Thursday, December 19, 2019

Kuntilanak di Rel Kereta Api (Medan)



Banyak kejadian menyeramkan di seputaran rel kereta api, ada yang memang sengaja bunuh diri di tempat itu, tapi ada juga yang tidak sengaja tertabrak alias korban kecelakaan. Nah, seperti diungkapkan banyak orang kalau belum saatnya mati namun harus meninggalkan dunia fana maka jiwa mereka akan terjebak dan menyebabkan mereka berlaku seperti orang yang masih hidup padahal sudah mati... ya, mereka adalah arwah-arwah penasaran yang tidak sadar kalau sudah tiada.

Kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu di sebuah warung di Brayan Bengkel, Medan milik teman kakakku yang bernama Anton, mereka itu teman kuliah. Kak Anton sering main ke rumah sehingga aku mengenalnya. Kak Anton dan kak Andi –nama kakakku– bisa dibilang akrab, karena mereka berdua sering bepergian bersama entah itu mau ke kampus, main futsal atau sekedar main saja.

Pada suatu sore kak Anton datang ke rumah dengan raut muka yang agak murung, dia seperti banyak pikiran. Karena kak Andi lagi mandi maka aku ikut menemaninya di teras, biasanya dia akan mengajakkku main kartu tapi kali ini dia seperti tidak ada semangat untuk itu.

“Kak Anton mau main futsal?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang kaku. Dia menggeleng pelan, tidak ada ucapan sepatah katapun yang keluar.

“Kak Andi lagi mandi, ditunggu dulu yah!” aku jadi nggak enak hati kalau terus duduk di teras buat menemaninya.

Dia mengangguk sambil tersenyum kecil. Akupun segera bergegas masuk ke dalam untuk nonton film kartun.
“Kak... tuh ada kak Anton!” seruku sambil menunjuk ke arah teras setelah kulihat kakakku selesai mandi. 

Ruang tengah tempat aku menonton TV bersebelahan dengan kamar mandi sehingga aku tahu kalau ada yang masuk atau keluar dari kamar mandi, 

“Ya... ya...!” jawabnya pendek sambil berjalan menuju kamarnya untuk ganti baju.

Keluar dari kamar kak Andi segera bergegas ke teras menemui temannya, aku mengekor di belakangnya.

“Lama Ton?” seru kak Andi.

Kak Anton tersenyum simpul lalu menggeleng pelan sambil berucap, “Nanti malam aku nggak jadi main futsal!”

“Lho kenapa?” kakakku bertanya dengan heran, sebab dia tahu temannya itu suka sekali main futsal.

“Aku sekarang kerja!” jawabnya pendek.

“Kerja?” kak Andi terkejut, lanjutnya, “Wah bagus tuh bisa mencari uang sendiri! Kerja dimana? Perusahaan apa?” tanyanya beruntun.

“Ah kamu...!” kulihat kak Anton tersipu, tapi seperti kurang bangga dengan pekerjaannya karena dia tampak enggan, namun akhirnya mau juga dia mengungkapkannya setelah kak Andi sedikit memaksa untuk bercerita.

 “Aku hanya jaga warung kok. Setelah ayahku meninggal sebulan yang lalu kondisi keuangan keluarga kami agak limbung, maklum dulu yang tadinya ada dua sumber penghasilan sekarang cuma satu, bila hanya mengandalkan gaji ibu yang karyawan swasta jelas tidak mencukupi untuk menghidupi dan menyekolahkan ketiga anaknya. Maka kami bertiga berusaha membantu ibu menambah penghasilan dengan membuka warung di malam hari!”

Kak Andi manggut-manggut, dia tahu kondisi keluarga Anton. Ayah dan ibunya karyawan swasta yang memiliki tiga anak lelaki yang semua sedang tumbuh dewasa, anak pertama bernama Anton kuliah di sebuah universitas negeri di semester enam, Bernard sebagai anak tengah juga kuliah dan baru di semester dua, sedang yang terakhir Charlie masih sekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan kelas dua. Tentu saja sepeninggal ayahnya akan sangat berat bila hanya ibunya yang bekerja.

“Kami bertiga berinisiatif membuka warung dan menjaganya secara bergiliran!” lanjutnya lagi.

“Wah hebat tuh, aku ikut bangga kok kamu sudah bisa berwirausaha...”

“Ah kamu... ini cuma warung kecil aja!” potong kak Anton tersipu malu.

“Dari yang kecil bisa menjadi besar!” seru kakakku.

“Trus warungmu buka sampai jam berapa?” tanya kak Andi.

“Selepas Maghrib sampai pagi. Malam ini giliranku buat jaga. Jualan mie instant rebus, roti bakar, aneka minuman... ya gitu lah!”

“Sejak kapan kamu jualan kok baru dengar?”

“Baru tiga hari yang lalu. Hari pertama kami sekeluarga jaga warung, trus hari kedua ibu dan Charlie, hari ketiga Bernard, nah hari ini giliranku.”

“Dimana letak warungnya?”

“Utara palang rel kereta api sekitar dua puluh meter lah. Nama warungnya “ABC”.

“Oh...!” kak Andi diam sebentar, dia seperti memikirkan sesuatu, lalu ucapnya, “Bukankah ada yang bunuh diri di daerah itu...?” 

“Yoi,” potong kak Anton tenang seperti tidak merasa ada yang aneh, “Nyatanya nggak ada apa-apa tuh, memang sih ada yang bilang kawasan itu terasa angker, tapi nyatanya warung-warung tetap buka dan pengunjung juga tetap berdatangan!”

“Ya syukurlah kalau peristiwa itu tidak berpengaruh ke kondisi warung-warung sekitar. Oh ya kebetulan nih... aku kalau pulang futsal selalu melewati jalan itu. Nanti aku mampir ya?”

“Arshan ikut dong!” rengekku kepada kak Andi.

“Kamu masih kecil, mama pasti nggak kasih ijin. Lain kali saja kalau kak Andi nggak main futsal, kamu saya ajak ke warungnya Anton, jadi nggak terlalu malam.”

Aku cemberut, tapi aku sadar kalau pasti nggak boleh sama mama.

Nah inilah cerita dari kak Andi saat dia menemani kak Anton jualan. Selepas main futsal sekitar tengah malam kak Andi mampir ke warung “ABC” kepunyaan kak Anton. Setelah memarkir motor di depan warung dia lalu masuk.

“Main futsalnya gimana? Seru?” sapa kak Anton begitu melihat kak Andi masuk.

“Nggak ada kamu nggak serulah... heheheh!” jawabnya sambil bercanda.

Dilihatnya ada tiga orang yang makan di warung itu. 

“Lapar nih Ton... pesan mie instant rebus dan minuman teh hangat dong!” ucap kak Andi sambil duduk di kursi yang kosong.

Kak Anton dengan cekatan membuat makanan dan minuman pesanan kakakku.

Di saat menunggu pesanannya datang, kak Andi ikutan nimbrung ngobrol dengan pembeli yang lain apalagi topiknya juga lagi hangat yaitu tentang peristiwa bunuh diri di rel kereta api yang terjadi sekitar seminggu yang lalu.

“Wah serem sekali... seorang perempuan muda bunuh diri!” seru seorang pengunjung.

“Kok nekat betul ya dia...? Padahal masih muda, hidup ke depannya masih terbentang luas, banyak hal yang belum dia lalui,” komentar pengunjung lainnya.

“Lah namanya juga putus asa... kecewa dan sakit hati!” jawab yang lain.

“Lagi-lagi masalah percintaan... hal sepele sebenarnya. Tapi menurut kabar, perempuan itu terlanjur hamil, mungkin itu yang bikin dia putus asa karena pacarnya nggak mau tanggung jawab. Mungkin dia malu sehingga tanpa pikir panjang lagi menabrakkan diri di kereta api yang lewat!” timpal kak Andi. 

“Katanya sih gitu, laju kereta kan cepat sekali... ya langsung habislah dia!”

“Kasihan sekali dan sangat disayangkan...!” salah seorang pengunjung berkata demikian.

“Yahhh... apalagi dia itu juga baru pulang dari merantau jadi TKW di Malaysia. Eh setelah pulang ternyata malah bunuh diri!” potong kak Andi.

“Kamu nggak takut jualan di malam hari setelah ada kejadian itu?” tanya kak Andi kepada kak Anton setelah menerima pesanan makanan dan minumannya.

“Sebenarnya takut juga sih, tapi banyak orang di area ini. Warung-warung berjejeran dan pengunjung selalu ada, jalan ini selalu ramai...” jawab kak Anton.

“Perempuan yang mati nelangsa itu sudah jadi kuntilanak. Katanya ada orang yang pernah digangguin sama dia!” ungkap seorang pengunjung dengan suara mantap.

“Tapi nggak di sekitaran warung sini! Hantu kan takut sama keramaian... apalagi ada musik dangdut segala!” sergah yang lain.

“Emang kuntilanak mau joget dangdut!” timpal kak Anton senang karena terbantu dengan argumen orang itu.
“Ya iyalah kalau kuntilanak itu nggak berani nongol disini... banyak orang bikin hawanya panas... ngabisin energi hantu!” tambah pengunjung santai. Dia cuek saja sambil terus menganduk mie panas di hadapannya.
“Emang kejadiannya bagaimana? Maksudku yang digangguin itu?” tanya salah satu dari mereka dengan raut muka serius.

“Menurut kabar sih, di tengah malam ada seorang yang melewati rel kereta api dengan naik motor, yang namanya lewat rel tentu saja menurunkan kecepatan agar tidak terjatuh. Nah sekeluar dari rel itu lah dia merasa beban motor semakin berat, tanpa sengaja dia melihat ke belakang dari kaca spion... ternyata ada seorang perempuan berbaju putih yang ikutan numpang di boncengan. Namun seketika itu juga sosok perempuan misterius itu menghilang dengan diiringi tawa cekikikan yang mengerikan...!” seorang pengunjung menceritakan kejadian itu.

Sejenak kami semua terdiam mendengarnya, tapi salah seorang nyeletuk dengan kocak.

“Sayang nggak difoto... bisa terkenal kan?”

“Terkenal gimana? Jantungan iya...!” sahut yang lain.

“Difoto juga paling nggak kelihatan... namanya juga sosok tak kasat mata!” seru salah satunya.

“Nanti malah dibilang pembohong... pembuat berita palsu... bikin onar... kacaulah!” timpal kak Anton.

“Memang hal-hal ghaib seperti itu susah dibuktikan!” ucap kak Andi.

“Emang kalian mau dikuntit kuntilanak?” canda seorang pengunjung warung.

“Amit-amit ogahlah... seumur-umur bakalan keingat terus!” balas yang lainnya.

Dan mereka semua tertawa. Memang warung kak Anton terletak di kawasan yang ramai, meski malam hari tetapi selalu meriah. Warung yang berejejeran, alunan musik dangdut yang memporakporandakan heningnya malam dan lalu lalang orang membuat suasana daerah itu hidup dan berdenyut. Dan seperti pendapat banyak orang yang menyatakan kalau hantu itu tidak kuat kalau berada di keramaian, mungkin energi para hantu akan tersedot oleh panasnya listrik dan hiruk pikuk orang hehehe... 

Tak terasa malam merambat, pengunjung warung kak Anton satu persatu pergi, dan kini hanya tinggal kak Andi. Meski warung cuma ada dua orang yaitu kak Anton dan kak Andi tapi suasana tetap ramai karena di luar bising dengan adanya musik dangdut dan orang yang lalu lalang.

“Ya gini lah Andi, warungku belum ramai seperti warung yang lain!” keluh kak Anton sambil duduk di sebelah kakkakku.

“Namanya juga masih baru, nanti berjalannya waktu juga akan dikenali pengunjung dan mereka akan datang bersama teman-teman yang lainnya!” hibur kak Andi.

“Buat melatih kesabaran kali ya!” seru kak Anton sambil nyengir.

“Oh ya, bisa nitip warung sebentar! Aku mau ke belakang nih!” lanjutnya lagi, “Kamar mandinya tidak jauh kok, letaknya setelah tiga warung dari tempat aku jualan ini, deretan paling ujung.”

“Aku sih nggak apa-apa nunggu, tapi kalau nanti ada yang mau beli sesuatu aku nggak tahu loh. Memangnya mereka mau menunggu?” tukas kak Andi.

“Halah bilang saja yang jualan lagi ke kamar mandi sebentar, mereka mau menunggu kok... nggak lama!”

Lalu setengah berlari kak Anton meninggalkan warung. Kakakku yang duduk sendirian di dalam warung mengeluarkan handphone buat main game. Saat asyik main game itulah tiba-tiba ada orang yang masuk ke dalam, kak Andi menengok sekilas ke arah orang itu. Aneh dia merasakan angin yang berhembus dingin ke arahnya begitu orang itu yang ternyata seorang perempuan masuk dan duduk di salah satu kursi. Jelas kak Andi merasa janggal ada seorang perempuan yang masuk ke warung malam-malam begini. Karena tidak biasa itulah kak Andi lantas memperhatikannya. 

Perempuan itu memakai baju coklat muda, celana panjang warna hitam dan di kepalanya mengenakan topi. Dia menunduk sambil duduk di kursi di depan kak Andi. Karena menunduk itulah kak Andi kurang begitu jelas bagaimana raut mukanya. Anehnya saat dia masuk, bau wangi dupa seakan menyeruak memenuhi ruangan walaupun selanjutnya bau itu menghilang dengan sendirinya.

“Gila... ada perempuan muda masuk warung, aneh saja ada pengunjung perempuan sendirian di malam hari begini, tidak biasa!” kak Andi bergumam di dalam hatinya. Biasanya kaum wanita tidak pergi seorang diri di malam-malam begini, apalagi ini bukan kota besar.

“Maaf Non, yang jualan lagi ke belakang. Tapi nggak lama lagi juga balik kok. Tunggu sebentar ya?” ucap kakakku.

Perempuan di depannya itu hanya mengangguk. Kak Andi bermaksud melanjutkan main game tapi tidak jadi karena orang itu mengajaknya bicara.

“Saya kedinginan...!” ucapnya pendek.

“Kedinginan? Kenapa tadi nggak pakai jaket?” balas kakakku ringan.

“Lupa!” jawabnya datar.

Kak Andi tertawa kecil, “Sendirian saja nih?” tanya kakakku mengalihkan pembicaraan, sekalian juga untuk memastikan pertanyaan yang tadi sempat hinggap di dirinya.

“Iya...” jawabnya pendek.

“Saya kedinginan...!” ucap perempuan itu lagi mengulang perkataanya tadi.

“Makanya kalau malam jangan lupa pakai jaket!” kata kakakku cuek.

“Saya kedinginan!” katanya lagi tetap dengan nada datar. Kali ini dia melipat kedua tangannya di dada.

Kak Andi menatap perempuan itu, tampak sekali kalau dia mengggigil, “Nggak telpon saudara buat menjemput? Atau paling tidak buat ngantar jaket, atau mendingan Non pulang saja, daripada sakit karena kedinginan?” balas kakakku sambil nyengir.

“Tidak bisa Mas, saya tidak bisa jauh dari rel itu!” jawabnya tetap juga datar... tapi cukup membuat kakakku terlonjak kaget karena teringat akan cerita para pengunjung barusan, tapi sebersit pun dia tidak berprasangka buruk karena tidak mungkinlah hantu main ke warung yang terang benderang dan ramai begini. 

“Rel kereta api? Wah Non ini lucu... ngapain juga main-main dekat rel kereta api, mendingan ke mall atau ke salon...” gurau kak Andi.

“Itu memang keputusan yang salah!” kata perempuan itu.

“Dan itu sangat saya sesali,” lanjutnya lagi.

“Saya sangat kedinginan!” dia mengulang lagi kalimat itu.

Kak Andi jadi kasihan juga, dia lalu menatap perempuan itu dengan seksama, ada rasa sesal kenapa tadi berkelakar walaupun tanpa maksud menyudutkan.

 “Non ini... kayaknya benar-benar kedinginan, mungkin lagi sakit! Lebih baik Non pulang saja...” belum selesai kakak bicara tiba-tiba perempuan itu menggerakkan kepalanya ke arah kakak dan membalas tatapan kakak.

Saat itulah kakak terperangah dan kaget setengah mati karena wajah orang itu rusak berat sampai tidak bisa dikenali, darah juga membasahi mukanya. Namun itu tidak lama, tiba-tiba perempuan itu menghilang dari pandangan ketika derap langkah kaki kak Anton terdengar di depan pintu warung.

“Andi... kamu kenapa? Kok pucat begitu kayak habis lihat hantu?” tanya kak Anton bingung, dia menatap kak Andi dengan lekat.

“Ini juga, kok bau dupa sih? Emang tadi ada pengunjung yang bawa dupa? Atau?” tanya kak Anton beruntun sambil hidungnya naik turun mencari arah bau, namun kakakku tidak bisa mencernanya karena dia masih shock dengan kejadian barusan.

“Oke deh, kamu minum dulu!” menyadari ada sesuatu yang tidak beres kak Anton lalu memberikan segelas air putih kepada kak Andi.

Setelah minum air putih, kak Andi merasa lebih mendingan, dia bisa menata diri dan berpikir dengan jernih, sebenarnya dia ingin segera bercerita tapi dia urungkan karena dia tidak mau kak Anton jadi ketakutan dan ngambek jualan. Peristiwa itu baru dia ceritakan beberapa bulan kemudian saat kak Anton sudah mulai terbiasa dengan warungnya dan ketika cerita hantu kuntilanak itu menguap seiring waktu.

No comments:

Post a Comment

La Planchada