Friday, August 2, 2019

ADA HANTU DI KANTORKU (Tangerang)

Aku belum lama kerja di kantor ini, baru sekitar dua bulan, jadi masih masa training. Sebagai seorang junior internal auditor aku kadang mesti kerja lembur bila ada laporan yang tidak sesuai dengan data yang ada, apalagi bila ada data yang masuk terlambat padahal laporan hasil auditor mesti segera disetor ke senior ku... wah bisa semalaman begadang.

Pernah suatu malam aku kerja lembur, aku baru bisa pulang jam sepuluh malam. Suasana begitu sepi, beberapa meja kerja banyak yang kosong karena sudah ditinggal pulang oleh si empunya. Ada dua meja lagi yang masih terisi yaitu bagian administrasi yang menyusun data. 

“Mbak Tina, aku pulang dulu ya!” pamitku kepada mbak Tina yang sedang sibuk mengerjakan tugasnya.

Ia memalingkan wajahnya sebentar ke arahku, mengangguk cepat, lalu kembali tenggelam dalam mengerjakan tugasnya. Mbak Tina memang lagi senewen menyusun data yang sudah hampir deadline, makanya raut mukanya begitu serius dan tegang.

Lalu kuhampiri meja yang satunya.

“Mas Pri... duluan nih!” sapaku sambil mengetuk mejanya.

Mas Pri tersenyum, “Iya deh silakan, aku masih lembur nih...!” jawabnya pendek.

Akupun segera melambaikan tangan, aku tidak mau berlama-lama berbasa-basi menyapanya, kasihan mereka lagi sibuk sibuknya menyelesaikan tugas. Lagipula aku juga sudah lelah sekali ingin segera pulang dan sampai rumah. Kubayangkan aku mandi berendam air hangat setelah itu tidur... ah nyamannya... 

Setelah menempelkan jari ke mesin absen, aku melangkah keluar menuju lift. Ya ruang kerjaku ada di Tower Sinar Abadi Tangerang di lantai tujuh. Tak terbayangkan bila mesin lift mati dan aku mesti jalan kaki dari lantai tujuh ke lantai dasar... wah bisa putus kakiku... hehehe.

Saat lift bergerak menuju ke bawah, dari lantai lima seseorang masuk ke dalam. Semerbak wangi bunga melati langsung tercium. Wuih... perempuan itu... sudah wangi eh cantik sekali pula. Dia memakai stelan pakaian kerja yang begitu serasi, kelihatannya baju yang dipakainya sangat mahal karena dari materialnya saja sudah terlihat kalau itu fashion tingkat tinggi, apalagi tas yang dikenakannya... tas bermerk terkenal dari luar negeri. Dengan sepatu berhak tinggi warna merah marun cocok sekali dengan pakaian dan tas yang dikenakannya. Rambutnya yang dicat warna kecoklatan pas sekali dengan warna kulitnya yang putih bersih. Riasan wajahnya juga tidak terlalu berlebihan. Pokoknya dia tampak anggun dan begitu berkelas.

Sebenarnya aku ingin menyapanya, sekedar mau berbincang dan menanyakan kenapa nasibnya seperti aku... mesti kerja lembur... hehehe... padahal wanita secantik dia tentu tidak sulit untuk mendapatkan pria mapan yang bisa memanjakannya.Tapi... aku tidak ada nyali... terlalu minder untuk itu. Sebagai lelaki muda aku benar-benar terpesona padanya, tapi aku cukup sadar diri bahwa kelas kami berbeda jauh... kalau entar aku dicuekin gimana... malu dooongg... akhirnya selama ada di lift itu kami saling diam tidak menyapa satu sama lain. Tumben... kenapa juga tidak ada orang lain yang masuk lift, seandainya ada tentu aku bisa berkamuflase mengajak ngobrol orang itu lalu merembet ngobrol kepadanya, jadi tidak terlalu mencolok.

Dan sampai lantai dasar kami pun berpisah, begitu lift terbuka kulihat dia bergegas keluar dan melangkah ke lobby, duduk dengan anggun di sofa dan mulai mengeluarkan handphone-nya, mungkin dia sedang menelpon sopirnya buat menjemputnya di depan... atau... nggak tahulah... kok aku jadi menerka-nerka sesuatu yang tidak pasti.

“Wah lembur ya Mas Budi?” tanya pak satpam yang menjaga lantai dasar. Dia tersenyum kepadaku.

“Iya nih, pak Badrun shift malam ya?” aku balik bertanya.

Dia mengangguk, “Lha... mau pulang naik apa Mas?” tanyanya kemudian.

“Terpaksa naik taxi Pak... angkutan sudah habis!” kumonyongkan mulutku, dia tertawa.

 “Sesekali Mas...!” sahutnya.

Aku mengangguk, setelah pintu depan kubuka aku melambaikan tangan ke pak Badrun. 

Sesaat sebelum pergi meninggalkan lobby, dari kaca depan aku sempat mencuri pandang ke arah perempuan cantik itu, ya dia masih duduk di sana. Mungkin dia tahu kalau aku menatapnya, dia tersenyum kecil kepadaku... wah aku jadi malu. 

Di dalam taxi aku kembali membayangkan si cantik itu... mungkin lain waktu kalau ketemu lagi aku akan berusaha menyapanya. Lalu aku teringat pak Badrun, satpam itu pernah satu angkot denganku, mulanya kami juga tidak saling bertegur sapa saat di angkot, tapi ketika kami berdua turun di gedung yang sama kami jadi kenalan dan berteman baik. Apalagi kami juga sering kali bertemu lagi di angkot yang sama, ternyata kami satu jurusan... pantas saja sering bertemu. Nah... siapa tahu kisah perkenalanku dengan pak Badrun juga bisa kuterapkan dengan wanita cantik itu... heheheh. Ah sudahlah kok jadi ngelantur sih.

 Keesokan harinya saat aku sedang istirahat makan siang bersama mas Pri, aku menceritakan kisah itu.

 “Mas Pri, pernahkah bertemu wanita cantik di gedung ini?” tanyaku di sela-sela menyantap makan siang.

“Wah... sering… bahkan selalu! Gedung ini disewa oleh banyak perkantoran! Tahu sendiri kan perkantoran di gedung elit begini tentulah mempekerjakan karyawan yang bonafid... yang gajinya lumayan... jadinya bisa buat merawat diri... jelas cantik-cantik lah!” jawab dia panjang lebar.

Aku manggut-manggut, sayang aku masih masa training, jadi gaji yang kuterima juga belum penuh.

“Maksudku... perempuan cantik yang terpaksa lembur...” lalu kujelaskan bagaimana sosok perempuan itu.

“Wah kalau perempuan seanggun dan seberkelas itu...!” mas Pri berhenti sejenak… lalu seperti mengingat ingat sesuatu, kemudian dia menggelengkan kepala. “Kayaknya tidak pernah tuh!”

“Emang Mas Pri sudah berapa lama kerja di sini?” aku menyelidik karena kudengar dari teman-teman lainnya, mas Pri itu pindahan dari kantor pusat di Jakarta dan ditempatkan di cabang Tangerang... yaaa di Tower ini.

“Kalau kerja sih sudah cukup lama, sekitar lima tahunan... tapi yang di cabang ini... baru tiga bulan kuraang dikit... hahahah.” dia tertawa terbahak.

 “Huuuuuu...” seruku sambil meninju lengannya.

“Terus terang, kalau sudah selesai kerja aku pinginnya langsung pulang lalu tidur. Aku tidak sempat jelalatan kayak kamu...” ledeknya.

 “Iyaaa... takut dipelototin istri di rumah!” balasku.

“Enak ajaaa... emang istriku tahu kalau aku melototin perempuan cantik?” elaknya.

 “Lhah... lantas kenapa nggak mau?” tanyaku sambil mencibir.

Mas Pri geleng-geleng kepala, “Sudah bukan jamannya. Aku sudah ada istri dan dua anak yang beranjak remaja. Melototin perempuan cuma buang-buang waktu. Sekedar lihat sih senang... tapi kalau sampai melotot kayak kamu... enggak lah ya. Emang aku lelaki apaan...!” ujarnya genit terutama dibagian ujung percakapan itu.

“Bukan dipelototin tapi itu anugerah Tuhan... sayang kalau dilewatkan!” elakku sambil bercanda.

 Mas Pri tertawa ngakak, “Terserah kamu ajalah!”

 Selesai makan kamipun kembali ke kantor.

Hari berganti hari, aku tidak pernah berjumpa perempuan itu lagi. Aku memang jarang kerja lembur lagi, pihak manajemen menerapkan aturan memperketat lembur, kalau tidak terpaksa sekali dan tanpa persetujuan atasan kami tidak boleh lembur. Katanya sih buat berhemat, tapi nyatanya kami semua juga bisa mengatur waktu, sehingga sudah beberapa bulan ini tidak ada lembur lagi.

Sesekali saat naik lift aku juga menebar pandangan ke sekeliling, siapa tahu berjumpa lagi dengan si cantik itu, masak kerja di gedung yang sama tidak pernah bertemu. Tapi kemudian aku menyadari, bisa saja di sudah pindah, kan aku juga tidak tahu persis, akhirnya pelan tapi pasti bayangan perempuan cantik itu hilang dari ingatanku, tenggelam oleh beban pekerjaanku.

 Hingga suatu ketika aku terpaksa kembali ke kantor. Aku sudah sampai di rumah kala itu.

 “Mas Budi, mana tiketnya?” todong Anita adikku.

Ya, Anita menginap di kostku untuk dua hari buat liburan dan mengunjungi temannya yang kuliah di kota ini. Dia nitip aku buat membelikan tiket pulang.

 “Beres... kakak sudah belikan kok. Sebentar ya!”

Kubuka tas kerjaku, kok tidak ada ya... akupun lalu membongkar semua isi tas dengan mengeluarkan di atas meja. Ku periksa satu demi satu, ternyata memang tidak ada.

 “Manaaa...” rengeknya. “Lupa belum beli kaliiiii...”

“Sebentar... sebentar!” kucoba untuk mengingat dimana aku menaruhnya.

“Ya Tuhan... tertinggal di meja kerjaku!” teriakku ketika aku teringat kalau tiket itu aku taruh di amplop coklat. Sebenarnya aku sudah memasukkanya di dalam tas, tapi ketika aku mengeluarkan smartphoneku amplop itu ikutan ketarik keluar dan aku lupa memasukkannya kembali.

“Yaah... gimana dong, kan besok pagi-pagi Anita mesti berangkat?” suara Anita terdengar cemas.

Kutengok jam yang melingkar di tanganku, sudah jam Sembilan malam. Kalau pakai motor masih keburu untuk kembali ke kantor. Segera kuambil handphone di atas meja.

 “Halloo Ridwan?” sapaku begitu suara dari seberang menyahut.
“Wah Mas Budi... Cuma jarak dua kamar aja telpon!” seloroh Ridwan dari telponnya.

“Bukan bergaya... tapi ini darurat! Bisa pinjam motornya sebentar? Tiket adikku tertinggal di kantor?” tanyaku sedikit memaksa.

“Oh ya... boleh Mas, aku juga lagi nggak kemana-mana kok!” jawabnya sungguh-sungguh.

“Ok deh aku ke situ ya ambil kunci dan helm!” 

Selanjutnya aku menelpon kantor, berharap pak Badrun kerja shift malam, bila tidak pun masih ada satpam lain.

 “Pak Badrun kerja shift malam nggak?” 
“Oh... Mas Budi. Iya ini aku kebetulan kena giliran jaga malam. Kenapa Mas?” 
“Saya mau kembali ke kantor buat ambil tiket yang ketinggalan, Pak Badrun bisa bantu kan?” tanyaku lagi.

“Oh bisa Mas, nanti saya antar ke lantai tujuh!”

“Terima kasih Pak, saya segera ke sana!”

Aku segera bergegas keluar kamar untuk mengambil motor Ridwan dan tancap gas menuju kantor, kalau memakai motor bisa lebih cepat, lagipula jam-jam segini jalanan tidak begitu padat seperti saat bubaran kantor di sore dan petang hari, kuharap aku sampai kantor tidak terlalu malam.

 “Lha... kenapa sampai ketinggalan Mas?” sambut pak Badrun begitu aku sampai di lobby.

“Iya nih...!” seruku tergesa.

“Nanti pak Pur yang akan menemani Mas Budi ke lantai tujuh!” terangnya.

Pak Pur juga satpam seperti pak Badrun, tapi dia sudah senior dan lama kerja di sini jadi sama pengelola dipercaya menyimpan kunci-kunci seluruh ruangan kantor. Salah satu tugas dia mengontrol dan memeriksa setiap perkantoran apakah sudah terkunci atau belum, dan bila ada sesuatu dan mesti kembali ke kantor seperti aku ini mesti lewat pak Pur untuk bisa memasuki kantor.

Bersama pak Pur kami naik lift menuju ke lantai tujuh. Setelah membuka pintu ruangan kantor aku segera mengambil amplop coklat yang berisi tiket dan menyelipkan dibalik jaketku.

“Terima kasih Pak Pur sudah membantu!” ucapku seraya menjabat tangannya. 

“Sama-sama Mas!” jawabnya sambil membalas jabatan tanganku. Dia lalu mengunci kembali pintu kantor.

“Maaf Pak Pur, saya mau ke toilet dulu, silakan turun duluan!” pintaku.

 Akibat udara dingin dan terpaan angin selama aku naik motor menuju kantor, aku jadi ingin buang air kecil.

“Silakan Mas, saya duluan ya!”

Kami lalu berpisah, pak Pur duluan ke lift untuk turun, sedang aku berbelok arah menuju toilet. Suasana begitu sepi maklum tidak ada yang kerja lembur saat itu, tapi tidak masalah... toh aku bisa menyalakan lampu. Cahaya lampu yang terang membuat suasana tidak terlalu mencekam. Keluar dari toilet aku segera menuju lift, saat ini yang kuinginkan hanya satu, segera kembali ke kost.

Di dalam lift aku juga sendirian, eh... ternyata dari lantai lima ada seorang yang masuk. Aku mencium bau wangi bunga melati, itu mengingatkanku akan seseorang dulu yang pernah aku temui di lift. Oh... ya ternyata benar... perempuan cantik itu. Kulirik dia... ya benar dia! Kayaknya... baju, tas, sepatu yang dia kenakan sama seperti saat dulu aku bertemu dengannya di lift. Tapi entahlah... samar-samar saja aku ingatnya.

 “Wah kerja lembur ya Mbak?” kali ini aku mencoba memberanikan diri menyapa dirinya.

 Dia diam saja. Tidak bergeming, menengokku sedikit pun tidak.

“Sombong kali...” gerutuku dalam hati.

Tapi segera kutepiskan kekecewaanku. Kalau aku jadi dia, bukan tidak mungkin mesti berhati-hati dengan orang baru. Apalagi di lift ini hanya kami berdua... bisa saja dia curiga kepadaku, apalagi sudah malam begini.

Menyadari posisiku, akupun ikut terdiam. Nggak enak rasanya menganggu orang lain meski maksudku cuma bertegur sapa, namun kalau dia enggan ya sudah tidak apa-apa.

Sesampai di lantai dasar aku keluar, entah kenapa kami berdua bertubrukan, mungkin karena sama-sama ingin segera keluar. Dia sampai terjatuh.

“Maaf Mbak...!” aku segera menyodorkan tanganku untuk membantunya berdiri kembali.

Aneh tangannya begitu dingin... ah mungkin karena udara malam ini dan AC kantor yang kelewat dingin.

Dia tersenyum ke arahku tapi tidak menjawab sepatah katapun. Namun dia menyambut uluran tanganku.

“Budi Prastowo!” aku segera menyebut kan namaku, berharap dia juga akan menyebut namanya sehingga besok aku bisa pamer ke mas Pri kalau aku sudah berkenalan dengan wanita yang pernah aku ceritakan sebelumnya.

“Mariska Putri!” jawabnya.

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia mau menyebutkan namanya, padahal tadi aku hanya iseng dan untung untungan saja.

 Kami lalu keluar dari lift bersama-sama, dan aku mulai berani untuk mengajaknya berbincang lebih lanjut.

“Kerja lembur ya Mbak?” tanyaku mengulang pertanyaan yang tadi.

Dia menatapku dan mengangguk, tatapan matanya itu... kenapa terasa kosong? Begitu hambar seperti tidak ada yang tergambar apakah mata lelah, mata sedih, mata gembira atau yang lain.

“Oh… Mbak Mariska mau pulang dijemput sopir atau...” belum selesai aku bicara seseorang menepuk keras bahuku. Aku sampai kaget dan memalingkan muka ke arah orang yang melakukan itu.

“Oh... Pak Badrun?” tergagap aku menyebut nama itu. Aku gelagapan malu campur kaget, kenapa sampai tidak sadar kalau pak badrun menghampiriku bahkan dia sampai harus menepuk bahuku,

 “Mas Budi kenapa?” tanyanya dengan nada was-was.
“Loh memangnya kenapa? Nggak ada apa-apa tuh!” jawabku bingung.

“Mas Budi tadi bertingkah aneh... sekeluar dari pintu lift merunduk dan seperti memegang sesuatu... lalu ngomong sendirian!”

“Aku... Oh... aku tadi membantu Mbak ini...!” kupalingkan wajahku ke samping untuk menunjukkan wanita itu kepada pak Badrun... tapi dia sudah tidak ada di sampingku.

Celingukan keputar pandangan di sekeliling ruangan lobby. Wanita itu benar-benar tidak ada. Aku jadi semakin bingung, tidak mungkin dia bisa begitu cepat meninggalkan lobby ini.

Melihatku kebingungan pak Badrun berucap, “Kita duduk dulu saja, Mas Budi bisa menceritakan sebenarnya ada apa?”

Ku ikuti langkahnya menuju sofa lobby. Suasana sudah sepi jadi kami bisa leluasa berbincang. Ku ceritakan kalau aku tadi bersama seorang wanita bernama Mariska Putri, kami bertubrukan saat mau membuka pintu lift sehingga aku berusaha membantunya. Sekeluar dari pintu kami berbincang tapi terputus karena pak Badrun menepuk bahuku. Dan wanita itu sudah menghilang begitu saja.

Pak Badrun mengangguk-angguk mendengar ceritaku, tapi dari raut mukanya bisa terlihat dia agak cemas campur ketakutan.

“Kenapa, Pak?” aku jadi penasaran.

“Mmh... bagaimana kalau kita melihat layar cctv yang terpasang di situ!” dia menunjuk sebuah kamera cctv yang terpasang di sudut ruangan yang sudah pasti menyoroti siapa saja yang keluar masuk lift.

Aku mengangguk tapi campur heran, ada apa ini... 

Di ruangan keamanan, pak badrun berbincang sebentar kepada penjaga layar kamera.

“Mari Mas Budi, tolong bisa melihat layar ini dengan seksama!” pinta teman pak Badrun sambil mempersilakan duduk di sampingnya. Kami bertiga lalu menonton layar itu yang sudah diputar mundur.

Di situ aku bisa melihat, begitu pintu lift terbuka tidak tampak orang lain kecuali diriku, juga seperti kata pak Badrun tadi, aku terlihat merunduk dan memegang sesuatu dan mencoba mengangkatnya, serta saat aku berjalan keluar tampak aku berbincang sendirian, tapi dari tingkahku terlihat seperti berbicara dengan seseorang, hanya saja orang itu tidak ada.

“Tapi Pak... aku tadi bersama seorang wanita bernama Mariska Putri, kita sempat berkenalan loh! Aku yakin betul Pak... tapi kenapa dia tidak ada di layar ya?” seruku tidak percaya.

“Mariska Putri?” teriak teman pak badrun terdengar sangat terkejut.

“Iya benar... Mariska Putri... aku tidak salah dengar kok!” seruku mantap untuk memastikan kalau aku tidak salah ucap.

“Tapi...” dia berhenti sejenak, lalu menghembuskan napas dari mulutku dengan sedikit berat. Dia menatapku lekat lekat sebelum akhirnya berkata, “Mas Budi, ingin tahu yang sebenarnya?”

Aku segera mengangguk cepat, karena benar-benar penasaran.

“Dia sudah meninggal Mas... bertahun-tahun lalu!” 

Aku terperanjat mendengar ucapannya, bagaimana mungkin... 

Tanpa diminta satpam itu lalu menceritakan, bahwa saat itu ada seorang wanita cantik yang bekerja di lantai lima, dia adalah pekerja keras dan sangat menyukai pekerjaanya, tampaknya dia kerja lembur sampai malam. Ketika keamanan mengecek kantor untuk memastikan pintu sudah terkunci, dia menemukan kalau wanita itu sudah meninggal dunia. Kemudian diketahui bahwa kematiannya karena terkena serangan jantung dan diperkirakan kejadiannya sekitar jam sepuluh malam. Wanita itu bernama MARISKA PUTRI.

No comments:

Post a Comment

La Planchada