Aku tinggal di kota Malang di sebuah perumahan yang lumayan jauh dari pusat kota, namanya juga perumahan untuk kalangan rakyat pada umumnya jadi ukurannya kecil-kecil rata-rata tipe 36 dan 45. Itu pun kebanyakan dari penghuninya membeli dengan cara menyicil melalui bank, istilahnya kredit kepemilikan rumah... hehehe. Suamiku bekerja sebagai pegawai negeri sipil jadi lumayan tidak sulit baginya untuk mengajukan kredit. Sedang aku karyawan perusahaan swasta yang belum terbilang besar, dan seperti karyawan swasta lainnya jam kerjaku dari pagi pukul delapan sampai sore jam empat, itu pun kadang ada lembur sehingga aku bisa pulang selepas Maghrib atau bahkan setelah Isya. Tapi lumayan juga uang lemburnya, jadi kami para karyawan senang-senang saja kerja lembur. Tentu saja itu diberlakukan saat padat pekerjaan dan batas penyelesaian yang mepet. Bila tidak, ya tentu saja perusahaan tidak mau rugi.
Setiap hari aku selalu melewati sebuah rumah kosong dan menyeramkan, pagi hari saat berangkat kerja dan tiap sore atau petang tiap kali pulang. Rumah kosong itu terletak di tengah-tengah antara jalan utama dan jalan yang menghubungkan ke perumahan kami. Rumah itu berdiri di sebuah pekarangan yang cukup luas, sebelahnya kanan, kiri dan belakang rumah itu terbentang persawahan. Rumah itu selalu dalam keadaan terkunci, hanya saja kondisi rumah dilihat dari luar sudah menakutkan. Catnya sudah mengelupas disana-sini, gentingnya juga sudah ada sebagian yang melorot. Tidak ada cahaya lampu sedikit pun di rumah itu, kalau siang sih tidak terlalu terasa tapi kalau petang menjelang malam... wah... kegelapan menaunginya sehingga suasana horror semakin lengkap.
Di depan rumah dan pekarangan depannya ada jalan kecil yang merupakan satu satunya jalan menuju perumahan kami. Jalan itu tidak terlalu besar, jadi kalau ada mobil berpapasan dari arah berlawanan, keduanya mesti sedikit menyorong ke samping agar tidak berserempetan, jadinya kami yang menggunakan motor harus menunggu.
Kembali ke rumah kosong itu, menurut kabar yang aku dengar, rumah itu bekas orang bunuh diri sehingga ketika mau dijual tidak ada yang tertarik untuk membelinya, bahkan di saat harganya sudah dititik terendah tetap saja tidak ada yang bersedia. Karena sudah bertahun-tahun tidak ada yang menempati dan rumah itu juga dibiarkan saja alias tidak ada yang membersihkan dan merawatnya jadilah rumah itu terbengkelai dan memancarkan aura horror.
Pagi itu aku berangkat ke kantor dengan mengendarai motor, aku memakai jas hujan untuk melindungi diri dari hujan. Aku paling sebal kalau hujan turun saat aku pergi atau pulang kantor, selain mesti berganti sandal –sepatu aku masukkan ke tas plastik agar tidak basah, juga dandanan di wajah jadi berantakan. Sebenarnya aku bisa naik angkutan yang melewati perumahan menghubungkan kota, tapi aku tidak sabar menunggu apalagi jamnya juga tidak bisa dipastikan. Kadang berhenti menunggu penumpang penuh... wah bisa terlambat dong. Saat melewati rumah itu kulihat beberapa pelajar pria yang duduk-duduk di teras. Motor mereka parkir di sampingnya jadi tidak kehujanan, aku yakin mereka pasti tidak berbekal jas hujan. Musim hujan begini... kok ya tidak bawa jas hujan. Atau bisa jadi itu untuk alasan mereka terlambat masuk sekolah ya? Kulihat sekilas mereka ngobrol dan tertawa.
Sesampai kantor, aku memarkir motor di tempat parkir yang sudah disediakan, lalu menutupi motor dengan jas hujan yang aku pakai tadi agar jas hujan itu kering. Kuambil sepatu dari dalam tas plastik dan kutukar dengan sandal, selanjutnya aku memakai sepatu. Setelah merapikan rambut dan mengelap wajahku yang sedikit terkena air hujan, aku berjalan menuju ruang kantor.
Di dalam, aku duduk di ruang kerjaku. Sebenarnya bukan ruang sih, karena meja kami para karyawan berjejer memanjang, tapi ada sekat yang membatasi masing-masing karyawan, ya semacam bilik kecil-kecil, dan masing-masing juga ada pintu sorongnya –hanya sebuah papan yang bisa didorong, semacam pintu koboi itu loh.
“Kehujanan ya?” suara yang sudah sangat aku kenal terdengar dari balik bilik, aku mendongakkan wajah ke arah suara itu, kulihat kepala Ririn nongol di atas, kedua tangannya berpegang sekat kayu bilik.
“Kamu juga kan?” balasku begitu melihat rambutnya yang sedikit basah.
“Namanya juga musim hujan!” jawabnya kalem, sambungnya, “Aku mau dandan dulu, nih lihat riasanku berantakan... kayak kamu... hehehehh.”
Aku ikutan tertawa, setelah kepala Ririn turun dari sekat, aku membuka laci kecil di meja kerjaku, kukeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi peralatan dandan. Tidak lengkap-lengkap amat sih... cuma kebutuhan riasan dasar saja, utamanya bisa membuat wajah tidak terlalu polos. Selanjutnya aku tenggelam dalam rutinitas pekerjaan.
Hari ini ternyata ada lembur, jadi selepas Maghrib baru bisa pulang. Aku dan beberapa temanku menyempatkan shalat Maghrib di kantor, kalau makan malam sudah tadi disediakan nasi kotak oleh kantor, lumayanlah buat mengganjal perut. Hujan-hujan begini membuat perut selalu kelaparan.
“Wah, hujannya kok bertambah deras sih?” protes Ririn cemberut.
“Iya nih... payah, padahal mau pulang!” tambah Ulia temanku yang lain.
Ririn, Ulia dan aku sendiri baru berada di tempat parkir untuk mengambil motor masing-masing dan bermaksud pulang. Tapi melihat hujan yang sedemikian deras kami mengurungkan niat. Bukan apa-apa, kami takut saja mesin motor kami mati karena kadang air meluap menutup jalan. Bila masuk mesin kadang bisa membuat macet.
“Kita tunggu aja sampai sedikit reda,” kataku pada mereka, “Hujan deras begini kadang-kadang bisa bikin mesin motor mati,”
“Iya, dua hari lalu aku terpaksa menuntun sampai bengkel terdekat, businya kali!” sambung Ririn.
“Betul, daripada kerepotan menuntun mendingan menunggu sebentar!” tambah Ulia.
Kami bertiga lalu berjalan menuju depan, disitu ada semacam ruang runggu. Sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu, kami bertiga lalu bergabung dengan mereka. Kami duduk dekat ruang satpam.
“Menunggu reda ya Mbak?” tanya Pak Dono –satpam kantor kami.
“Iya nih...!” jawabku
“Silakan deh, banyak juga kok yang menunggu!” katanya lagi tanpa bermaksud berbasa-basi.
“Terimakasih Pak!” jawab kami.
Cukup lama kami menunggu, aku lalu kirim sms ke mas Budi –suamiku– kalau aku pulang terlambat karena ada lembur dan terjebak hujan, jadi ini masih menunggu di kantor. Mas Budi menjawab tidak apa-apa, dia bisa mempersiapkan makan malam sendiri. Kami berdua sama-sama bekerja jadi saling memahami satu sama lain, tidak ada pembagian pekerjaan rumah tangga, siapa yang longgar dan ada waktu ya dia yang mengerjakan. Baru menjelang pukul delapan malam hujan mulai reda. Aku dan karyawan lain yang tadi menunggu menghambur keluar menuju tempat parkir.
“Pulang dulu ya!” seruku kepada Ulia dan Ririn.
“Yoi, ketemu besok!” jawab Ulia pendek.
“Daaah...” balas Ririn sambil melambaikan tangan.
Kami memang ingin segera pulang, badan sudah pegal-pegal rasanaya. Apalagi hari sudah malam, maunya langsung sampai rumah dan istirahat. Kulepaskan jas hujan dari motor dan kupakai, meski hanya gerimis kecil lebih baik akau mengenakan jas hujan, siapa tahu hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi? Kan malah kerepotan sendiri nanti. Sepatu juga aku lepas untuk selanjutnya aku ganti dengan sandal. Setelah aku menstarter motor aku pun melenggang keluar ruang parkir.
Sepanjang jalan dari kantor meninggalkan pusat kota, banyak pengendara motor yang juga masih memakai jas hujan. Kulihat toko-toko yang berjajar di kedua sisi jalan tampak sepi, yah hujan-hujan begini siapa juga yang mau keluar rumah? Entah mengapa ketika aku melihat warung bakso di ujung jalan perutku tiba-tiba tidak bisa diajak kompromi, padahal tadi sudah mendapat jatah nasi kotak dari kantor, kok sekarang lapar lagi? Mungkin karena aku melihat cukup banyak orang yang jajan di warung bakso itu, apalagi hujan-hujan begini... makan yang hangat hangat tentu asyik. Bayangan makanan bakso yang hangat sungguh menggoda selera, aku pun tidak jadi melanjutkan pulang ke rumah, aku berbelok dulu ke warung itu.
Setelah memarkir dan melepas jas hujan, aku berjalan menuju ke dalam warung, aku memesan satu mangkok bakso komplit dan satu gelas teh panas. Selanjutnya aku celingak-celinguk mencari kursi yang kosong.
“Hai Nana... sini...” teriak seorang perempuan menyebut namaku.
Kucari arah suara itu, ternyata bu Wal –tetanggaku di perumahan- sedang duduk menikmati bakso. Aku bergerak menemuinya. Kulihat ada sedikit bangku yang kosong, cukup lah buat aku duduk.
“Duduk sini saja Na, cukup kok!” begitu kata bu Wal sambil sedikit bergeser.
“Terima kasih Bu!” jawabku seraya duduk di sampingnya.
Bu Wal itu beberapa tahun lebih tua dariku, dia bekerja di sebuah pabrik makanan terkemuka di kota ini. Sebenarnya satu kota sih dengan kantorku, tapi karena berbeda tempat kerja kami jarang bertemu bahkan saat berangkat dan pulang kerja. Apalagi jam kerja bu Wal yang tidak tentu karena menggunakan sistem shift. Hanya saat pertemuan warga dan kadang pas libur saja kami bertemu.
“Ini mau pulang kerja atau gimana Bu?” sapaku.
“Wah ini sih mau masuk kerja Na, aku shift malam. Nana mau pulang ya?” balasnya, sambil menghentikan sementara makan baksonya.
“Oooh... sift malam ya? Kalau aku mau pulang Bu, tapi nggak tahu kok pingin makan basko dulu,” jawabku.
“Hehehe... tidak apa-apa makan bakso dulu, tidak terlalu malam juga kok, memang sih jalan menuju perumahan agak sepi, tapi sebelum jam sepuluh malam biasanya juga masih banyak kok yang lalu lalang, kan banyak tuh yang baru pulang kerja,” kata bu Wal panjang lebar.
“Iya Bu, lumayan sepi... apalagi sepanjang jalan hanya persawahan ya? Cuma ada satu rumah saja yaitu rumah kosong!” timpalku, bayangan rumah itu muncul di benakku. Kalau sudah petang rumah itu gelap gulita dan terasa sangat sepi, aku pernah lewat saat petang... memang sungguh senyap, hanya deru motor atau mobil yang sesekali saja terdengar.
“Iya, rumah itu menakutkan juga ya? Apalagi pas malam hari. Sudah dikelilingi persawahan, kosong pula. Kata orang sih rumah itu...”
“Bekas orang bunuh diri ya?” potongku, aku jadi tertarik untuk mendengar ceritanya lebih lanjut, karena aku belum begitu lama tinggal di perumahan itu, beda dengan bu Wal.
Kulihat wajah bu Wal yang berubah menjadi tegang, “Menurut kabar,” dia diam sejenak, “katanya ada tragedi di rumah itu, seseorang meninggal di rumah itu dengan cara bunuh diri, katanya sih gantung diri...”
“Haahh?” aku terkejut bukan kepalang.
“Tidak perlu takut Na! Itu sudah lama kok...!” lanjutnya.
“Oohh...!” aku merasa lega. Kalau kejadian sudah lama biasanya tidak terlalu seram.
“Kenapa dibiarkan kosong ya? Kan sayang tuh rumah sebesar itu dibiarkan begitu saja,” tambahku.
“Pada takut kali!” bu Wal menjawab sekenanya.
Aku manggut-manggut, “Iya... bangunan kosong lama dan bekas orang bunuh diri... hiiiiii seraaammmm!”
Kulihat bakso pesananku sudah datang, pelayan meletakkan mangkok bakso dan gelas air teh di mejaku. Lalu kami berdua sibuk makan bakso, aku baru mulai mau makan sedang bu Wal sudah hampir habis.
“Maaf Na, aku duluan ya? Hampir jam sembilan nih...!” ucap bu Wal berpamitan seraya bangkit dari kursi.
“Oooh... iya Bu, silakan,” jawabku.
“Selamat pulang, dan hati-hati ya,” kata bu Wal lagi sambil menepuk bahuku.
Dari tempatku duduk, kulihat bu Wal keluar dan dengan motornya ia meninggalkan warung ini menuju tempat kerjanya. Akupun lalu melanjutkan makan.
Setelah selesai makan, aku membayar ke kasir dan berlalu pulang. Sepanjang perjalanan pulang memang masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan utama di kota ini. Kebanyakan naik sepeda motor menandakan para karyawan baru pulang. Mungkin mereka seperti aku yang baru bisa pulang karena terjebak hujan deras tadi.
Aku sampai di pertigaan jalan yang menghubungkan jalan menuju perumahan, ada papan kecil yang dipasang di ujung pertigaan yang menunjukkan arah perumahan kami. Aku berbelok mengikuti arah itu dan dari jalan utama menuju perumahan aku merasakan sepi yang mencekam. Hujan masih turun meski tidak deras, sesekali petir dan guntur bergantian menghias langit. Memang sesekali ada motor dan mobil yang lewat tapi mereka menjalankan lajunya dengan kencang, sedang aku tidak berani. Jalan ini tidak terlalu mulus, meski sudah diaspal tapi kerusakan ada disana-sini. Banyak lubang di sekujur badan jalan. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh. Apalagi belum juga ada penerangan di sepanjang sisi jalan, kita para pengendara cuma bisa mengandalkan sorot lampu kendaraan masing-masing.
Aku memilih menjalankan motor dengan pelan-pelan, lebih baik terlambat asal selamat, begitu kira-kira semboyanku... hehehe. Entah mengapa semakin jauh dari jalan utama, jalan juga semakin senyap saja. Sudah ada sekitar lima menit tidak ada kendaraan lain yang lewat, aku jadi ketakutan sendiri. Aku berharap aku selamat sampai rumah. Aku khawatir ada orang jahat seperti berita di televisi yang mencegat dan merampas motor.
Dari jauh aku melihat rumah kosong itu meski samar, karena selain hanya lewat penerangan sorot lampu motor depan, derai hujan yang turun cukup menganggu pandangan. Sudah separuh jalan, sebentar lagi akan sampai gerbang perumahan, begitu aku menghibur diri. Tapi aku terhenyak begitu melihat pemandangan di rumah itu, meski tidak begitu jelas, mataku bisa menangkap sesosok lelaki tua duduk bersandar di salah satu tembok rumah itu. Aku menghentikan motorku sejenak dengan kondisi mesin masih hidup. Kuamati dengan seksama, benarkah yang kulihat?
“Hey... ternyata ada orang di dalam rumah itu!” begitu aku berkata dalam hati, karena kulihat suasana rumah itu tampak terang, jendela rumah juga terlihat terbuka.
“Ya syukurlah kalau sudah ada yang menempati!” kataku lagi dalam hati.”Jadi aku tidak perlu ketakutan lagi kalau mesti melewati jalan ini!”
Aku tersenyum sendiri, dan bermaksud akan melanjutkan perjalanan. Namun mendadak mataku seperti mau keluar karena tiba-tiba saja lelaki tua itu menggeser sebuah meja dan naik ke atasnya... lalu... lalu dia mengalungkan seutas tampar di lehernya.
“Akhk... akhk...!” suara orang yang kesulitan bernapas terdengar sangat jelas di telingaku, padahal air hujan masih mengguyur. Bahkan kedua matanya yang melotot itu seakan tertuju kepadaku.
Namun itu tidak berlangsung lama... dalam hitungan detik lelaki itu begitu saja menghilang dari pandangan dan rumah itu kembali menjadi gelap gulita. Gugup campur gemetaran aku segera memacu gas dengan kencang, aku tak peduli dengan lubang yang mengganggu jalan. Tujuanku hanya satu, segera sampai rumah.
No comments:
Post a Comment