Thursday, December 5, 2019

Hantu Anak Kecil di Rumah Sakit Bandung


Kejadian itu kualami saat aku kuliah di Bandung. Aku kost di Sukajadi, dan kuliah di UNPAD Jatinangor. Karena dari latar belakang keluarga yang sederhana, terpaksa aku mencari kost yang bisa ditempati untuk tiga orang. Meskipun mesti berbagi ruangan dan privasi pun berkurang tapi kost bertiga bisa menghemat biaya. Untuk urusan adaptasi tidak begitu bermasalah karena kami berasal dari daerah yang sama di Jawa Tengah, yaitu Kebumen. Aku bisa kost bertiga juga atas referensi kakakku, ya... salah satu teman kostku itu adalah teman kakakku yang bernama Ani, dia bekerja di Bandung di sebuah rumah makan, sedang satunya lagi adalah temanku saat sekolah menengah atas di Kebumen, namanya Wiwin, sama seperti kak Ani, dia juga bekerja. Sebenarnya Wiwin juga ingin kuliah, tapi karena tidak ada biaya terpaksa keinginan itu dia tunda dulu. Saat ini dia bekerja di sebuah toko Swalayan.

Peristiwa yang kualami ini berawal dari Wiwin yang merasakan sakit di bagian perutnya di suatu petang.

“Din, perutku kok sakit sekali ya?” keluh Wiwin sambil memegangi perutnya. 

Saat itu kak Ani tidak ada di kost karena kerja di shift kedua, biasanya dia akan sampai ke kost sekitar jam sepuluh malam. Dan aku baru pulang dari rumah salah satu teman kuliahku.

“Lagi diare ya?” tanyaku berbasa-basi, maklum Wiwin itu sudah sering kali sakit diare, setiap kali sakit perut ternyata hanya diare.

“Nggak tahu nih...!” keluhnya lagi. Kulihat dia tiduran di tempat tidur sambil terus memegangi perutnya.

“Udah minum obat kan?” tanyaku, dia menggeleng.

“Nanti aku belikan obat deh... tapi aku mandi dulu ya, gerah nih!” lanjutku.

Wiwin mengangguk, aku lalu menaruh tas di atas kursi dan mengambil peralatan mandi dan baju ganti. Bergegas aku keluar menuju kamar mandi yang ada di ujung lorong kost. Selesai mandi, akupun kembali ke kamar kost... eh ternyata Wiwin masih kesakitan.

“Din, anterin ke rumah sakit dong! Nggak tahu nih... rasanya kok sakit banget dan beda dari biasanya.

“Rumah sakit?” aku terperanjat.

“Ya... mau kan?” pintanya terdengar memelas.

“Tentu saja, aku ganti baju yang pantas dulu ya!” pintaku.

“Ya iyalah... masa pakai daster!” gurau temanku itu.

Aku tersenyum, dia masih bisa bergurau juga walaupun wajahnya agak pucat dan meringis karena kesakitan.
“Aku juga mau bersiap...” ucapnya sambil beranjak dari tempat tidur.

“Iya... terutama siap duit... heheheh!” candaku.

Dia hanya tertawa kecil menanggapi gurauanku.

Singkat cerita kami menuju rumah sakit dengan naik taksi, Wiwin sendiri yang minta karena sudah nggak tahan kalau mesti menunggu angkutan. Aku sih senang saja toh dia juga yang bayar... heheheh. Sesampai di UGD dan diperiksa dokter ternyata Wiwin mesti menginap di rumah sakit alias opname. Itu benar-benar di luar dugaan kami. Karena kondisi keuangan yang terbatas, Wiwin memutuskan mengambil ruangan kelas tiga.

“Maaf ya Din! Nggak nyangka nih kalau aku mesti opname!” kata Wiwin saat aku membantunya naik ke tempat tidur.

“Nggak apa-apa Win, kita mesti saling bantu. Toh bila aku yang sakit... tentu aku akan minta bantuan ke kamu juga!” aku mencoba memberi pengertian.

“Terima kasih Din. Ini kamu mau kembali ke kost ya?” tanya Wiwin.

“Iya, buat ambil barang-barang yang diperlukan. Aku akan catat dulu biar tidak ada yang kelupaan,” jawabku.

“Loh... kamu mau jagain aku?” serunya tidak percaya.

“Besok aku tidak ada jadwal kuliah. Kan besok hari raya Imlek. Jadi aku bebas!”

“Oh iya kalau besok tanggal merah... terima kasih sekali ya?”

“Sudah... kita sekarang catat dulu apa yang perlu dibawa!”

Akhirnya kami berdua berdiskusi barang apa saja yang mesti aku ambil. Untuk diriku sendiri aku hanya butuh air mineral, jaket dan selimut saja.

Selanjutnya akupun berpamitan kepada Wiwin untuk kembali ke kost sebentar buat mengambil barang-barang di catatan itu. Dia memintaku naik taksi saja untuk mempersingkat waktu sehingga bisa menemaninya di rumah sakit. Di benakku aku berharap kak Ani sudah pulang sehingga aku bisa meminjam motornya, karena kalau kemana-mana naik taksi tentu akan memberatkan, toh besok pagi aku bisa kembali ke kost dan mengembalikan motor. Tapi ternyata sesampai kost dia belum pulang, aku bergegas berkemas dan kembali ke rumah sakit dengan naik taksi lagi.

 Singkat cerita, aku menghabiskan malam itu di rumah sakit, tentu saja aku sudah mempersiapkan semuanya termasuk selimut, jaket dan minuman/makanan ringan. Maklum Wiwin berada di sal kelas tiga, jadi tidak disediakan tempat tidur bagi yang menjaga, makanya aku membawa selimut.

“Ini barang pesananmu tadi, aku masukkan ke dalam tas!” seruku sambil menunjukkan tas besar itu kepada Wiwin dan menaruhnya di dalam almari kecil di samping tempat tidur Wiwin.

“Terima kasih ya Din, kak Ani sudah pulang belum?” tanya Wiwin.

“Belum tuh, kan belum ada jam sepuluh malam, tapi tadi sudah aku sms memberitahu kalau kamu opname di rumah sakit,” jawabku sambil menarik kursi dan menempatkannya di sebelah tempat tidur, selanjutnya aku duduk.

“Iya, dia juga sudah sms aku, bilang minta maaf tidak bisa ke langsung ke rumah sakit, mungkin besok dia akan menjenguk,” ucap Wiwin.

“Kak Ani pasti lelah sekali setelah bekerja. Jadi dia perlu istirahat dulu,” tambahnya.

Aku juga meyakini kalau kak Ani baru besok bisa menjenguk, setelah kerja seharian tentu dia sangat kelelahan, kalau dipaksakan ke rumah sakit, wah dia bisa ikutan sakit nanti.

“Orang tuamu sudah dikabari?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Belum, aku takut mereka akan panik. Aku tadi sudah tanya dokter berapa lama aku mesti opname? Katanya sih paling dua atau tiga hari bisa boleh pulang kok!”

“Ya syukurlah...!”

“Iya lama-lama juga siapa yang mau... udah bikin repot... eh ngabisin duit pula!”

“Makanya jangan mau sakit...!”

“Heheheh... siapa pula yang mau sakit!”

“Eh Win, nanti malam aku bisa tidur di luar kan, kalau perlu apa-apa kamu bisa sms aku?”

Aku memandang sekliling ruangan ini, wah penuh dengan pasien dan penjaganya.

“Tentu Din, santai sajalah... aku tidak takut kok tidur sendirian disini... heheheh... tidak sendirian sih... kan banyak temannya tuh...!”

Wiwin itu penakut, dia tidak bisa tidur di kamar sendirian. Beda dengan aku, sulit untuk memejamkan mata bila mesti tidur dalam kondisi ramai. Di kost pun kalau kak Ani dan Wiwin masih terjaga dan ngobrol, aku tidak bisa tidur. Pokoknya aku bisa tidur kalau suasana hening dan sepi. Bayangkan saja... di sal ini berjajar tempat tidur, mungkin sekitar duabelas tempat tidur di satu ruangan. Pasien tidur di ranjang sedang para penjaga yang jumlahnya melebihi jumlah pasien tiduran di lorong jalan dan sisi samping tempat tidur, dan rata-rata mereka ngobrol meski dengan suara yang tidak keras.

Untuk mengisi waktu aku membaca koran yang tadi sempat aku beli, tapi menjelang tengah malam aku kelelahan dan ingin tidur. “Win... aku tinggal dulu ya, aku tidur di luar aja!” seruku pelan seraya kipas-kipas dengan koran, “Disini panas banget, sumpek!”

Ya, untuk ruangan kelas tiga para penunggu biasanya berjejalan di lantai lorong rumah sakit untuk tidur, bisa kebayang kan sumpeknya.

Wow... ternyata Wiwin sudah tertidur pulas. Kurapikan selimutnya.

“Adik mau tidur di luar ya?” tanya seorang ibu yang menunggui anaknya yang berada di samping ranjang Wiwin.

“Iya Bu!” jawabku.

“Nanti kalau ada apa-apa gimana?” tanyanya.

“Dia bisa telpon aku. Lagian malam-malam begini tidak mungkin ada kunjungan dokter kan Bu, juga ada perawat jaga di depan yang sesekali berkeliling melihat kondisi sal!”

“Oh iya sih...! Ya silakan Dik!”

Aku lalu keluar dari sal, berjalan menuju koridor rumah sakit di luar ruang. Jarak koridor dengan ruangan tempat Wiwin dirawat tidak terlalu jauh jadi tidak sulit bagi aku untuk sesekali menengoknya. Di sebelah kanan koridor tampak taman yang asri, sedang sebelah kiri pinggiran koridor ada bebarapa kursi panjang yang diletakkan disitu. Kalau jam besuk tiba, kursi-kursi itu selalu penuh terisi, biasanya ditempati oleh mereka yang mau antri menjenguk pasien, karena di dalam sudah penuh mereka duduk dulu di kursi panjang itu. Tapi kalau malam begini, kursi-kursi itu sebagian besar kosong, maklum para penjaga biasanya memilih tidur di lantai di sisi tempat tidur pasien.

“Aku tidur disini saja lah?” ucapku pada diriku sendiri ketika kulihat sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari pintu utama sal kelas tiga itu.

Jaket aku lepas dan kulipat kubuat bantal, lalu aku naik kursi panjang dan menelentangkan badan di atasnya... wah rasanya enak sekali setelah hampir seharian duduk, kemudian kubentangkan selimut yang aku bawa dan kututupi tubuhku.

“Tidur dulu ah!” seruku ringan.

Sebelum mata ini terpejam, sempat kulihat beberapa orang yang tiduran di luar sepertiku. Namun ada juga yang hanya duduk di pinggir koridor sambil melipat tangannya di dada menahan dingin, kutangkap juga raut muka mereka yang tampak kelelahan, mereka pasti kecapaikan seperti aku. Namun aku mesti efisienkan waktu, dari pada mata jelalatan kemana-mana mendingan tidur, bisa ditebak... selanjutnya mataku ini seperti dilem sehingga aku cepat jatuh tertidur, aku tidak tahu lagi mereka sedang apa karena aku sudah terlelap. 

Saat asyik-asyiknya tidur, tiba-tiba badanku seperti ada yang mengguncang-guncang dengan keras. Meski sulit sekali untuk membuka mata tapi aku paksakan juga. Agak samar karena belum sepenuhnya terjaga kulihat wajah seorang anak kecil yang tampak sedih, dia menangis tersedu sedu, seketika mataku terbuka meski rasa kantuk masih menggelayutiku.

“Kenapa Dik? Kok menangis? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.

“Aku... aku... sedih!” kata anak kecil itu terbata sambil tetap menangis.

“Sedih?” aku terkejut. Kulihat sekeliling siapa tahu orang tuanya ada di sekitar sini... tapi tampaknya tidak ada yang ganjil... hanya susana malam yang sepi dan dingin angin yang berhembus. Ah mana sih orang tuanya?

Aku lalu bangkit dari kursi panjang itu dan meminta anak kecil itu duduk di sebelahku.

“Sedih kenapa? Orang tuamu mana?” aku jadi penasaran kenapa anak sekecil ini dibiarkan kelayapan seorang diri di malam hari begini.

Ya meskipun masih di area rumah sakit, tapi sungguh teledor menurutku kalau anak kecil ini dibiarkan di luar pengawasan, kalau dibawa orang gimana coba? Tapi anak itu diam saja tidak menjawab pertanyaanku.

“Memang siapa yang sakit?” tanyaku lagi.

Eh dia tetap diam saja, dia malah menggelayut manja di pundakku, sesekali dia memainkan rambut bonekanya.

“Wah bonekanya cantik ya!” aku mencoba mengalihkan pertanyaan, nanti setelah beberapa pertanyaan dan dia tampak nyaman aku bisa mengajukan pertanyaan inti.

Dia mengangguk.

“Siapa yang membelikan?” 

“Mama...!” jawabnya pendek.

“Wow... hadiah ulang tahun ya?”

Dia tertawa, lalu menjawab, “Kok Kakak tahu?”

“Ya tahulah... waktu aku kecil dulu, ibu juga membelikanku boneka yang cantik ketika ulang tahun!” aku berbohong, dalam hati aku menertawakan diriku sendiri. 

Aku jadi ingat masa kecilku dulu, tidak pernah aku mendapatkan hadiah dari orang tua, maklum kami keluarga besar dan termasuk keluarga yang pas-pasan. Prioritas utama keuangan ya buat makan sehari-hari dan sekolah.

“Kakak bohong...!” seru anak itu lugas.

“Hah...!” aku terkejut setengah mati, kok dia tahu aku bohong ya?

“Kalau Kakak suka dengan boneka ini, Kakak boleh meminjamnya kok!” ucapnya seraya menyorongkan boneka itu di hadapanku.

Mata kamipun beradu, aneh... kenapa ya tidak ada sinar kehidupan di matanya? Mata yang bulat hitam hanya memancarkan kesedihan. Kualihkan pandangan ke boneka yang ditawarkan kepadaku, boneka itu berambut pirang dikucir kuda dan mengenakan pakaian warna merah bermotif polkadot.

“Ah, kakak sudah dewasa, masa main boneka sih. Sudah lewat!” jawabku, “Oh ya nama Adik ini siapa ya?” tanyaku lagi.

“Adinda! Biasa dipanggil Dinda,” jawabnya dengan suara khas anak kecil.

“Wow... namanya cantik sekali, kayak wajahnya!” pujiku.

Memang kuakui anak itu cantik dan lucu. Mukanya bulat, pipinya penuh, kulitnya putih bersih... pokoknya sungguh menggemaskan. Sepasang matanya bersinar bening dan hidung mancung, membuat dia tampak menawan. Dengan memakai baju merah nampak kontras dengan kulitnya yang putih... tapi pucat? Kenapa kulitnya pucat?

“Dinda mau kakak antar ke mama? Di ruangan mana ya?” tanyaku ke persoalan inti. 

Kupikir lebih baik aku mengembalikan ke orang tuanya saja, hari sudah malam mungkin orang tuanya ketiduran dan tidak menyadari kalau anaknya keluar kamar, bukankah anak seusia dia gampang bosan kalau melulu di ruangan yang sama? Aku saja yang besar begini sering bĂȘte kalau berdiam diri terus di kamar, apalagi anak itu.

“Enggak mau... Dinda mau main-main saja!” 

Jawaban itu sungguh di luar dugaanku, biasanya anak seusia dia selalu ingin nempel ke orang tuanya, lepas sedikit saja pasti menangis mencari-cari. Kok ini malah menolak sih?

“Loh... nanti mama sedih kalau...”

Belum selesai aku bicara, anak itu tiba-tiba turun dari kursi dan berlari meninggalkanku, langkahnya memang pendek karena masih kecil... tapi dia begitu gesit sehingga dalam hitungan detik dia lepas dari pandanganku.
“Ah dimana dia? Mengapa begitu cepat hilang dari pandangan?” tanyaku dalam hati sambil mataku melihat sekeliling. 

Hanya ada beberapa orang yang tiduran di atas kursi panjang seperti halnya diriku. Mereka tampak pulas, mungkin anak itu menghilang diantara tumbuhan perdu di sekitar koridor ini. Maklum anak kecil... sembunyi di balik pohon sudah tidak kelihatan, apalagi di malam hari begini yang notabene pencahayaan sinar lampu juga kurang maksimal. Penerangan juga hanya beberapa saja karena sudah malam.

Iseng-iseng kulihat handphoneku, eh... ternyata sudah jam dua dini hari. Tidak ada panggilan atau sms yang masuk. Entah mengapa aku jadi merinding sendiri. Meskipun ada beberapa orang di sekitarku tapi aku seperti merasa sendirian karena hanya aku saja yang terjaga.

“Ah mendingan aku balik ke ruangan Wiwin saja daripada bengong sendirian disini!” begitu kataku dalam hati. Terlanjur sudah bangun, susah untuk kembali tidur.

Akhirnya, kuambil jaket dan kukenakan. Selimut juga aku lipat agar rapi. Selanjutnya aku berjalan pelan menuju ruangan dimana Wiwin menginap.

Ketika kubuka pintu utama ruangan, kulihat beberapa perawat yang berjaga, untuk memasuki ruangan pasien, kami para penjaga pasien harus melewati ruang perawat dulu.

“Belum tidur Mbak?” sapa salah seorang perawat.

“Tadi sih sudah tidur, tapi terus terjaga karena dibangunin anak kecil!” jawabku sambil menghentikan langkah dan menghampiri perawat itu.

“Anak kecil?” perawat itu mengeryitkan dahi.

“Iya, mungkin bosan di ruangan terus... makanya keluar buat main-main!” tambahku lagi.

“Ooh...!” dia seakan tidak percaya dengan ucapanku, tapi tidak terlalu menghiraukannya.

“Tapi dia sudah kembali ke orang tuanya kok!” terpaksa aku berbohong, daripada nanti melantur dan jadi masalah.

“Ya syukurlah!” jawabnya lalu tersenyum.

“Masuk ke dalam dulu ya Mbak?” aku berpamitan.

Dia mengangguk kemudian mempersilakanku melanjutkan jalan.

Akupun sampai di tempat dimana Wiwin tidur, yah... dia tampak nyenyak sekali. Kuambil kursi dan kugeser sedikit karena kalau tidak bisa menganggu ibu yang tidur dibawah. Ibu itu juga tampak lelah dan nyenyak sekali, beliau tidur di bawah dengan beralaskan kasur lipat busa tipis. Anaknya yang sakit juga kelihatan tidur dengan nyenyak.

“Yah... sendirian lagi dong...!” gerutuku dalam hati.

Kulihat di sekeliling di dalam ruangan ini, banyak dari penjaga pasien yang tertidur pulas, ya mungkin mereka kelelehan setelah seharian menunggu sanak keluarga yang sakit.

Karena bingung tidak ada kegiatan, aku putuskan kembali ke depan ke ruang perawat, di depan ruang perawat ada kursi panjang yang menghadap televisi yang dipasang di dinding. Siapa tahu aku bisa menghabiskan waktu sambil nonton televisi saja. Akhirnya kuputuskan kembali ke depan.

“Numpang ikutan nonton tv ya Mbak!” sapaku kepada perawat tadi.

“Silakan Mbak! Nggak bisa tidur ya?” tanyanya.

Aku mengangguk. Kemudian aku duduk di kursi panjang dan menonton televisi.

“Aduh... kenapa acaranya pertandingan bola sih?” gerutuku. Kucari remote juga tidak ada, mungkin disimpan oleh perawat. 

“Pinjam remote nggak ya?” tanyaku dalam hati... tapi paling kalau malam begini tidak ada acara televisi yang bagus, bahkan sebagian saluran juga pasti sudah selesai.

“Ah mendingan main game sajalah!” seruku kepada diriku sendiri.

Entah jam berapa aku terbangun, wow ternyata aku ketiduran di ruang tunggu depan ruang perawat ini. Masih pagi sih... tapi suara langkah-langkah kaki membuatku terbangun. Terpaksa deh aku kembali ke tempat Wiwin. Nggak enaklah tidur di kelilingi orang yang terjaga dan sedang bekerja.

“Kamu tidur dimana Din?” sapa Wiwin.

Ternyata dia sudah bangun. Ibu yang di samping itu juga sudah bangun.

“Tadi malam aku tidur di luar, di kursi panjang yang ada di taman!” jawabku seraya duduk di kursi.

“Sendirian? Nggak takut Mbak?” tanya ibu itu ikutan nimbrung kami ngobrol.

“Banyak kok Bu yang tidur di luar kayak aku. Rata-rata mereka tidur di atas kursi panjang.”

“Oh... pantesan Mbak ini membawa selimut segala!” serunya.

Aku tersenyum, “Iya Bu... buat menahan dingin!”

“Kalau dingin kenapa nggak tidur disini saja?” tanya ibu itu lagi.

Wiwin yang mendengar celotehan si ibu itu hanya tersenyum tipis, dia sudah tahu kebiasaanku. Aku tidak bisa tidur di tempat yang ramai dan banyak orang begini.

“Disini sumpek dan panas, Bu!” jawabku sedikit ketus.

“Makanya Dina bawa selimut, di luar memang dingin tapi bisa dihalau dengan selimut kan!” terang Wiwin dengan nada manis. Mungkin dia tahu kalau aku sudah mulai tidak sabar menghadapi ucapan ibu itu.

Kulihat ibu itu mengangguk-angguk, semoga saja dia mengerti dan tidak cerewet lagi... heheheh.

“Win, nanti aku tinggal dulu sebentar buat balik ke kost!” kuutarakan maksudku. Aku mesti balik ke kost untuk mandi dan berganti baju.

“Aku nanti naik angkutan saja... biar tidak membuatmu bangkrut... heheheh!” lanjutku sambil bergaurau.

Wiwin ikutan tertawa, “Terima kasih deh pengertiannya untuk tidak membuatku bangkrut!” timpal dia, “Aku juga mau menitip baju kotor dan tolong dibawain baju ganti ya?” tambahnya.

“Beres deh...!” kataku, “Tapi masih entar nanti agak siangan... ini kan masih terlalu pagi!”

“Oh ya... kak Ani nanti juga mau kesini kok buat menjenguk kamu!” tambahku ketika kulihat ada sms masuk dari kak Ani. Isinya ternyata mengabarkan kalau nanti akan menjenguk Wiwin, dia minta informasi nama kamarnya.

“Loh... kalian ini masih kerabat atau...?” eh ibu itu ikutan nimbrung lagi.

“Bukan Bu, Dina ini teman kostku. Kami tinggal di kamar yang sama... berbagi ruangan biar irit!” urai Wiwin.
“Oooo... begitu ya. Lhah sudah kasih kabar ke orang tua belum?”

“Kata dokter, aku nggak lama opname disini paling tiga harian... jadi kuputuskan tidak memberitahu orang tua... takutnya mereka panik. Biaya buat ke Bandung juga tidak murah kan, mendingan kasih kabarnya setelah keluar dari rumah sakit,” jelas Wiwin panjang lebar.

“Aduh... nanti kalau ada apa-apa gimana? Kalau mesti operasi atau... ya apalah...”

“Ah Ibu ini terlalu jauh berpikirnya. Kata dokter nggak berat, hanya perlu beberapa hari saja kok. Kalau memang sakit berat tentu aku akan memberitahu ke orang tua untuk kesini, tapi karena ringan saja lebih baik tidak!” potong Wiwin.

“Doanya saja Bu, semoga Wiwin cepat sembuh dan bisa segera pulang!” aku menimpali ucapan Wiwin.

“Tentu... tentu... semoga cepat sembuh... jadi orang tua tidak repot kesini!”

Akhirnya ibu itu mengerti juga.

Menjelang siang aku segera mengemasi barang yang akan aku bawa ke kost, Wiwin sudah mandi dan berganti baju. Untuk jadwal makan dia bilang bisa dilakukan sendiri sehingga aku tidak perlu menunggu jadwal makan unutk menyuapinya, sehingga aku bisa pulang duluan.

“Bu, nitip teman saya ya!” pintaku kepadanya.

Ibu itu sedang mengganti baju anaknya, sehingga dia tidak banyak berkomentar ketika aku berpamitan, dia hanya bilang, “Hati-hati ya Mbak...!”

“Daaaa Win...!” aku melambaikan tangan.

Wiwin membalasnya sambil melambaikan tangan juga.

Dengan membawa buntalan berisi pakaian kotor aku keluar ruangan kelas tiga itu dan bergegas menuju koridor yang menghubungkan pintu keluar. Tidak ada hal-hal yang berbeda alias semua tampak biasa saja seperti biasanya di rumah sakit pada umunya. Beberapa pekerja mulai hilir mudik melakukan tugasnya, ada petugas kebersihan yang membawa peralatan untuk membersihkan kamar-kamar. Beberapa perawat juga berjalan-jalan di koridor. Terus ada orang-orang yang tampaknya seperti aku –penjaga pasien– yang hilir mudik di sekitarnya.

Namun dalam perjalanan di sekitar koridor itu tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang membuatku bertanya-tanya, kulihat sekumpulan orang yang berjalan tergesa menuju pintu keluar seperti halnya aku... tapi... salah satu dari mereka membawa boneka! Yup... boneka itu sama persis dengan yang dibawa Adinda yang menemuiku semalam. 

Kenapa boneka itu ada padanya? Dimana Dinda?

Karena penasaran kupaksa diriku untuk bertanya pada rombongan itu, walau sebenarnya aku merasa sungkan juga, takutnya dibilang rese alias sok mau tahu urusan orang, tapi kalau tidak dipaksakan untuk bertanya bisa bisa aku penasaran seumur umur.

“Maaf Bu!” aku menyapa seorang ibu yang membawa boneka itu.

Ibu itu menengok sebentar ke arahku dengan tatapan mata yang kurang senang, sekilas kulihat kesedihan yang terpancar di matanya.

“Kita bicara sambil jalan saja Bu! Mau keluar kan?” tanyaku lagi.

Ibu itu mengangguk, akupun akhirnya masuk ke rombongan dan melangkah bersama-sama menuju pintu keluar.

“Ada apa Mbak?” tanya beliau sambil terus berjalan.

“Boneka itu kepunyaan Adinda kan?” ucapku pelan.

Tiba-tiba ibu dan rombongannya menghentikan langkah, mereka kemudian mengalihkan pandangan ke arahku, semua mata menatapku dengan penuh tanda tanya.

“Mbak kenal Adinda, putri kecil adik saya?” tanya salah seorang dari mereka.

“Mmmhmm... bukan kenal, hanya tahu saja!” aku jadi gelagapan sendiri dan tidak enak hati, “Saya pernah bertemu di rumah sakit ini, dia membawa boneka ini... dia...”

 Aku tidak berani menyelesaikan ucapanku. Aku jadi semakin yakin tidak mungkin Adinda bisa keluyuran seorang diri di tengah malam begitu. Ada beberapa orang di rombongan itu dan rasanya tidak mungkin anak sekecil itu bisa lepas dari pandangan mereka.

“Maksud Mbak apa nih? Kita tidak mengerti...!” lanjut orang itu dengan mimik kurang senang.

“Mmmh... titip salam saja buat Adinda! Maaf... permisi... saya mau ke ruangan tempat pasien dulu... teman saya sedang sakit...!” melihat tatapan mereka yang seperti mencurigaiku, aku jadi gugup dan tidak bisa berbicara dengan runtut.

Aku bermaksud berbalik arah dan segera meninggalkan rombongan itu, namun ibu itu memegang pundakku dan berkata, 

“Adinda sudah meninggal... tadi malam!”

“Apaaa...?” aku terkejut setengah mati. Mataku sampai melotot mau keluar.

“Iya, Adinda memang sudah meninggal... tadi malam!” ulangnya.

“Mmmhmmm... ikut berbela sungkawa! Maaf, saya... saya...!” aku segera menepis pegangan ibu itu dan berlari ke lain arah. 

Ketika kulihat ada kursi panjang kosong di sepanjang koridor aku segera berhenti dan menghampiri kursi untuk duduk menenangkan diri. Dari jauh kulihat rombongan itu masih menatapku, tapi itu tidak lama, mereka lalu melanjutkan berjalan kembali menuju pintu keluar.

Sambil mengatur nafas aku mencoba mencerna kejadian tadi malam dimana seorang anak kecil membangunkanku. Dia bernama Adinda dan membawa boneka itu. Ah... ternyata aku sudah bertemu hantu di malam itu.

No comments:

Post a Comment

La Planchada