Rumah itu dulunya milik seorang saudagar kaya di Medan, itu cerita nenekku. Sang suami adalah seorang pedagang yang sukses, istrinya sangat cantik dan ketiga anaknya juga pintar. Di masa kejayaanya dialah yang paling bersinar di kampung ini, artinya dialah yang paling kaya dan juga dermawan. Setiap kali ada acara perhelatan di desa dialah yang paling banyak menyumbang. Tentu saja penduduk desa sangat menyukai dan menyanjungnya, sudah kaya eh dermawan pula. Saudagar itu sungguh jadi panutan, banyak orang yang mengiginkan kehidupan seperti itu.
Namun siapa sangka, sesuatu yang tampak menawan di kulit luar ternyata berbeda dari kenyataan. Semua itu tidak akan terkuak kecuali setelah adanya kejadian mengenaskan di suatu malam. Keluarga itu secara keseluruhan dibantai secara sadis, mereka semua meninggal. Awalnya warga mengira ada perampokan di rumah itu, anehnya tidak ada barang yang dicuri... semua utuh. Pihak kepolisian tentu jeli terhadap kasus itu, ternyata semua yang terlihat hanyalah kamuflase saja.
Dia bukanlah seorang pedagang sukses tapi seorang kepala perampok yang menjalankan aksinya dengan sadis, mereka tidak mengenal ampun bagi korban korbannya. Mungkin itu adalah karma, atau bisa jadi ada orang yang balas dendam mengingat tidak ada motif ekonomi disitu... tidak ada barang yang dicuri di rumah itu. Sampai kini kasus itu tidak terpecahkan, siapa yang melakukan pembunuhan satu keluarga itu belum diketahui.
Akhirnya rumah itu jadi terbengkelai karena tidak ada yang menghuni, bahkan dijual murah pun tidak ada yang mau membeli... lha siapa pula yang mau tinggal di rumah bekas pembantaian?
Dari luar rumah itu memang kelihatan tidak terlalu besar karena bentuk tanahnya yang “ngantong” yaitu kecil di bagian depan tapi besar di bagian belakang, apalagi pagar tembok tinggi juga mengelilingi rumah itu, bagian depan cuma ada pagar besi yang juga lumayan tinggi dan disitu tertempel papan yang sudah usang dengan bertuliskan kata “DIJUAL”. Lalu ada sedikit halaman untuk area parkir motor dan mobil bagi para tamu si saudagar, terus ada teras kecil yang disulap menjadi ruang tamu luar.
Untuk bagian dalam tentu aku tidak tahu karena pagarnya terlilit rantai yang digembok di bagian depan. Tampak dari luar saja kelihatan sekali kalau rumah itu tidak terawat dan menyeramkan. Rumput tumbuh meninggi, temboknya yang kusam mulai mengelupas disana-sini. Jendela dan pintu tertutup rapat. Siang hari saja suasana seram begitu terasa apalagi kalau malam hari dan rumah itu tidak ada penerangan sama sekali... wah lebih menakutkan. Kalau malam hari menjelang, orang-orang malas melewati jalan di depan rumah itu kecuali kalau terpaksa. Kata orang-orang sih rumah itu berhantu.
Siang itu sepulang sekolah, aku dan empat temanku: Gilang, Edwin, Materius dan Andy berjalan melewati rumah itu. Jalan itu merupakan jalan terdekat menuju kampung kami. Ada sih jalan lain tapi mesti melingkar dan lumayan jauh.
“Eh teman-teman... tahu nggak rumah itu!” ucap Gilang sambil menunjuk ke arah rumah itu dari seberang jalan dimana kami berdiri.
“Ah kayak nggak ada topik obrolan lain aja,” balas Materius acuh.
Sepertinya dia tidak tertarik, tapi karena teman-teman yang lain menghentikan langkah, ia pun terpaksa ikutan berhenti.
“Kata ibuku, rumah itu dulunya milik seorang saudagar kaya!” kata Andy datar.
“Tapi sudah meninggal, sekeluarga dibunuh!” tambah Edwin dengan mimik serius.
“Iya benar... aku tahu itu dari pembicaraan ibu-ibu yang pada beli sayuran di pak Kumis yang jualan sayur keliling itu!” sambung Gilang menimpali.
“Iya... iya, makanya rumah ini kosong karena tidak ada lagi yang menempati! Dijual pun nggak laku-laku... lihat tuh papan tulisan “DIJUAL”nya sudah lapuk dan kusam!” aku ikut ikutan nimbrung berbicara.
“Iyaaa siiih... terus mau apa?” tanya Materius dengan sedikit jengkel.
“Kita main ke dalam yuk...!” ucap Gilang mngagetkan kami.
“Memang bisa masuk ke dalam? Kan terkunci dari luar?” tanyaku bingung.
“Pagarnya tinggi... tuh lihat!” timpal Edwin seraya menunjuk ke pagar besi itu.
“Nanti ikutan ditangkap polisi loh!” Materius mencoba menolak.
“Atau malah ketemu hantu hiiiiii...” canda Gilang sambil nyengir.
Beruntun kami semua memprotesnya.
“Itu kan rumah kosong!” teriak Gilang membela diri, “Kita tidak melakukan apa-apa, cuma main saja di dalam. Kenapa sih... takut?”
“Bukan takut, tapi bagaimana masuknya?” tanya salah seorang teman.
“Pakai ini nih!” seru Gilang dengan jari yang diangkat menunjuk jidatnya.
“Yang benar pakai kaki...” selaku cepat. Kami semua lalu tertawa.
“Mmh... asyik juga tuh... buat uji nyali kali yaaa!” Edwin yang sebelumnya kurang tertarik ikutan berkelakar.
“Iyalah... main bola terus bosan nih...” Andy kemudian menimpali.
Gilang tersenyum sambil mengangguk-angguk, dia memang paling jahil diantara kami semua tapi juga paling cerdas. Dia selalu punya ide-ide di kepalanya. Di kelas pun ia pintar tapi juga bandel. Sepertinya dia punya energi yang berlebih dibanding kami semua. Di sekolah, Gilang paling cepat menangkap pelajaran, dia juga punya nilai-nilai test paling bagus dibanding kami. Enaknya ya punya tingkat kecerdasan seperti dia?
“Nah teman-teman... berani nggak menguji nyali kalian?” tantang Gilang kemudian.
“Paling Materius yang mundur!” ejek Andy sambil melirik ke arah Materius.
Teman-teman yang lain langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya, sedang Materius terlihat cemberut dibilang seperti itu, dia memang paling tidak suka hal-hal yang di luar kebiasaan.
“Siapa takut? Aku mau kok ikutan uji nyali!” teriak Materius sambil berkacak pinggang, ia sepertinya tertantang untuk meladeni ejekan teman-temannya.
“Wow... beneran nih?’ seru Andy tidak percaya.
Materius manyun lalu ucapnya, “Coba aja!”
“Sudah-sudah nggak usah berantem...!” potong Gilang menyudahi olok-olokan Andy.
“Sekarang dipikirkan saja cara masuknya!” kataku.
“Oke lah kalau begitu, bagaimana kalau seperti ini...” lalu keluarlah rencana Gilang.
Dia seperti lancar-lancar saja merancangnya, padahal ide itu juga baru saja tercetus.
Dia bilang Kamis sore minggu ini kami berkumpul di rumah Edwin karena kedua orang tua Edwin sama-sama bekerja dan selalu pulang malam, maklumlah tempat kerja mereka agak jauh. Edwin pernah cerita kalau orang tuanya selalu pulang di atas jam delapan malam, terkecuali hari Sabtu dan Minggu karena libur. Gilang juga berkata kami tidak perlu membawa tangga karena akan menaruh kecurigaan, kami bisa menaiki pagar besi itu sebagai tangga, kami bisa naik selangkah demi selangkah. Lalu kita akan bermain petak umpet sampai adzan Maghrib berkumandang. Siapa yang kalah mesti mentraktir kita semua makan bakso di kantin sekolah. Kami setuju dengan usulan Gilang, yang penting tidak pulang malam karena biasanya orang tua akan mencari kalau anaknya tidak pulang di saat Maghrib, jadi kami harus sudah ada di rumah.
Kamis sore selepas Ashar kami berkumpul di rumah Edwin. Setelah mengunci pintu, Edwin dan kami semua berlari kecil menuju rumah itu yang terletak di ujung kampung dan menyempil agak jauh dari pemukiman penduduk. Samping kiri dan belakang rumah itu ada sawah yang membentang, sedang sisi kananya bersebelahan dengan lahan kosong. Di depannya memang langsung ada jalan desa yang cukup lebar tapi depan jalan itu juga lahan kosong. Jadilah rumah itu seperti menyendiri menyempal dari keramaian. Ada sih orang-orang yang lewat jalan ini tapi tidak banyak, karena masih ada jalan lain yang bisa dipakai.
Kami menunggu keadaan sepi sambil bermain-main di lahan kosong depan rumah itu. Setelah kami lihat situasi aman dalam artian tidak ada orang yang berlalu lalang, kami berebut menaiki pagar besi. Akhirnya kami semua sudah berada di dalamnya. Bersama-sama kami berjalan mengelilingi rumah itu untuk mengobservasi keadaan. Seluruh pintu dan jendela rumah itu terkunci rapat. Tidak ada bola lampu yang tersisa, mungkin sudah diambil atau memang sengaja dilepaskan. Tembok rumah itu juga kelihatan kusam tidak terawat bahkan ada beberapa bagian yang terkelupas. Genting-gentingnya juga kebanyakan rusak, ada beberapa yang dibiarkan berlubang.
Adapun halaman sisi kiri dan kanan tidak terlalu lebar, hanya ditumbuhi rumput yang tumbuh liar. Untuk halaman belakang memang cukup luas. Ada sekumpulan pohon pisang di ujung sebelah kiri. Juga pohon-pohon perdu yang tidak rapi. Rumput-rumput yang meninggi berselang-seling dengan tanaman liar yang lain.
“Yaahhh... kita tidak bisa bermain umpet nih!” seru Gilang kecewa, “Rumahnya tertutup rapat, kita tidak bisa masuk.”
Kami memandang sekliling, memang tidak bisa untuk bermain petak umpet, karena hanya pohon pisang yang paling tinggi, lainnya cuma tanaman tanaman perdu.
“Terus bagaimana?” tanya Andy terdengar kecewa.
“Pulang sajalah!” ucap Materius cepat.
“Huuuu... rugi dong sudah sampai sini terus mau pulang saja!” protes Edwin.
“Iya nih... kita main yang lain saja... tapi apa yaa?” timpalku dengan setengah bertanya.
“Main bola sajalah...” Gilang berkata dengan nada yakin.
“Manaaaa bolanyaaaa?” protes Materius.
“Pakai ini nih!” jawabku cepat, jari kuangkat menunjuk ke dahi, aku meniru tingkah Gilang beberapa hari yang lalu saat kami menyusun rencana.
Kami semua tertawa mendengarnya.
“Tuh lihat ada kain-kain bekas...” jari Gilang menunjuk ke arah sudut tembok sebelah kanan. Ya kami melihat tumpukan sampah disitu, kami tidak menyadari ada sampah kain-kain juga rupanya. Bergegas kami berlari ke arah tumpukan sampah itu dan memunguti kain-kain itu, lalu kami bentuk gumpalan menyerupai bola dan mengikatnya agar tidak mudah lepas.
Sejenak kemudian kami larut dalam permainan bola, meski cuma ada lima orang dan hanya berlari-lari kesana kemari berebut menendang bola kain, kami cukup terhibur. Tak terasa petang mulai menjelang, samar kami mendengar adzan Maghrib.
“Sudah adzan tuh... ayo pulang!” teriak Materius meminta kami menyudahi permainan. Beberapa teman ikutan berhenti, tapi sebagian lagi masih asyik menendang-nendang bola. Aku sendiri termasuk yang masih asyik bermain.
“Ayolah... katanya kalau sudah Maghrib kita pulang!” Materius merajuk.
“Iya nih... nanti kalau pulang terlambat bisa dimarahi orang tua!” kata Andy menyetujui keinginan Materius untuk segera pulang.
“Sudah mulai gelap nih, nanti nggak bisa melihat lho!” tambahnya mengingatkan kami.
Kami berhenti bermain dan melihat sekeliling yang memang mulai gelap, langit juga mendung berawan hitam. Apalagi tidak ada lampu penerangan sama sekali. Kami menyadari sebentar lagi pasti gelap akan menyergap, apalagi bila dilanjutkan turun hujan, bisa repotlah karena pagar besi itu bisa menjadi licin, kami akan kesulitan memanjatnya.
“Oke lah, kita berhenti!” akhirnya Gilang mengikuti saran teman-teman kami. Aku lalu menendang bola kain itu ke arah tumpukan sampah. Bola itu merengsek di dalamnya.
“Ada kran air nggak ya?” tanyaku begitu kusadari kakiku sangat kotor berselimut debu.
“Iya nih... risih nih kakiku!” kata Gilang sambil matanya berkeliling memandang sekeliling.
“Lha... mana ada. Kalaupun ada kran juga tidak akan ada airnya. “Seru Materius seperti tidak sabar ingin pulang.
“Kita cuci kaki di sungai saja!” Andy menengahi, lanjutnya “Di luar kan ada sungai kecil di pinggiran jalan sawah!”
“Kalau tidak di sungai, toh kita bisa mampir ke rumah Edwin buat membersihkan kaki, kalau ditanya orang tua kan bisa bilang kebablasan main di rumahnya, toh orang tua Edwin tidak ada sampai nanti malam... beres kan!” aku mencoba memberi usulan.
“Baiklah, kita keluar sekarang saja!” Gilang menyudahi perdebatan kami.
Kemudian kami berjalan beriringan menuju halaman depan, namun mendadak kami dikejutkan dengan adanya suara aneh dari bagian dalam rumah.
“Dengar teman-teman... ada suara di dalam!” kata Gilang lirih.
Kami semua terdiam dan menajamkan telinga. Ya kami memang mendengar sesuatu.
“Suara apa itu?” tanyaku pelan.
“Ayo kita segera pulang saja!” rengek Materius setengah menangis. Dia mencengkeram tangan Edwin dengan kencang.
“Ssst... semua diam dan dengarkan baik-baik suara apa itu!” seru Gilang pelan tapi tegas. Seperti dikomando kami pun mengikuti perintahnya.
Srek... srek... srek... kami mendengar langkah-langkah kaki, kayaknya ada beberapa orang bukan hanya satu.
“Kok kayak langkah orang?” bisik Materius sedikit gemetar, “Bukankah rumah itu sudah lama kosong?”
“Ssst... jangan berisik!” seru Gilang lagi.
Lagi-lagi kami terdiam dan menajamkan telinga.
Di saat kami konsentrasi mendengarkan suara langkah itu, tiba-tiba kami dikejutkan suara gedoran jendela dari arah dalam. Tampaknya ada orang yang mencoba membuka daun jendela itu. Kami semua jadi terlonjak kaget dan ketakutan, tapi kami juga penasaran ada apakah gerangan. Dan seketika kami melongo begitu melihat jendela itu terbuka, tapi kami tidak melihat siapapun dari dalam rumah itu. Kami hanya merasakan tiupan angin dingin yang menerjang badan kami. Lalu...
“Haaaaaaaaaaaaa...!”
Jeritan yang begitu mengenaskan terdengar memekakkan telinga... melengking tinggi dan menakutkan sekali.
Berebut kami berlarian menuju pagar besi –satu-satunya akses kami untuk keluar dari area rumah kosong itu. Berebut pula kami memanjat pagar besi itu. Entah mengapa kakiku seperti berat untuk dibawa lari jadilah aku yang paling belakang dan terpaksa paling akhir memanjat, tapi baru saja kakiku menempel di pagar besi paling bawah aku merasa kaki tertahan tidak bisa digerakkan, sepertinya ada tangan-tangan yang menahan kedua kakiku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tapi tetap tidak bisa.
“Ayo cepat panjat!” teriak Andy dari balik pagar besi.
“Sudah hampir gelap nih... cepetan panjat!” seru Edwin.
“Kamu mau tinggal disini apa?” timpal teman yang lain.
Aku semakin kalut, tangan-tangan yang tidak terlihat itu seakan semakin kencang mencengkeram kedua kakiku. Jantungku semakin kencang berdetak, keringat membasahi diriku. Aku ingin berteriak memberitahu teman-temanku tentang apa yang aku alami sekarang ini tapi mulutku juga seperti terkunci.
“Ah kita tinggal saja...!” Materius tampak marah.
“Ayo panjat!” pinta Edwin keras.
“Sebentar teman-teman!” teriak Gilang mencoba menengahi, dia menatapku dengan penuh keheranan. Lalu dia berkata, “Mari teman-teman kita berdoa bersama-sama!”
Mendengar ajakan Gilang, teman-teman lainnya saling memandang heran, tapi sejurus kemudian mereka menyadari ada yang tidak beres dengan situasi ini, lalu kulihat mereka semua berdoa, akupun juga berdoa dalam hati. Syukurlah akhirnya aku bisa menggerakkan kakiku, secepatnya aku memanjat pagar itu dan setelah berhasil kami semua menghambur berlarian untuk segera menjauhi rumah itu. Memasuki jalan kampung kami berhenti berlari dan berjalan pelan sambil mengatur nafas. Sambil berjalan mereka memintaku menceritakan kejadian yang aku alami. Mendengar ceritaku mereka semua terdiam. Kami lalu sepakat untuk tidak lagi main di rumah kosong berhantu itu.