Kisah hantu kali ini terinspirasi dari cerita sahabat saya yang tinggal di Kota Bandung. Peristiwa itu terjadi ketika dia ada kegiatan kemah di Bumi Perkemahan Gunung Puntang Kabupaten Bandung. Letaknya dekat dengan Pangalengan tempat penghasil susu yang sudah terkenal di Indonesia. Meskipun kejadian mistis itu dialami oleh salah seorang temannya, tapi ia dan teman yang lain merasakan ketakutan juga. Menurut ceritanya, Bumi Perkemahan Gunung Putang memiliki kaitan yang erat dan merupakan saksi kebesaran bangsa Belanda. Di tempat tersebut pernah dilakukan pembangunan gedung radio terbesar se-Asia Tenggara.
Konon, sosok tersebut sudah tinggal di daerah Gunung Puntang sejak lama. Lokasi perkemahan teman saya tepat berada di sekitar Goa Belanda. Yang lebih menyeramkanya lagi, di malam hari teman saya melihat penampakan kepala yang bergeletakan serta kumpulan potongan kaki dan tangan yang bersimbah darah. lokasi penampakan itu berada di sekitar bekas reruntuhan rumah para warga Belanda.
Selain wujud kepala dan potongan tubuh manusia, teman saya juga melihat sosok manusia bertubuh kurus kering seperti tidak diberikan makanan. Dan sosok hantu itu terdengar merintih kesakitan serta sedang meminta tolong. Untuk membuktikan rasa penasarannya dia menuju ke Goa Belanda. Di depan goa ternyata muncul penampakan sosok bertubuh besar atau masyarakat sekitar sering menyebutnya sebagai sosok genderuwo.
Karena merasa terganggu dan menghindari hal yang tidak diinginkan, akhirnya teman saya pergi meninggalkan goa tersebut dan kembali ke perkemahan. Cerita nyata tersebut juga dibenarkan adanya oleh pemilik warung yang berjualan di sekitar perkemahan. Si pemilik warung juga berpesan agar tidak sembarangan berbicara. Karena sebenarnya apabila tidak ada yang menganggu, maka hantu seram penunggu Gunung Puntang itu juga tidak akan menghantui.
Dan inilah cerita versi lain dari hantu yang terjadi di bumi perkemahan. Pagi itu kami sudah siap di depan sekolah, Kami dengan nama kelompok “Padi” duduk bergerombol di ujung halaman sekolah. Ada enam orang anak di setiap kelompok yang nantinya akan mendapat jatah satu tenda. Annisa, ketua kelompok, kami duduk di tengah-tengah. Kulihat kelompok-kelompok yang lain juga duduk bergerombol sendiri-sendiri, kami semua saling bercakap dan bersenda gurau. Saat ini kami masih menunggu truk yang akan mengangkut kami menuju bumi perkemahan. Para guru pembimbing juga duduk santai di bangku, beberapa dari mereka telepon dengan handphone, dan lainnya bercakap sesama guru. Seperti kami, para guru juga sedang menunggu truk, tapi mereka tidak naik truk, ada dua buah mobil jenis kijang yang akan membawa mereka. Mobil itu akan stand by di tempat perkemahan. Kalau truk hanya akan mengantar kami sampai sana, lalu akan datang lagi untuk menjemput saat acara kemah selesai.
Tak seberapa lama, tiga buah truk datang ke sekolah kami, truk-truk itu lalu menepi. Para sopir dan kernet turun untuk kemudian mendatangi para guru guna melapor. Setelah itu para guru menyuruh kami berbaris, ketua kelompok berdiri paling depan,dan para anggotanya berbaris di belakangnya. Total ada sepuluh kelompok dengan empat kelompok anak perempuan dan sisanya enam kelompok anak laki-laki. Memang acara kemah ini hanya untuk anak-anak kelas dua saja. Anak kelas satu belum boleh, sedang anak kelas tiga sudah harus berkonsentrasi untuk ujian dan persiapan masuk perguruan tinggi.
Setelah diberi sedikit wejangan dan nasihat dari salah seorang guru yang merupakan pemimpin acara berkemah, kami lalu naik truk yang sudah disediakan. Setelah semua masuk berikut barang-barang yang kami bawa, pak sopir dan kernet menutup pintu atau papan belakang dan menguncinya. Seperti wejangan sebelumnya kami tidak boleh bergelantungan di atas bibir truk, berbahaya karena bisa jatuh. Kami cuma duduk atau berdiri di balik bibir truk sambil berpegangan. Lalu iring-iringan truk pun berjalan diikuti dua mobil para guru.
Sesampai di perkemahan, hari sudah menjelang siang. Kami turun dari truk dan membawa barang-barang menuju lahan perkemahan itu. Tempatnya terletak di kaki gunung, jadi udara dingin cukup terasa meski siang hari. Rerumputan menutupi lahan perkemahan laksana permadani, di sekelilingnya ada pohon-pohon besar yang mirip pagar saja. Di bagian depan ada bangunan tembok memanjang, itu nanti untuk tempat para guru. Dan di sampingnya berjejer kamar mandi buat kami semua.
Setelah dikumpulkan sebentar dan diberi nasihat-nasihat, kami mulai membangun tenda, tiap kelompok ada yang diberi tugas mendirikan tenda tapi sebagian lagi kebagian mempersiapkan masakan untuk santap siang. Setelah itu ada jam bebas bagi kami sampai saat Ashar, karena jam empat kami harus berkumpul untuk melakukan acara selanjutnya.
“Bertha, Cici, Dinda... kalian membantu aku mendirikan tenda,” Annisa sang ketua kelompok mulai membagi tugas, sambungnya, “Eki dan Fifi, kalian bertugas mempersiapkan makan siang.”
Mendapat tugas dari ketua, kami segera bergerak mengerjakan, kami tidak mau nanti paling akhir selesai... kan malu dengan kelompok yang lain.
Kulihat Annisa dan empat orang teman kami mulai sibuk mendirikan tenda, sedang Fifi dan aku mulai meracik bumbu dan memotong-motong bahan makanan. Sebelumnya aku memasak nasi, jadi menunggu nasi matang, bahan makanan sudah siap untuk dimasak.
“Eki, tahu nggak? Kata teman-teman tempat perkemahan ini keramat lho!” ucap Fifi sembari memotong sayuran.
“Siapa yang bilang? Buat nakut-nakutin saja kali!” kataku sambil terus saja meracik bumbu.
Aku yakin itu cuma gosip yang dihembuskan para anak lelaki buat menakut-nakuti anak-anak perempuan.
“Yuda yang cerita, katanya kakaknya pernah kemah di tempat ini, terus ada yang kesurupan gitu... hiiii!” Fifi berbicara dengan mimik serius.
Aku menghentikan kegiatanku membuat bumbu, aku melihat sejenak ke arahnya.
“Kata orang sih, kita bisa kesurupan karena pikirannya kosong, makanya jangan berpikir yang tidak-tidak...!” jawabku santai, lagian ngapain pula membayangkan yang aneh-aneh? Mendingan menikmati suasana berkemah dengan teman-teman kan?
Fifi tertawa, “Eh, tadi kita melewati sungai ya? Kayaknya adem tuh. Kalau pas longgar nggak ada kegiatan main yuk ke sungai!” Fifi mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Boleh juga, tapi diijinkan guru nggak ya?” tanyaku.
“Nggak usah ijin segala nanti malah repot... heheheh...!” Fifi terkekeh.
“Maksudmu, kita curi-curi waktu gitu?” aku kurang mengerti dengan ucapan Fifi karena jadwal berkemah ini cukup padat, kapan pula bisa mencuri waktu?
“Yupp...!” dia mengangguk mantap.
“Kapan Neng bisa curi waktu? Tahu sendiri kan acaranya begitu padat?” aku geleng-geleng kepala.
“Yah kamu tuh... sepadat apapun itu nggak mungkinlah sampai seharian penuh! Iya kan?” dia balik bertanya.
“Iya... aku ngerti! Tapi kapan? Masa tengah malam saat orang tidur?” aku juga balik bertanya.
“Ya enggak lah kalau tengah malam, ngapain juga ke sungai tengah malam gitu! Takut juga dong kita...!”
“Terus?” potongku.
“Habis shalat Subuh aja... nanggung kalau tidur lagi... kan jam enam sudah mesti bersiap-siap? Jadi kita ada waktu sekitar satu jam buat mencuri waktu main ke sungai!” jawabnya kalem, tapi patut diancungi jempol juga.
“Kulihat tadi sungainya tidak deras. Paling juga tidak terlalu dalam. Tadi aku lihat ada anak-anak kecil bermain dan mandi di sungai itu,” tambahnya lagi.
Memang saat truk menuju ke tempat ini, kami melewati perkampungan penduduk yang berbatasan dengan sungai yang aliran airnya tampak tenang serta tampak tidak terlalu dalam karena kami melihat anak-anak yang masih seumuran anak SD bermain-main disitu, kaki mereka yang terendam air juga cuma sebatas lutut, jadi aku yakin sungai itu dangkal.
“Mmmhmmm... bisa juga nih!” seruku, kulihat Fifi tersenyum mendengar jawabanku.
Kami berdua memang klop deh kalau urusan main... heheheh.
“Oke deh kalau gitu, sekarang kita konsentrasi bikin makanan,” lanjut Fifi.
Sesaat kemudian, Annisa dan teman-teman selesai mendirikan tenda, nasi juga sudah matang. Hanya sayuran dan lauk yang masih dalam proses.
“Gimana nih... sudah matang belum? Annisa bertanya kepada kami para petugas masak
“Iya nih... sudah lapar!” tambah Cici sambil memegang perut seperti orang kelaparan.
“Aduh baunya...!” Bertha menggerak-gerakkan hidung mencium bau masakan kami.
“Baru dimasak, sebentar lagi juga matang,” jawab Fifi sambil mengaduk-aduk sayuran yang kami masak.
“Aku mempersiapkan piranti makannya dulu deh, sebentar lagi kan semua matang!” seruku pada mereka semua.
Kemudian aku mengambil piring, sendok dan botol-botol minuman. Kutaruh berjejer di samping tenda dekat dapur darurat kami. Lalu kuambil nasinya dan kubagikan merata di atas piring. Setelah sayur dan lauk matang, aku dan Fifi mulai membaginya di atas piring piring itu.
“Nih, sudah matang... ayo makan ramai-ramai!” ajakku pada teman-teman semua. Kami lalu berebut duduk dan makan bersama.
“Ah masakan kalian memang enak!” puji Annisa. Dia makan dengan lahap. Kami senang melihatnya.
“Calon ibu rumah tangga yang baik tuh!” timpal Dinda kalem, dia menyendok makanan pelan-pelan dan memasukkan ke mulut dengan santai.
Dinda memang anak yang tenang dan keibuan. Pantas saja meski teman yang lain tampak lahap dia tetap saja santai menikmati makanan.
“Atau mungkin karena nggak ada alternatif makananan yang lain tuh... jadi terasa nikmat!” gurau Cici sembari mengerling ke kami.
“Bisa jadi tuh... kalau perut sedang lapar, apa saja juga terasa enak!” tambah Bertha mengamini ucapan Cici.
“Sudahlah... nggak usah diperpanjang, kita nikmati makanan yang tersaji!” Annisa menengahi. Kamipun lalu menghentikan gurauan kami, dan melanjutkan melahap makanan itu.
“Eh nanti acara sore hari apa tuh?” tanyaku pada Annisa setelah selesai makan.
“Ah cuma upacara sore dan wejangan wejangan. Besok baru acara inti dilaksanakan. Paling nanti malam cuma acara hiburan bersama-sama,” jawab Annisa sambil menaruh piring kotor di tumpukan.
“Wah padahal kita ingin main-main di sungai di belakang perkemahan ini! Kayaknya asyik tuh buat mendinginkan kaki!” Fifi berbicara dengan antusias.
“Lebih baik nanti saja setelah acara inti selesai, biasanya di sela-sela acara yang sudah dijadwalkan pasti ada jeda waktu luang. Kita bisa pergunakan untuk bersenang senang,” Annisa mencoba menjelaskan kepada kami.
“Kata Fifi, tempat ini keramat ya?” tanyaku membuka topik pembicaraan yang lain.
“Keramat? Maksudnya?” ujar Dinda setengah bertanya.
“Iya, Yuda cerita, kakaknya pernah kemah disini, terus ada yang kesurupan gitu!” jelas Fifi dengan wajah serius.
“Yaaahh... itu kan akal-akalan si Yuda saja buat nakut-nakutin kamu?” seru Annisa dengan santai.
“Iya, masa nggak tahu sih kalau Yuda naksir kamu?” Cici menimpali dengan bercanda.
“Maksudmu apa?” Fifi seakan tidak terima dengan candaan Cici.
“Loh... kalau kamu ketakutan, Yuda kan siap jadi pangeran yang siap menolong kamu!” kelakar Cici diikuti derai tawa kami semua. Fifi cuma cemberut saja.
“Ah sudahlah, tidak usah diperpanjang. Ikuti saja program yang sudah ditentukan. Terus kalau ada waktu kosong bisa lah kita bergantian main ke sungai atau kemana sesuka kalian. Asal di jam yang yang sudah ditentukan kalian harus sudah hadir disini, jangan sampai bikin malu dan repot kita semua!” Annisa menengahi dengan panjang lebar. Kami semua cuma mengangkat bahu mengikuti kata Annisa.
Sore itu kami melakukan upacara sore, dan malamnya kami mengisi acara hiburan dengan kelompok yang lain. Kami menampilkan tarian dan nyanyian semacam operet untuk menghibur. Setelah selesai dan malam menjelang kami kembali ke dalam tenda masing-masing untuk beristirahat.
“ Wah kelompok “Kelapa” bagus banget ya pentas hiburannya!” seru Bertha, tangan kanannya sibuk menyisir rambutnya yang panjang, sedang tangan kirinya memegang cermin kecil.
“Ya iyalah, si Jeki dan Anton kan orang seni, mereka yang sering ditunjuk sekolah untuk pentas seni atau lomba seni antar sekolah. Jadi ya wajar saja!” jelas Annisa, membesarkan hati kita semua.
“Lagipula besok masih ada kegiatan-kegiatan lain, bisa saja kita nanti masuk yang terbaik untuk salah satu kegiatan itu, jadi... tetap semangat saja!” sambung Annisa.
“Sekarang mendingan kita istirahat dulu, besok pagi kan Eki dan Fifi ada tugas menyiapkan sarapan. Kalau kita ngobrol terus... wah bisa kesiangan kan?” ujarnya lagi.
Kami mengangguk-angguk tanda menyetujui saran Annisa untuk beristirahat. Kemudian kami mengatur posisi kami agar bisa tidur dengan nyaman. Aku dan Fifi tidur bersebelahan.
“Eki...” bisik Fifi pelan di telingaku.
“Hmmm...” gumamku.
“Besok pagi sehabis shalat Subuh kita bisa main-main ke sungai itu, sebentar saja,” pintanya dengan suara lirih takut ketahuan teman yang lain.
Bukan apa-apa, hanya saja nanti bila Annisa melarang, kami berdua jadi tidak enak hati untuk melanggarnya.
“Yoi, sampai besok pagi!” jawabku juga dengan suara pelan.
Lalu kami berdua menutup mulut kami menahan tawa. Malam itu kami semua tidur nyenyak, hawa pegunungan yang dingin dan angin yang bertiup membuat kami nyaman dalam tidur.
Pagi-pagi buta selepas shalat Subuh, kami berencana melaksanakan niat kami semalam.
“Aku dan Fifi mau mencuci sayuran nih!” aku ijin dulu ke Annisa, agar dia tidak mencari-cari kami.
Untuk mencuci, kami harus ke bangunan “mck” yang sudah tersedia di samping bangunan ruang guru, dan itu agak jauh dari tenda kami. Maklum saja tenda kami ada di sisi lapangan paling selatan, sedang mck itu terletak di sisi utara.
“Iya Nis, kami juga sudang memasak nasi. Belum matang sih! Nitip ya... teman lain suruh mengawasi ya, agar tidak gosong!” timpal Fifi mendukungku.
“Iya... nanti aku bilang teman yang lain!” jawab Annisa kurang hirau, mungkin dia masih mengantuk, atau mungkin dia sedang memikirkan aneka kegiatan yang mesti dijalani kelompok kami nanti. Sebagai ketua kelompok dia memang bertanggung jawab mengaturnya.
Beringsut dari tenda, kami berdua membawa panci berisi sayuran. Setelah melewati beberapa tenda yang berjajar di lapangan itu kami berputar arah. Dengan berlari-lari kecil kami meninggalkan perkemahan menuju sungai dekat perkampungan desa. Hawa gunung yang dingin tidak menyurutkan niat kami. Kami sudah memakai jaket untuk mengurangi rasa dingin itu, juga topi wool yang melindungi kepala. Sebenarnya suasananya masih lumayan gelap karena matahari belum terbit, apalagi sepertinya langit juga sedikit mendung. Tapi semua itu sudah kami perhitungkan. Aku dan Fifi sudah membekali diri dengan senter kecil yang bisa membantu kami berjalan menuju arah sungai.
Dari jalan desa kami harus menerobos masuk ke rerimbunan tanaman-tanaman liar agar bisa cepat sampai di sungai itu. Beberapa kali kami merasakan ranting-ranting liar seperti mencubiti kaki, tapi itu tidak kami rasakan begitu mendengar gemericik suara air yang mengalir tidak jauh dari langkah kaki kami. Benar saja, akhirnya kami sampai di bibir sungai.
“Wah, kita sudah sampai nih!” Fifi berteriak senang. Dia lalu menurunkan panci dan mengangkat celana panjangnya sebatas lutut.
“Tapi pancinya jangan ditaruh disitu, bisa kebawa air... siapa tahu air pasang... hahahah!” candaku kepada Fifi, aku juga ikutan menarik celana panjangnya ke atas sebatas lutut.
“Kayak air laut saja... tapi iya lah aku pindahkan dulu, takutnya terbawa arus!” ujarnya seraya mengambil panci itu kembali dan membawanya ke tanah yang lebih tinggi.
Selanjutnya kami berdua bermain-main air dengan riang, sebenarnya air sungai itu terasa sangat dingin di kaki, tapi tidak kami hiraukan. Sesekali kami saling mencipratkan air ke wajah dan badan, kami cekikikan bersama. Memang menyenangkan bisa mencuri waktu dan bermain sesuka hati. Tak terasa kami berdua asyik bermain sendiri-sendiri, aku dan Fifi tidak menyadari kalau jarak kami berdua semakin menjauh.
“Gila sudah duapuluh menit, harus segera kembali ke tenda nih!” teriakku saat kulihat jam yang melingkar di tanganku.
Aku lalu berdiri dan memandang sekeliling untuk mencari Fifi, dan... tiba-tiba mataku menatap sesuatu yang tidak biasa, aneh... perasaan tadi hanya kami berdua yang bermain air di sungai ini, tapi kenapa sekarang ada beberapa orang? Kulihat Fifi sedang asyik bermain dengan tiga orang perempuan... yang berpakaian tidak umum. Perempuan-perempuan itu memakai pakaian dengan rok menggelembung yang diangkat ke atas. Setelah kuamati dengan seksama mereka ternyata perempuan bule. Meskipun suasana saat itu masih bisa dibilang gelap dan tidak ada lampu, tapi cahaya alam di ruangan terbuka cukup bisa menerangi. Apakah mereka itu noni-noni Belanda? Apa benar cerita orang-orang kalau dulunya tempat ini merupakan tempat favorit bagi mereka? Ah perduli amat... yang penting sekarang aku akan mengajak Fifi kembali ke tenda.
“Fifi... Fifi!” aku memanggil namanya.
“Ayo segera kembali!” aku melambaikan tangan ke arah Fifi, kulihat dia beberapa meter di depan dari tempatku berdiri sekarang.
Tapi dia seakan tidak peduli, mungkin dia terlalu asyik bermain. Akupun lalu berjalan ke arahnya untuk menggapai tangannya dan memaksanya kembali ke tenda. Tapi aneh... semakin aku berjalan mendekatinya semakin dia tampak menjauh, dia juga tidak hirau dengan teriakanku. “Gila ini anak!” aku mengumpat dalam hati.
Sebal rasanya diacuhkan teman. Padahal tadi kami sudah sepakat hanya bermain sekitar dua puluh menit saja lalu akan kembali ke tenda bersama-sama, tapi kini? Fifi malah keasyikan sendiri dengan perempuan bule itu. Aku terus mencoba mendekatinya sambil meneriakkan namanya, tapi sebuah tangan menarikku dari belakang, kupalingkan mukaku ke arah itu. Aku terkejut bukan kepalang... karena orang yang ada di belakangku adalah Fifi.
“Kamu tuh kenapa? Memanggil-manggil namaku tapi malah berjalan menjauh. Lihat nih sudah lebih duapuluh menit. Ayo kita cepat kembali ke tenda!” seru Fifi seperti menahan kesal.
Aku terdiam beberapa saat, aku memandangnya dengan perasaan seakan tidak percaya. Aku yakin bahwa tadi aku melihat sosok Fifi di depanku... kok ini ternyata ada di belakangku? Kualihkan kembali tatapan mataku ke arah depan, tapi sosok Fifi dan perempuan bule itu sudah menghilang.
“Ayooo...” Fifi menarik tanganku dan memaksaku mengikuti langkahnya.
“Eh... sebentar, kamu tadi melihat perempuan perempuan bule seusia kita nggak?” tanyaku penasaran, kupegangi tangannya agar berhenti sesaat.
“Perempuan bule? Ngapain juga mereka kelayapan sampai sini? Kamu tuh ada-ada aja...!” jawabnya sedikit ketus, dia lantas melepaskan pegangan tanganku dan gantian dia yang menarik tanganku.
Aku masih bengong dengan diriku sendiri, tapi aku mengikuti saja langkah Fifi.
Sepanjang perjalanan kembali ke tenda, aku masih diselimuti rasa tidak percaya. Aku bertanya tanya dalam hati... betulkah tadi yang kulihat? Apakah mungkin hanya halusinasiku saja? Ahh aku jadi merinding sendiri, aku ingin segera sampai di tenda.
No comments:
Post a Comment