Petang itu, sepulang dari gereja Natalia Sitorus sengaja singgah di rumah Marnina untuk mengerjakan tugas sekolah. Mereka mengerjakan tugas sekolah sambil ngobrol dan bercanda. Alhasil, jam 21.00 tugas tersebut baru bisa mereka selesaikan. Setelah ngobrol sebentar sambil membereskan buku-buku, Natalia pamit pulang.
Sebenarnya jarak rumah Natalia dengan rumah Marnina tidak begitu jauh. Dari rumah Marnina hanya terpaut delapan rumah, kemudian melewati perempatan kampung dan tiga rumah lagi baru rumah Natalia.
Namun rumah terakhir sebelum perempatan adalah rumah tua kosong berhalaman luas dengan pohon besar di sampingnya. Sedangkan di depannya terdapat pos ronda yang di setiap malamnya selalu ramai oleh pemuda-pemuda kampung yang bermain gitar dan menyanyi. Sebenarnya Natalia merupakan penduduk baru di kampung itu. Sebelumnya ia tinggal di Jakarta, kota yang sangat ramai.
Saat itu jam 21.20, Natalia mulai keluar dari rumah Marnina.
“Hati-hati... sampai besok ya...” kata Marnina mengiringi kepergian Natalia.
“Oke, siip...” jawab Natalia. Ia berjalan sendirian tanpa rasa takut, karena sudah terbayang kalau di pos ronda perempatan akan banyak pemuda yang lagi main gitar, jadi tidak akan sunyi mencekam.
Sesampainya di rumah tua itu, tiba-tiba langkah kaki Natalia terasa berat.
“Aneh, tumben sekali tidak ada orang di pos ronda. Biasanya ramai pada bermain gitar,” pikirnya.
Perasaan takut mulai muncul, dan langkah kakinya seperti bertambah berat. Seakan ada yang menahan dirinya, dan sepertinya sulit sekali melangkahkan kaki. Ingin sekali Natalia mempercepat langkah kakinya, tetapi ia malah diam terpaku disitu. Entah kenapa Natalia tidak bisa lagi menggerakkan kakinya.
Perasaan takut semakin menderanya... setelah itu ia mendengar suara rintihan dari dalam rumah tua itu. Suara rintihan yang sangat menyayat hati dan semakin lama semakin keras. Natalia semakin ketakutan dan ingin segera berlari. Namun, semakin besar keinginannya untuk berlari semakin sulit ia melangkahkan kakinya. Natalia hanya diam terpaku dan menangis ketakutan sampai akhirnya tiba-tiba muncul seorang nenek menyapa dirinya.
“Kenapa menangis Nak, kamu takut ya? Mari nenek antar pulang,” kata nenek itu.
“Alhamdulillah... akhirnya ada seorang nenek menyelamatkanku,” pikir Natalia dalam hati.
Akhirnya mereka berdua berjalan menuju rumah Natalia sambil berbincang-bincang.
Sudah berjalan cukup lama tetapi Natalia tidak juga melihat rumahnya, padahal seharusnya tinggal tiga rumah lagi dari perempatan tadi. Sampai akhirnya Natalia menyadari, jalan yang ia lalui ternyata bukan jalan menuju rumahnya tetapi jalan memasuki halaman rumah tua kosong itu. Natalia semakin merinding, bulu kuduknya pun seketika meremang. Anehnya ia terus saja berjalan dengan nenek itu hingga masuk ke dalam rumah tua.
Rupanya rintihan suara yang ia dengar tadi berasal dari dalam rumah ini. Suaranya semakin lama semakin jelas terdengar dari salah satu kamar. Nenek itu terus saja menggiringnya berjalan sampai di depan kamar dimana sumber suara itu terdengar. Kemudian nenek itu mulai membuka pintu kamar itu... dan sesaat Natalia melihat isi dalam kamar itu, dan tiba-tiba saja...
Bruk...!
Natalia pun jatuh pingsan.
Esok paginya ia mulai sadar dari pingsan. Aneh sekali, ia sudah berada di dalam sebuah kamar yang asing baginya. Natalia mencoba bangun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Ia kaget sekali, di sekeliling kamar itu banyak sekali orang aneh. Ada yang tersenyum-senyum sendiri, ngomong sendiri, dan ada juga yang melompat-lompat seperti anak kecil. Natalia baru sadar, ternyata tempat ini adalah rumah sakit jiwa. Anehnya lagi semua keluarganya menganggapnya... GILA.
No comments:
Post a Comment