang sekarang saja!”

Tapi belum selesai aku bicara Ani sudah memotongnya, “Tapi aku kan janji mau mengantarkanmu pulang ke kost?”

“Aduh kamu tuh... kasihan mamamu dong! Santai sajalah... aku bisa naik angkot, biasanya angkot sampai jam sembilan kok, jadi masih bisa!” terangku. 

Sebenarnya aku dan Ani searah jalan pulang tapi cuma setengahnya, sampai perempatan ujung kota kami mesti berpisah, Ani berbelok arah ke selatan sedang aku menuju kost ke arah utara. Kalaupun aku nebeng dia sampai perempatan, risiko buat mencari angkutan lanjutan, apalagi malam-malam begini, mendingan aku mencari angkot di tempat mangkalnya... tidak jauh dari sini, atau bisa juga aku menghentikan di depan mall ini, jalur angkot ada yang lewat sini dan kebetulan langsung bisa ke kost tanpa mesti ganti angkutan lagi.

“Salam buat keluarga ya, An? Semoga kakakmu cepat sembuh!” ucapku kepadanya saat kami hendak berpisah.

Ani tersenyum dan mengangguk, “Sampai besok, ya?” jawabnya.

Kami lalu berpisah. Ani pergi ke parkiran sedang aku berdiri di depan mall menunggu angkot datang. Tak seberapa lama angkot yang aku tunggu datang, aku segera naik ke dalamnya, tidak banyak penumpang saat itu, hanya sekitar empat orang saja, maklum sudah malam... dan saat ini sudah banyak orang yang berganti armada motor. Sebenarnya aku sudah berencana membeli motor secara kredit, tapi aku masih ragu karena kondisi keuanganku sungguh mepet. Aku belum lama bekerja jadi tabunganku juga belum cukup, perhitunganku sih mesti ada dana cadangan tiga bulan buat hidup baru berani ambil kredit motor. Aku takut kalau sampai kredit macet motor bisa diambil kembali... lah rugi dong.

Angkot yang aku tumpangi berjalan dengan lambat dan santai karena sekalian mencari tambahan penumpang. Para penumpang kulihat terkantuk-kantuk karena kelelahan. Kalau dari pakaian yang dikenakan rata-rata mereka seperti aku, karyawan swasta.

Pelan tapi pasti, angkot meninggalkan pusat perkotaan menuju pinggiran. Suasana yang tadinya ramai berganti sepi, memang sih ada beberapa motor atau mobil yang lewat tapi itu cuma beberapa saja. Aku memang mencari kost yang ada di pingggiran karena harganya miring. 

“Loh... ada apa ini?” teriak seorang penumpang. 

Aku jadi tersadar dari lamunanku, ternyata angkot berhenti mendadak dan ada asap tipis keluar dari arah depan. Kami semua keluar termasuk sopir dan kernet.

“Wah... maaf... mobilnya mogok!” seru pak sopir.

“Yaaaah... gimana nih!” kami para penumpang bersungut-sungut.

Mungkin karena nggak enak hati dan takut diomeli, sopir itu minta kernet mengembalikan uang kami, terpaksalah kami berpencar mencari jalan pulang sendiri sendiri.

Aku mencoba mencari bantuan, kuambil handphone dari dalam tas dan kucoba menelpon teman kostku, siapa tahu ada yang bisa menjemputku di sini. Sudah malam begini agak sulit mencari angkutan karena jarang ada yang lewat. Untuk ikutan nebeng motor atau mobil yang lewat aku malah takut sendiri.

“Sial... sial...!” gerutuku, ketika kulihat layar handphone meredup... ternyata batrenya habis.

Terpaksa aku berjalan kaki menuju kost, belum begitu malam sih... baru jam delapan lebih lima belas menit. Aku perkirakan kurang dari satu jam aku bisa sampai kost jadi pintu gerbang belum ditutup.

Suasana malam begitu sepi, angin juga sepoi sepoi menerpa diriku dan mempermainkan rambutku. Hawa dingin mulai menusuk tubuhku karena aku tidak memakai jaket. Entah berapa lama aku berjalan tapi dari belakang kulihat nyala mobil… ah paling hanya mobil yang lewat begitu pikirku.

Eh... ternyata bukan mobil tapi angkot... aku segera melambaikan tanganku sebagai tanda aku bermaksud naik. Angkot itu lalu berhenti di depanku, aku segera masuk ke dalamnya. Cukup banyak penumpangnya, kulihat tiap deret kursi ada paling tidak satu atau dua orang. Aku duduk di salah satu kursi yang berisi satu orang. Setelah membayar ke kernet aku segera duduk dengan santai. Untunglah ada angkot yang lewat jadi aku tidak perlu berjalan kaki jauh, maklum aku sudah capek sekali setelah seharian kerja dan lembur pula.

Angin yang berhembus dari arah pintu membuatku semakin mengantuk. Ya aku duduk di kursi persis di samping pintu masuk.

“Pak, saya turun di perumahan Lembayung Asri ya!” seruku kepada kernet.

Kernet itu mengangguk lalu kembali mengalihkan pandangan keluar mencari penumpang lain. Sebenarnya aku agak heran dengan suasana angkot ini, karena tidak ada suara keriuhan yang kudengar baik dari para penumpang maupun sopir dan kernet. Mereka tampak diam membisu. Ataukah karena sudah malam sehingga mereka merasa lelah? Kernet yang biasa teriak-teriak mencari penumpang juga tampak berdiri diam saja bergelantung di pintu, para penumpang juga seakan di dunianya sendiri sendiri, diam tanpa ada interaksi satu sama lain. Kalau sopir sih aku paham... dia mesti konsentrasi menjalankan mesin.

“Pulang kerja, Pak?” kucoba membuka percakapan dengan bapak tua yang duduk di sampingku.

Bapak itu memalingkan wajahnya sebentar ke arahku, lalu mengangguk cepat dan kembali menghadap kedepan. Aneh... kenapa wajah bapak itu terlihat pucat dan tidak ada sinar kehidupan? Ah mungkin karena sudah tua dan sedang sakit... begitu aku menghibur diri. Aku jadi malas mengajaknya bicara, mendingan aku tiduran aja melepas lelah... tidur-tidur ayam begitu istilahnya, toh aku sudah bilang ke kernet untuk menurunkanku di perumahan Lembayung Asri. Nyaman dan enak sekali rasanya, sudah badan dalam kondisi capek, ditemani angin yang menerpaku serta suasana angkot yang sunyi tanpa suara… klop deh.

“Aduh... ada apa ini!” teriakku saat kepalaku membentur sesuatu yang keras. Kuraba kepalaku? Terasa sedikit mengeras dan menyembul... Aku mencoba membuka mata, meski terasa begitu berat karena rasa kantuk masih menggelayuti. Semburat tipis cahaya matahari terlihat dari ufuk timur, pertanda pagi sudah menjelang, kugosok-gosok kelopak mataku dengan tangan karena aku merasa ada yang aneh: benarkah ini kenyataan ataukah hanya mimpi? 

Kulirik jam yang melingkar di tanganku... jam enam pagi lebih beberapa menit. Aku belum sepenuhnya sadar... kulihat sekeliling seperti masih samar-samar.

Aku segera bangkit dari dudukku karena aku merasa pemandangan sekelilingku sungguh aneh, aku merasa tidak ada di kamar kostku tapi juga tidak di dalam angkot. Terakhir kuingat aku masih di angkot, tapi kini aku dimana ya? Kutajamkan mataku dan aku terbelalak... kenapa aku bisa ada di tengah areal pekuburan? Aku benar-benar tidak percaya, aku bahkan sampai mencubit pipiku berkali kali sambil terus mengucap istigfhar... ya ternyata benar! Aku memang ada di pekuburan. 

Masya Allah... jadi semalam aku naik angkot siluman? Dan kepalaku terbentur salah satu batu nisan yang ada di situ. Gemetaran aku segara berdiri... Kulihat pemukiman penduduk berada tidak terlalu jauh dari sini... aku harus segera mencapainya. Sambil terus berdoa dalam hati aku berlari terbirit-birit meninggalkan areal pekuburan itu.

No comments:

Post a Comment

La Planchada