Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang ada di kota Medan. Sebagai sekretaris dari seorang Manager Pemasaran kadang aku mesti ikut serta keluar kota, kebetulan boss-ku seorang perempuan jadi aku lebih leluasa dan nyaman untuk mengikuti beliau melakukan tugas kantor ke luar kota. Kalau jarak tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan kendaraan mobil, biasanya cukup dengan menggunakan mobil kantor dan sopir yang sudah disediakan oleh perusahaan.
Namun kadang kala kita mesti pergi ke kota di lain provinsi sehingga mesti menggunakan pesawat untuk menjangkaunya. Nah kalau itu sih aku lebih senang lagi karena bisa menambah pengalaman mengunjungi lain kota... anggap saja wisata gratis karena akomodasi ditanggung perusahaan... hahahah. Biasanya kami akan menginap di hotel bila pekerjaan tidak selesai dalam satu hari, tapi aku tidak bisa menikmatinya karena di hotel juga hanya buat numpang tidur saja karena seharian sudah lelah bekerja dan esoknya mesti keluar lagi buat bekerja.
“Besok kamu akan keluar kota ya?” tanya Riris, teman satu kostku.
“Yoi...!” jawabku pendek. Aku sedang sibuk mengemasi barang keperluan pribadi yang akan aku bawa besok.
“Asyik ya... bisa bekerja sekalian piknik!” sungut Riris seperti cemburu.
Aku tersenyum kecil. Sebenarnya aku dan Riris sama-sama bekerja sebagai seorang sekretaris tapi di perusahaan yang berbeda. Hanya saja Riris kerja kantoran, beda dengan aku yang kadang mesti keluar kota mengikuti boss.
“Kamu menginap di hotel?” lanjutnya.
“Yaah... meski nginap di hotel berbintang toh cuma buat numpang tidur aja!” balasku santai sambil tanganku terus mengemasi barang.
“Tapi kan asyik tuh bisa buat bahan cerita ke teman-teman kalau sudah pernah menginap di hotel ini... hotel itu...!” ucap Riris, “Eh tapi pernah mengalami peristiwa aneh belum?” lanjutnya.
Aku kaget dengan perkataanya yang terakhir, sampai aku menghentikan kegiatanku dan mengalihkan pandangan kepadanya.
“Maksud kamu apa?” tanyaku sambil memasang muka bingung.
“Masa nggak paham sih maksudku... kan kamu tahu kalau banyak cerita seputaran hotel... nggak hanya yang enak dan asyik-asyik saja, tapi juga...!” dia menghentikan ucapanya.
Aku jadi penasaran, “Tapi apa?”
“Nih baca!” Riris mengambil koran yang ada di meja lalu menunjukkan sebuah artikel yang ada di salah satu halamannya kepadaku.
Kubaca judul yang tertera disitu, “Seorang wanita ditemukan bunuh diri di salah satu kamar hotel.”
“Iiih... serem amat, bunuh diri...!” teriakku.
“Nah itu tuh yang kumaksud!” potong Riris cepat. “Kita kan nggak pernah tahu apakah kamar yang kita tempati itu pernah digunakan sebagai tempat kejadian perkara orang bunuh diri atau enggak?”
“Aduh kamu tuh nakut-nakutin aja!” balasku kurang suka.
“Bukan nakut-nakutin, tapi...!”
Kali ini aku yang memotong ucapannya, “Tapi apa?”
“Waspada ajalah kalau ada sesuatu yang mencurigakan!” Riris seakan mengingatkanku, atau mungkin dia hanya iri saja ya?
“Tenang ajalah Ris, kalau menginap aku selalu bersama bu Amanda. Beliau itu sebenarnya juga penakut kayak aku. Jadi dia nggak mau menginap sendirian. Menurut rumor di kantor, bu Amanda pernah “diganggguin hantu” saat menginap di sebuah hotel, sejak saat itu dia selalu membawa sekertarisnya buat menemani. Jadi antara aku dan bu Amanda tuh saling menjaga!” terangku panjang lebar.
“Ya syukurlah kalau begitu, kamu tidak tidur sendirian di kamar hotel, lebih aman dari gangguan hantu!” balas Riris sambil manggut-manggut.
“Lagian aku juga belum pernah mengalami hal-hal aneh seperti itu!” lanjutku.
“Semoga kamu dapat pengalaman baru hal seperti itu deh... biar bisa buat bahan cerita!” canda Riris sambil tertawa.
“Ih nggak lucu ah... amit-amit aku nggak mau menemui hal-hal seperti itu!” balasku sambil cemberut.
Riris tertawa lagi, lalu berucap, “Bercanda aja kok, jangan dimasukin hati!”
“Kamu sih...!” gerutuku.
“Sudahlah... oleh-olehnya aja ya!” balas Riris.
“Yah... buntutnya tuh!” kataku seraya mengangkat bahu.
Kami berdua lalu tertawa bersama.
Seperti yang pernah aku ceritakan ke Riris kalau hari itu aku mesti mengikuti bu Amanda –pimpinanku, kami akan pergi keluar kota untuk beberapa hari dengan menggunakan mobil perusahaan.
Pagi itu kami bertiga sudah siap dengan barang bawaan masing-masing. Kulihat pak Mathias –sopir perusahaan– sedang memanasi mobil, sedangkan Ibu Amanda –Manajer Pemasaran, masih sibuk dengan telpon genggamnya. Aku sendiri juga sedang memeriksa file-file yang mesti dibawa jangan sampai ada yang tertinggal, kucocokkan lagi daftar file yang diminta beliau kemarin dengan yang kubawa. Yup, semua sudah ada. Setelah beberapa saat, pak Mathias mengambil barang bawaan kami untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sedang tas tangan kami bawa sendiri sendiri.
“Bu Amanda, semua sudah siap!” aku melapor ke beliau bahwa semua sudah beres, tinggal menunggunya untuk segera berangkat.
Bu Amanda mengangkat jarinya sebagai tanda bahwa ia perlu beberapa saat untuk menyelesaikan pembicaraanya di telpon genggamnya. Setelah selesai menelpon dan menutupnya, beliau bergegas ke arah kami. Masuk ke dalam mobil, beliau duduk di kursi baris kedua, sedang aku duduk di depan dengan pak Mathias. Tiga hari ke depan ini kami memang ada tugas keluar kota mengurusi pemasaran. Biasanya kami menginap di hotel untuk dua kamar. Satu kamar untuk pak Mathias dan satu lainnya untuk bu Amanda dan aku –staffnya.
“Sari, semua file permintaanku kemarin sudah dibawa kan? Jangan ada yang sampai ketinggalan lho!” tanya bu Amanda membuka pembicaraan.
“Iya Bu, daftar catatan ibu kemarin sudah saya cocokan dengan file-file yang dibawa. Semua sudah siap,” jawabku dengan suara mantap.
“Pak Mathias sudah check kondisi mobil kan?” tanya beliau kepada pak Mathias.
“Sudah Bu, kemarin sudah dicheck. Bensin juga sudah penuh,” jawab pak Mathias
“Oke lah, rencana kita tiga hari, tapi kalau bisa cepat selesai ya cepat pulang. Semoga saja semua lancar,” kata bu Amanda menutup pembicaraan.
“Amin, iya Bu,” jawabku pendek.
Sepanjang perjalanan kami mendengarkan lagu-lagu yang diputar di player mobil, kebanyakan CD-nya dari bu Amanda yang berisi lagu-lagu lawas baik lagu dalam maupun luar negeri. Lagu-lagu itu membuatku sedikit mengantuk, maklum nadanya mendayu-dayu. Kulihat dari kaca spion depan, bu Amanda juga terkantuk-kantuk. Hanya pak Mathias yang mesti terus terjaga menyetir mobil, tapi bu Amanda sudah berpesan kepadanya agar menepi dan istirahat dulu bila lelah ataupun mengantuk.
Sejak siang sampai sore kami sudah bertemu tiga klien di tempat yang berbeda. Rata-rata urusan pekerjaan berjalan lancar, maklumlah hubungan yang terjalin juga sudah lama jadi unsur kepercayaan sudah terbentuk, jadinya ya mulus saja. Aku berharap demikian agar cepat pulang juga... hehehe. Tapi biasanya kalau menembus klien yang baru, memang agak lama. Selain presentasi produk dan tanya jawab yang memakan waktu cukup lama, belum tentu juga produk perusahaan kami bisa masuk ke mereka, tapi ya itulah risiko pekerjaan.
Menjelang petang, kami sampai di hotel. Kami belum pernah menginap di hotel itu sebelumnya, itu adalah referensi teman bu Amanda. Aku sudah reservasi sebelumnya jadi lebih cepat untuk check-in.
“Nomor 310 dan 311, ini kuncinya,” kata resepsionis seraya menyerahkan kunci-kunci itu kepadaku.
Diantar room boy yang membawakan tas-tas bawaan, kami segera menuju kamar. Kamar kami terletak berdampingan di lantai tiga. Nomor 310 ditempati oleh pak Mathias dan kamar 311 untuk bu Amanda dan aku.
“Oh ya Pak Mathias, nanti jam tujuh kita keluar untuk makan malam, kita bertemu di lobi saja,” Seru bu Amanda sesaat sebelum masuk kamar.
“Baik Bu,” jawab pak Mathias seraya menganggukkan kepala.
Aku mengikuti bu Amanda masuk kamar.
“Aku mandi dulu ya Sari,” lanjutnya, “Kamu santai saja dulu menonton televisi atau apalah yang kamu mau,” ucap beliau.
Aku mengangguk, setelah kudengar pintu kamar mandi terkunci aku lantas rebahan di tempat tidur dan memandang sekeliling kamar. Hotel yang kami tempati memang termasuk kelas menengah tapi cukup bersih dan nyaman. Maklumlah kami bekerja di perusahaan yang belum begitu besar jadi dana untuk keluar kota juga terbatas agar efisien.
Ada dua tempat tidur ukuran single yang dibatasi sebuah meja nakas kecil di tengah. Di atas meja ada pesawat telpon, remote tv dan buku hotel. Di depan sebelah atas tempat tidur kami ada sebuah televisi. Sedang di samping tempat tidurku berdiri almari besar dan di sebelahnya kamar mandi. Iseng-iseng kuambil buku hotel dan kubaca-baca, seperti biasanya isinya cuma tata tertib menginap, nomor-nomor telepon dan buku menu yang siap dipesan dari kamar.
Kututup buku itu dan kuletakkan kembali. Mau mengambil remote tv rasanya malas, toh sebentar lagi giliranku mandi, kan nanti jam tujuh mau keluar makan. Sambil menunggu bu Amanda selesai mandi aku hanya rebahan saja di atas tempat tidur, lelah juga setelah seharian mengikuti bu Amanda ketemu klien.
Jam tujuh kurang sedikit bu Amanda dan aku sudah ada di lobi, kulihat pak Mathias sedang duduk di sebuah sofa dan membaca koran.
“Malam Pak Mathias!” sapa bu Amanda sambil duduk di kursi di samping sofa, aku juga turut duduk di kursi sebelahnya.
“Malam, Bu!” balasnya seraya melipat koran ke bentuk semula dan memasangkannya kembali ke rak tempat koran.
“Sudah pada lapar kan? Ayo berangkat!” ajak bu Amanda.
Lalu kami bertiga berjalan menuju area parkir di depan hotel, sudah ada beberapa mobil yang terparkir disitu, kata bu Amanda kalau musim liburan kamar-kamar hotel ini penuh dibooking wisatawan. Memang ada masa-masa penuh dan ramai ada pula masa pas sepi pengunjung, nah hari ini lumayan sepi jadi suasana hotel juga sedikit lengang. Enakan juga begini, tidak banyak orang jadi lebih nyaman. Tapi kalau bagi hotelnya ya pasti ingin ramai terus, siapa sih yang tidak mau untung?
Setelah keluar dari hotel, kami bertiga berputar ke arah kota dan melihat sekeliling jalan untuk mencari rumah makan yang cocok. Biasanya kami mencari makanan khas daerah setempat untuk mencicipi dan melatih lidah kami untuk mencoba merasakan makanan daerah lain.
“Bu, setelah makan ini Sari bermaksud ke toko oleh-oleh sebentar karena ada titipan dari keluarga!” ucapku minta ijin pada bu Amanda seusai kami selesai makan.
“Nanti Sari bisa pulang naik taksi,” lanjutku lagi.
Aku menyadari pak Mathias pasti sudah sangat kelelahan karena seharian mengantar kami kemana-mana, kulihat juga mata pak Mathias sudah kelihatan letih... sudah mengantuk.
“Ya tentu saja bisa, kan ini jam bebas. Tapi pulangnya jangan terlalu malam... dan kamu mesti berhati-hati. Kalau ada apa-apa telpon!” jawab bu Amanda.
“Maaf Dik Sari, apa perlu nanti dijemput kalau sudah selesai, kan...” belum selesai pak Mathias menyelesaikan ucapannya aku segera memotongnya.
“Oh tidak perlu Pak, nanti Sari bisa naik taksi, lagipula ini kan urusan pribadi Pak. Cuma mencarikan titipan oleh-oleh saja!”
Akhirnya bu Amanda dan pak Mathias kembali ke hotel duluan. Sedang aku berjalan menuju deretan toko oleh-oleh yang letaknya tidak jauh dari restoran tempat kami makan.
Ya beginilah repotnya kalau ada yang menitip barang atau oleh-oleh. Aku hanya ada waktu bebas di malam hari. Kalau mau meminta tolong ke pak Mathias juga tidak enak. Bu Amanda sendiri orangnya sangat efisien, pekerjaan di luar kota selalu padat dan setiap kali selesai... ya terus pulang saja, kapan dong aku bisa punya waktu luang kalau tidak malam hari?
Aku memasuki sebuah toko oleh-oleh itu, tempatnya yang nyaman dan cukup luas membuatku leluasa melihat-lihat barang-barang yang dipajang. Segera kucari jenis makanan yang bisa dimakan seluruh anak kost. Riris biasanya akan cerita ke teman-teman lainnya kalau aku ada acara keluar kota. Bisa dipastikan setelah aku pulang nanti aku mesti ditodong oleh mereka buat meminta oleh-oleh.
“Mbak, ada diskon nggak bila membeli lima plastik?” tanyaku pada seorang pramuniaga toko itu.
Aku menunjuk ke deretan makanan yang berjejer di atas rak. Tampaknya makanan itu enak dan dibungkus dengan apik.
“Maaf Mbak, tidak ada diskon. Jenis makanan yang lain juga masih banyak!” jawabnya halus, sedang tangannya menunjuk ke beberapa makanan lain yang terpajang.
Tapi aku sudah terlanjur tertarik dengan makanan itu, lagipula itu hanyalah oleh-oleh. Sebelum membayar di kasir aku sempatkan berkeliling toko untuk sekedar melihat-lihat barang-barang yang lain. Semua tampak bagus dan menarik, kalau ada dana lebih sih siapa yang tidak mau membeli dan dibagikan ke teman-teman untuk oleh-oleh?
Setelah membayar aku keluar toko bermaksud mencari taksi, tapi mataku tertuju ke sebuah mall di depan, ada umbul-umbul bertuliskan midnight sale. Gilaa... siapa yang tidak kepingin coba? Siapa tahu ada barang bagus yang didiskon besar... lumayan kan? Kalaupun tidak ada dana atau dana tidak mencukupi bisalah buat sekedar cuci mata saja, apalagi jam tanganku baru menunjuk angka sepuluh lebih beberapa menit. Pikirku tak apalah melihat-lihat sebentar.
Tak terasa, aku sudah menghabiskan waktu lama di mall itu, jam sudah menunjuk angka sebelas malam lebih. Aku segera keluar mall untuk mencari taksi, untunglah aku segera mendapatkannya. Kusebutkan nama dan alamat hotel tempat kami menginap kepada sopirnya, dia langsung mengerti.
Sesampai di hotel aku segera menuju tangga ke lantai tiga. Suasana hotel sungguh sepi, mungkin sudah pada tidur karena kebanyakan para penghuninya menginap untuk keperluan bisnis. Namun sesampai di lantai dua langkahku terhenti begitu melihat sesosok perempuan yang berjalan beberapa tangga di atasku naik menuju lantai tiga. Dari belakang aku bisa mengenali bahwa itu sosok bu Amanda, bahkan pakaiannya juga sama seperti waktu tadi kami berangkat makan malam.
“Bu Amanda belum tidur?” sapaku.
Tapi beliau seperti tidak mendengar, dia terus saja naik ke anak tangga selanjutnya. Wah aku terpaksa mengikutinya, bagaimana aku bisa masuk kamar kalau tidak ada bu Amanda? Aku berusaha menyusul langkahnya agar bisa lebih dekat dan bisa berbincang kepadanya, tapi entah mengapa langkah beliau yang tampak pelan itu tidak bisa aku susul.
Begitu sampai di lantai empat, kulihat dia berjalan menuju lorong ke arah kamar-kamar yang berjajar saling berhadapan. Kamar-kamar itu sebagian besar sudah tertutup, hanya ada beberapa orang saja yang berlalu lalang di sepanjang koridor itu. Sebenarnya aku ingin memanggilnya dengan sedikit lebih keras tapi aku urungkan, tidak pantaslah di dalam hotel teriak-teriak apalagi bu Amanda itu atasanku. Bisa diberi angka merah dong.
Tapi masa beliau tidak mendengar sapaanku sih? Kan suasana lorong juga sepi? Apa mungkin lagi banyak pikiran ya? Terus juga ngapain dia ke lantai empat, bukankah kamar kami menginap ada di lantai tiga? Mmmh... bisa saja dia ada teman yang juga menginap di hotel ini... atau... ah sudahlah, aku nggak mau membayangkan yang tidak-tidak.
Sesampai di sebuah pintu kamar, kulihat bu Amanda membukanya dan masuk ke dalamnya. Pintu itu dibiarkan sedikit terbuka. Aku agak ragu untuk ikut masuk, siapa tahu beliau ada keperluan pribadi di kamar itu. Kuketuk pelan pintu itu, berharap bu Amanda atau penghuninya mau menemuiku. Aku hanya akan meminta kunci kamar saja agar aku bisa istirahat. Beberapa saat menunggu tidak ada balasan, aku tetap tidak berani untuk masuk, aku hanya mendorong sedikit daun pintunya agar lebih lebar siapa tahu bu Amanda melihatku lalu menghampiriku? Tapi mataku terkesima melihat pemandangan di dalam ruangan itu. Meski dari pintu aku cuma bisa melihat sebagian saja, tampak bahwa kamar itu sungguh berantakan, beberapa pakain dan kertas-kertas berserakan di lantai... dan mataku terbelalak melihat ada bercak-bercak darah di sekitarnya. Aku bingung mau berbuat apa.
Aku semakin resah, kupikir lebih baik aku kembali ke lantai tiga dan menemui pak Mathias untuk meminta bantuan, aku takut terjadi apa-apa dengan bu Amanda. Namun belum sempat kakiku berbalik tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang begitu saja muncul di hadapanku, wajah dan tubuh perempuan itu berlumuran darah, mengerikan sekali, aku bahkan sampai menjerit dan secara refleks mundur beberapa langkah. Namun sosok perempuan itu menghilang begitu saja dan pintu itu seperti ditutup dengan keras dari arah dalam, kini yang kulihat hanyalah sebuah pintu yang tertutup rapat dengan pita kuning yang terbentang.
Seorang pria setengah baya tergopoh-gopoh datang menghampiriku dan bertanya, “Ada apa Dik kok teriak?”
Aku diam sesaat mengatur napas, “Mmmhm... nggak apa-apa Pak,” lanjutku, “Cuma penasaran saja Pak kok pintu ini ada pita kuningnya, ada apa ya?”
“Oh... itu semacam garis batas polisi Dik, barusan di kamar ini terjadi peristiwa bunuh diri. Korbannya seorang perempuan. Kasihan sekali... bahkan...”
“Oh terima kasih Pak informasinya,” potongku pendek. Aku terkejut mendengar penjelasan bapak itu, tiba-tiba kurasakan badanku dingin menggigil.
“Maaf Pak, aku mau kembali ke kamar. Selamat malam Pak,” tutupku, seraya bergegas berjalan menuju tangga ke arah lantai tiga. Aku bergidik mengingat kejadian tadi, aku ingin cepat-cepat sampai kamar.
Namun sampai kamar aku semakin terkesima, karena kulihat bu Amanda yang menangis sesenggukan ditemani oleh pak Mathias.
“Maaf Bu... saya kemalaman sampai hotel!” ucapku lirih.
Aku tidak enak hati karena terlambat pulang, namun juga bingung dengan keadaan yang ada di hadapanku. Kenapa bu Amanda menangis? Dan kenapa pak Mathias ada di kamar itu? Terlebih reaksi bu Amanda yang tetap saja duduk terdiam dan terus saja menangis. Dia seakan tidak menghiraukanku.
“Dik Sari, mari duduk sebentar!” Pak Mathias berjalan menghampiriku lalu membimbingku duduk di kursi.
“Ada apa Pak?” tanyaku kebingungan campur cemas.
“Teman bu Amanda bunuh diri di kamar lantai atas!” terangnya benar-benar mengagetkanku.
“Maksud Pak Mathias?” jeritku tidak percaya.
“Saya juga kurang tahu permasalahannya apa, kata bu Amanda beliau juga tidak tahu kalau temannya itu menghinap disini.”
“Tapi kata bu Amanda, hotel ini referensi dari temannya...!”
“Saya juga belum jelas tentang benang merah peristiwa ini, mengapa korban memberi referensi bu Amanda buat menginap disini karena ini masih dalam penyelidikan kepolisian. Sekarang tugas kita adalah menenangkan bu Amanda!”
Aku terdiam dan jadi teringat peristiwa yang barusan ku alami. Mengapa arwah perempuan itu muncul dengan balutan sosok bu Amanda? Kenapa dia seakan membimbingku menuju kamarnya? Sejuta pertanyaan hadir di benakku dan itu membuatku takut dan gemetaran. Tentu saja aku tidak bisa langsung menceritakan kejadian yang kualami karena kondisi bu Amanda yang lagi drop. Kepada pak Mathias? Apa mungkin dia mempercayaiku?
Ah sudahlah... aku tidak mau memikirkan itu. Aku akan menunggu dulu waktu yang tepat. Saat ini aku benar-benar hanya ingin pulang ke kost dan bercerita kepada Riris, tapi aku menyadari itu tidak mungkin.
No comments:
Post a Comment